(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (29A)
Released by mastonie, Wedneday, May 26,2010 at 10.53 pm
Gubernur yang menyukai kuda dan pemandangan indah.
Meskipun berwajah ‘keras’ -khas prajurit-, tapi Pak Pardjo adalah seorang yang lembut hatinya. Punya romantic sense dan juga pengagum keindahan. Terutama keindahan pemandangan alam yang ada di tanah air. Sebagai orang yang energik, Pak Pardjo ternyata juga sangat senang pada binatang yang juga energik, kuat dan bersemangat: kuda!
(Padahal apabila dilihat dari horoskop / astrologi Cina, Pak Pardjo yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1926 ber shio “Macan”).
foto:google
Sebagai manifestasi dari kecintaan beliau pada hewan lambang kekuatan dan kejantanan ini, maka Pak Pardjo mempunyai koleksi patung dan lukisan kuda yang banyak sekali. Di Puri Gedeh yang merupakan kediaman resmi Gubernur, dimana-mana dapat ditemukan patung, ukiran dan lukisan kuda dalam berbagai bentuk dan gaya. Dari patung kuda yang ukurannya kecil sampai lukisan kuda yang menyita hampir separuh dinding ruang tamu. Pak Pardjo juga mempunyai sebuah relief (bikinan perajin ukir di Jepara) berukuran besar -terbuat dari kayu jati utuh- yang melukiskan sekawanan kuda yang begitu memesona. Konon beliau juga sempat mempunyai kuda (beneran) sebagai binatang peliharaan sewaktu masih bertugas di Deplu.
Sedangkan kecintaan beliau pada pemandangan alam nan indah permai, disalurkan dengan sering berkunjung (dalam kunjungan resmi ataupun tidak resmi) ketempat-tempat peristirahatan yang letaknya dilereng gunung. Dibeberapa tempat bahkan beliau memberikan instruksi kepada Pak Bupati untuk membuat semacam guest house dilokasi yang -menurut selera Pak Pardjo- sangat indah, strategis dan ideal. Tentu saja wisma itu harus dibangun atas biaya Pemda setempat.
Sedangkan kecintaan beliau pada pemandangan alam nan indah permai, disalurkan dengan sering berkunjung (dalam kunjungan resmi ataupun tidak resmi) ketempat-tempat peristirahatan yang letaknya dilereng gunung. Dibeberapa tempat bahkan beliau memberikan instruksi kepada Pak Bupati untuk membuat semacam guest house dilokasi yang -menurut selera Pak Pardjo- sangat indah, strategis dan ideal. Tentu saja wisma itu harus dibangun atas biaya Pemda setempat.
Wisma “Slamet” dilereng Gunung Slamet.
Di Kabupaten Banyumas ada daerah wisata yang bernama Baturraden. Tempat wisata berhawa dingin yang konon juga bersejarah (dengan legenda Lutung Kasarung) ini terletak dilereng gunung Slamet. Hanya beberapa kilometer arah utara kota Purwokerto.
Gunung Slamet fotos: google
Setiap kali Pak Pardjo mengadakan kunjungan dinas didaerah eks Karesidenan Banyumas, beliau pasti berkenan bermalam di Baturraden. Pemerintah Kabupaten Banyumas sudah memiliki sebuah guest house bernama “Wisma Praja”. Sebuah rumah sederhana yang dipergunakan untuk tempat bermalam tamu-tamu resmi Bupati dan Pejabat Penting lain. Ada juga sebuah wisma lain yang dinamakan “Wisma Indraprasta” yang lokasinya agak sedikit diatas. Sayangnya terlalu dekat dengan terminal. Disamping itu beberapa instansi –seperti Perhutani- juga memiliki wisma yang terkadang juga disewakan untuk umum. Pak Pardjo (beserta Ibu Soepardjo) sangat sering bermalam di Wisma Praja. Wisma Praja memang terkesan lebih ‘resmi’ untuk tempat bermalam tamu VVIP. Tapi karena wisma ini kemudian ‘dikepung’ dengan bangunan hotel yang tumbuh berkembang -nyaris- tak terbendung, sehingga menghalangi pemandangan dari wisma, Pak Pardjo kemudian ‘milang-miling’ mencari tempat atau lokasi yang lebih bagus dan lebih tinggi. Kebetulan beberapa meter diatas lokasi Tempat Rekreasi dan terminal Baturraden ada sebuah tanah kosong yang sangat strategis dan ideal untuk dibangun menjadi sebuah rumah peristirahatan atau guest house atau bahkan hotel sekalipun. Pada saat itu lokasi tanah kosong tersebut memang terletak paling tinggi didaerah wisata itu. Pemandangannya lepas kearah kota Purwokerto dan sekitarnya yang terlihat sangat indah. Apalagi kalau malam hari. Kelap-kelip lampu kota dan pedesaan disekitarnya menimbulkan suasana hati yang “bagaimana” gitu. Hawanya pun jangan ditanya lagi. Sangat sejuk. Karena tanah itu adalah tanah negara, maka Pak Pardjo segera meminta Pak Bupati Banyumas untuk segera membebaskan tanah itu guna dibangun menjadi sebuah wisma baru selain Wisma Praja dan Wisma Indraprasta. Seingat saya, ide Pak Pardjo untuk membuat Wisma baru di Baturraden sudah ada sejak Bupati Banyumas dijabat oleh Bapak Pudjadi Djaring Bondojudo. Namun realisasi instruksi Gubernur itu baru bisa terlaksana pada waktu Bupati Banyumas dijabat oleh Bapak Roedjito yang -tentu saja- mendapat 'warisan' amanat Pak Pardjo itu dengan senang hati.
Tidak berapa lama kemudian jadilah sebuah bangunan baru yang oleh Pak Pardjo diberi nama “Wisma Slamet”. Sebuah nama untuk menandai bahwa bangunan itu terletak dilereng gunung Slamet, sekaligus sebagai doa agar rumah atau wisma tersebut membawa berkah keselamatan (bagi siapa saja yang bermalam disitu).
Sejak itulah “Wisma Slamet” selalu menjadi tempat bermalam Bapak dan Ibu Soepardjo jika kebetulan sedang berkunjung kedaerah Banyumas. Tentu saja saya sendiri -sebagai ajudan Pak Pardjo- juga sempat beberapa kali ikut menikmati sejuk nyamannya bermalam di Wisma Slamet itu.
Tidak berapa lama kemudian jadilah sebuah bangunan baru yang oleh Pak Pardjo diberi nama “Wisma Slamet”. Sebuah nama untuk menandai bahwa bangunan itu terletak dilereng gunung Slamet, sekaligus sebagai doa agar rumah atau wisma tersebut membawa berkah keselamatan (bagi siapa saja yang bermalam disitu).
Sejak itulah “Wisma Slamet” selalu menjadi tempat bermalam Bapak dan Ibu Soepardjo jika kebetulan sedang berkunjung kedaerah Banyumas. Tentu saja saya sendiri -sebagai ajudan Pak Pardjo- juga sempat beberapa kali ikut menikmati sejuk nyamannya bermalam di Wisma Slamet itu.
Guest house dikaki bukit Menoreh.
Ada sebuah daerah yang cantik alami pemandangannya diwilayah Kabupaten Magelang. Daerah itu terletak dilereng perbukitan “Menoreh”. Perbukitan yang berada didekat desa Tingal, beberapa kilometer dari Candi Borobudur. Hawanya juga sejuk, pada waktu itu lingkungannya masih asli, berupa daerah pedusunan yang sunyi sepi. Rumah-rumah penduduk terletak saling berjauhan. Dimana-mana yang terlihat hanya persawahan dan kebun-kebun kosong yang entah siapa pemiliknya. Mungkin lebih tepat kalau disebut daerah -yang mempunyai pemandangan indah- ini masih terisolir (karena letaknya yang terpencil). Belum ada jaringan listrik, apalagi saluran telepon. Jalannya sempit dan baru beberapa bagian saja sudah berupa “sirtu” (pasir dan batu) yang jadi becek dikala hujan.
Bukit Menoreh dilihat dari Candi Borobuidur
Pada suatu hari, Pak Gubernur Soepardjo mengadakan peninjauan didaerah sekitar Candi Borobudur -yang saat itu sedang direstorasi besar-besaran dengan dana bantuan luar negeri termasuk dari Unesco-. Kunjungan itu dimulai dari lokasi Candi Borobudur, kesekitar Desa Tingal sampai kebukit Menoreh. Bukit ini kalau dipandang dari jauh tampak seperti punggung orang yang sedang tidur bertelekan.
Saya tidak tahu persis, dapat ‘ilham’ darimana, tiba-tiba Pak Pardjo merasa sangat tertarik dengan sebuah tempat dikaki bukit yang menurut beliau, kalau dijadikan tempat peristirahatan pasti akan sangat menarik. Dari tempat ini -yang lokasinya memang sedikit agak tinggi- siluet Candi Borobudur tampak sayup-sayup dikejauhan. Apalagi kalau pada pagi hari udara diselimuti kabut tipis yang seperti selendang bidadari (ups!). Betul-betul sebuah pemandangan yang ‘eksotis’.
Saya harus mengakui bahwa Pak Pardjo memang mempunyai insting dan selera yang luar biasa untuk menikmati keindahan alam semesta ini. Padahal semula tidak ada seorangpun yang tertarik pada daerah yang sunyi sepi itu. Kebetulan pada masa itu sedang ada wacana untuk memindahkan ibukota Kabupaten Magelang. Semula Kantor Bupati memang berada ditengah kota Magelang, satu kota dengan Kantor Walikota Magelang. Kemudian -menurut rencana- Kantor Bupati akan di ’geser’ agak kedaerah pinggiran kota yang mendekati areal Candi Borobudur, disebuah Kecamatan yang bernama Mungkid.
Saya harus mengakui bahwa Pak Pardjo memang mempunyai insting dan selera yang luar biasa untuk menikmati keindahan alam semesta ini. Padahal semula tidak ada seorangpun yang tertarik pada daerah yang sunyi sepi itu. Kebetulan pada masa itu sedang ada wacana untuk memindahkan ibukota Kabupaten Magelang. Semula Kantor Bupati memang berada ditengah kota Magelang, satu kota dengan Kantor Walikota Magelang. Kemudian -menurut rencana- Kantor Bupati akan di ’geser’ agak kedaerah pinggiran kota yang mendekati areal Candi Borobudur, disebuah Kecamatan yang bernama Mungkid.
Pak Pardi (Drh. Supardi, Bupati Magelang saat itu) kebetulan sependapat dengan ide Pak Pardjo untuk membuat sebuah rumah peristirahatan didaerah terpencil itu. Mungkin karena nantinya -rumah itu- juga terletak dekat dengan lokasi Kantor Kabupaten Magelang yang baru di Mungkid.
Tidak berapa lama kemudian jadilah rumah peristirahatan itu. Ketika pertama kali harus ikut bermalam di rumah itu, saya agak ‘merinding disko’ (takut) juga. Karena (waktu itu) belum ada program listrik masuk desa, maka rumah itu mendapat aliran listrik dari ‘diesel’ alias generator set, yang demi untuk penghematan energi (dan mengurangi bising yang mengganggu orang tidur) gensetnya harus dimatikan ditengah malam. Padahal kamar yang disediakan untuk ajudan berada dibagian paling belakang dari rumah itu.
Syahdan, inilah keadaan yang terjadi setelah genset ‘game over’: ruang yang gelap gulita, udara dingin menggigit sampai kesumsum tulang dan bunyi jengkerik yang diseling siulan burung hantu.
Oooooo seeeeraaaam.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar