(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (100A)
Released by mastonie, Wednesday, April 13, 2011 at 10.33 pm
Sosok yang berwibawa dan disegani.
Sosok Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam semasa hidup adalah sosok seorang pemimpin yang berwibawa, disenangi sekaligus disegani. Sifatnya yang ‘ngemong’ dan persuasif serta luwes dalam bergaul membuat beliau menjadi seorang yang mempunyai banyak sekali kawan yang berasal dari hampir semua kalangan.
Didalam lingkungan keluarga besar Kartono (ayah dari ibu Soepardjo) maupun keluarga besar Rustam (ayah Pak Pardjo), almarhum menjadi sosok panutan sekaligus pelindung keluarga yang sangat berpengaruh dan disegani. Hampir semua memanggil beliau dengan sebutan “Mas Pardjo”, walaupun secara ‘hirarki’ keluarga seharusnya Pak Pardjo lebih muda ‘abu’ nya. Hal itu menunjukkan tingginya rasa hormat kedua keluarga besar kepada almarhum.
Pak Sungkono, kakak kandung Bu Pardjo juga memanggil adik iparnya itu dengan sebutan ‘Mas’. Sebaliknya Pak Pardjo malah sering saya dengar hanya memanggil langsung nama panggilan kakak iparnya itu.
Ketika almarhum berpulang pada hari Minggu siang, tanggal 11 April 1993 di RS MMC Jakarta, berita kepergiannya langsung tersiar keseluruh pelosok tanah air melalui jaringan radio, televisi dan media masa elektronik yang lain.
Indonesia seketika berduka.
Di Jawa Tengah nama Soepardjo Roestam sangat terkenal. Tidak lain berkat kepemimpinan beliaulah Provinsi Jawa Tengah mendapatkan Pataka Kehormatan: “Parasamya Purnakarya Nugraha” yang merupakan bentuk penghargaan tertinggi untuk sebuah daerah karena keberhasilannya disemua bidang pembangunan. Pak Pardjo juga merupakan Gubernur Jawa Tengah pertama yang berhasil mendapat kepercayaan Presiden untuk mengemban tugas sebagai Menteri Dalam Negeri.
Meskipun memimpin Jawa Tengah tidak lengkap dua periode (karena diangkat jadi Mendagri pada separuh masa kepemimpinannya yang kedua), namun ‘wong cilik’ di Jawa Tengah merasakan betapa merakyatnya Gubernur mereka. Pak Pardjo biasa berdialog dengan santai tanpa mempedulikan status “sapa sira sapa ingsun” (Siapa kamu, siapa saya)
Oleh sebab itu rakyat yang berhadapan dengan orang nomer satu di Jawa Tengah itu bisa merasa bebas berbicara dan mengeluarkan semua ‘uneg-uneg’ (isi hati) nya.
Kabar wafatnya Pak Pardjo tentu saja mengagetkan rakyat Jawa Tengah khususnya rakyat didaerah Banyumas, tanah tempat kelahiran Pak Pardjo. Demikian pula rakyat Indonesia pada umumnya.
Walaupan masyarakat ramai sudah mendengar kalau Pak Pardjo menderita sakit beberapa waktu lamanya, tak urung kabar duka tentang berpulangnya tetap saja mengagetkan dan menyedihkan.
Minggu sore itu pula beberapa Pesantren didaerah Banyumas langsung menggelar pengajian untuk mendoakan arwah beliau. Demikian pula dibeberapa daerah lainnya.
Berpulang dengan sangat tenang…
Hari Minggu siang itu saya sedang dalam perjalanan pulang dari Semarang ke Jakarta dengan naik kereta api Senja Utama, sewaktu Pak Pardjo menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Saya betul-betul merasa ‘ditilapke’ (ditinggal pergi tanpa dipamiti).
Tapi ternyata tidak hanya saya yang ditilapke.
foto: website MMC
Dari Mas Koko (putra pertama) saya mendengar bahwa nyaris semua orang yang waktu itu berada diruang tunggu ICU rumah sakit MMC tidak sempat menyaksikan saat-saat akhir Pak Pardjo.
Menurut Mas Koko, didalam ruang ICU ketika itu hanya ada seorang dokter jaga, Mas Koko dan ibu Subekti (nama panggilannya “Yu Ireng”, istri Pak Subekti, sepupu bu Pardjo), karena sebelumnya Pak Pardjo mengatakan akan beristirahat dan minta jangan diganggu.
Melihat semua alat monitor yang terpasang ditubuh Pak Pardjo berjalan normal dan baik-baik saja, maka Bu Pardjo meninggalkan ruangan perawatan untuk sejenak beristirahat. Demikian pula dengan Pak Ook Sarwoko, Pak Pungki Nurseno dan Pak Pong Nugroho (adik-adik Bu Pardjo yang siang itu masing-masing menunggu beserta isteri). Mereka pergi menyempatkan diri makan siang di kantin RS MMC.
Yang ada diruang tunggu ICU (tidak dalam kamar perawatan) hanya tinggal Pak Ryaas Rasyid seorang diri. Pak Ryaas (Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah) waktu itu adalah salah seorang staf di Depdagri yang sangat dipercaya Pak Pardjo untuk membuat naskah pidato Menteri.
Pak Pardjo pula yang gigih memperjuangkan agar Pak Ryaas mendapat bea siswa sekolah di luar negeri dalam rangka memperoleh gelar S2 dan S3nya.
Segera setelah ruangan perawatan sepi, Pak Pardjo memejamkan mata dan tampak sangat lega, lalu seperti tertidur dengan tenangnya.
Beberapa saat kemudian mendadak alat monitor jantung mengeluarkan bunyi peringatan dan menunjukkan grafik yang rata!
Mas Koko seketika panik. Suster jaga kemudian bertindak cepat dengan memanggil para dokter yang berkompeten untuk segera menuju ruang perawatan Pak Pardjo. Namun semua usaha yang dilakukan tim dokter tidak berhasil menyelamatkan jiwa Pak Pardjo.
Berita panggilan lewat interkom RS ini juga didengar oleh Pak Pong Nugroho yang sedang makan siang di kantin.
Bergegas mereka kembali keruang ICU hanya untuk mendapati jasad Pak Pardjo telah tertutup kain. Disamping jenasah tampak Bu Pardjo (yang juga tidak sempat mendampingi saat-saat akhir suaminya), dengan sangat tabah sedang membacakan doa untuk arwah almarhum.
Sampai saat-saat terakhir ketika Malaikat maut menjemputpun Pak Pardjo agaknya tidak mau menyusahkan atau merepotkan orang lain.
Almarhum benar-benar berpulang dengan tenang dan damai.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Aku saiki wis ora duwe bapak……
Hari Senin, 12 April 1993 menjelang siang, setelah usai acara penyerahan jenasah Mantan Mendagri/Menko Kesra Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam dari wakil keluarga kepada Pejabat yang mewakili Pemerintah, saya bergegas menaiki mobil sedan yang disiapkan untuk keluarga. Saya berada satu mobil bersama Mas Koko. Sedangkan Mas Wiwi (putra kedua) mendampingi Ibu Soepardjo dimobil sedan yang berada tepat dibelakang mobil jenazah dari Garnisun.
Mata saya perih sekali. Saya pikir pasti wajah saya sembab. Pikiran saya melayang entah kemana. Saya lihat Mas Koko juga begitu. Suasana dalam mobil senyap sekali.
Sewaktu mobil melewati hotel Kartika Chandra di Jalan Gatot Soebroto, Mas Koko mendadak memeluk saya.
“Pak, aku saiki wis ora duwe bapak….” (Pak, saya sekarang sudah tidak punya ayah).
Kata-katanya terdengar lemah. Saya tersentak. Mulut saya seperti terkunci, tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur putra pertama Pak Pardjo ini. Jangankan Mas Koko, yang memang putra Pak Pardjo. Saya sendiri yang hanya bawahan beliau merasa seperti ‘layangan pedhot’ (layang-layang putus talinya).
Saya merasa kehilangan pegangan. Selama ini Pak Pardjo telah saya anggap sebagai orang tua saya sendiri. Almarhumlah yang secara tidak langsung mendidik saya dengan caranya sendiri. Saya banyak belajar tentang kepemimpinan dan cara menghadapi suatu masalah dari ‘gaya’ Pak Pardjo yang selalu sangat persuasif. Seingat saya beliau tidak pernah menerapkan sistem “manajemen konflik” seperti yang banyak dilakukan para pejabat jaman sekarang. Untuk ‘menundukkan’ lawan-lawan (politik) nya, Pak Pardjo lebih senang memilih ‘strategi perut’ (mengajak makan sebelum berunding) dan selalu mengupayakan hasil ‘win-win solution’.
fotos: google
Lamunan saya buyar sewaktu iring-iringan kendaran melewati patung Pancoran dan masuk ke Jalan Raya Pasar Minggu. Tahun 1993 belum ada jalan tol dalam kota. Lalu lintas di Jakarta belum macet separah sekarang.
Tapi hari Senin itu iringan kendaran seperti berjalan merayap. Dikiri kanan jalan saya lihat banyak sekali kerumunan masyarakat yang menyambut konvoi kendaraan jenazah almarhum Pak Pardjo. Rupanya yang membuat kemacetan adalah banyaknya pelayat yang berbondong menuju TMP Kalibata. Baik yang berjalan kaki maupun yang membawa kendaraan bermotor. Semua kalangan ada. Saya lihat ada ibu-ibu yang menggendong anaknya dengan memakai payung, ada pelajar berseragam yang entah berasal dari sekolah mana. Banyak pula karyawan berseragam dinas dari berbagai instansi.
Ini menunjukkan bahwa almarhum Pak Pardjo sangat populer dan disukai banyak orang.
Jalan Kalibata nyaris tertutup karena banyaknya kendaraan pelayat yang parkir dipinggir jalan. Hal itu menyebabkan arus kendaraan dari Jalan raya Pasar Minggu jadi terhambat. Kemacetan pun tak terhindarkan.
Saya ingat, Pak Pardjo dulu termasuk Pejabat Tinggi yang ‘alergi’ mendapat pengawalan. Kalau terpaksa harus dikawal polisi karena mengejar acara penting, beliau selalu melarang pengawalnya membunyikan sirene.
“Jangan membikin takut rakyat”. Begitu kata beliau.
Walaupun gara-gara anti dikawal itu beliau suatu ketika terpaksa naik ‘ojek amatir’ karena terjebak kemacetan lalu lintas kota Jakarta.
Kini ketika beliau menuju tempat peristirahatannya yang terakhir, jalan juga menjadi sangat macet justru karena masyarakat ingin menyaksikan prosesi pemakaman beliau.
Kali ini Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam yang rendah hati itu tidak dapat lagi menolak mendapat pengawalan dari satuan polisi dan polisi militer yang begitu banyak, lengkap dengan suara sirene yang meraung-raung.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar