(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Released by mastonie, Saturday, April 3, 2010 at 00.17 am
Sebuah kilas balik.....
Prolog: Jakarta, Awal April 1993.
Ini adalah sebuah kisah dari seorang lelaki, seorang bapak yang telah menjadi seorang kakek, sekaligus seorang suami, yang sangat mengagumi dan mencintai isterinya lebih dari yang lain.
Bagi lelaki ini, tak ada sesuatu apapun yang lebih berharga dari ‘Permata Hati’ yang telah berhasil disuntingnya empatpuluh dua tahun yang lalu, dimasa-masa sulit pada awal kemerdekaan Republik yang turut diperjuangkannya.
Sejatinya, ‘Permata Hati’ itulah belahan jiwa dan pendamping setia yang telah memberinya dua orang anak yang sekarang telah menjelma menjadi dua orang lelaki muda.
(Buah hati mereka itu masing-masing kini telah berkeluarga dan bahkan telah memberinya cucu-cucu yang manis memikat sukma).
Kini saat lelaki itu terbaring lemah dalam perawatan intensif para dokter di Rumah Sakit, ia justru semakin memantapkan tekadnya. Untuk seorang wanita sejati yang tiada pernah luntur cinta dan kesetiaannya, ia telah berniat akan mempersembahkan sesuatu yang berharga. Sebuah ‘persembahan cinta’ yang telah dipersiapkannya dengan diam-diam selama lebih dari setahun.
Dalam sakitnya ia berjanji:
“Kekasihku, ‘kan kupersembahkan padamu bukti cintaku ini tepat dihari ulang tahunmu esok. Meski bingkisan ini tak akan dapat menggantikan rasa terima kasihku. Semoga aku masih ada disampingmu pada hari bahagia itu”.
Dan janji itu ditepatinya.
Lelaki lembut hati dan penuh cinta kasih itu adalah:
Letnan Jenderal TNI (Purn) Haji Soepardjo Roestam.
Adapun wanita yang dikasihinya sepanjang hayatnya adalah seorang wanita anggun yang senantiasa setia mendampinginya dalam suka dan lara:
Hajjah Kardinah Soepardjo Roestam
‘Pergulatan hati’ (imajiner) seorang suami:
Walter Reed Army Medical Center, Washington DC, akhir Februari 1992.
Walter Reed AMC foto: googles
"Dien" (nama panggilan kesayangan istriku) menyambutku dengan senyum cerah. Senyum yang selalu membuat hatiku bahagia. Aku tahu perasaannya pasti penuh kekhawatiran melihat keadaanku.
Tapi Dien selalu pandai menyembunyikannya untuk menenangkan hatiku.
Tapi Dien selalu pandai menyembunyikannya untuk menenangkan hatiku.
Oleh sebab itu akupun menunjukkan wajah tegarku padanya.
“Ah, tak ada suatu apapun yang tak dapat kulalui dengan engkau disampingku Dien”, kata hatiku.
Malam itu di suite room Ambassador Row Hotel, Washington, aku tidur agak gelisah. Menurut dokter penyakitku bukan sesuatu yang dapat ‘dengan segera’ membunuhku. Tapi aku disarankan agar tetap harus mewaspadainya, karena keadaan bisa saja menjadi buruk sewaktu-waktu.
Tengah malam aku terbangun, dan mendapati Dien terlena disampingku. Wajahnya selalu tampak ayu dimataku. Dalam keadaan apa saja. Juga senyumnya itu. Inilah wanita yang telah mendampingi hidupku selama lebih dari empatpuluh satu tahun. Kesetiaan dan kasih sayangnya telah teruji selama itu.
Tengah malam aku terbangun, dan mendapati Dien terlena disampingku. Wajahnya selalu tampak ayu dimataku. Dalam keadaan apa saja. Juga senyumnya itu. Inilah wanita yang telah mendampingi hidupku selama lebih dari empatpuluh satu tahun. Kesetiaan dan kasih sayangnya telah teruji selama itu.
Tiba-tiba mataku terasa basah. Untuk semua pengorbanannya bagiku, apakah yang pantas kupersembahkan padanya sebelum tiba takdir akhir hidupku? Emas permatapun rasanya tak sebanding dengan cinta tulus sucinya padaku. Bagaimana kalau kupersembahkan padanya sebuah buku?
Entah bagaimana sekonyong-konyong ide itu terbersit dianganku. Ya, sebuah buku berisi rangkaian kisah perjalanan hidupnya. Ini pasti akan bisa menjadi kenangan yang abadi disisa hidupnya. Juga akan berguna bagi anak cucu kami kelak. Agar bisa meniru dan meneladani kisah hidup ‘Eyang Putri’nya. Kumantapkan tekadku. Aku memang bukan seorang penulis. Tapi pasti akan kudapatkan jalan keluarnya. Satu yang akan tetap kujaga: DIEN TAK BOLEH TAHU apa yang sedang kupersiapkan sebagai kado ulang tahun baginya.
Setibanya kembali di Jakarta, aku memulai sebuah ‘silent operation’ untuk mewujudkan rencanaku: membuat buku untuk Dien. Tanpa sepengetahuannya dan juga tanpa disadari oleh orang-orang terdekat, bahkan keluarganya, aku mulai mengadakan ‘wawancara’ yang kubuat sangat terselubung. Tak seorangpun ‘responden’ menyadari siasatku ini.
Diam-diam kukumpulkan foto-foto dokumentasi yang menarik tentang Dien. Dari siapa saja yang mempunyainya. Baik foto masa lalu maupun foto saat ini. Setelah kurasa cukup, aku menghubungi Saudara Ken T. Sudarto, pemilik ‘Matari Advertising’ yang telah lama kukenal. Kuutarakan rencanaku itu. Meskipun agak terkejut, Ken menyanggupi untuk membantu mencetak buku itu. Dengan satu syarat dariku: lakukan secara diam-diam.
Kini tinggal mencari penulis yang bisa diandalkan. Aku mengenal seorang aktivis Tim Penggerak PKK yang juga seorang novelis, Ibu Titie Said Sadikun. Lalu ditambah seorang intelektual muda, Saudara Gunawan Alif. Kupercayakan kepada mereka untuk merangkum dan menuliskan bahan-bahan yang ada menjadi sebuah buku kecil. Syaratnya tetap sama: kerjakan secara diam-diam.
Maka dimulailah ‘proyek diam-diam’ itu. Tenggat waktunya? Pokoknya buku itu sudah harus selesai sebelum hari ulang tahun Dien: 4 April 1993. Jadi masih cukup waktu.
Proses selanjutnya memang agak sedikit rumit. Terutama karena harus dibuat secara ‘diam-diam’ itu. Beberapa kali konsep ‘naik-turun’. Harus diperbaiki disana-sini setelah mendapat koreksi dariku. Itu sebabnya banyak orang menyebutku sebagai seorang yang perfeksionis. Karena aku selalu menginginkan segala sesuatu sebaik mungkin.
Diam-diam kukumpulkan foto-foto dokumentasi yang menarik tentang Dien. Dari siapa saja yang mempunyainya. Baik foto masa lalu maupun foto saat ini. Setelah kurasa cukup, aku menghubungi Saudara Ken T. Sudarto, pemilik ‘Matari Advertising’ yang telah lama kukenal. Kuutarakan rencanaku itu. Meskipun agak terkejut, Ken menyanggupi untuk membantu mencetak buku itu. Dengan satu syarat dariku: lakukan secara diam-diam.
Kini tinggal mencari penulis yang bisa diandalkan. Aku mengenal seorang aktivis Tim Penggerak PKK yang juga seorang novelis, Ibu Titie Said Sadikun. Lalu ditambah seorang intelektual muda, Saudara Gunawan Alif. Kupercayakan kepada mereka untuk merangkum dan menuliskan bahan-bahan yang ada menjadi sebuah buku kecil. Syaratnya tetap sama: kerjakan secara diam-diam.
Maka dimulailah ‘proyek diam-diam’ itu. Tenggat waktunya? Pokoknya buku itu sudah harus selesai sebelum hari ulang tahun Dien: 4 April 1993. Jadi masih cukup waktu.
Proses selanjutnya memang agak sedikit rumit. Terutama karena harus dibuat secara ‘diam-diam’ itu. Beberapa kali konsep ‘naik-turun’. Harus diperbaiki disana-sini setelah mendapat koreksi dariku. Itu sebabnya banyak orang menyebutku sebagai seorang yang perfeksionis. Karena aku selalu menginginkan segala sesuatu sebaik mungkin.
Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC) Jakarta, April 1993.
fotos: courtessy website MMC
Seiring berlalunya waktu, kesehatanku mulai menurun. Terkadang timbul juga rasa putus asaku. Sebab ternyata proses pembuatan buku itu menyita cukup banyak waktu dan pikiranku. Hanya wajah Dien lah yang seolah-olah terus membayangi dan menyemangatiku untuk menyelesaikan ‘proyek persembahan’ dariku itu.
Ketika akhirnya buku itu turun cetak, aku malah sedang terbaring sakit di ruang perawatan intensif (ICU) RS MMC Kuningan Jakarta Selatan. Padahal hari ulang tahun Dien semakin mendekat. Aku berdoa semoga Allah SWT mengijinkan aku untuk bisa menyerahkan dengan tanganku sendiri, buku kenangan yang telah lama kupersiapkan buat isteriku tercinta. Tepat pada hari ulang tahunnya. Alhamdulillah, Allah SWT mengabulkan doaku. Meski masih terbaring sakit ditempat tidur Ruang ICU RS MMC, aku dapat menyerahkan dengan tanganku sendiri, hadiah buat isteriku tercinta. Satu persembahan yang lahir dari rasa hormat, kagum dan kasihku kepadanya.
fotos: courtessy website MMC
Seiring berlalunya waktu, kesehatanku mulai menurun. Terkadang timbul juga rasa putus asaku. Sebab ternyata proses pembuatan buku itu menyita cukup banyak waktu dan pikiranku. Hanya wajah Dien lah yang seolah-olah terus membayangi dan menyemangatiku untuk menyelesaikan ‘proyek persembahan’ dariku itu.
Ketika akhirnya buku itu turun cetak, aku malah sedang terbaring sakit di ruang perawatan intensif (ICU) RS MMC Kuningan Jakarta Selatan. Padahal hari ulang tahun Dien semakin mendekat. Aku berdoa semoga Allah SWT mengijinkan aku untuk bisa menyerahkan dengan tanganku sendiri, buku kenangan yang telah lama kupersiapkan buat isteriku tercinta. Tepat pada hari ulang tahunnya. Alhamdulillah, Allah SWT mengabulkan doaku. Meski masih terbaring sakit ditempat tidur Ruang ICU RS MMC, aku dapat menyerahkan dengan tanganku sendiri, hadiah buat isteriku tercinta. Satu persembahan yang lahir dari rasa hormat, kagum dan kasihku kepadanya.
Sebuah buku mungil yang kuberi judul:
”Langkah-langkah kecil Kardinah Soepardjo Roestam, menuju keluarga Indonesia sejahtera”.
Hari ini adalah hari ulang tahun Dien yang ke 61: Minggu Pon, 4 April 1993.
Dan dengan segala ketulusan hati yang kumiliki, hanya buku kecil inilah yang bisa kupersembahkan padanya dihari bahagia yang (mungkin saja) tak akan bisa saya hadiri lagi tahun yang akan datang.
Dengan sepenuh cinta diantara titik airmata, dan dengan kalimat terbata-bata, lirih kuucapkan kepadanya:
“Hartelijk gefelisitert, schat. Hoop dat je niet teleurgesteld”
(Dari lubuk hati yang terdalam saya ucapkan selamat, sayang. Semoga engkau tidak kecewa).
“Ungkapan hati” (imajiner) seorang isteri:
Rumah Sakit MMC Jakarta, Maret-April 1993.
ICU RS MMC
Untuk kesekian kalinya Mas Pardjo harus dirawat dirumah sakit. Kali ini di RS MMC Kuningan, Jakarta.
Hari berikutnya menjadi hari-hari yang panjang dan melelahkan. Saat itu (bulan Maret 1993) sebenarnya Kabinet Pembangunan sudah berganti. Mas Pardjo harus menyerahkan jabatan sebagai Menko Kesra kepada penggantinya, Bapak Azwar Anas. Tapi melihat kondisi Mas Pardjo yang sedang sakit, Pak Azwar mengundurkan waktu serah terima jabatan Menko Kesra. Menunggu sampai Mas Pardjo agak pulih kesehatannya.
Walaupun dalam keadaan sakit, Mas Pardjo masih selalu memikirkan pekerjaan kantornya. Itulah yang sering membuat saya jengkel. Sampai saya melarang Ajudan Mas Pardjo untuk masuk kamar perawatan. Karena kalau melihat Ajudannya, Mas Pardjo akan teringat pekerjaan kantor dan langsung memberikan perintah-perintah. Sesuatu yang sebenarnya sangat dilarang oleh dokter, sebab bisa membuat sakitnya makin parah.
Ketika kondisi Mas Pardjo dianggap sudah agak membaik, dilaksanakanlah acara serah terima jabatan Menko Kesra bertempat diruang perawatan RS MMC. Saya menyaksikan acara serah terima dengan rasa haru. Hati saya seperti tersayat sembilu. Bukan karena Mas Pardjo harus menyerahkan jabatannya, tapi lebih karena melihat kondisi kesehatannya yang tidak kunjung membaik.
Hari berikutnya menjadi hari-hari yang panjang dan melelahkan. Saat itu (bulan Maret 1993) sebenarnya Kabinet Pembangunan sudah berganti. Mas Pardjo harus menyerahkan jabatan sebagai Menko Kesra kepada penggantinya, Bapak Azwar Anas. Tapi melihat kondisi Mas Pardjo yang sedang sakit, Pak Azwar mengundurkan waktu serah terima jabatan Menko Kesra. Menunggu sampai Mas Pardjo agak pulih kesehatannya.
Walaupun dalam keadaan sakit, Mas Pardjo masih selalu memikirkan pekerjaan kantornya. Itulah yang sering membuat saya jengkel. Sampai saya melarang Ajudan Mas Pardjo untuk masuk kamar perawatan. Karena kalau melihat Ajudannya, Mas Pardjo akan teringat pekerjaan kantor dan langsung memberikan perintah-perintah. Sesuatu yang sebenarnya sangat dilarang oleh dokter, sebab bisa membuat sakitnya makin parah.
Ketika kondisi Mas Pardjo dianggap sudah agak membaik, dilaksanakanlah acara serah terima jabatan Menko Kesra bertempat diruang perawatan RS MMC. Saya menyaksikan acara serah terima dengan rasa haru. Hati saya seperti tersayat sembilu. Bukan karena Mas Pardjo harus menyerahkan jabatannya, tapi lebih karena melihat kondisi kesehatannya yang tidak kunjung membaik.
Menjelang bulan April saya merasakan ada ‘sesuatu’ yang lain dari biasanya. Dalam sakitnya, Mas Pardjo tampak seperti memendam sesuatu. Saya tak pernah menyangka, bahwa Mas Pardjo ternyata mempunyai sebuah rencana yang ‘dirahasiakannya’ dari saya. Dan pada saat ‘rencana rahasia’ itu diwujudkannya, Mas Pardjo betul-betul telah membuat saya terpana. Itu adalah sesuatu hal yang tak pernah saya bayangkan akan dilakukan oleh Mas Pardjo. Sesuatu yang akan menjadi kenangan tak terlupakan dalam sisa hidup saya.
Hari Minggu, tanggal 4 April 1993, pagi hari.
Sebetulnya saya malah sudah tidak peduli bahwa hari ini adalah hari ulang tahun saya. Tidak pantas rasanya saya memeringati hari kelahiran saya pada saat Mas Pardjo sedang terbaring sakit. Tapi justru Mas Pardjo yang rupanya secara diam-diam telah lama merencanakan memberi ‘kejutan’ buat saya. Kejutan yang (bagi saya) menjadi sesuatu yang sangat mengharukan. Betapa tidak. Saya terkejut karena Mas Pardjo rupanya selama ini telah berhasil membuat saya ‘tidak tahu apa-apa’. Ini bukan suatu hal yang biasa. Karena biasanya (hampir) tidak ada rahasia diantara kita. Saya sungguh terharu karena tak pernah menyangka, dalam keadaan sakit Mas Pardjo masih mempunyai sebuah rencana untuk menyenangkan hati dan membahagiakan saya tepat dihari ulang tahun saya.
Dan pada pagi hari itu, saat Mas Pardjo memeluk saya seraya menahan tangis sambil terbata mengucapkan selamat ulang tahun, sesungguhnyalah Mas Pardjo telah ‘sukses’ memorak porandakan perasaan sekaligus menguras air mata saya!
Di ruang ICU RS MMC yang dingin itu hanya ada saya, Mas Pardjo dan Koko anak sulung kami. Keheningan menyelimuti ruangan. Ditangannya yang lemah terlihat Mas Pardjo menggenggam sebuah buku kecil berwarna putih. Samar-samar saya lihat disampulnya ada gambar sosok seorang wanita. Dan ketika disodorkannya buku itu ketangan saya, Mas Pardjo seperti kehilangan kata-kata. Matanya berkaca-kaca diwajahnya yang pucat dan sembab. Saya menerima buku kecil itu dengan tangan gemetar. Keharuan yang merebak menyebabkan mulut saya terkunci dan terasa kering seketika.
Air mata saya deras membanjir sewaktu samar-samar saya membaca judul bukunya:
Dan pada pagi hari itu, saat Mas Pardjo memeluk saya seraya menahan tangis sambil terbata mengucapkan selamat ulang tahun, sesungguhnyalah Mas Pardjo telah ‘sukses’ memorak porandakan perasaan sekaligus menguras air mata saya!
Di ruang ICU RS MMC yang dingin itu hanya ada saya, Mas Pardjo dan Koko anak sulung kami. Keheningan menyelimuti ruangan. Ditangannya yang lemah terlihat Mas Pardjo menggenggam sebuah buku kecil berwarna putih. Samar-samar saya lihat disampulnya ada gambar sosok seorang wanita. Dan ketika disodorkannya buku itu ketangan saya, Mas Pardjo seperti kehilangan kata-kata. Matanya berkaca-kaca diwajahnya yang pucat dan sembab. Saya menerima buku kecil itu dengan tangan gemetar. Keharuan yang merebak menyebabkan mulut saya terkunci dan terasa kering seketika.
Air mata saya deras membanjir sewaktu samar-samar saya membaca judul bukunya:
”Langkah-langkah kecil Kardinah Soepardjo Roestam, menuju keluarga Indonesia sejahtera”.
Itulah puncak keterkejutan dan keharuan saya.
Jadi, buku inilah rupanya yang menjadi obsesi Mas Pardjo selama ini.
Bahkan dalam sakitnya!
bersambung.....
Sebuah perjalan cinta dua orang manusia yang sangat fantastis......keteladanan yang sangat indah untuk diikuti....dan harus diakui bukan hal yang mudah dan tidak semua bisa mendapatkan pasangan yang sangat passsss.......
BalasHapus