"
(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Released by mastonie, Tuesday, May 25.2010 at 11.45 pm
Menjalin pertemanan dengan Ajudan para Pejabat Tinggi.
Dalam menjalani karir sebagai Ajudan, saya bertemu dengan beberapa teman yang ternyata sanggup ‘melakoni’ karir sangat lama sebagai Ajudan. Beberapa diantaranya menjadi teman dekat saya.
Kolonel Latief adalah Ajudan Pak Jusuf (Jenderal M. Jusuf) yang juga termasuk dalam kategori sudah menjadi ajudan sangat lama. Saya sebut Ajudan Pak Jusuf (dan bukan jabatannya) karena kenyatannya beberapa kali Pak Jusuf alih tugas sebagai Pejabat Tinggi (Terakhir menjadi Ketua BPK), yang jadi ajudan beliau tetap saja Pak Latif.
Ada pula teman yang malahan dapat julukan Ajudan Menteri ‘abadi’, karena walaupun Menterinya sudah berganti orang, yang menjadi ajudannya tetap orang yang itu juga.
Kolonel Latief adalah Ajudan Pak Jusuf (Jenderal M. Jusuf) yang juga termasuk dalam kategori sudah menjadi ajudan sangat lama. Saya sebut Ajudan Pak Jusuf (dan bukan jabatannya) karena kenyatannya beberapa kali Pak Jusuf alih tugas sebagai Pejabat Tinggi (Terakhir menjadi Ketua BPK), yang jadi ajudan beliau tetap saja Pak Latif.
Ada pula teman yang malahan dapat julukan Ajudan Menteri ‘abadi’, karena walaupun Menterinya sudah berganti orang, yang menjadi ajudannya tetap orang yang itu juga.
Salah satu Ajudan Menteri ‘abadi’ ini adalah Mas Haryono ‘Jangkung’, Ajudan Menteri P & K (kelak diubah jadi Mendikbud lalu Mendiknas). Dia sempat bertugas sebagai ajudan melayani beberapa Menteri Pendidikan. Teman-teman sesama ajudan sering berkelakar:
“Menteri Pendidikan boleh saja diganti, tapi ajudan Menterinya tidak”.
Konon pula ada rumor beredar, yang menyebut sangkut paut Mas Haryono yang (katanya) jadi ipar Jenderal Beny Murdani sebagai faktor lamanya dia jadi ajudan Menteri.
Tapi masa iya sih sesederhana itu? Menurut saya, kabar miring itu hanya sekedar ‘anekdot ajudan’ saja.
Salah seorang teman saya yang menjadi ajudan “setia sampai akhir” adalah Pak Tarigan. Personil AURI (TNI AU) ini menjadi Ajudan Pak Rusmin Nuryadin (jabatan terakhir Menteri Perhubungan) sampai Pak Rusmin pensiun dan wafat. Adalagi seorang ajudan senior yang namanya Pak Darmalius. Perwira Kopassus (terakhir berpangkat Kolonel) yang satu ini sangat lama ‘mengabdi’ sebagai Ajudan Jenderal Surono (terakhir menjabat sebagai Menko Polkam). Sampai Pak Rono pensiun.
Saya bisa berteman sangat dekat dengan Pak Darmalius, karena Bapak dan Ibu Soerono juga berteman sangat dekat dengan Bapak dan Ibu Soepardjo (mungkin karena sama-sama berasal dari Banyumas). Apalagi Pak Pardjo juga sangat ‘sayang’ pada Pak Darmalius ini. Dimanapun beliau bertemu dengan Pak Darmalius, pasti beliau sempatkan untuk merogoh kantong (sendiri) atau memerintahkan saya untuk ‘nyangoni’ (memberi uang) Ajudan Pak Rono yang setia itu.
Ada lagi seorang ajudan yang bos nya juga mantan seorang ajudan. Namanya Pak Gatot. Ia adalah ajudan setia Pak Try Soetrisno yang mantan Ajudan Presiden Soeharto. Konon Pak Gatot ini sudah ‘melayani’ Pak Try sejak beliau masih menjabat sebagai Pangdam Jaya sampai saat Pak Try menjadi orang nomor dua di Republik ini. Walaupun -mungkin karena pangkatnya- Pak Gatot tidak bisa menjadi Ajudan Wakil Presiden, tapi dengan setia Pak Try tetap membawa serta Pak Gatot ke ‘lingkungan dalam’ Istana Wapres. Entah sebagai apa.
Ketika Jenderal Try Soetrisno telah pensiun -sebagai Wapres-, saya dengar Pak Gatot masih juga ada didekat Pak Try. Juga entah menjabat sebagai apa. Luar biasa.
Ketika Jenderal Try Soetrisno telah pensiun -sebagai Wapres-, saya dengar Pak Gatot masih juga ada didekat Pak Try. Juga entah menjabat sebagai apa. Luar biasa.
Menurut pengamatan saya pribadi, memang ada faktor tertentu yang membuat seseorang bisa bertahan sangat lama melayani dan mengabdi kepada ‘atasan’ nya (dan ‘atasan’ ini tidak selalu harus seorang Pejabat Tinggi). Beberapa faktor yang -menurut saya- sangat menentukan adalah kedekatan emosional, (istilah keren nya saat ini ‘chemistry’).
Tapi ada faktor lain yang tidak kalah menentukan dari hanya sekedar kedekatan emosi saja. Dan itu adalah: falsafah hidup yang diyakini seseorang. Falsafah hidup ini bisa saja berupa aspek loyalitas, integritas dan rasa ikhlas.
Loyalitas atau kesetiaan seseorang -kepada orang lain atau kepada institusi- memiliki motif yang sangat beragam. Demikian pula adanya dengan integritas, yang mengacu kepada sifat kejujuran seseorang –terutama dalam hal moral-. Kedua aspek itu ada pada diri pribadi seseorang dalam kadar yang berbeda, tergantung dengan latar belakang sejarah hidup seseorang. Ini adalah dua aspek yang bisa dilihat dari sisi keduniawian.
Namun tidak demikian dengan rasa ikhlas, yang merupakan sebuah aspek yang lebih bersifat spiritual. Tidak semua orang bisa mengatur kehidupannya dengan ‘manajemen ikhlas’ ini. Seseorang bisa saja sangat setia dan jujur dalam bekerja, namun belum tentu dia bisa bekerja dengan ikhlas.
Karena ikhlas itu sejatinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada Sang Pencipta atau Allah SWT. Apapun yang dikerjakannya -untuk diri sendiri atau untuk orang lain- selalu dilandasi oleh kesadaran yang berujung kepada sebuah kata: lillahi ta’ala (semuanya hanya karena Allah SWT semata).
Tapi ada faktor lain yang tidak kalah menentukan dari hanya sekedar kedekatan emosi saja. Dan itu adalah: falsafah hidup yang diyakini seseorang. Falsafah hidup ini bisa saja berupa aspek loyalitas, integritas dan rasa ikhlas.
Loyalitas atau kesetiaan seseorang -kepada orang lain atau kepada institusi- memiliki motif yang sangat beragam. Demikian pula adanya dengan integritas, yang mengacu kepada sifat kejujuran seseorang –terutama dalam hal moral-. Kedua aspek itu ada pada diri pribadi seseorang dalam kadar yang berbeda, tergantung dengan latar belakang sejarah hidup seseorang. Ini adalah dua aspek yang bisa dilihat dari sisi keduniawian.
Namun tidak demikian dengan rasa ikhlas, yang merupakan sebuah aspek yang lebih bersifat spiritual. Tidak semua orang bisa mengatur kehidupannya dengan ‘manajemen ikhlas’ ini. Seseorang bisa saja sangat setia dan jujur dalam bekerja, namun belum tentu dia bisa bekerja dengan ikhlas.
Karena ikhlas itu sejatinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada Sang Pencipta atau Allah SWT. Apapun yang dikerjakannya -untuk diri sendiri atau untuk orang lain- selalu dilandasi oleh kesadaran yang berujung kepada sebuah kata: lillahi ta’ala (semuanya hanya karena Allah SWT semata).
Ketiga aspek inilah yang saya coba pergunakan dalam menjalankan tugas sebagai seorang Ajudan.
Istilah Ajudan (atau sering disingkat dengan ADC) dideskripsikan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sebagai: “seorang Perwira yang diperbantukan kepada Raja, Presiden atau Pejabat Tinggi”.
Istilah Ajudan (atau sering disingkat dengan ADC) dideskripsikan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sebagai: “seorang Perwira yang diperbantukan kepada Raja, Presiden atau Pejabat Tinggi”.
Jadi (menurut saya) seorang Ajudan sejatinya sama saja dengan seorang pembantu. Walaupun tentu ada perbedaan ‘kadar’ kedudukannya.
Mungkin anda juga pernah mengenal atau bertemu dengan seseorang yang rela mengabdi seumur hidupnya kepada orang lain. Ambil contoh seorang ‘sentono dalem’ (abdidalem di kraton) atau seorang pembantu rumah tangga yang sangat setia kepada majikannya.
Kesetiaan mereka kepada atasannya itulah yang saya sebut sebagai landasan yang bertumpu pada falsafah hidup seseorang tadi. Ini sekedar ‘ilustrasi’ yang memperkuat keyakinan saya bahwa falsafah hidup seseorang acapkali bisa menjadi faktor sangat menentukan bagi jalan hidup yang akan ditempuh seseorang.
Mungkin anda juga pernah mengenal atau bertemu dengan seseorang yang rela mengabdi seumur hidupnya kepada orang lain. Ambil contoh seorang ‘sentono dalem’ (abdidalem di kraton) atau seorang pembantu rumah tangga yang sangat setia kepada majikannya.
Kesetiaan mereka kepada atasannya itulah yang saya sebut sebagai landasan yang bertumpu pada falsafah hidup seseorang tadi. Ini sekedar ‘ilustrasi’ yang memperkuat keyakinan saya bahwa falsafah hidup seseorang acapkali bisa menjadi faktor sangat menentukan bagi jalan hidup yang akan ditempuh seseorang.
Untuk saya pribadi, falsafah hidup yang mencakup ketiga aspek itulah yang membuat saya lalu seperti terikat pada tugas saya ‘mengikuti’ Pak Pardjo.
Selain itu setidaknya ada DUA alasan lain yang membuat saya seakan mem“buta”kan diri sehingga tak pernah berpaling pada pekerjaan yang lain.
Selain itu setidaknya ada DUA alasan lain yang membuat saya seakan mem“buta”kan diri sehingga tak pernah berpaling pada pekerjaan yang lain.
Yang pertama adalah ajaran orang tua dan sesepuh saya tentang hakikat kepercayaan yang diberikan oleh seseorang. Kepercayaan itu ibarat amanah yang harus dipegang dan tak boleh dikhianati.
Tapi dalam menerima kepercayaan dari seseorang, saya juga dibekali dengan falsafah Jawa yang nilai luhurnya tak pernah saya ragukan yaitu: “ngawula nanging dudu abdi”. Menjadi seorang yang tugasnya menjadi pembantu -orang lain- namun dengan kedudukan bukan sebagai ‘hamba sahaya’.
Tapi dalam menerima kepercayaan dari seseorang, saya juga dibekali dengan falsafah Jawa yang nilai luhurnya tak pernah saya ragukan yaitu: “ngawula nanging dudu abdi”. Menjadi seorang yang tugasnya menjadi pembantu -orang lain- namun dengan kedudukan bukan sebagai ‘hamba sahaya’.
Amanah dari seseorang itu pulalah yang kemudian dengan erat terus saya pegang dan saya jalankan dengan selalu berusaha memegang teguh kesetiaan dan kejujuran serta senantiasa dilandasi oleh keikhlasan. Untuk yang terakhir ini -rasa ikhlas-, memang sebuah prinsip yang saya usahakan sekuat tenaga saya terapkan dalam menjalani kehidupan sesuai ajaran agama yang saya anut (Islam).
Segala sesuatu (apapun itu) apabila dikerjakan dengan berlandaskan pada “rasa ikhlas” dan penyerahan diri semata-mata hanya kepada Sang Maha Pencipta, maka Allah SWT akan memberikan kemudahan dan keberkahan dalam hidup kita. Insya Allah.
Itulah keyakinan dan prinsip hidup saya.
Segala sesuatu (apapun itu) apabila dikerjakan dengan berlandaskan pada “rasa ikhlas” dan penyerahan diri semata-mata hanya kepada Sang Maha Pencipta, maka Allah SWT akan memberikan kemudahan dan keberkahan dalam hidup kita. Insya Allah.
Itulah keyakinan dan prinsip hidup saya.
Yang kedua adalah kedekatan emosional.
Hanya dalam tempo singkat saja (tidak sampai setahun) saya merasa sudah ‘dekat’ (secara emosional) dengan Pak Pardjo. Memang tidak gampang.
Tetapi upaya saya yang sungguh-sungguh untuk mengenal beliau ‘luar-dalam’ (termasuk keluarga beliau), membuat hubungan kerja saya dengan Pak Pardjo tidak hanya sebatas hubungan “atasan dan bawahan” saja. Saya memang sengaja menempatkan diri bukan hanya sebagai ‘pembantu’ saja. Saya memerlakukan beliau bukan sebagai ‘the big boss’, tapi lebih sebagai sesepuh (kalau tak boleh disebut sebagai orang tua) saya. Mungkin lama kelamaan beliau juga merasakan hal itu.
Saya rasa kedekatan emosional itulah yang menyebabkan ‘chemistry’ Pak Pardjo dan saya bisa tersambung dengan baik.
Dengan ‘landasan’ beberapa faktor berikut aspek-aspeknya, serta beberapa alasan yang saya yakini itulah, saya melaksanakan tugas-tugas sebagai Ajudan dan Staf Pribadi Pak Pardjo dari waktu ke waktu.
Dan ‘dari waktu ke waktu’ itu ternyata kelak berlangsung selama kurang lebih 16 (enam belas) tahun. Hampir separuh dari masa kerja saya -yang nyaris 34 tahun- sebagai Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Departemen Dalam Negeri.
Hanya dalam tempo singkat saja (tidak sampai setahun) saya merasa sudah ‘dekat’ (secara emosional) dengan Pak Pardjo. Memang tidak gampang.
Tetapi upaya saya yang sungguh-sungguh untuk mengenal beliau ‘luar-dalam’ (termasuk keluarga beliau), membuat hubungan kerja saya dengan Pak Pardjo tidak hanya sebatas hubungan “atasan dan bawahan” saja. Saya memang sengaja menempatkan diri bukan hanya sebagai ‘pembantu’ saja. Saya memerlakukan beliau bukan sebagai ‘the big boss’, tapi lebih sebagai sesepuh (kalau tak boleh disebut sebagai orang tua) saya. Mungkin lama kelamaan beliau juga merasakan hal itu.
Saya rasa kedekatan emosional itulah yang menyebabkan ‘chemistry’ Pak Pardjo dan saya bisa tersambung dengan baik.
Dengan ‘landasan’ beberapa faktor berikut aspek-aspeknya, serta beberapa alasan yang saya yakini itulah, saya melaksanakan tugas-tugas sebagai Ajudan dan Staf Pribadi Pak Pardjo dari waktu ke waktu.
Dan ‘dari waktu ke waktu’ itu ternyata kelak berlangsung selama kurang lebih 16 (enam belas) tahun. Hampir separuh dari masa kerja saya -yang nyaris 34 tahun- sebagai Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Departemen Dalam Negeri.
Sejak menjadi ajudan Gubernur Jawa Tengah, secara sadar saya telah menjalin hubungan pertemanan dengan para ajudan Pejabat Tinggi (baik Pejabat setingkat Gubernur maupun Pejabat lain yang lebih tinggi, semisal Menteri dan lain-lain). Juga dengan para ajudan Kepala Daerah Tingkat II (Bupati dan Walikota) se Jawa Tengah.
Saya merasa bahwa ‘relationship’ alias hubungan pertemanan yang baik (dengan sesama ajudan) akan mendukung tugas-tugas dikantor maupun dilapangan. Sebagai Gubernur, Pak Pardjo (yang juga pernah menjadi ajudan Panglima Besar Soedirman) sangat memberikan inspirasi kepada saya dalam bergaul dengan rekan sejawat. Pak Pardjo adalah seorang pejabat yang sangat rendah hati dan mudah akrab dengan siapapun. Itu sebuah ‘nilai lebih’ dari seseorang yang patut untuk ditiru.
Selain itu saya juga berusaha menjaga hubungan baik dengan bos para ajudan itu. Alias para Pejabat Tinggi itu sendiri. Baik di tingkat lokal maupun nasional. Kesadaran saya -untuk berhubungan baik dengan para Pejabat- ini didasari oleh sikap Pak Pardjo yang saya perhatikan juga menjalin hubungan sangat baik dengan semua orang. Tidak hanya dengan pejabat yang setingkat saja. Sebuah ‘ilmu’ yang tampak sederhana tapi ternyata menghasilkan manfaat sangat besar dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Saya merasa bahwa ‘relationship’ alias hubungan pertemanan yang baik (dengan sesama ajudan) akan mendukung tugas-tugas dikantor maupun dilapangan. Sebagai Gubernur, Pak Pardjo (yang juga pernah menjadi ajudan Panglima Besar Soedirman) sangat memberikan inspirasi kepada saya dalam bergaul dengan rekan sejawat. Pak Pardjo adalah seorang pejabat yang sangat rendah hati dan mudah akrab dengan siapapun. Itu sebuah ‘nilai lebih’ dari seseorang yang patut untuk ditiru.
Selain itu saya juga berusaha menjaga hubungan baik dengan bos para ajudan itu. Alias para Pejabat Tinggi itu sendiri. Baik di tingkat lokal maupun nasional. Kesadaran saya -untuk berhubungan baik dengan para Pejabat- ini didasari oleh sikap Pak Pardjo yang saya perhatikan juga menjalin hubungan sangat baik dengan semua orang. Tidak hanya dengan pejabat yang setingkat saja. Sebuah ‘ilmu’ yang tampak sederhana tapi ternyata menghasilkan manfaat sangat besar dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Hubungan pertemanan dengan sesama anggota A-ngkat D-junjung C-lub (istilah plesetan untuk ADC atau ajudan) itu terus saya lakukan secara vertikal (keatas maupun kebawah), ke”atas” dengan ajudan para Menteri dan Pejabat Tinggi tingkat Pusat, bahkan sampai Ajudan Presiden dan Wakil Presiden. Ke”bawah” dengan para Ajudan Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II.
Sedangkan secara horisontal (kesamping), saya lakukan komunikasi secara intens dengan rekan-rekan Ajudan Muspida Tingkat I (Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua DPRD), juga dengan para Ajudan Gubernur seluruh Indonesia.
“Jurus” menjalin pertemanan ini ternyata terbukti sangat manjur. Banyak kemudahan yang saya dapatkan dari jaringan (networking) yang saya buat. Bahkan jauh sebelum saya memahami ilmu manajemen (tentang networking) yang sesungguhnya.
Boleh dikata ‘jurus’ yang saya pakai itu hanya karena modal ‘bonek’ (bondho nekat) saja.
Karena saya sangat faham tentang sebuah ‘rahasia’, yaitu:
Sedangkan secara horisontal (kesamping), saya lakukan komunikasi secara intens dengan rekan-rekan Ajudan Muspida Tingkat I (Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua DPRD), juga dengan para Ajudan Gubernur seluruh Indonesia.
“Jurus” menjalin pertemanan ini ternyata terbukti sangat manjur. Banyak kemudahan yang saya dapatkan dari jaringan (networking) yang saya buat. Bahkan jauh sebelum saya memahami ilmu manajemen (tentang networking) yang sesungguhnya.
Boleh dikata ‘jurus’ yang saya pakai itu hanya karena modal ‘bonek’ (bondho nekat) saja.
Karena saya sangat faham tentang sebuah ‘rahasia’, yaitu:
“Walaupun Ajudan memang bukan pejabat yang sangat penting, tapi apabila anda ingin dapat berhubungan dengan seorang Pejabat (apalagi Pejabat Tinggi), mustahil anda dapat terhubung pada sang Pejabat tanpa melalui peran atau bantuan Ajudan”.
Tentu saja “jurus” itu saya peroleh berdasar pengalaman yang saya dapat sendiri selama melayani Pak Pardjo yang juga seorang mantan Ajudan .
'Buku pintar' berisi catatan nomor telepon ...
Pertemanan itu berbuah manis, karena sangat memudahkan pekerjaan saya dalam kontak-mengontak dengan para Pejabat, tentu atas perintah Bapak Gubernur. Kalaupun harus menelepon Ajudan Presiden, misalnya, saya dengan mudah bisa menghubungi yang bersangkutan.
Harap dicatat, sekitar tahun 1970-1980 an itu ‘Ponsel’ atau HP belum dikenal di Indonesia. Oleh karena itu sebuah ‘buku pintar’ berisi ratusan -bahkan mungkin ribuan- catatan nomor telepon, hukumnya wajib dimiliki oleh seorang Ajudan.
Saya sendiri mempunyai beberapa buku catatan nomor telepon yang terus saya simpan sebagai ‘harta’ yang tak ternilai harganya. Kalau perlu saya bawa tidur. Tanpa ‘buku sakti’ itu, saya pasti merasa tak berdaya (karena saya tak akan sanggup menghafal semua nomor telepon para pejabat, artinya saya pasti akan mendapat kesulitan), mengingat Pak Pardjo sedemikian seringnya melakukan komunikasi lewat telepon dengan siapa saja.
Walaupun karena buku sakti itu saya juga punya pengalaman kena ‘proyek senen’ (dimarahi) Pak Pardjo, gara-gara beliau melihat buku sakti saya yang tampak lusuh dan kumal (karena seringnya dibuka-tutup dan dicoret-coret).
Saya akui saya sangat malas untuk memperbarui buku sakti saya yang sudah lecek, lusuh dan kumal itu (yang menurut istilah Pak Pardjo diibaratkan -maaf- muntahan anjing).
Disamping jumlah nomor teleponnya sudah ribuan, siapa sih yang punya waktu menulis kembali atau menyalin sebuah buku telepon?
Harap dicatat, sekitar tahun 1970-1980 an itu ‘Ponsel’ atau HP belum dikenal di Indonesia. Oleh karena itu sebuah ‘buku pintar’ berisi ratusan -bahkan mungkin ribuan- catatan nomor telepon, hukumnya wajib dimiliki oleh seorang Ajudan.
Saya sendiri mempunyai beberapa buku catatan nomor telepon yang terus saya simpan sebagai ‘harta’ yang tak ternilai harganya. Kalau perlu saya bawa tidur. Tanpa ‘buku sakti’ itu, saya pasti merasa tak berdaya (karena saya tak akan sanggup menghafal semua nomor telepon para pejabat, artinya saya pasti akan mendapat kesulitan), mengingat Pak Pardjo sedemikian seringnya melakukan komunikasi lewat telepon dengan siapa saja.
Walaupun karena buku sakti itu saya juga punya pengalaman kena ‘proyek senen’ (dimarahi) Pak Pardjo, gara-gara beliau melihat buku sakti saya yang tampak lusuh dan kumal (karena seringnya dibuka-tutup dan dicoret-coret).
Saya akui saya sangat malas untuk memperbarui buku sakti saya yang sudah lecek, lusuh dan kumal itu (yang menurut istilah Pak Pardjo diibaratkan -maaf- muntahan anjing).
Disamping jumlah nomor teleponnya sudah ribuan, siapa sih yang punya waktu menulis kembali atau menyalin sebuah buku telepon?
Kayak kurang kerjaan saja.
bersambung.....
Bagus tulisannya Pak. Berbicara tentang Pak Suparjo Rustam jadi ingat beliau waktu menjadi Gubernur Jawa Tengah. Foto beliau dipasang di depan ruang kelas SD saya waktu itu. Setahu saya Bu Suparjo sangat cantik dan lembut (dan "miyayeni"). Asyik juga membaca cerita Bapak tentang profesi ke'ajudan'-an yang penuh dengan cerita seru. Selamat menulis dan berkarya.
BalasHapusA-ngkat D-junjung C-lub.. hehe hehe
BalasHapusCukup inspiratif,