(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (85)
Released by mastonie, Thursday, May 20, 2010 at 10.04 pm
Terpana menyaksikan Ka’bah untuk pertama kali…..
(Setiap hari umat Muslim diseluruh dunia dapat dipastikan akan menghadapkan wajahnya ke Qiblat yang sama paling sedikit lima kali. Yaitu ketika mereka melaksanakan salat fardu / wajib. Bisa lebih banyak kalau ditambah dengan salat sunah. Dan Qiblat -berarti penjuru atau arah- itu adalah sebuah bangunan empat persegi yang berdiri megah ditengah-tengah Masjidil Haram di kota Mekah al-Mukaramah. Itulah bangunan yang lazim kita kenal sebagai “KA’BAH”.
Pergi ketanah suci -beribadah haji- merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Namun tidak semua umat Islam beruntung dapat atau mampu melaksanakannya, walaupun -wajibnya- hanya sekali seumur hidup. Bagi Muslim yang beruntung telah dapat pergi ketanah suci, baik dalam rangka umrah ataupun naik haji, dapat dipastikan telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bangunan yang disebut sebagai Ka’bah itu. Tentu akan muncul beragam kesan pada setiap insan sewaktu pertama kali ia melihat Ka’bah)
Dan inilah kisah sewaktu untuk pertama kalinya saya menatap langsung Baitullah…
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar (pondasi) rumah itu (Baitullah) bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Allah, Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ” (Al-Baqarah, QS. 2 : 127).
Dengan menggunakan beberapa kendaraan sedan dan van “made in USA” merk GMC serta didahului dengan pengawalan dari asykar kerajaan Arab Saudi, rombongan Menko Kesra Soepardjo Roestam menuju kota haram (suci) Makkah Al-Mukarromah.
Kurang lebih 45 menit melalui jalan yang halus mulus, dengan pemandangan kiri kanan yang full bebatuan, maka sampailah kita di Istana Raja yang terletak tepat disebelah bangunan Masjidil Haram.
Cuaca lumayan menyengat, panas terik. Tapi aneh, tidak membuat kita berkeringat. Mengherankan. Dan inilah pengalaman baru saya -dan mungkin juga beberapa anggota rombongan yang lain- puasa Ramadhan di tanah suci.
Setelah menunggu beberapa saat, maka rombongan segera memasuki Masjidil Haram dari pintu khusus yang menghubungkan Istana Raja dengan Masjid.
Begitu memasuki masjid saya terpana. Subhanallah. Allahu Akbar. Bukan masjidnya benar yang membuat saya terperangah. Tapi sebuah bangunan berbentuk kubus berwarna hitam yang tampak dikejauhan itulah yang membuat mata saya tersentak.
Rupanya itulah Baitullah. Rumah Allah alias Ka’bah. Bangunan yang selama ini menjadi Qiblat -penjuru- seluruh umat Islam sedunia pada waktu salat.
Dikerumuni beratus -barangkali beribu- manusia yang berjalan dengan khusyuk mengelilinginya (itulah tawaf), maka tampaklah keagungan dan keanggunan Ka’bah. Diselimuti kain hitam berenda dan berkaligrafi emas -disebut kiswah- yang sepertiga bagian bawahnya digulung keatas. Konon untuk menghindari tangan-tangan jahil yang sering menyobek kiswah itu untuk ‘souvenir’, atau (yang paling dikhawatirkan) ada yang memakainya untuk ‘jimat’! Ini jelas perbuatan syirik (menyekutukan Allah) yang haram hukumnya.
Ka’bah memang betul-betul menjadi ‘point of view’ (pusat perhatian) bagi siapapun yang memasuki Masjidil Haram. Apalagi bagi mereka yang baru pertama kali mengalaminya.
Mata saya terasa basah. Air mata saya tidak hanya meleleh, tapi tumpah! Padahal selama ini saya tidak mudah menangis dan tidak cengeng.
Ka'bah dalam 'bingkai' Masjidil Haram
Inilah benda yang selama ini hanya dapat saya lihat dalam gambar. Allahu Akbar.
Ka'bah dalam 'bingkai' Masjidil Haram
Inilah benda yang selama ini hanya dapat saya lihat dalam gambar. Allahu Akbar.
Sekarang saya menatap langsung dan berdiri tertegun tepat dihadapannya! Tubuh saya gemetar, sendi lutut terasa begitu lemah. Kalau tidak malu karena dilihat banyak orang, dan ada dalam rombongan tamu resmi Kerajaan, mungkin saya akan menjatuhkan diri sambil menangis tersedu sedan. Merasa betapa kecil dan kotornya diri saya dihadapan Rumah Allah yang megah itu.
Inilah bangunan yang dinamakan Baitullah (rumah Allah), Ka’bah (bangunan segi empat), Al-Bait al-Haram (rumah suci), Al-Bait al-‘Atiq (rumah pusaka) atau Qiblat (penjuru) itu.
Berbentuk empat persegi, konon ‘bilik’ yang dibangun (kembali) oleh Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s itu berasal dari batu yang diambil (oleh Malaikat Jibril) dari 5 buah gunung (bukit) yaitu: Hira’, Tsabir, Labanaan, Thur, dan Khair. Konon pula batu yang dibuat pondasi oleh Nabi Ibrahim berbentuk seperti punggung onta. Pondasi itu terbukti sangat kuat walaupun tidak disatukan dengan perekat. Selama lebih dari 5000 tahun (sejak jaman Nabi Ibrahim a.s), bangunan Ka’bah tetap bertahan berdiri tegak diterpa iklim dan perubahan cuaca Arab Saudi yang ganas. Termasuk banjir yang beberapa kali pernah melanda kota Mekah.
Pada waktu dibangun (kembali) oleh Nabi Ibrahim a.s, Ka’bah tidak beratap dan mempunyai dua buah pintu yang saling bertolak belakang. Seiring berjalannya waktu, beberapa kali Ka’bah mengalami renovasi. Salah satunya dilakukan oleh Bani Quraisy pada tahun 18 SH (sebelum Hijrah). Pondasi Ka’bah ditinggikan, diberi atap (karena pernah terjadi ada pencuri masuk Ka’bah lewat atas dan mengambil barang-barang berharga didalamnya) dan pintu belakangnya ditutup. Sampai sekarang Ka’bah hanya mempunyai satu pintu saja.
Adapun perkiraan ukuran Ka’bah saat ini adalah sbb: Tingginya sekitar 14 meter. Panjang dinding diarah Hajar Aswad adalah 11,53 meter, panjang dinding depan dimana terdapat pintu Ka’bah adalah 12,84 meter. Panjang dinding diarah Hijir Ismail adalah 11,28 meter, sedangkan dinding disebelah rukun Yamani sepanjang 13,16 meter.
Adapun perkiraan ukuran Ka’bah saat ini adalah sbb: Tingginya sekitar 14 meter. Panjang dinding diarah Hajar Aswad adalah 11,53 meter, panjang dinding depan dimana terdapat pintu Ka’bah adalah 12,84 meter. Panjang dinding diarah Hijir Ismail adalah 11,28 meter, sedangkan dinding disebelah rukun Yamani sepanjang 13,16 meter.
Dengan demikian meskipun bentuknya persegi empat, Ka’bah ternyata adalah sebuah bangunan yang tidak siku-siku alias tidak sama sisi!
Siapapun yang berdiri menghadap Baitullah akan merasakan pancaran ‘kharisma’ yang begitu kuat yang seolah keluar dari dalam bangunan batu yang sangat kokoh ini. Tidak percuma ia disebut sebagai “Rumah Allah” dan menjadi Qiblat bagi umat Muslim diseluruh penjuru dunia. Inilah bangunan yang bahkan Allah Swt sendiri yang memerintahkan untuk membangunnya kepada Nabi Adam a.s, dan kemudian kepada Nabi Ibrahim a.s. dibantu putranya, Ismail a.s.
Ditengah terik mentari saya menggigil merasakan kebesaran dan keagungan Allah SWT yang begitu dahsyat memancar dari Rumah NYA, menyergap sampai kerelung hati nurani. Saya merasa tak berdaya….inilah salah satu tanda kebesaran MU ya Allah….Allahu Akbar…..
Setelah membaca beberapa do’a -diantaranya do’a masuk Masjidil Haram dan do’a melihat Ka’bah- yang dipimpin oleh seorang mutawif, maka rombongan segera menuju ke Ka’bah dan segera melakukan tawaf. Diawali dengan mengucapkan “Bismillahi Allahu Akbar” sambil melambaikan tangan kearah Hajar Aswad sebanyak tiga kali, maka sayapun mengikuti rombongan untuk melakukan tawaf sebanyak tujuh putaran melawan arah jarum jam sambil menirukan do’a yang dibaca oleh mutawif.
Meski panas terasa menyengat, tapi kaki yang menginjak pelataran yang terbuat dari marmer putih disekitar Ka’bah justru terasa dingin. Konon selain terbuat dari marmer khusus yang bisa menyerap panas, konstruksi dibawah lantainya dipasang semacam mesin pendingin. Wallahu a'lam.
Setelah menyelesaikan seluruh acara ritual yang ditetapkan dalam melaksanakan ibadah Umrah -tawaf, salat sunah dua rakaat didepan multazam, minum air zam-zam dan sa’i serta diakhiri dengan tahalul-, maka rombongan dipersilakan memasuki ruangan khusus dilantai dua Masjidil Haram. Disini kita melakukan salat wajib berjamaah dan salat sunah lainnya. Ruangan khusus ini seluruh dindingnya tertutup dengan kaca. Kita dapat salat dengan khusyuk dan menyaksikan Ka’bah dengan tenang, tidak terganggu oleh aktifitas jemaah lain yang sedang melakukan ibadah.
Saya (kiri) berdoa dengan latar belakang Ka'bah......
Pada saat itu (tahun 1992 M) jemaah yang memasuki Masjidil haram dilarang keras membawa alat pemotret. Disetiap pintu masuk masjid para asykar -baik yang berseragam coklat maupun yang memakai gamis putih dan bersorban- akan memeriksa dengan sangat teliti setiap orang yang memasuki masjid. Bahkan siapapun akan digeledah kalau terlihat membawa benda yang mencurigakan! Saya beruntung masuk dalam rombongan tamu Kerajaan. Sehingga pemeriksaan tidak terlalu ketat. Seingat saya malah tidak diperiksa sama sekali, karena kita masuk Masjidil Haram langsung dari pintu Istana Raja. Waktu itu secara sembunyi-sembunyi saya nekat membawa foto tustel kecil (kamera konvensional, belum digital) yang saya simpan dibalik kain ihram yang saya pakai. Maka ketika situasi “aman dan terkendali”, saya nekat membuat beberapa foto rekan-rekan anggota rombongan dengan latar belakang Ka’bah!(Ketika hasil fotonya saya cetak -setelah berada ditanah air-, banyak orang yang tidak percaya bahwa gambar yang ada dilatar belakang foto saya adalah Ka’bah sungguhan. Memangnya ada Ka’bah palsu? Foto itu saat ini -tahun 2010 M- tentu sudah “jadi sejarah” karena ada beberapa wajah dalam foto-foto tersebut yang kini sudah berpulang ke rahmatullah. Termasuk Almarhum Bapak Letjen TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam -Mantan Mendagri dan Menko Kesra-)
Setelah selesai melaksanakan ibadah Umrah, disepanjang perjalanan peninjauan di tanah suci, Bu Pardjo selalu menggoda, terutama kepada anggota rombongan yang baru untuk pertama kalinya melaksanakan Umrah.
“Ingat lho ya, bapak-bapak ini sekarang sudah jadi ‘haji kecil’, jadi ya ….. tahu sendirilah konsekwensinya”
Apa yang dikatakan Ibu Soepardjo memang ada benarnya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Melakukan ibadah umrah pada bulan Ramadhan seperti mengamalkan ibadah haji atau seperti (pergi) haji bersamaku” (HR. Bukhari). Wallahu a'lam.
Tak hentinya saya mensyukuri nikmat Allah karena telah dapat melaksanakan Umrah (dibulan Ramadhan lagi). Seraya terus mengingat bahwa hanya karena ijin Allah SWT melalui Bapak Soepardjo Roestamlah saya bisa menunaikan ibadah Umrah (Ramadhan) saya yang pertama kali.
Semoga Allah SWT berkenan menempatkan arwah beliau ditempat terbaik sesuai amal ibadah dan bakti beliau. Amiiiin.
Khusyuk berdoa didepan “Multazam”
(“Ya Allah ijinkanlah saya datang kembali memenuhi panggilan Mu baik untuk ber haji maupun ber umrah, baik sendiri maupun bersama keluarga. Dan dengan kebesaran kuasa Mu mohon ijinkan kami sekeluarga untuk dapat mengunjungi tanah suci Mu bukan hanya untuk sekali saja. Amien Ya Rabbal Alamin”).
Itulah doa (versi atau karangan saya sendiri) yang dengan sangat khusyuk saya panjatkan ditempat yang Insya Allah adalah tempat dimana semua doa dikabulkan.
Yaitu sebuah tempat yang bernama “Multazam”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abas disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
"Antara Rukun Aswad (sudut Ka'bah dimana terletak Hajar Aswad) dan pintu Ka'bah disebut Multazam. Tidak ada orang yang meminta sesuatu didepannya (Multazam), melainkan Allah mengabulkan permintaan itu".
Yaitu sebuah tempat yang bernama “Multazam”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abas disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
"Antara Rukun Aswad (sudut Ka'bah dimana terletak Hajar Aswad) dan pintu Ka'bah disebut Multazam. Tidak ada orang yang meminta sesuatu didepannya (Multazam), melainkan Allah mengabulkan permintaan itu".
Terletak diantara ‘Hajar Aswad’ dan Pintu Ka’bah, Multazam selalu penuh sesak dengan jamaah. Laki-laki maupun perempuan biasa saling berebut untuk bisa sekedar memperoleh sejengkal tempat untuk melakukan salat dua raka’at sesudah tawaf. Dengan berlinangan air mata sayapun termasuk salah satu diantara jamaa’ah yang salat dan berdoa dengan sangat khusyuk sambil menghadap ke Ka’bah. Dalam situasi yang “full” berdesak-desakan.
Saya betul-betul menangis “luar dalam” sampai berleleran air mata. Saya pasrahkan hidup saya sekeluarga kepada Allah Illahi Rabbi, seraya mohon pengampunan atas segala dosa serta mohon ijin agar bisa mendapatkan kemudahan dan “undangan” lagi untuk mengunjungi tanah suci Nya, sendiri, dengan isteri ataupun kalau diijinkan Allah SWT, tentu saya ingin datang dengan seluruh anggota keluarga.
Semua itu saya laksanakan pada saat melakukan “tawaf Umroh” (tawaf yang dilakukan ketika melaksanakan Umroh) bersama rombongan Menko Kesra.
Dalam perjalanan bermobil menuju ketempat ziarah lain yang sudah diatur oleh Protokol KBRI, pikiran saya seolah masih tertinggal di Ka’bah!
Ada kekuatan yang lebih hebat dari magnet Kutub Utara, yang seolah mengikat saya untuk datang dan datang lagi untuk beribadah didalamnya.
Namun entah kapan.
Ada kekuatan yang lebih hebat dari magnet Kutub Utara, yang seolah mengikat saya untuk datang dan datang lagi untuk beribadah didalamnya.
Namun entah kapan.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar