(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (87)
Released by mastonie, Tuesday, June 8, 2010 at 08.40 pm
Mohon ijin pergi naik haji...
Beberapa waktu sesudah pembicaraan dengan Pak Fahmi itu (seingat saya tidak sampai sepekan), saya menghadap Menko Kesra Soepardjo Roestam diruang kerja. Hari sudah agak sore dan acara Menko sudah agak longgar. Kalau tidak penting sekali, jarang sekali saya menghadap beliau sendirian untuk masalah pribadi.
“Mohon ijin pak. Sekiranya Bapak berkenan kami mohon diijinkan untuk mengambil cuti diluar tanggungan negara” saya berkata dengan khidmat.
Pak Pardjo tidak segera menjawab. Beliau memandang saya dengan agak heran.
“Bukannya jij sudah libur cukup lama setelah pulang dari luar negeri kemarin?” Jawab Pak Pardjo setengah bertanya. Saya terdiam.
“Memang Tonny mau kemana?” beliau bertanya lagi.
Saya sudah “ikut” Pak Pardjo hampir sepanjang masa dinas saya sebagai PNS. Jadi beliau terkadang memanggil nama saya atau kadang cuma dengan sebutan jij (bhs Belanda: kamu). Saya tatap mata beliau untuk meyakinkan.
“Bilih bapak marengaken, dalem kepingin sanget saged kesah dhateng tanah suci, minggah kaji tahun punika (Kalau bapak mengijinkan, saya ingin pergi naik haji tahun ini)” saya menjelaskan.
Terlihat Pak Pardjo sedikit terkesiap. Lagi-lagi hanya diam menatap.
Hati saya ciut. Khawatir tidak diberi ijin.
“Jij betul-betul merasa telah siap? Katanya Tonny pernah sakit ‘vertigo’” akhirnya beliau bertanya.
“Insya Allah dalem sampun samekta, amargi sampun dalem niyataken wiwit wangsul umrah rumiyin (Insya Allah kami sudah siap pak. Kami sudah niatkan sejak pulang umrah dahulu)” saya menjawab dengan ‘penekanan’ disetiap kata. Hening beberapa saat.
“Bagus. Kalau begitu tolong jij sambungkan ke Pak Munawir” perintah beliau. Saya berdebar. Pak Pardjo minta telepon Pak Munawir? Pak Munawir Sjadzali (waktu itu) adalah Menteri Agama. Salah satu menteri yang berada dibawah koordinasi Menko Kesra.
H. Munawir Sjadzali, MA,
Saya segera menelepon Menteri Agama, lewat Spri dikantornya.
Ketika telepon telah tersambung saya melapor kedalam.
Ketika telepon telah tersambung saya melapor kedalam.
“Tunggu saja disitu” perintah Pak Pardjo kepada saya sambil mengangkat telepon. Matanya mengisyaratkan agar saya duduk dikursi didepan beliau. Perlahan saya duduk. Ruangan kerja Menko Kesra selalu dingin karena penyejuk ruangan dipasang pada suhu rendah. Tapi perasaan saya gerah sekali. Ada titik keringat didahi saya.
Anehnya tangan dan kaki saya rasanya dingin semua.
“Assalamu’alaikum Pak Haji. Apa kabar? Sehat? Alhamdulillah. Saya? Ya begitulah. Pak Munawir, ini begini, ada staf pribadi saya yang ingin pergi haji tahun ini, masih mungkin nggak?” tanya beliau.
Hening beberapa saat. Saya makin cemas. Panas dingin melanda sekujur tubuh.
“Jangan. Jangan TPHI. TPHI kan dua bulan lebih ya? Terlalu lama itu. Kalau bisa ikutkan yang lain saja yang bisa pulang agak cepat” sambung beliau.
(TPHI adalah ‘Tim Pendamping Haji Indonesia’, biasanya bertugas di Arab Saudi bersama dengan TKHI -Tim Kesehatan Haji Indonesia-. Mereka sudah harus tiba lebih dulu di tanah suci sebelum Jemaah Calon Haji Indonesia tiba, dan harus menunggu sampai kloter Jemaah Haji Indonesia yang terakhir pulang ke tanah air lagi. Dan itu memakan waktu sekitar dua bulan).
Sepi lagi. Pak Munawir rupanya menjawab panjang lebar.
“Apa itu? Te pe o ha (TPOH)? Tim Pemantau Operasional Haji? Masih ada tempat? Oke oke, biar dia nanti menghadap ke kantor Pak Munawir. Namanya Tonny. Dia sudah lama membantu saya sejak dari Jawa Tengah dulu. Baik. Terima kasih, pak Haji, Assalamu’alaikum”, beliau meletakkan telepon sambil memandang saya.
Saya gemetaran. Kali ini bukan karena takut, tapi menahan gejolak hati yang suka ria.
Akhirnya …. Saya pergi naik haji juga!
“Besok pagi jij menghadap Pak Munawir di kantor. Beliau yang akan atur semua” saya terkejut mendengar kata-kata Pak Pardjo yang terakhir ini. Maklum pikiran saya sedang ‘terbang’ entah kemana.
“Sekarang tolong buatkan surat pribadi saya untuk Pak Menteri Agama, besok Tony menghadap beliau dikantornya” sambung Pak Pardjo lagi.
“Alhamdulillah. Matur sembah nuwun sanget bapak” saya mengucapkan terima kasih pada Pak Pardjo yang menampakkan wajah lega.
Tanpa menunda lagi saya buat konsep surat pribadi Menko Kesra untuk Menteri Agama.
Konsep surat-surat pribadi Pak Pardjo memang selalu saya yang membuat. Mungkin karena sudah tahu selera beliau, jarang sekali konsep saya ditolak. Dikoreksipun jarang sekali. Biasanya setelah membaca sekilas, beliau langsung saja ‘teken’ (tanda tangan).
Demikian pula dengan surat kepada Menteri Agama kali ini. Sekali jadi dan langsung ditanda tangani.
Sambil memberikan surat yang sudah ditanda tanganinya, Pak Pardjo langsung memberi perintah:
“Segera lapor ke Biro Umum. Jij kan jadi tidak bisa ikut jadwal kampanye saya” perintah beliau.
Saya mohon diri. Waktu itu memang sedang sibuk-sibuknya kampanye Pemilu tahun 1992. Sebagai Menko, Pak Pardjo mau tidak mau juga ikut kebagian menjadi “Jurkam” Partai Pemerintah.
Sebetulnya saya juga agak tidak enak hati. Selama ini saya selalu mendampingi Pak Pardjo (sebagai Ajudan maupun Spri) dalam event-event yang penting. Tapi kali ini Pak Pardjo berkenan memberikan ijin bagi saya untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan mengaturnya lewat Menteri Agama agar saya mendapat kemudahan. Gratis lagi! Saya bersyukur kepada Allah SWT. Rupanya doa saya didepan ka’bah pada saat tawaf wadha’ langsung dikabulkan Nya.
Jadi Anggota TPOH.
Dipanggil Haji “Abidin”…... EGP (Emang Gue Pikirin)..?
Seperti yang telah diperintahkan Pak Pardjo, saya menghadap Menteri Agama Munawir Sjadzali di Departemen Agama keesokan harinya. Saya bertemu dengan Pak Tulus, Spri Menteri Agama. Setelah surat pribadi Menko Kesra mendapatkan ‘disposisi’ dari Menteri Agama, saya harus membawa “surat sakti” yang sudah berdisposisi tersebut ke Dirgara (Direktur Penyelenggara Haji) Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama. Ternyata surat Pak Pardjo betul-betul surat ‘sakti’. Segalanya jadi berjalan begitu lancar dan mudah. Saya langsung diminta untuk melengkapi semua persyaratan untuk naik haji (kecuali bayar ONH) dan menyerahkan pas foto. Saya juga langsung mendapat undangan untuk Rapat Pertemuan & Perkenalan TPOH (Tim Pemantau Operasional Haji) Tahun1992! Saya tercengang-cengang. Saya lihat dalam daftar Anggota TPOH yang diundang: Semuanya pejabat Eselon I atau II dari beberapa Instansi/Lembaga Tinggi Negara dan beberapa orang Anggota DPR-RI. Hanya saya yang ‘Pejabat Non-Eselon’. Tertulis disitu: No. Urut 21. (ini nomor terakhir) Sdr. Tonny Koesoemo, Spri Menko Kesra. Hmm.. Kapan lagi bisa naik haji dibayari Negara. Banyak teman-teman yang iseng mengolok-olok saya dengan menyebut “haji ABIDIN”, naik haji A-tas BI-aya DIN-as. Saya sendiri mah menyebutnya haji “lekker kost”. Lekker (Bhs. Belanda: enak) zonder (tanpa) ongkos. Sudah ‘diongkosi’, masih diberi sangu lagi. He he he.
Tapi biarlah, bagaimanapun saya menganggapnya sebagai rejeki dan ‘ridha’ dari Allah. Yang penting kan ibadahnya. Saya pikir Allah SWT tidak akan membeda-bedakan jamaah haji yang memenuhi panggilan Nya, dilihat dari mana datangnya biaya. Yang penting ‘halalan thoyiban’….dan EGP (emang gue pikirin)?
Dalam Rapat Orientasi TPOH pertama yang diadakan pada hari Senin, 18 Mei 1992, memang ternyata selain paling ‘rendah pangkatnya’ saya juga yang paling muda usianya. Tapi bagi saya itu bukan kendala. Beberapa pejabat anggota TPOH 1992 bahkan sudah saya kenal sebelumnya. Terutama yang dari Kantor Departemen Agama. Anggota yang paling sepuh adalah anggota Komisi IX DPR-RI (FKP) asal Jawa Tengah, Bapak KH Djohan Muhari. Beliau juga pernah jadi anggota DPRD Propinsi Jawa Tengah, jadi masih ingat saya dengan baik. Rasanya jadi seperti reuni saja. Dalam rapat pertama ini pula secara resmi TPOH Tahun 1992 disyahkan. Kita semua mendapatkan SK Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 1992, tanggal 15 Mei 1992. Berisi tentang Pengangkatan Tim Pembantu Operasional Haji (TPOH) di Arab Saudi tahun 1992 M / 1412 H.
Anggota TPOH tahun 1992 itu berjumlah 21 orang. Sebagai Penasehat adalah Bapak dr. H. Tarmizi Taher (Sekjen Depag) dan Ketuanya adalah Bapak Drs. H. Amidhan (Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji /BIUH Depag). Kedua Pejabat Teras Depag ini termasuk yang sudah mengenal saya secara pribadi, karena sering sekali bertemu dengan saya dalam Rakor Kesra yang diadakan sebulan sekali.
Anggota TPOH tahun 1992 itu berjumlah 21 orang. Sebagai Penasehat adalah Bapak dr. H. Tarmizi Taher (Sekjen Depag) dan Ketuanya adalah Bapak Drs. H. Amidhan (Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji /BIUH Depag). Kedua Pejabat Teras Depag ini termasuk yang sudah mengenal saya secara pribadi, karena sering sekali bertemu dengan saya dalam Rakor Kesra yang diadakan sebulan sekali.
Rapat Orientasi TPOH yang pertama itu sudah lengkap dengan pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi meningitis yang jadi syarat wajib untuk pergi ke Arab Saudi. Sekaligus juga dipakai untuk pengarahan dan Manasik Haji. Jadi sehari tuntas tas tas tas.
Pro-kontra tentang “Walimatusy-syafar” atau “Ratiban”.
Beberapa hari kemudian, saya mendapat SPPMA (Surat Panggilan Petugas Masuk Asrama). Disebutkan bahwa saya mendapat Nomor PPH (Paspor Perjalanan Haji) 3159406, dan akan diberangkatkan ke Arab Saudi melalui Pelabuhan Embarkasi (Pemberangkatan) Halim Perdanakusumah Jakarta pada hari Sabtu, 30 Mei 1992 dengan Kelompok terbang (Kloter) 106. Saya sudah harus masuk karantina sehari sebelumnya, yaitu hari Jum’at, 29 Mei 1992 pukul 08.00 pagi.
Saya jadi sibuk sekali. Yang pertama adalah mengurus cuti dari Kantor Menko Kesra. Ini soal mudah, toh saya pakai perintah langsung dari Menko Kesra. Yang agak repot adalah membuat surat “Pindah Domisili”. Musim Haji tahun 1412 H/ 1992 M bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu tahun 1992. Jadi setiap warga Negara Indonesia yang pada saat berlangsungnya Pemilu pergi meninggalkan rumah atau alamat yang tertera di Daftar Pemilih Tetap, harus membuat “Surat Pindah Domisili”. Akhirnya surat pindah juga selesai.
Saya lalu pusing dengan acara ‘Pamitan’. Tradisi bagi orang yang akan menunaikan ibadah haji adalah menyelenggarakan acara pamitan yang biasa disebut sebagai “Walimatusy-syafar” atau “Ratiban”. Ada yang beranggapan acara ini termasuk ‘riya’. Tapi saya berpendapat lain. Menurut beberapa ulama yang saya tanya pendapatnya (termasuk dr. H. Fahmi Syaifuddin, Staf Ahli Menko Kesra, yang putra kandung mantan Menteri Agama KH Syaifuddin Zuhri), orang yang akan meninggalkan rumah untuk pergi ketanah suci bisa dianggap sebagai “orang yang pergi dan entah akan kembali atau tidak”. Itu karena beratnya perjalanan dan ritual (wajib dan rukun) haji yang harus dilaksanakan di tanah suci. Oleh karena itu ia wajib berpamitan. Baik kepada keluarga maupun sanak-saudara, kerabat dan tetangga dekatnya. Bahkan kalau perlu harus menyelesaikan semua persoalan yang menyangkut harta benda dan ‘urusan duniawi’ lainnya. Jadi tergantung kepada niat. Saya berketetapan hati untuk mengadakan acara ‘Walimatus-syafar’ atau ‘Ratiban’ itu. Niat saya bukan riya. Lillaahi Ta’ala saya merasa telah banyak melakukan kesalahan, banyak dosa. Oleh sebab itu saya harus mohon maaf dan harus berpamitan serta berkewajiban menitipkan keluarga (anak isteri) yang akan saya tinggalkan (untuk pergi haji) kepada tetangga dekat. Apapun kata orang. Waktu sangat mepet, mana mungkin saya keliling satu persatu untuk mohon maaf dan berpamitan. Jalan paling praktis adalah dengan mengundang mereka kerumah. Karena rumah saya sempit, saya sampai harus mengadakan acara ‘ratiban’ itu lebih dari sekali. Untuk tetangga satu kompleks, untuk teman-teman kantor dan rekan sejawat serta untuk keluarga besar saya. Sebuah acara yang saya lakukan secara sederhana namun hidmat dan mengharu biru perasaan. Yang melegakan hati adalah semuanya memberikan bantuan moril dan spiritual kepada saya. Banyak doa, banyak pengharapan. Kata orang, semakin banyak yang mendoakan, akan semakin mudah perjalanan beribadahnya. Amin. Insya Allah.
Masuk ‘karantina’ di Asrama Haji Pondokgede.
Hari Jum’at 29 Mei 1992, setelah shalat Subuh berjamaah dengan isteri, saya melakukan salat sunah dua rakaat. Diruang tamu rumah saya sudah banyak para tetangga yang berdatangan untuk ikut melepas kepergian saya ketanah suci. Belum lagi keluarga besar saya. Banyak yang sudah bermalam dirumah beberapa hari sebelumnya. Jadi suasananya sangat meriah. Pukul 06.00 pagi tepat acara pelepasan dimulai. Saya menyampaikan beberapa patah kata. Saya sekali lagi mohon maaf dan mohon pamit, mohon doa restu dan mohon titip isteri dan anak-anak saya. Saya sudah terbiasa bicara didepan khalayak sebagai MC. Tapi entah kenapa saat ini saya seperti orang yang baru belajar bicara. Berat sekali kata yang harus saya ucapkan. Hati saya sangat sedih. Mata saya perih, sangat susah menahan air mata untuk tidak menitik. Entah kenapa saya membayangkan yang terburuk: seandainya saya tidak dapat pulang kembali. Anak saya yang terbesar baru berumur 17 belas tahun, masih duduk di SMA. Yang bungsu malah belum genap 10 tahun. Saya kuatkan hati saya. Saya pasrahkan semuanya kepada yang Kuasa: Allah SWT. Tapi air mata saya runtuh juga ketika tetangga saya Pak Kosim Mualif, tiba-tiba mengumandangkan adzan. Itu pertanda saya harus segera pergi. Saya berjalan menuju mobil sambil berjabatan tangan dan berpelukan dengan seluruh tamu yang melepas kepergian saya. Lantunan suara talbiah berkumandang dari rekan-rekan majelis taklim masjid dikompleks saya:
“Labbaik Allahuma Labbaik, Labbaika la syarikalaka labbaik . . . “
(Aku sambut panggilan Mu ya Allah, aku sambut panggilan Mu. Aku sambut panggilan Mu, tidak ada sekutu bagi Mu, aku sambut panggilan Mu).
Belum sampai pukul 8 pagi saya sudah tiba di Asrama Haji Pondokgede. Hanya istri dan keluarga dekat saja yang bisa ikut masuk sampai pintu Embarkasi. Pengantar yang lainnya cukup sampai tempat parkir mobil. Meskipun pada waktu itu banyak juga ‘calo’ yang menawarkan jasa untuk mengurus ijin masuk para pengantar sampai kedalam asrama. Nah ini dia ‘penyakit lama’. Salah satu yang harus dapat diupayakan untuk tidak terjadi lagi. Sebagai anggota TPOH saya diperlakukan biasa saja dihadapan petugas Embarkasi di Asrama Haji Pondokgede Jakarta.
Mereka tidak menyadari bahwa salah satu tugas TPOH adalah menilai kinerja mereka juga. Namanya juga Tim Penilai Operasional. Tidak kurang dari tujuh meja harus saya lewati sebelum lolos masuk asrama. Dari menimbang bagasi, ceking semua persyaratan dan terakhir dapat nomor kamar dan boarding pass untuk naik ke pesawat. Jadi saya nikmati saja prosedur yang harus saya jalani sambil mencatat hal-hal yang saya nilai kurang baik dan tidak sesuai peraturan. Hal itu nanti akan saya laporkan secara tertulis kepada Menteri Agama, sebagai wujud dari tanggung jawab yang dibebankan kepada saya menjadi salah satu petugas TPOH.
Mereka tidak menyadari bahwa salah satu tugas TPOH adalah menilai kinerja mereka juga. Namanya juga Tim Penilai Operasional. Tidak kurang dari tujuh meja harus saya lewati sebelum lolos masuk asrama. Dari menimbang bagasi, ceking semua persyaratan dan terakhir dapat nomor kamar dan boarding pass untuk naik ke pesawat. Jadi saya nikmati saja prosedur yang harus saya jalani sambil mencatat hal-hal yang saya nilai kurang baik dan tidak sesuai peraturan. Hal itu nanti akan saya laporkan secara tertulis kepada Menteri Agama, sebagai wujud dari tanggung jawab yang dibebankan kepada saya menjadi salah satu petugas TPOH.
Ternyata saya Anggota TPOH 1992 yang termasuk paling awal masuk asrama. Yang lainnya datang belakangan, mungkin (karena beliau-beliau adalah para Pejabat Tinggi), merasa lebih bebas, barangkali. Setelah memilih tempat tidur (berupa ranjang kayu bersusun dua), saya keluar lagi kedaerah Embarkasi, Anak isteri saya masih setia menunggu diluar pagar Asrama Haji. Saya merasa ‘trenyuh’ (pilu) sekali. Melihat mata mereka mencari-cari sosok saya diantara ratusan calon jemaah haji lain. Saya mendekat kepagar untuk membujuk mereka supaya pulang saja. Seseorang mendekat sambil berkata:
“Pak Haji, itu anak istri pak Haji ya? Mari saya bantu supaya semua bisa masuk kedalam”.
Nah, ini pasti ‘petugas jalanan’ yang mau cari rejeki diluar ketentuan. Saya menolak dengan halus. Anggota TPOH masa iya ikut merusak peraturan. Setelah bisa menenangkan dan membujuk anak-anak saya untuk pulang kerumah, saya kembali masuk asrama sambil menunggu saat shalat Jum’at tiba. Saya mencoba tidur diranjang susun yang letaknya saling berdekatan. Enak juga. Lebih enak dibanding kalau tidur dikemah pada waktu Pramuka atau Menwa dulu. Waktu terasa merayap sangat pelan. Satu per satu Anggota TPOH yang lain berdatangan. Suasana berubah jadi agak hidup. Saling bersalaman dan bertukar cerita tentang pengalaman ‘diplonco’ petugas embarkasi didepan. He he ternyata bukan hanya saya yang menjadi korban petugas yang ‘over acting’. Belum tahu dia, kita ini siapa. Lah memangnya siapa sih kita?
Saya mengikuti khotbah Jum’at di masjid Asrama Haji dengan khusyuk. Sambil membayangkan Ka’bah dan Masjidil Haram yang ‘ngangeni’ (membuat rindu) itu. Belum lewat dua bulan yang lalu saya tawaf dan berdoa disana untuk dapat kembali lagi. Ternyata Allah SWT langsung berkenan mengabulkan doa saya. Alhamdulillah.
Terbang (lagi) ketanah suci dengan ‘Jumbo Jet’ Garuda.
Sore itu saya tidur-tiduran dengan gelisah. Masih belum bisa menghilangkan wajah anak istri saya yang meskipun ikhlas tapi tetap tampak memelas. Saking tak tahan rindu, sesudah shalat magrib saya nekat menelepon kerumah untuk mengajak mereka makan malam diluar. Dengan menunjukkan kartu tanda Anggota TPOH saya minta ijin keluar asrama haji. Saya melihat betapa senangnya anak istri saya bisa makan malam diluar bersama saya. Seakan mereka baru bertemu saya lagi setelah berpisah sangat lama. Padahal belum ada satu hari saya tinggalkan. Inilah godaan yang harus saya tepiskan.
Sabtu pagi, 30 Mei 1992. Sesudah makan pagi yang disajikan secara prasmanan, kita, anggota TPOH (minus Sekjen dan Dirjen BIUH Depag) sudah ‘siap tempur’ untuk segera diberangkatkan. Sesuai yang ditentukan, kita mengenakan Pakaian Sipil Lengkap (PSL) yaitu Setelan Jas plus dasi dan peci.. Berbeda dengan calhaj yang lain. Pokoknya kita lebih gagah sedikitlah. Siapa dulu…TPOH!
Akhirnya Kloter 106 pun diberangkatkan dari Asrama Haji menuju ke Terminal Haji Bandara Halim Perdanakusumah
Terminal Haji Bandara Halim Perdanakusumah pada saat itu (tahun 1992) merupakan daerah ‘terbatas’. Dalam arti setiap musim pemberangkatan dan pemulangan jemaah haji Indonesia, Terminal Haji ini dinyatakan sebagai daerah ‘steril’ dan tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang. Hanya Petugas dan mereka yang mempunyai tanda pengenal resmi (yang dikeluarkan Depag) saja yang dapat ijin untuk masuk Terminal. Calon Jemaah Haji Indonesia pun hanya dapat masuk secara bersama-sama (dalam satu kelompok terbang yang telah ditentukan), ketika tiba saatnya untuk ‘boarding’ (masuk ke pesawat). Para pengantar Calhaj -yang biasanya memang sangat banyak- dilarang keras masuk ke daerah Terminal ini. Mereka hanya diijinkan mengantar Calhaj sampai pintu gerbang Asrama Haji saja.
Ketika sedang antri menuju pintu pemeriksaan Paspor dan boarding pass, dari balkon lantai dua Terminal Haji terlihat ada serombongan orang (Ibu-ibu dan anak-anaknya) yang sibuk melambai-lambaikan tangannya. Semula saya tidak terlalu memedulikan hal itu karena saya pikir balkon itu merupakan daerah ‘steril’ yang hanya dapat dimasuki oleh Petugas yang berwenang saja. Tapi setelah sayup-sayup saya mendengar teriakan dari suara yang rasanya tidak asing ditelinga saya, sayapun lalu mencoba memerhatikan arah datangnya suara dari lantai dua itu. Masya Allah. Ternyata yang sibuk melambai-lambaikan tangan sambil berteriak-teriak memanggil itu adalah istri dan anak-anak saya! Saya terheran-heran. Bagaimana mereka bisa masuk kedalam daerah ‘steril’ yang sangat terlarang itu? Dari sekian ratus orang calhaj kloter 106 (termasuk 18 orang anggota TPOH lainnya), hanya saya yang tampaknya diantar oleh keluarga sampai ke pintu pemberangkatan Terminal Haji. Kisah ‘perjuangan’ anak istri saya sampai bisa masuk daerah terlarang itu baru saya dengar secara lengkap sewaktu telah kembali ke tanah air hampir 40 hari kemudian.
Memasuki pesawat Boeing 747-300 Garuda, hati saya bergejolak tidak karuan. TPOH mendapatkan seat (tempat duduk) ‘terhormat’ di baris terdepan. Walau konfigurasi tempat duduk pesawat haji dibuat sangat berhimpitan, tapi mendapat seat dibaris terdepan lumayan bisa bernafas agak lega.
Perlahan pesawat mulai bergerak dan sebelum pesawat lepas landas, pimpinan kloter 106 memimpin membaca doa keberangkatan dan dilanjutkan dengan membaca talbiah berulang-ulang:
“Labbaika allaahumma labbaika, labbaika laa syariikalaka labbaika, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syariika laka”
(Aku sambut panggilan Mu ya Allah, aku sambut panggilanmu. Aku sambut panggilan Mu,tidak ada sekutu bagi Mu, aku sambut panggilan Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat serta kerajaan adalah kepunyaan Mu).
Tak terasa air mata saya mengalir deras. Pesawat Boeing 747-300 Garuda melaju makin cepat dilandasan dan kemudian mengudara meninggalkan tanah air menuju ke tanah suci. Tanah yang dirindukan oleh semua umat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah SAW diseluruh Negara yang ada didunia.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar