(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (59)
Released by mastonie, Wednesday, June 23, 2010 at 04.36 pm
Keliling dari Museum ke Museum di Moskow
Kesempatan berada dinegara ‘Beruang Merah’ (Uni Soviet) rupanya tidak disia-siakan oleh Pak Pardjo. Jadi sekembalinya dari Pyongyang, hampir semua museum yang ada dikota Moskow dijelajahi. Termasuk The State Historical Museum of Russia (Museum Sejarah Nasional Rusia) dimana terdapat koleksi perlengkapan perang Tsar “Peter the Great” (Peter yang Agung).
Bapak R.G.S Koesoemodigdo juga tidak lupa mengajak kita ke Museum “Borodino Panorama”. Musium ini mempunyai diorama yang melingkar 360 derajat menggambarkan pertempuran antara pasukan Napoleon Bonaparte (Perancis) melawan pasukan Jenderal Kutuzov (Rusia), pada Perang Dunia I. Diorama itu jelas menggambarkan kebanggaan orang Rusia kepada salah satu Jenderalnya yang bisa mengalahkan pasukan Jenderal Napoleon (Jenderal yang kelak kemudian hari menjadi salah seorang Kaisar Perancis yang ternama).
Museum Borodino terletak di Kutuzov Avenue, (Jl. Kutuzov) dimana terdapat sebuah Gerbang Besar yang bentuknya mirip “Arc de Triomphe” yang ada dikota Paris. Gerbang itu memang dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Jenderal Kutuzov atas Jenderal Napoleon Bonaparte. Ironisnya “Gerbang Kemenangan“ di Moskow itu menurut saya benar-benar mirip sekali dengan Gerbang Kemenangan (“Arc de Triomphe”) yang dibuat oleh Jenderal Napoleon Bonaparte dikota Paris.
Ketika melewati sebuah bangunan besar mirip Istana, Pak Dubes mengingatkan, bahwa Soviet (Rusia) adalah negeri gudangnya ballerina (pebalet) top sedunia. Yang paling terkenal adalah pertunjukan balet di Teater “Bolshoi”. Gedung Teater Bolshoi adalah sebuah bangunan antik dengan pilar-pilar besar didepannya. Kalau saya tak salah ingat ada enam atau mungkin delapan pilar yang menyangga teras didepan gedung itu. Sekilas saya teringat gaya arsitektur Istana Merdeka Jakarta. Tampak depannya hampir mirip. Tapi barangkali gedung teater Bolshoi lebih besar. Gedung Teater berarsitektur kuno ini terawat sekali. Saya tak habis berpikir, bagaimana orang-orang di Soviet bisa begitu menghargai warisan budayanya termasuk bangunan-bangunan kunonya.
Kelihatannya mereka sama sekali tak pernah punya pikiran untuk menghancurkan bangunan kuno itu dan menggantinya dengan bangunan berarsitektur ‘masa kini’. Angan saya melayang ke Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Berapa banyak bangunan kuno dan antik diratakan dengan tanah hanya demi ambisi dan keinginan beberapa gelintir orang untuk membangun gedung baru -dengan arsitektur baru- supaya kota (katanya) kelihatan lebih modern?
Nonton ‘International Circus’ di Moskow.
Sayang sekali jadwal pertunjukan Teater Bolshoi tidak sesuai waktunya dengan acara kunjungan Pak Pardjo, maka sebagai gantinya pada malam hari itu Pak Dubes berkenan men”traktir” kita untuk menyaksikan sebuah acara hiburan untuk keluarga yang tidak kalah menariknya.
Itulah “International Circus” yang pemainnya adalah gabungan dari para pemain Sirkus top dari Korea dan Ilusionis (pesulap) terkenal dari Uni Soviet.
Pada waktu itu kebetulan mereka sedang ‘manggung’ di kota Moskow.
Sedari kecil saya suka sekali dengan permainan sulap. Bagi saya sulap (yang bisa membuat suatu benda hilang dan timbul lagi), sungguh sangat mencengangkan. Dalam bayangan saya (pada masa kanak-kanak dulu), para pesulap itu pastilah memelihara ‘jin’ atau sebangsanya, yang bisa membantu pesulap menyuguhkan permainan ‘aneh bib ajaib’ yang tidak dapat dilakukan oleh ‘orang biasa’.
Jadi malam itu kita menonton pertunjukan sirkus yang dilakukan oleh para pemain dari Korea dengan pertunjukan ”trapeze” yang sangat mencekam dan permainan akrobat yang dilakukan oleh pemain-pemain pria yang gagah dengan tubuh sangat atletis. Akan tetapi para pemain akrobat wanitanya juga tak kalah hebat, dengan wajah yang rata-rata cantik dengan postur sangat seksi, mereka berjumpalitan diatas kawat yang membentang diketinggian sekitar 4-5 meter ditengah arena sirkus, tanpa jaring pengaman dibawahnya. Saya lihat hanya ada beberapa orang berperawakan gempal yang berjaga-jaga dibawah kawat yang membentang dengan disinari oleh cahaya lampu yang terang menyilaukan.
Namun sesungguhnya yang bisa membuat saya terbengong-bengong pada malam hari itu adalah penampilan dari seorang ‘ilusionis’ asal Soviet (sayang saya lupa namanya) yang mempertunjukkan kemahirannnya bermain sulap dengan teknik yang sangat mengagumkan.
Saya menonton dari tempat duduk untuk VVIP, jadi jaraknya ke arena yang terletak ditengah-tengah bangunan besar itu tidak sampai dua meter, sangat dekat.
Pria setengah umur dengan pakaian sederhana itu menampilkan ilusi yang hampir tak dapat saya percaya. Salah satunya yang sampai kini masih tidak dapat saya lupakan adalah tekniknya dalam “menghilangkan” orang! Dilantai yang ada ditengah arena terhampar karpet atau permadani tebal berwarna merah. Diatas karpet itu kosong ‘blong’ tak terdapat benda secuil pun. Diringi alunan musik klasik yang mendayu-dayu, sang pesulap meletakkan sebuah kotak persegi empat yang masih terlipat tepat ditengah arena. Karena terlipat, jelas itu adalah sebuah kotak yang kosong. Ketika dibuka, ukurannya menjadi sebesar kardus tempat lemari es. Sekali lagi sang ilusionis memperlihatkan bahwa kotak itu benar-benar kosong. Beberapa waktu kemudian, dengan aba-aba berupa siulan, dari kotak kosong itu muncul gadis-gadis seksi nan menawan dengan pakaian warna warni yang sangat minim.
Yang membuat penonton tercengang, gadis yang keluar dari kotak tidak hanya satu. Jumlahnya mencapai selusin (12 orang)! Mereka bergaya bak peragawati dengan langkah gemulai nan menggoda, berkeliling arena sambil memberikan salam ‘cium jauh’ kepada para penaonton, yang tentu saja menyambut dengan tepuk tangan membahana.
Setelah lengkap memutari arena, satu persatu mereka kembali masuk kekotak yang masih berdiri tegak ditengah arena. Meskipun kotak itu hanya seukuran lemari es, tapi kedua belas orang gadis ‘bahenol’ itu bisa melenggang masuk tanpa halangan! Ketika gadis yang terakhir masuk dalam kotak, dalam hitungan detik sang pesulap kemudian berseru: ”Abracadabra!” sambil menyentakkan kotak itu dalam sekali hentakan. Maka kotak itupun terlipat kembali dan ……aneh bin ajaib, lenyaplah sudah selusin gadis cantik itu entah kemana.
Luar biasa. Saya sampai bengong bin pusing memikirkan kemana gerangan mereka ‘menghilang’. Saya saksikan dengan mata kepala sendiri dari jarak tak lebih dari dua meter, selusin gadis seakan lenyap ditelan bumi begitu saja. Bahkan permadani tebal yang ada ditengah arena saya lihat tidak kusut sedikitpun! Benar-benar sebuah ilusi yang nyaris sempurna.
Menyaksikan pertunjukan yang sangat mengagumkan itu sontak para penonton memberikan applause dengan melakukan ‘standing ovation’ (bertepuk tangan sambil berdiri).
Misi Rahasia mencari “Kuda Putih”.
Malam belum terlalu larut ketika rombongan kembali kekediaman Dubes untuk beristirahat. Dua orang staf Protokol KBRI bisik-bisik merayu saya untuk melihat ‘Kuda Putih’ dinegeri Beruang Merah. Saya penasaran. Tanpa mengerti apa yang sesungguhnya dimaksudkan, saya ikuti mereka pergi dengan sebuah kendaraan dinas buatan Soviet berplat nomor KBRI. Dijalan mereka bercerita panjang lebar tentang prostitusi yang konon sangat dilarang di Uni Soviet. Yang ada hanya prostitusi ‘terselubung’ yang katanya sangat beresiko tinggi kalau sampai tertangkap pihak yang berwajib. Apalagi mereka tampaknya sangat protektif terhadap wanita-wanita Soviet, agar tidak melakukan kencan, apalagi menjalani hubungan cinta kasih dengan laki-laki yang berasal dari luar Soviet. Apalagi laki-laki diplomat. Negeri Beruang Merah pada waktu itu memang dikenal juga sebagai negeri “Tirai Besi”. Sangat tertutup, konon untuk menghindari informasi dalam negeri ‘lari’ keluar negeri.
Oleh sebab itu biasanya yang terjadi adalah permainan “back street”, antara wanita Soviet dengan laki-laki non Soviet. Dan si “Kuda Putih” yang akan diperkenalkan kepada saya malam itu adalah seorang Sekretaris di sebuah perpustakaan Negara. Dia sudah jadi semacam relasi bagi staf KBRI, karena katanya dia sangat suka menjalin hubungan dengan laki-laki dari Asia, termasuk Indonesia. Menurutnya laki-laki Asia rata-rata sangat ramah, murah hati dan ‘gentlement’.
Saya agak terkejut sebetulnya mendengar kisah “Kuda Putih” itu. Ujung-ujungnya ternyata kejurusan “Blok P” juga. Tapi menurut mereka, Sekretaris KBRI yang meminta agar mereka membawa saya untuk diperkenalkan kepada si “Kuda Putih” guna menambah “wawasan”.
Hah! Menambah wawasan? Tidak salah tuh? He he..ini pengalaman baru, ini baru pengalaman.
Mobil meluncur dalam kegelapan malam menuju ke sebuah apartemen. Ketika akan memasuki gerbang tiba-tiba mobil berhenti. Saya diminta untuk bertiarap dijok belakang, karena mobil sedan ini (katanya) sudah diketahui identitasnya oleh penjaga. Dan hanya mobil beserta orang yang mereka kenal saja yang boleh masuk apartemen. Selain itu pasti akan di “persona non grata” (diusir). Gila, pikir saya. Rupanya saya diajak bermain ‘petak umpet’ a la para diplomat.
Benar saja, mobil hanya berjalan perlahan melalui gerbang pemeriksaan, dan lolos. Saya masih terus diminta tiarap dibelakang. Mereka memilih parkir ditempat tersembunyi yang gelap tapi sangat dekat kepintu lift. Menurut saya bangunan apartemen ini sangat mengerikan. Tak banyak lampu yang dinyalakan Jadi suasana temaram membuat ‘permainan’ semakin menegangkan. Kalau tahu begini situasinya, mending saya tidur saja tadi. Salah seorang staf Protokol KBRI melepas mantelnya dan dikerudungkan dikepala saya. Mereka membawa (lebih tepatnya menyeret) saya menuju lift naik kelantai tiga. Disebuah pintu kamar apartemen yang temaram mereka memberikan semacam kode ketukan dipintu. Pintu terkuak sedikit, sebuah wajah laki-laki tua menyembul dibalik pintu. Kemudian tersenyum lebar dan pintupun terbuka. Masuk kedalam ruangan yang sempit dan agak pengap, terdapat sebuah meja kecil dengan tiga kursi tanpa lengan. Asap rokok memenuhi ruangan.
“A moment please” kata lelaki tua itu, kemudian dia masuk kebelakang.
Sesaat kemudian ada semerbak aroma parfum yang harum lembut menyeruak, hmmm…cukup bagus juga selera “si kuda”, pikir saya. Saya mengenali baunya sebagai Channel No #5. Parfum yang biasa saya beli di luar negeri untuk oleh-oleh buat istri tercinta.
Lalu, o la la…..muncullah sesosok perempuan muda belia dari balik gordin. Kulitnya putih bersih bak pualam, wajahnya oval dengan sepasang mata berwarna hijau kebiruan. Hidungnya lancip dan tampak ada lekukan didagunya. Rambutnya dipotong pendek, berwarna pirang. Riasan wajahnya sangat natural (sederhana) dan itu membuat kecantikannya nyaris sempurna!
Alamak, saya betul-betul terpana ketika dia melangkah mendekati saya:
“Nice to see you honey…my name is Tatiana” bisiknya. Aksen Inggrisnya aneh dan suara altonya agak serak terdengar ditelinga saya. Diulurkannya tangannya untuk bersalaman. Saya genggam tangannya yang terasa lembut (pasti dia tidak pernah mencuci piring), tapi suara saya bagaikan tercekat ditenggorokan.
Saya berdiri dengan tercengang ketika menyadari tinggi tubuh gadis cantik ini ternyata jauh diatas tinggi tubuh saya! Saya taksir sekitar 185 sampai 190 sentimeter. Sedangkan tinggi badan saya hanya 170 senti saja.
Kepala saya hanya sejajar dengan dadanya. Pantas saja dia dijuluki si “Kuda Putih”.
Gadis Rusia itu benar-benar BESAR. SEMUANYA.
Saya lirik dua staf KBRI yang duduk manis sambil tersenyum-senyum. Sialan.
Saya sadar, mereka sedang “memelonco” saya.
Lah! Memangnya saya mahasiswa baru?
Saya minta ijin kekamar kecil, sambil saya ‘jawil’ salah satu staf KBRI.
“Ini maksudnya bagaimana?” saya bertanya dengan berbisik.
“Ya terserah Bapak, lumayan kan buat teman istirahat semalam?” jawabnya sambil “cengengesan” (tersenyum menggoda). Astagfirullah. Wah, sudah gak bener nih!
“Waduh. Tapi dia gede amat ya? Amat saja tidak segede dia” jawab saya berkilah.
“Ya namanya juga ‘Kuda Putih’ kan Pak? Kalau kecil namanya keledai”
“Tapi maaf deh, kayaknya saya lebih suka kucing Angora tuh. Dan lagi dia bukan tipe saya” saya mencoba mencari alasan untuk menghindar.
“Yeeee Bapak, nanti saya dimarahi Pak Sekretaris kalau misi ini gagal” katanya.
Misi? Misi apa? Mission against White Horse? atau Mission Impossible kali.
“Sudah begini saja, pokoknya saya nyerah. NYE…RAH. Bapak-bapak saja deh yang manfaatkan si Kuda Sembrani itu, ayo, saya tungguin” desak saya.
“Wah berat nih Pak konsekwensi dan tanggung jawabnya”
“Sudah, saya yang tanggung. Nanti saya yang lapor Pak Sekretaris” sergah saya.
“O, jangan Pak, jangan. Iya deh, kita pulang saja. Tapi betul nih Bapak tidak berminat?”
Saya jawab dengan gelengan kepala sebanyak yang saya bisa.
Saya tidak mau tahu, entah apa yang dikatakan mereka kepada si “Kuda Putih” yang tampak bengong. Tapi dengan berusaha tenang saya katakan padanya:
“Glad to meet you young lady, see you soon”. Wajah si “Kuda Putih” tampak agak kecewa. Tapi dia masih bisa tersenyum. Sangat manis.
Benar-benar profesional dia.
Diperjalanan pulang kerumah pak Dubes, saya ngedumel (menggerutu) panjang pendek. Dua orang staf KBRI itu masih saja ngeledekin (menggoda) saya. Katanya baru saya seorang yang menolak rejeki gratisan alias komplimen dari Pak Sekretaris.
Yang lain biasanya tanpa bilang “ba” atau “bu” langsung ‘nyengklak’, memacu si “Kuda Jingkrak” semaleman.
Asem kecut tenan!
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar