(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (72)
Released by mastonie, Thursday, June 17, 2010 at 03.35 pm
(Dalam perjalanan pulang ketanah air sesudah meninggalkan Suriname, Menko Kesra Soepardjo Roestam masih menyempatkan diri berkeliling kebeberapa Negara di Amerika Latin, dimana para Duta Besar Indonesia dinegara itu kenal secara pribadi dengan beliau).
Chili, negara pantai yang ‘ultra modern’
Negara Amerika Latin yang pertama disinggahi adalah “Republik Chili (Chile)”.
Duta Besar Chili untuk Republik Indonesia di Jakarta ternyata mengundang Pemerintah Indonesia untuk ikut menyaksikan Upacara Pelantikan Presiden Chili terpilih, Patricio Aylwin yang menggantikan Jenderal Augusto Jose Ramon Pinochet Ugarte (lahir di Valparaiso 25 November 1915) yang untuk selanjutnya masih tetap bertindak sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Chili.(Yang dijabatnya sampai dengan tahun 1998)
Terletak disepanjang garis pantai Samudra Pasifik yang memanjang dipantai barat Amerika Selatan (Latin), Republik Chili termasuk sebuah Negara yang sudah terpengaruh budaya ultra modern dan sangat ‘barat’.
Pesawat mendarat di Bandara Internasional ‘Comodoro Arturo Merino Benitez’ yang sejak dibangun pada tahun 1961 lebih dikenal oleh penduduk Chili sebagai Bandara Pudahuel, karena terletak didaerah Pudahuel, disebelah barat kota Santiago, Ibukota Republik Chili. Arturo Merino Benitez adalah nama seorang Komodor (Marsekal AU) pendiri Angkatan Udara Republik Chili.
Disepanjang perjalanan menuju hotel, saya melihat pemandangan yang pasti tak akan terlihat dimanapun di Indonesia (setidaknya pada tahun 1990), bahkan sampai saat ini sekalipun. Ditaman-taman hijau rimbun yang banyak menghiasi sudut kota, terlihat banyak sekali remaja muda belia dan para pelajar masih berseragam sekolah yang bercengkerama sedang asyik masyuk…..saling berciuman bibir! Tanpa merasa malu atau risih sedikitpun dilihat orang sekitarnya. Masya Allah.
Indonesia mempunyai Kantor Konsulat Jenderal di kota Santiago, dan ternyata yang menjadi Konsul Jenderal (Kehormatan) adalah seorang yang berkebangsaan Chili. Dialah yang menjadi tuan rumah rombongan Delegasi Indonesia selama berada di Chili.
Yang agak mengejutkan saya adalah, dikota yang terletak dikaki pegunungan Andes ini sudah banyak terdapat Plaza dan Mall, sebagaimana laiknya terdapat dikota besar modern semacam New York dan Washington DC! (Sementara di Jakarta pada tahun 1990-an baru ada semacam “Plaza” dan ‘Department Store’ saja).
Mall-mall yang cukup mewah ini menjual segala macam busana dan barang bermerk internasional, tapi dengan harga yang lumayan terjangkau. Disalah satu toko yang ada di Plaza de Armas, saya sempat membeli beberapa setelan Jas wool merk “Armani” hanya seharga sekitar 59 dolar (Amerika) saja. Sepasang sepatu kulit merk “Gucci” yang mutunya sangat bagus dijual dengan harga 40 dolar! Sebetulnya mata uang Republik Chili adalah “Escudo”, tapi entah kenapa kalau mereka menjual barang kepada orang asing lebih suka memakai mata uang dolar Amerika! (kurs satu dolar Amerika waktu itu masih dibawah 1000 rupiah). Untuk mengetahui sebagus apa mutu barang yang mereka jual, sampai kini (tahun 2010) setelan Jas dan sepatu itu masih layak saya pakai!
Salah satu obyek wisata yang cukup menarik di kota Santiago ini adalah ‘Cerro San Cristobal’ sebuah bukit yang menjulang dipinggiran kota. Dari atas bukit ini kita dapat melihat pemandangan kota Santiago yang begitu menawan, apalagi pada saat matahari tenggelam disore hari. Dibukit ini ada Patung “Jesus” yang berukuran raksasa. Patung “Jesus Sang Penebus” yang berukuran lebih raksasa lagi, ternyata terdapat juga dikota Rio de Janeiro (Brasil). Rupanya di Negara-negara Amerika Latin, patung Jesus berukuran luar biasa besar menjadi semacam “landmark” (penanda) kota sekaligus bukti bahwa mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Katolik.
(Kelak kemudian hari -konon untuk menarik hati warga Timor Timur- yang mayoritas penduduknya pemeluk agama Katolik, pemerintah rezim Orba juga membuat patung Jesus berukuran raksasa disebuah bukit dikota Dili, Ibukota Provinsi Timor Timur -kini sudah merdeka dan bernama Timor Leste-).
Merasakan hangatnya air Samudra Pasifik.
Lautan Teduh terhampar dibelakang saya.....
Daerah wisata yang sempat kita kunjungi di Chili adalah Valparaiso, kota pantai yang dijuluki “Jewel of the Pacific” (permata Pasifik) ini terletak 120 km disebelah barat laut Santiago. Bisa ditempuh dengan bermobil sekitar 1,5 - 2 jam melalui jalan raya yang cukup halus. Cuaca dibulan September dikota yang sering dilanda gempa bumi itu termasuk cukup dingin, dikisaran 9 – 12 derajat Celcius (lebih dingin sedikit dibanding Puncak). Angin yang berhembus kencang dipantai menambah dingin suhu udara. Valparaiso ternyata adalah Markas Besar AL Chili walaupun termasuk kota yang rentan gempa. Gempa bumi terakhir ditahun 1906 mengakibatkan kerusakan hebat dan lebih dari 3000 orang tewas. Pantai dikota ini dijadikan tempat rekreasi karena termasuk cukup landai dan tak begitu besar ombaknya. Yang mengherankan adalah, dalam cuaca dingin sejuk itu, ternyata air laut Samudra Pasifik (di Indonesia dikenal juga sebagai “Lautan Teduh”) terasa hangat. Ingin rasanya saya menceburkan diri dan berenang di Samudra yang dulu hanya saya kenal lewat cerita sejarah di sekolah. Ya, Samudra Pasifik termasuk ajang pertempuran laut yang menelan banyak korban jiwa dimasa Perang Dunia II. Disepanjang pantai terdapat restoran, kafe dan tempat hiburan lain yang cukup asri dan sedap dipandang mata. Sayang waktu berkunjung kepantai yang indah ini sangat terbatas, mengingat masih banyak acara lain yang harus diikuti oleh Pak Pardjo.
Bersalaman dengan “Sang Mantan Diktator” Penguasa Chili.
Salah satu acara yang terpenting adalah mengadakan ‘Courtessy Call’ (Kunjungan Kehormatan) kepada Presiden terpilih yang didampingi ‘Sang Diktator’ Jenderal Augusto Pinochet, mantan Presiden Chili yang rupanya masih dipercaya menjabat sebagai Panglima AB Republik Chili. Kunjungan itu dilaksanakan di Istana Presiden (Palacio de La Moneda) di Santiago. Seingat saya pada bulan September tahun 1990 itu, Jenderal Pinochet mengadakan semacam acara “Pisah sambut” Presiden, khusus untuk para tamu Negara. Tidak seperti saat akan bertemu dengan Presiden Kim Il Sung di Pyongyang Korea Utara dulu, Protokol Istana Kepresiden Chili mengatur waktu dengan lebih baik dan cermat. Jenderal Pinochet memang menyediakan waktu yang cukup bagi para Pemimpin Negara Sahabat ataupun para anggota Korps Diplomatik untuk memberikan ucapan selamat kepada Presiden yang menggantikan dirinya. Menko Kesra Soepardjo Roestam termasuk salah satu Pejabat dari Negara Sahabat yang datang untuk memberikan ucapan selamat.
Saya tentu saja termasuk orang yang beruntung (sekali lagi) bisa ikut masuk ke Istana “Orang Nomor Satu“ di Republik Chili. Saya tidak kaget lagi karena penjagaan dari satuan pengamanan Presiden seperti yang biasa saya jumpai di Istana Merdeka Jakarta. Proseduril dan tertib selayaknya sebuah Negara yang pernah diperintah oleh seorang Diktator Militer.
Memakai seragam kebesaran seorang Jenderal bintang empat, hari itu Jenderal Pinochet sebagai Panglima Angkatan Bersenjata mendampingi Presiden Patricio Aylwin menerima kunjungan kehormatan dari para tamunya. Senyum lebarnya tampak merekah diantara tegur sapanya yang (sudah barang tentu) memakai bahasa Spanyol. Genggaman tangannya keras dan kuat khas tangan prajurit. Entah mengapa saya selalu terkesan dengan sikap dan kedisiplinan seorang militer. Mungkin saja karena saya sudah lama bergaul dengan Pak Pardjo yang juga seorang jenderal (purnawirawan). Dimata saya segala sesuatu tampaknya jadi lebih tertib dan rapi bila dibandingkan dengan aturan (yang dibuat oleh) seorang yang non militer atau sipil. Itu menurut penilaian saya. Di Istana Presiden Chili situasinya juga begitu. Tertib, rapi, tepat waktu dan sangat formil. Saya jadi ingat Presiden Soeharto. Tapi Jenderal Augusto Pinochet tampak sedikit lebih “urakan”, karena bisa tertawa lebar dan terbahak. Kalau Pak Harto kan paling banter hanya tersenyum lebar. Senyum khas yang membuatnya mendapat julukan “The smiling General”.
Saya lantas berpikir, setidaknya hingga saat itu (tahun 1990) saya sudah berhasil bersalaman dengan tangan dua orang Diktator dari dua benua yang berbeda.
Walaupun tangan Pak Harto (yang notabene juga pernah dicap sebagai ‘Diktator’) justru baru bisa saya salami pada saat Munas Korpri ke IV, bulan April tahun 1994, 4 tahun sesudah saya bersalaman dengan Jenderal Pinochet dan 4 tahun sebelum beliau menyatakan diri “lengser keprabon”!
Biar bagaimanapun saya tetap bersyukur. Alhamdulillah.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar