Jumat, 29 April 2011

"SAJAK KELABU"




elegi buat ibu
(sajak duka untuk almarhumah ibu tercinta)

 Almarhumah Ibu Soelarti binti Haji Hadiwisastro

lahir : Surakarta, 28 November 1929
wafat : Semarang, 22 April 2011 


ibu,

ketika kereta kencana yang menjemputmu
tiba pada keheningan malam hari itu
hujan dan angin sedang sibuk menyiramkan tabir kelabu
airnya diseantero kota yang lebih uzur dari usiamu
derasnya seakan ingin menyapa dan menyaput duka lara kalbu
ketika dengan tersenyum dalam tidurmu yang syahdu
engkau pergi tanpa sepatah katapun terucap pada anak cucu dan cicitmu


ibu tersayang,

sejuta penyesalan tak kan cukup kami tangisi sepanjang
sisa hidup kami saat kabar duka itu datang yang
bagai semilyar halilintar menyambar dan  menerjang
lalu semua seakan gelap anganpun pupus melayang
tak ada tangis kerna air mata tak cukup lagi menangisi jasadmu yang
kini terbujur dengan damai dalam naungan selendang
bidadari dan selaksa malaikat yang mendampingimu diawang-awang


ibu,

terbayang dipelupuk mata saat-saat  indah  ketika
senyum dan suara merdumu selalu mengiringi
solah tingkah anak cucu dan cicitmu diwaktu lara maupun suka
dan dalam perjalanan panjangmu kealam barzah kini
kami yang kau tinggalkan akan  khusyu' berdoa senantiasa
sebagai sisa amalan yang dapat meringankanmu nanti
saat Allah Swt menghisabnya dipadang mahsyar ketika waktunya tiba
Insya Allah surgalah tempatmu yang abadi


ibu pepundhen kami,

usah risau dan resah lagi
  beristirahatlah dalam kedamaian nan kekal abadi
anak cucu dan cicitmu akan  tetap mengenang dan mencintai
dengan sepenuh hati  dan jiwa  kami
walau kepergianmu menorehkan luka yang  menyayat hati
hanya tawakal yang membuat kami tetap berharap seraya mensyukuri
semoga kepergian 'khusnul khotimah' yang ibu jalani



ibu yang kami cintai, 

selamat jalan, kinipun kami sedang menanti
giliran untuk dapat bertemu denganmu lagi
dalam kehidupan yang kekal dialam abadi
amin yaa Allah yaa Robbi




pondokgede dalam kerinduan membayang,
tujuh hari setelah ibu  berpulang


Selasa, 26 April 2011

"MENINGGALKAN MINA.....'KEROKAN' DI TEMPAT TRANSIT..."


(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)

( 13 )


Selamat Tinggal Mina.......


 Released by mastonie on Tuesday, April 26, 2011 at 06.34 pm


Terharu biru meninggalkan Mina…..

melempar jumroh terakhir                             foto2: mastonie
Karena jemaah haji Anubi sejak awal diputuskan mengambil Nafar Awal, maka sehabis melempar tiga jumroh (Ula, Wustha dan Aqobah) untuk kedua kalinya, rombongan akan segera ‘check out’ dari tenda Maktab 82 di Mina untuk menuju ke kota Mekah.
Yang dimaksud dengan istilah Nafar Awal adalah: apabila jemaah haji hanya melempar jumroh Aqobah satu kali dan melempar tiga jumroh sebanyak 2 kali selama mabit di Mina. Sehingga jumlah batu yang dilempar hanya sebanyak 49 butir saja ( 7 butir untuk melempar Aqobah + 2 x melempar 3 jumroh @ 7 butir). Jemaah haji yang mengambil nafar awal sudah harus meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah. 
Alhamdulillah, akhirnya saya bisa 'bangkit' kembali dari tempat (lebih tepatnya alas) tidur. Disiang hari menjelang asar, saya paksakan diri ikut rombongan jemaah haji Anubi pergi melempar tiga jumroh , Ula, Wustha dan Aqobah untuk yang kedua kalinya (terakhir untuk nafar awal). Saya merasa badan sangat berat dan tulang terasa ngilu semua bagaikan habis dikeroyok Hansip dua kompi! Terseok-seok saya berjalan perlahan dalam barisan menuju lokasi jamarat. Semangat saya  terbangkitkan melihat betapa masih banyak jemaah haji dirombongan lain yang saya jumpai dijalan berusia lebih tua dari saya.  Mereka tampak begitu bersemangat walaupun tak dapat menyembunyikan wajah tua dan keletihannya. 
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada saya melempar ketiga jumroh masing-masing dua kali  dengan tujuh butir batu (karena saya harus meng-haji ba'dalkan almarhum ayah saya).

'numpang nampang' diluar lokasi jamarat
Tunai sudah janji saya. Usai sudah tugas terberat yang harus saya laksanakan sebagai bagian dari rukun haji. Kini saya merasa badan saya seperti melayang, ketika dipapah istri saya keluar dari kerumunan orang yang ribuan jumlahnya. Walaupun barangkali wajah saya yang terbungkus jaket 'ponco' (hadiah dari anak lelaki saya) tampak 'awut-awutan' karena menahan rasa sakit dan kelelahan, masih saya sempatkan untuk berpose bersama istri didepan lokasi Jamarat yang kini bagaikan sebuah "Mal" besar bertingkat empat atau lima itu. Kenangan yang pasti tak akan terlupakan. 
Hari menjelang Magrib ketika tiga buah bus (nomor 2, 3 dan 4) meninggalkan Mina.
Duduk meringkuk menahan sakit dan kelelahan didalam bus no 4, hati saya tercekat.
Sebentar lagi Mina akan menjadi tanah kosong kembali. Padahal pada waktu mabit, ‘penduduk’ Mina bisa lebih dari dua juta orang yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Sungguh sebuah tempat (selain padang Arafah) yang sangat mulia dan istimewa.
Sulit rasanya menahan perasaan haru yang tiba-tiba saja menyerbu kalbu.
Akan mampukah saya datang lagi ke Mina pada suatu waktu nanti dikelak kemudian hari?
Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang tahu segalanya. Namun saya terus berdoa.
Persis seperti doa saya didepan Multazam saat Umroh Ramadhan pada tahun 1992 dahulu:

(“Ya Allah ijinkanlah saya datang kembali memenuhi panggilan Mu baik untuk ber haji maupun ber umrah, baik sendiri maupun bersama keluarga. Dan dengan kebesaran kuasa Mu mohon ijinkan  kami sekeluarga untuk dapat mengunjungi tanah suci Mu bukan hanya untuk sekali saja. Amien Ya Rabbal Alamin”).


‘Tragedi kerokan' terulang lagi……

Magrib telah tiba ketika dua buah bus (bus no 3 dan bus no 4) merapat kesebuah gedung yang mirip sebuah apartemen. Tapi kondisi bangunannya sangat sederhana sekali. Entah berada didaerah mana.
(Menurut ceritera istri saya yang sempat berjalan-jalan disekitar pemondokan atau apartemen itu  pada malam dan siang harinya,  daerah itu masih berada diwilayah Aziziah).
Mengapa hanya ada dua bus yang berhenti disini? 
Bus nomor 2 tanpa koordinasi ternyata terus ngacir menuju kota Mekah.
Saya yang masih ‘setengah sehat’, agak bingung. Karena dalam buku panduan disebutkan, setelah meninggalkan Mina jemaah Anubi akan tidur dihotel di Mekah.
Pengurus Anubi Travel kemudian menjelaskan, bahwa karena adanya percepatan waktu atau dimajukannya waktu wukuf selama sehari (tanggal 9 Dzulhijjah 1428 H semula diperkirakan  jatuh pada tanggal 19 Desember, tapi Raja Arab Saudi -yang memang mempunyai kewenangan mutlak untuk menentukan- entah dengan alasan apa, memajukan waktu wukuf menjadi tanggal 18 Desember 2007), maka kacau balaulah rencana akomodasi yang disusun. Seluruh hotel di Mekah rupanya mengalami pergeseran ‘waktu tinggal’ semua penghuninya. Ini menyebabkan jemaah haji Anubi pada malam itu belum bisa ‘check in’ dihotel yang sudah tertulis dalam buku panduan dan jadwal acara.
Penumpang bus no 3 dan 4 tidak kuasa menolak lagi. Terpaksa malam hari ini kita menginap ditempat transit yang sederhana itu. Makanpun dijatah dengan nasi bungkus seadanya. Namanya juga keadaan darurat. Tapi kita semua menganggap hal tersebut sebagai bagian dari ujian (dalam bentuk yang lain lagi) kepada jemaah haji yang harus diterima dengan sabar dan tawakal.
Dilantai 3, saya mendapatkan kamar sederhana yang berisi 4 – 6 dipan, bersama 3 orang jemaah yang berasal dari bus 3. Malam hari itu badan saya meriang lagi. Batuk kembali menyerang dengan ganasnya. Saya nyaris putus asa karena lelah terus menerus batuk, padahal sudah minum segala macam obat yang diberikan oleh dokter Naryo.  

kerokan ditempat transit
Tiba-tiba saya teringat nasehat perawat di Poliklinik Haji Indonesia (juga terletak di daerah Aziziah) pada saat saya menderita batuk ketika pergi haji limabelas tahun yang lalu: 
“Batuk? Kerokan saja pak”.
Saya terpaksa memanggil istri saya yang tidur dikamar lain. Saya minta dia melakukan "ritual" penyembuhan tradisional itu: kerokan.
Alhasil karena saran dokter Naryo yang menetapkan bahwa kondisi tubuh saya harus terus dipantau, istri saya mendapat dispensasi untuk tidur didekat saya (tentu didipan yang berbeda) dikamar yang semua penghuninya lelaki.   
Namanya juga keadaan darurat.                                                     
Tapi rupanya ada yang merasa tidak ‘enak hati’. Seorang penghuni kamar (sebut saja namanya Pak Haji "O") merelakan dirinya untuk berjalan-jalan saja diluar apartemen sambil menunggu subuh tiba, daripada tidur dalam kamar yang ada “penghuni gelap”nya: seorang wanita yang bukan mahramnya. 
Saya tak mampu untuk mencegahnya. Maafkan saya Pak Haji.
Demikian tadi  sekilas info tentang ‘nasib’ penumpang bus no 3 dan 4.
Penumpang bus no 2 rupanya bernasib tidak lebih baik.
Setelah tiba di hotel yang ditentukan dikota Mekah, ternyata kamar yang sudah dipesan belum tersedia, karena masih dihuni oleh jemaah dari negara lain yang baru akan check out esok hari. Walaupun (konon) terjadi perdebatan seru antara Pengurus Anubi dengan Petugas  front office Hotel, tetap saja jemaah haji Anubi tidak diijinkan check in pada malam hari itu.
Jadi para penumpang bus nomor 2  terpaksa bermalam dengan menggelar alas seadanya dilobi hotel.
Masih lumayan nasib penumpang bus 3 dan 4 yang meskipun berada dalam kamar sederhana , tapi dapat nyenyak tidur diatas dipan dan masih mendapat jatah makan.
Penumpang bus no 1 tidak perlu diceritakan lagi. Mereka kan jemaah super VVIP yang sejak awal tidak pernah beringsut meninggalkan kamar hotel mewahnya.


bersambung.....

Jumat, 22 April 2011

"LEMPAR JUMRAH DI 'SIANG NDHRANDHANG'....JATUH SAKIT DI MINA"


(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)


( 12 )


Jumroh Aqobah  


Released by mastonie on Friday, April 22, 2011 at 10.35 am


Lempar Jumroh Aqobah  pertama di siang ‘ndhrandhang’

Turun dari bus 4, waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah hari kurang sedikit. Padahal seharusnya penumpang bus 4 sudah harus melaksanakan rukun haji berikutnya yaitu melempar Jumroh Aqobah untuk yang pertama kali. Tenda Maktab di Mina masih kelihatan sepi. Pasti  para penghuninya masih berada disekitar lokasi Jamarat.
Siang itu juga harus pergi melempar untuk mengejar waktu. Tentu setelah sholat Dhuhur dan makan seadanya. Penumpang bus 4 ada 32 orang. Beberapa orang sudah termasuk ‘lansia’. Harus segera dibuat kesepakatan. Ternyata semua setuju sehabis sholat dan makan terus pergi melempar. jumroh Aqobah. Saya cepat-cepat mengambil batu kerikil yang disediakan pengurus Maktab 82. 
Karena saya berniat meng-haji badal-kan almarhum ayah kandung saya, maka saya mengambil 14 butir batu, saya tambah beberapa butir sebagai cadangan untuk berjaga-jaga kalau lemparan saya meleset.
Disiang ‘ndhrandhang’  (bolong) itu dalam keadaan cuaca panas terik rombongan berjalan kaki menuju lokasi melempar jumroh. Jaraknya sekitar 1 kilo lebih. Pemandu dari Anubi ternyata salah mengambil jalan, sehingga rombongan yang dipandunya harus berjalan kaki memutar. 
Saya merasa badan sudah agak greges-greges (meriang).
Tapi semangat saya masih cukup tinggi.
Sampai dilokasi Jumroh Aqobah saya tertegun. Kali ini saya betul-betul pangling (hampir tak kenal lagi) dengan lokasi Jamarat (tempat pelemparan Jumroh). 
 tiang 'Jumroh' jaman dahulu
Tahun 1992 dulu lokasi jamarat masih sangat sederhana. Walaupun jalannya saat itu sudah dibuat bertingkat dua.  Tiang Jumroh masih berupa tugu segi empat berujung lancip yang menjulang menembus sampai lantai dua. Ditiap lantai  tiang Jumroh dikelilingi oleh semacam lingkaran mirip  bibir sumur yang tingginya sebatas dada orang dewasa.
Sekarang (2007) yang ada dihadapan saya adalah semacam jalan layang yang menuju ke bangunan besar yang  mirip  Gedung Parkir sebuah Mal. Sebagian belum selesai dikerjakan. Tampak lengan-lengan  crane masih berada disekitar lokasi jamarat. Setidaknya saya lihat ada bangunan empat atau lima tingkat. Dua tingkat sudah hampir selesai sempurna, sedang yang dua tingkat lagi masih dalam pengerjaan.
Dari segala penjuru  jemaah haji berbondong-bondong berjalan kaki menuju Jamarat. Panji-panji dan bendera Negara berkibaran dibawa rombongan. Banyak rombongan jemaah yang masih memakai pakaian ihram, tapi ada juga sebagian yang berpakaian biasa saja. Saya melihat jalan menuju jumroh sudah dibuat satu arah. Jalan masuk dan jalan keluar sudah dipisah. Dimana-mana tampak askar berjaga-jaga. Tapi jemaah yang nekat mencoba melanggar peraturan dengan melawan arah ternyata masih banyak juga.

Jumroh Aqobah (tahun 2007)
Ketika tiba persis didepan Jumroh Aqobah saya terlongong-longong bahna heran bin takjub. Yang disebut sebagai “jumroh” itu kini berbentuk seperti tiang pondasi jalan layang atau fly over di jalan tol Jakarta! Malah bentuknya lebih besar lagi. Dilapisi dengan semacam kepingan batu berukuran sekitar 50 x 50 cm berwarna abu-abu kehijauan, dinding jumroh itu berbentuk pipih tapi tampak kokoh membentang dihadapan para jemaah. Kalau dulu sewaktu masih berbentuk tiang kecil bersegi empat, jemaah bisa luput melempar jumroh sehingga batunya bisa melayang keseberang, kini hal itu tidak akan mungkin terjadi.  Dinding jumrah itu masih tetap dikelilingi dengan tembok pembatas setinggi  dada orang dewasa. Dari luar tembok pembatas inilah para jemaah beramai-ramai melempari dinding “perlambang setan” itu.
Yang masih sama saya rasakan dengan tahun 1992 dulu adalah ‘atmosfer’ nya. Walaupun jumroh sudah dibuat menyerupai dinding sebesar itu, tetap saja para jemaah berebut tempat untuk melempar dari jarak yang sedekat-dekatnya. Hiruk-pikuknya tetap sama. Teriakan riuh rendahnya tetap tak berbeda. Juga emosinya. Terlihat dengan masih adanya jemaah yang melempar dengan benda apa saja selain batu kerikil yang ditentukan. Disekitar dinding pembatas jumroh terlihat berserakan kerikil bercampur dengan sepatu, sandal, botol minuman, payung dan benda lain yang tak terkira jenisnya. Masya Allah.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah dengan bijak mengeluarkan pemberitahuan tentang jadwal pelemparan jumroh untuk masing-masing Negara. Maksudnya agar para jemaah haji tidak hanya memburu waktu yang afdol untuk melempar, sehingga bisa mengakibatkan bertumpuknya para jemaah disatu tempat.  Tapi toh tetap saja jumlah para jemaah yang melempar jumroh setiap saat luar biasa banyaknya yang membuat daerah sekitar Jamarat selalu penuh sesak.
Terngiang dalam pikiran saya ceramah salah seorang ustad, juga (katanya) penelitian beberapa ahli (!) yang menyebutkan bahwa banyak keajaiban terjadi pada saat jemaah melempar jumroh. Salah satu keajaiban  menyebutkan bahwa pertanda mabrur atau tidaknya seseorang dalam menunaikan ibadah haji bisa terlihat ditempat pelemparan jumroh ini.
Konon jemaah yang hajinya diterima oleh Allah Swt, maka batu (kerikil) yang dilemparnya kearah jumroh tidak akan jatuh kebawah tapi seakan tersedot keatas dan raib entah kemana. Wallahu ‘alam bissawab.
Saya tak berniat untuk membuktikannya. Tidak sempat lagi. Biarlah Allah Swt yang menentukan. Waktu itu saya hanya berusaha menjaga istri saya tetap berada tidak jauh dari tempat saya melempar agar saya tetap bisa melindunginya dari desakan jemaah lain yang bagaikan air bah melanda. Sepanjang perjalanan menuju Jamarat saya membaca doa dan ayat kursi berulang-ulang. Saya bermohon kepada Allah Swt agar diberi kekuatan dan kemudahan, karena saya juga berniat menghaji badalkan almarhum ayah kandung saya. Jadi saya akan melempar dua kali, oleh sebab itu saya membawa batu yang jumlahnya juga dua kali lipat. 
dinding Jumroh Aqobah
Disaat itulah saya merasakan ada ‘invisible hand of God’. Bergandengan tangan rapat dengan istri, saya mendapatkan jalan yang tiba-tiba saja seperti tersibak dihadapan kami. Kosong! Segera saya tarik maju istri saya kedekat dinding pembatas. Disitulah kami berdua memulai melempar jumroh Aqobah.
Bismillahi Allahu Akbar. Dengan tenang saya melempar tujuh batu, kemudian saya ulangi lagi lemparan kedua (untuk badal haji almarhum ayah saya) sebanyak tujuh kali juga. Saya lirik istri saya juga sudah selesai melempar. Usai sudah!
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.
Saya sempatkan untuk mengambil beberapa gambar sebelum secepatnya saya gandeng istri saya keluar dari kerumunan jemaah yang terus mengalir seperti banjir. Saya bergerak kearah daerah diluar jumroh Aqobah yang sedikit kosong. Disitulah pemandu Anubi dengan bendera lambang Anubi dan bendera Merah Putih  berada. Beberapa rekan satu rombongan sudah ada pula yang bergabung. Saya keluarkan gunting kecil dari tas leher saya. Kita melakukan tahalul awal yang pertama bersama-sama. Saling menggunting beberapa helai rambut. Sungguh lega sekali rasanya.
Tapi badan saya sudah mulai terasa seperti melayang-layang.

Terserang demam tinggi….

Sempat berfoto-foto sebentar diluar Jamarat, saya kemudian berjalan pulang ke tenda Maktab di Mina. Matahari sudah bergeser tapi panasnya masih tetap terasa. Meski tidak sangat terik.
Tenggorokan saya kering dan mulai terasa sakit. Padahal batuknya sudah agak reda.  

Sehabis shalat Ashar saya masuk ketenda untuk beristirahat dan mencoba tidur. Tapi badan saya sekarang mulai menggigil. Ditengah cuaca panas seperti itu saya justru merasa sangat kedinginan. Wah, ada yang tidak beres ini, begitu yang terlintas dalam pikiran saya. Segera saya telepon istri saya yang tendanya terpisah agak jauh (untung sudah jaman telepon genggam).  Saya tutup sekujur badan dengan selimut yang ada untuk mengurangi rasa dingin yang mendera.
Istri saya kaget waktu meraba badan saya.
“Panas sekali lho pah” katanya agak panik. Dia pasti sangat cemas mengingat saya memang baru sembuh dari sakit. Segera saya minta dia memanggil dokter Naryo ditenda yang berseberangan letaknya dari tenda saya. 

Ono opo (ada apa) bang?” Tanya dokter Naryo sambil mengeluarkan stetoskop nya.
 “Embuh iki dok, aku koq krasa kadhemen ya? Iki nganti awakku ndrodog (tidak tahu ya dok, saya merasa kedinginan sampai badan saya gemetar)” saya menjawab sangat lirih.
Setelah memeriksa nadi, denyut jantung dan tensi saya dia bergumam:
Iya he, panas nemen iki awak sampeyan (Iya nih, panas sekali badanmu)”
Dia keluarkan thermometer dan ditaruhnya diketiak saya. Beberapa saat kemudian dilihatnya sambil keningnya berkerut. Istri saya cepat-cepat  ikut melihat. Dia pasti penasaran ingin tahu suhu badan saya.
“Wah, dhuwur iki. Piye rasane? (wah, tinggi ini. Bagaimana rasanya?)” Tanya dokter Naryo.
“Kadhemen (kedinginan)  dok”
Dokter Naryo meminta saya membuka mulut. Dia memeriksa tenggorokan  saya.
“Hmm,  ana infeksi tenggorokan iki sajake (ada infeksi di tenggorokan rupanya)”
Dia mengeluarkan beberapa obat dari kotak ajaib yang selalu ditentengnya kemana-mana.
“Iki obat turun panas karo antibiotik ya? Gek ndang diombe. Yen mengko sore isih panas aku diundang maneh (Ini obat turun panas dan antibiotik. Segera diminum. Kalau nanti sore masih panas, panggil saya lagi)”
Saya lihat ada rona khawatir diwajah dokter Naryo. Tapi dia mencoba menyembunyikan sebisanya.
“Yen biso pindhah nggon wae bang, neng kene kayane angine gede banget (Kalau bisa pindah tempat saja bang. Disini anginnya besar sekali)” dia memberikan saran.
“Iya tuh dok, dari kemarin saya sudah bilang. Disini terlalu dekat dengan pintu masuk. Gampang terkena angin, tapi dia tetep ngeyel ” istri saya menimpali. 
Saya tidak menjawab. Rasanya saya sudah krasan (betah) ditempat ini. Lagipula saya merasa tempat kedudukan saya ini adalah 'kapling' hadiah dari Jenderal Sarining, jadi ini sebuah amanah yang harus saya pegang. Walaupun memang saya akui anginnya besar sekali.
Sore itu saya shalat Magrib sambil tiduran di’kapling’ saja. Makan malam juga sampai disuapi oleh istri saya. Seisi tenda geger.  Pak ‘portir’  (penjaga pintu) jatuh sakit.
Malam harinya kondisi tubuh saya tidak juga membaik. Padahal malam ini saatnya untuk melempar tiga jumroh lagi. Saya niatkan untuk pergi melempar. Saya merasa mempunyai tanggung jawab melempar jumrah untuk almarhum ayah saya. Saya sampaikan niat saya itu pada istri saya.
“Jangan deh pah, lebih baik istirahat saja dulu. Kan melemparnya bisa diwakilkan” desak istri saya. Saya bersikeras walau badan saya rasanya tidak karu-karuan (sangat tidak nyaman).
Istri saya tidak mau kalah. Dia langsung ‘melapor’ ke Ustad Nuruddin (pembimbing ibadah haji Anubi) dan ke dokter Naryo.
Sesudah shalat Isya’ dokter Naryo didampingi Ustad Nuruddin datang menjenguk saya.
Setelah memeriksa tensi dan suhu badan saya dokter Naryo bilang:
Sampeyan kudu tetep istirahat bang, panase isih dhuwur lho. Aja mlaku-mlaku disik, wis ora usah mikir mbalang jumroh barang. Rak bisa diwakilno. Iki ana pak Ustad, yen ora percaya takona dewe (Kamu harus tetep istirahat bang, panasnya masih tinggi. Jangan berjalan-jalan dulu. Tidak usah memikir melempar jumroh, itu bisa diwakilkan. Ini ada pak Ustad. Kalau tidak percaya tanya sendiri)” kata dokter Naryo. Istri saya cepet-cepat meng-iyakan.
Ustad Nuruddin kemudian menasehati saya panjang lebar. Dibacakannya beberapa hadits Rasulullah Saw tentang dibolehkannya mewakilkan untuk melempar jumroh kalau seseorang sedang menderita sakit. Itu syah menurut aturan agama. Bahkan Pak Ustad sendiri sanggup untuk mewakili saya, andaikata saya memintanya.
Akhirnya saya luluh. Saya minta istri saya mewakili saya untuk melempar tiga jumroh, sedangkan Ustad Nuruddin saya mohon mewakili melempar untuk almarhum ayah kandung saya. Judulnya: saya pasrah. Saya yakin ini semua pasti adalah ketentuan Allah Swt sekaligus cobaan buat saya. Saya sedikit terhibur ketika dokter Naryo bilang bahwa ada dua orang lagi jemaah yang dia larang pergi  untuk melempar jumroh karena sakit.
Jadi ada tiga orang jemaah Anubi yang malam itu mewakilkan untuk melempar tiga jumrah.
Sekalipun merasa sedikit lega, tapi malam itu ketika semua rekan pergi untuk melempar tiga jumroh (termasuk istri saya), saya tergolek sakit sendirian dalam tenda.
Saya hanya bisa menangis dalam hati. Dalam kegalauan hati dan rasa kedinginan yang amat sangat, saya mohon ampun kepada Allah Swt atas segala dosa dan mohon pula segera diberi kesembuhan agar bisa melaksanakan rukun dan wajib haji selanjutnya.
Saya tersadar inilah rupanya salah satu resiko yang harus dihadapi ketika menunaikan ibadah haji ketanah suci pada saat usia makin menua. Saya bahkan sempat bertanya-tanya dalam hati: akankah usia saya berakhir ditanah suci?
Sisa malam itu saya habiskan untuk berdoa dan berdzikir dalam tenda sampai tak terasa jatuh terlelap kealam mimpi..
Sewaktu makan di hotel 'Grand Saraya' Mekah, beberapa hari setelah kejadian saya sakit pada saat mabit di Mina,  dokter Naryo sambil cengengesan (tertawa-tawa) bilang kepada saya:
"Tak kandhani ya bang, mbiyen ki wektu neng Mina aku wis nratap lho. jane laramu pancen tenanan, aku wis kuatir yen sampeyan 'bablas' (Saya beritahu ya bang, dulu pada waktu di Mina saya sudah berdebaran, sebetulnya sakitmu sangat serius, saya sudah kuatir kalau sampeyan 'lewat' ...)"
Astagfirullah......trondholo tenan....




bersambung…..

Rabu, 20 April 2011

"PULANG WUKUF.....'TERDAMPAR' DIJALANAN SELAMA 12 JAM...."



(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)

( 11 )

 saat Wukuf,  didalam  tenda di Arafah         


Released by mastonie on Wednesday, April 20, 2011 at 10.17 pm

 
Dapat hadiah kapling lagi….

Hari Selasa, 18 Desember 2007 (9 Dzulhijjah 1428 H) dinihari, rombongan jemaah calon haji Anubi berangkat dengan 4 bus menuju padang Arafah. Saya tetap berada di bus nomor 4. Bus paling buncit dalam rombongan. Diujung hari itu semua orang sudah memakai pakaian ihram. Suasana jalan raya Mina yang terang benderang oleh lampu kendaraan yang memadati badan jalan  ditambah dengan sinar dari lampu penerangan jalan membuat malam menjadi terang benderang nyaris seperti siang. Seluruh penumpang bus nomor 4 larut dalam kalimat talbiyah, sehingga  'festival klakson'  kendaraan dan keruwetan  serta kemacetan di jalanan tak terasakan.
Hari menjelang subuh ketika rombongan tiba di lokasi tenda Maktab 82 di Padang Arafah.
Inilah keempat kalinya saya menginjak tanah padang Arafah. Rimbun pepohonannya kini menghilangkan bayangan tanah tandus, panas  dan gersang di jaman Rasulullah dahulu kala.

  tenda2 di Arafah,    foto2 : mastonie
Tenda-tenda Maktab 82 berwarna putih berjejer rapi. Bentuknya berbeda dengan tenda di Mina yang menyerupai kerucut. Di padang Arafah tenda beratap setengah bulat yang mengingatkan saya pada hanggar pesawat terbang. Hanya bentuknya lebih kecil. Di Maktab 82 yang menampung jemaah calon haji non reguler, semua tenda dilengkapi dengan pendingin ruangan.  Hanya tenda untuk tempat makan dan untuk shalat berjama’ah yang dibiarkan terbuka dindingnya.
Alangkah kaget saya ketika memasuki tenda. Masih setengah kosong, saya mendapati (lagi-lagi) Jenderal Sarining yang tiba lebih dahulu dengan bus nomor 1 (satu), sudah berada didalam tenda. Dengan tertawa lebar dan wajah sumringah beliau menyambut kedatangan saya:
“Ini kapling Pak Tony sudah saya siapkan, persis disebelah saya”, katanya sambil menunjuk tempat kosong disebelah beliau.
Disitu terletak bantal, selimut dan mug (cangkir) souvenir dari pengurus Maktab 82.
Saya bengong. Dua kali sudah saya dihadiahi ‘kapling’ oleh Pak Jenderal! Subhanallah.
Rombongan jemaah haji Anubi (yang berjumlah sekitar 120 orang) ternyata mendapatkan satu tenda besar yang bisa memuat lebih dari seratus orang. Oleh sebab itu jemaah pria dan wanita bisa ditampung bersama-sama. Hanya tempatnya dipisahkan. Dari pintu masuk tenda, jemaah pria dikelompokkan disebelah kiri, sedangkan jemaah wanita ditempatkan disebelah kanan.
Menunggu saat adzan Subuh tiba, saya berjalan menuju tempat shalat berjamaah untuk melaksanakan shalat Tahajud dan shalat Tasbih. Udara sejuk segar dingin berangin membuat sepertiga malam itu terasa menyentuh kalbu. Tak terasa air mata menetes disudut mata saya.
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar…


Melaksanakan wukuf yang kedua…

Sambil berdzikir saya merenung, inilah keempat kalinya saya berada di padang Arafah. Miniatur dari Padang Mahsyar dimana  seluruh umat manusia kelak dikumpulkan jadi satu setelah dibangkitkan dari alam kubur dan dipadang Mahsyar itulah manusia akan di hisab (dihitung) amalnya oleh Sang Maha Pencipta.
Tapi inilah kedua kalinya saya melaksanakan Wukuf, rukun haji yang menentukan syah atau tidaknya haji seseorang. Tanpa Wukuf, maka  ibadah haji menjadi tidak syah.
Wukuf  selalu jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun. Waktunya sendiri adalah selepas matahari tergelincir (kurang lebih pukul 12 siang), sampai lepas tengah malam.
Yang terpenting adalah Wukuf hanya bisa dilaksanakan di padang Arafah, tidak bisa ditempat lain. Selama melaksanakan wukuf, jemaah haji akan mendengarkan khotbah Wukuf, mendirikan shalat berjama’ah secara jamak taqdim (digabung dimuka) yaitu shalat Dhuhur dengan Ashar, dan shalat Magrib dengan Isya. Sebelum matahari terbenam jemaah haji disarankan untuk berdoa ditempat terbuka (tidak boleh didalam tenda) dengan menghadap Ka’bah, seraya menengadahkan kedua tangan keatas. Bagi jemaah pria bahkan disunahkan sampai terlihat ketiaknya.
berdoa diluar tenda menjelang senja
Pada waktu melaksanakan wukuf saya yang pertama tahun 1992 dulu, saya bebas berjalan-jalan kemana saja. Maklum saya anggota TPOH, yang harus memantau penyelenggaraan haji  jemaah Indonesia. Lagipula suasana padang Arafah pada saat itu masih belum tertata rapi seperti saat saya datang untuk wukuf yang kedua kali tahun 2007. Waktu itu jemaah haji masih bisa ‘berkeliaran’ kemana-mana dengan bebasnya, sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan kerabat atau sanak saudara yang juga sedang berhaji bisa terjadi. Suasananya memang sangat ramai. Dimana-mana terlihat jemaah haji pria wanita yang mengenakan pakaian ihram, bahkan sampai kepuncak bukit “Jabbal Rahmah”.  Memang terkesan menjadi agak kurang khusyuk ibadah wukufnya.
Kalau keadaan sekarang (tahun 2007), kemungkinan itu kecil sekali karena antara tenda yang didirikan oleh Maktab diberi pembatas. Dan dijaga dengan ketat oleh pengurus Maktab. Setidaknya itu yang saya alami di Maktab 82 yang terdiri dari jemaah ONH Plus. Jemaah dilarang pergi kemana-mana kecuali dilingkungan Maktab sendiri.  Ini membuat jemaah dari Maktab satu tidak bisa pergi ke Maktab yang lain. Walaupun lokasinya berdekatan, bahkan berdempet pagar pembatasnya. Memang terasa agak mengikat tapi dari segi keamanan lebih terjamin. Tapi terus terang saya kurang tahu bagaimana keadaan di Maktab lain yang mengurus jemaah haji reguler (biasa).
Siang hari itu matahari merayap naik perlahan. Bulan Desember cuaca di tanah suci tidak terlalu panas. Siang cenderung pendek, malam agak panjang dan suhu mulai dingin.

 mendengarkan khotbah wukuh didalam tenda         


Ketika tiba saat Wukuf, seluruh jemaah haji masuk kedalam tenda masing-masing untuk mendengarkan khotbah wukuf. Saya merasa lebih khusyuk mendengarkan khotbah kali ini, karena suasananya sangat mendukung. Antara lain karena tenda yang berpendingin udara. Selanjutnya tiba saat adzan Dhuhur. Sesuai ajaran Rasulullah Saw, selama berada di Arafah shalat fardhu dilaksanakan secara jamak taqdim (Dhuhur dengan Ashar dan Magrib dengan Isya) dengan satu adzan dan dua iqamat.
Airmata saya kembali menetes setelah doa wukuf dibacakan. 
Kalimat talbiyah berkumandang keseluruh penjuru padang Arafah. Bulu roma saya berdiri.
“Laabbaik Allaahumma Laabbaik, Laabbaika  Laa Syarikalaka Laabbaik, Innal Hamda Wanni’mata Laka Wal Mulk Laa Syarikalaka ..”
(aku datang ya Allah, aku penuhi panggilan Mu, kusambut panggilan Mu yang tak ada sekutu bagi Mu. Sesungguhnyalah segala puji dan nikmat serta kerajaan adalah milik Mu, tak ada sekutu bagi Mu)

Terjebak macet berkepanjangan…..

Makan malam prasmanan kali ini terasa nikmat sekali. Seluruh beban seperti telah terlepas. Rangkaian ibadah wukuf di padang Arafah akhirnya telah selesai dilaksanakan.
Sekitar pukul setengah sebelas malam rombongan jemaah haji (kini bukan calon lagi) mulai bertolak menuju Muzdalifah untuk mabit dan mengambil batu yang akan dipergunakan untuk melempar Jumroh esok pagi. Empat buah bus bergerak perlahan meninggalkan lokasi tenda Maktab 82 menuju jalan raya dan langsung terjebak macet.  
Ujian kesabaran seorang haji terulang lagi. Jarak Arafah-Muzdalifah hanya sekitar 6-7 kilometer, tapi bus hanya bisa bergerak tidak lebih dari 5 km/jam. Itupun masih lebih banyak dan lebih lama berhentinya. Malam ini empat bus Anubi kembali tercerai berai mencari jalan sendiri-sendiri. Saya sempat berfikir, berjalan kaki barangkali malah bisa lebih cepat. Tapi mengingat kondisi kesehatan saya dan sekarang saya pergi haji bersama istri, maka fikiran itu saya buang jauh-jauh. Saya pasrahkan saja semuanya kepada kehendakNya.
Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
(Tiada daya ataupun kekuatan selain karena pertolongan Allah).
Waktu adzan Subuh berkumandang, bus masih belum sampai di Muzdalifah. Bayangkan. Berjam-jam kita duduk tepekur didalam bus berusaha tetap membaca kalimat talbiyah tapi dengan mendengarkan sopir yang tak berhenti mengomel.
Beruntung (orang Jawa selalu untung) pengurus Maktab 82 berbaik hati membawakan sekedar bekal makanan dan minuman didalam bus. Jadi rasa kesal bisa terlampiaskan dengan menyantap makanan kecil yang ada.
Hari sudah terang tanah ketika bus berhasil mendekati Muzdalifah. Beberapa rekan pria berlari turun untuk mengambil kerikil buat melempar Jumrah. Beruntung (lagi) pengurus Anubi dan Maktab telah menyediakan kerikil untuk semua anggota rombongan, Jadi tidak semua orang harus turun di Muzdalifah.
Hari Rabu, 19 Desember 2007 (10 Dzulhijjah 1428 H) sekitar jam 11 siang bus nomor 4 baru bisa memasuki wilayah Mina lagi! Nyaris selama 12 jam kita harus “duduk manis” berada didalam bus. Padahal rukun haji yang lain telah menanti, yaitu melempar Jumrah Aqabah untuk yang pertama kali.
Sungguh ujian kesabaran yang cukup lumayan.
Beberapa waktu kemudian kita baru tahu bahwa penumpang bus nomor 4 termasuk yang beruntung (lagi!). Walaupun baru berhasil masuk Mina setelah berjuang selama 12 jam.
Bus nomor 3 lebih ‘ancur Mina’ lagi.  Saat akan meninggalkan tenda di Arafah, sopir bus nomor 3 ternyata sakit berat. Dokter Naryo yang menjadi salah satu penumpang di Bis 3 tentu saja keberatan kalau sopir yang sakit itu dipaksa membawa bis pulang ke Mina. Pengurus Maktab  82 agak panik, mengingat tidak mudah mencari sopir pengganti disaat seperti itu.  Tapi akhirnya dapat juga sopir pengganti entah darimana, yang pasti berkulit hitam seperti orang Nigeria. Maka berangkatlah bus nomor 3 dengan sopir 'pocokan' (pengganti) itu. Sewaktu lalu lintas macet parah sebelum memasuki Muzdalifah, mesin bus mendadak mati. Dan (kata sopir pengganti) mesin bus  rusak dan tidak bisa dihidupkan lagi. Yang mengejutkan,  sopir pocokan itu malah keluar dari bus, nyelonong masuk kebawah kolong bus lalu tidur! Bisa terbayang paniknya para penumpang bus nomor 3. 
Mereka akhirnya patungan untuk mengumpulkan uang (konon terkumpul lebih dari 300 real) guna mencari bus sewaan yang lain agar bisa meneruskan perjalanan pulang ke Mina.
Saya dengar bus nomor 2 baik-baik saja dan selamat tiba kembali di Mina tanpa kurang suatu apa.
Entah bagaimana nasib bus nomor 1,  karena bus itu membawa rombongan jemaah haji istimewa (VVIP), yang tidak pernah mampir (apalagi mabit) di Mina, karena para penumpangnya lebih suka membayar 'dam' agar dapat terus bertahan tinggal dikamar hotelnya yang mewah di Mekah.




bersambung….



"DARI ANTRI KE 'BELAKANG'....SAMPAI ANTRI KE PADANG ARAFAH..."



 (cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)

( 10 )


Pemandangan Mina

Released by mastonie on Wednesday, April 20, 2011 at 02.02 pm
 
Rebutan antri ke”belakang” ……

Mabit di Mina merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi para jemaah calon haji.
Itulah saatnya kita harus hidup bersama-sama dengan orang lain dalam suasana yang sangat khas, penuh nuansa ibadah. Tapi ternyata itu tidak mudah dijalani. Banyak cobaan silih berganti datang menggoda, yang sedikit banyak bisa mengganggu ibadah.
Seingat saya satu kelompok tenda Maktab di Mina hanya mempunyai 10 buah MCK (mandi, cuci, kakus) pria dan 10 buah MCK wanita. Ditambah dengan masing-masing 5 tempat berwudhu.
Yang disebut MCK di Mina adalah semacam bilik kecil berjejer dengan pintu sederhana. Ukurannya barangkali hanya 1,5 x 2 meter. Didalamnya ada sebuah lubang yang terletak dilantai. Itulah lubang kakus. Ada sebuah selang shower dibawah untuk membersihkan hadas, dan sebuah shower besar tergantung diatas untuk mandi. Kalau tidak salah diantara 10 bilik MCK itu ada 2 (dua) buah yang sebenarnya dikhususkan untuk buang air kecil saja.  Ini dimaksudkan  untuk 'pelayanan ekstra cepat'. Semacam loket khusus, tapi bukaaaan...
Mengingat jumlah MCK yang masih sangat jauh dari memadai (karena satu Maktab bisa menampung jemaah calon haji sampai 2 ribuan orang), maka tidak heran kalau setiap hari tampak antrian panjang di MCK. Apalagi orang Indonesia sudah terkenal sangat susah antri. Ada saja yang berusaha untuk menyerobot dengan berbagai macam alasan. Kadang-kadang terjadi keributan kecil juga. Maklum urusan ‘kebelakang’ ini memang terkadang bisa sangat mendesak. Tidak kalah dengan situasi gawat darurat. Tapi biasanya karena sama-sama mengingat sedang menjalankan ibadah haji, urusan terselesaikan dengan baik.
Oleh sebab itu untuk urusan kebelakang memang butuh ‘kiat’ tersendiri. Khususnya agar pada saat akan kebelakang tidak bentrok waktunya dengan kebiasaan orang banyak. Suatu hal yang gampang dikatakan tapi susaaaaah amat dilaksanakan.
Jurus yang saya terapkan (dengan beberapa teman yang sefaham) adalah mengubah gaya hidup ‘kebelakang’ dengan total. Kalau biasanya rutin dilakukan pada pagi hari sesudah shalat Subuh (misalnya), maka di Mina pola itu harus diganti, kalau tidak ingin antri sampai ‘tua’. 
MCK biasanya sudah agak lengang pada tengah malam. Nah, itulah kesempatan yang harus diambil. Tapi perubahan pola ini memang harus benar-benar dengan niat kuat. Soalnya kalau tidak, perut seperti tidak bisa diajak kompromi. Apalagi kalau habis menyantap makanan ‘hot’ yang mengundang ‘revolusi’ dalam perut. Masa harus menunggu sampai tengah malam?  Salah-salah bisa ‘mbrojol’ duluan. Gawat kan?
Soal lain yang juga bikin pusing adalah mandi dan wudhu. Kalau mandi masih bisa diakali atau dikurangi jumlahnya. Sehari cuma mandi sekali, misalnya. Tak masalah, karena cuaca di tanah suci membuat kita seolah tidak berkeringat. Tapi wudhu kan harus tetap 5 kali sehari. Mana bisa kurang? 

And the problem is……setiap adzan berkumandang, tempat wudhu (terletak didekat MCK) selalu amat sangat penuh sesak sekali. Yang lebih menjengkelkan (eh, calon haji tidak boleh jengkel ya?), walaupun tempat wudhu sudah dibagi masing-masing 5 tempat untuk wanita dan pria, tapi para jemaah wanita ini dengan gagah berani merebut tempat wudhu para lelaki yang (tentu saja) hanya bengong melihatnya. Kadang-kadang malah sampai 2 tempat yang dikuasai!
Alhasil ketika mau berwudhu, para jemaah lelaki tambah panjang antriannya. 

Sabaaaar pak hajiiiiii……begitu selalu kata para jemaah wanita.
Entah menghibur entah menggoda!


‘Kapling’ hadiah yang bermasalah…

Tempat kedudukan (kapling) saya didalam tenda memang sangat ‘strategis’.
Pilihan dari seorang Perwira Tinggi berbintang jeee…
Pak Sarining Setyo Utomo (nama Jenderal pemurah dan ramah itu) sendiri ternyata malah pindah ke tenda lain yang lebih senyap. Maklum, tenda yang saya tempati memang terletak dekat dengan jalan raya yang banyak dilalui kendaraan bermotor, jadi memang agak bising.
Walau begitu, saya memutuskan untuk setia menempati ‘kapling hadiah’ itu. 

Terletak persis dimulut (pintu masuk) tenda. Saya memang jadi lebih mudah keluar masuk tanpa mengganggu orang lain. Tapi justru saya yang terganggu keluar masuknya orang lain! Sebetulnya bukan pintu sih. Lebih tepat kalau disebut jalan masuk ketenda. Bentuknya mirip segitiga, hasil lipatan dari kedua ujung tenda yang disingkap keatas, sehingga terbentuk lubang menganga (berbentuk segitiga juga) tempat keluar masuknya orang kedalam tenda.
Keuntungannya jelas ada. Kalau saya sedang bertahta di kapling, setiap orang yang mau masuk atau keluar pasti ‘uluk salam’ dahulu kepada saya. Saya jadi banyak kenalan dan terkenal sebagai portir (penjaga pintu) kan?
Tapi kerugiannya juga lumayan, saya sering terganggu kalau sedang ‘liyer-liyer’ setengah melek setengah merem. Jelas mengurangi jam tidur saya.
Saya juga jadi tumpuan angin yang keluar masuk ketenda. Dan jangan tanya, angin di Mina (setidaknya pada bulan Desember itu) terkenal dahsyat kencang dan dinginnya. Apalagi kalau sudah menjelang sore. Harap maklum ‘pintu’ tenda biasanya baru ditutup sesudah shalat Isya, kadang lebih malam lagi.
Akibatnya sungguh runyam. Saya mulai batuk-batuk. Teman teman masih bisa menghibur: “Kalau begitu pak Tony  jelas bukan keturunan Unta”.
Memang betul, yang tidak batuk di tanah Arab memang hanya Unta.
Sialnya saya hanya membawa persediaan obat pribadi yang bersangkutan dengan sakit jantung saya. Dengan sedikit obat flu, tapi malah tidak ada obat batuknya!
Dalam rombongan jemaah haji Anubi resminya ada dua orang dokter pendamping jemaah. Dr. Affandi berasal dari Semarang, satunya lagi  dr. Sunaryo Gana dari Kudus. Karena dokter Naryo  istrinya juga seorang dokter, jadi bisa dibilang ada tiga dokter dalam rombongan.
Selama ini dr. Affandi mendapat tugas mendampingi jemaah Anubi yang “super VIP”, yang bertahan untuk tetap tinggal dihotel, jadi tidak ikut mabit di Mina. Oleh sebab itu saya konsultasi ke dokter Naryo, yang dengan setia mendampingi jemaah di Mina.
Sejak manasik haji di Jakarta saya sudah agak akrab dengan suami istri dokter Naryo dan dokter Nuria Meida. Kebetulan saja dr. Nuria masih ada hubungan keluarga dengan istri paman saya yang ada di Kudus.
Saya jauh lebih tua dari pasangan dokter ini, jadi dokter Naryo selalu memanggil saya dengan sebutan “Bang”. Entah mengapa dia memilih sebutan gaya ‘Betawi’ itu, bukan “Mas” atau “Kang”, padahal dia berkomunikasi dengan saya memakai bahasa Jawa ngoko, menandakan sikap keakraban dan tidak mengambil jarak.
Dokter Naryo memberikan beberapa obat generik yang ada dalam persediaannya.
Alhamdulillah, batuk saya bisa agak berkurang. Tapi saya belum benar-benar merasa sehat.
Sekarang saya baru merasa, betapa lebih mudahnya pergi naik haji senyampang usia masih muda. Diusia menjelang lima lusin ini, saya merasa badan saya tidak terlalu ‘fit’. Barangkali pengaruh dari sakit yang saya derita setahun yang lalu.
Tapi dengan obat yang diberikan dokter Naryo, saya mengharap masih bisa bertahan sampai pulang dari padang Arafah setelah melaksanakan Wukuf.
Artinya secara syah saya sudah menunaikan kewajiban berhaji.
Insya Allah tidak terjadi apa-apa……


Balada Armina yang selalu macet….

“Haji adalah wukuf di Arafah”. Itu adalah sabda Baginda Rasulullah Saw  dalam salah satu hadits. Dan Wukuf memang hanya bisa dilaksanakan dipadang Arafah. Tidak ada tempat lain. Dan tidak ada wukuf selain pada tanggal 9 Dzulhijjah. Terjadi hanya setahun sekali.

 Tenda Calon Haji di Arafah      foto2: mastonie     


Oleh karena kepastian haji seseorang ditentukan dengan dilakukannya wukuf di padang Arafah, maka mau tidak mau, sehat maupun sakit, seluruh jemaah calon haji dari seluruh penjuru dunia harus melaksanakan wukuf. Atau dianggap tidak pernah pergi haji, alias hajinya tidak syah.
Itulah sebabnya Pemerintah Indonesia (dhi Departemen Agama) mengambil langkah untuk mengadakan “Safari Wukuf”. Yaitu kegiatan untuk mengangkut para jemaah calon haji yang menderita sakit untuk dibawa ke padang Arafah pada saat tiba hari untuk wukuf. Sebuah tindakan mulia, karena sungguh tidak mudah membawa para jemaah calon haji yang sedang sakit (dari ringan, berat sampai koma) yang dirawat dibeberapa klinik maupun Rumah Sakit di Mekah dan Madinah untuk secara serentak dibawa ke padang Arafah dengan ambulans.
Dibutuhkan tidak hanya tenaga dan pikiran, tapi juga loyalitas dan dedikasi seluruh petugas.
Sangat mengharukan. Sewaktu menjadi anggota TPOH dan berhaji untuk pertama kali pada tahun 1992, saya ikut terlibat dalam penyelenggaraan ‘Safari Wukuf’ ini. Saya tahu dengan persis bagaimana kegiatan itu sangat menguras tenaga dan fikiran serta waktu.
Barangkali Negara lain juga melaksanakan acara seperti itu, saya kurang tahu.
Tapi yang pasti dari tahun ketahun padang Arafah dan Mina  (populer dengan sebutan ARMINA) yang nyaris hanya dihuni manusia setahun sekali, selalu menjadi daerah yang penuh sesak oleh jutaan jemaah calon haji dari seluruh pelosok dunia. Kemacetan pun tak terhindarkan lagi. Jarak dari Masjidil Haram Mekah ke Mina hanya sekitar 7 kilometer jauhnya, demikian pula jarak Mina ke Muzdalifah dan Muzdalifah ke Arafah.
Akan tetapi pada musim haji jarak yang tidak sampai 25 kilometer itu bisa ditempuh sampai berjam-jam.
Hampir setiap tahun pemerintah Kerajaan Arab Saudi terus berusaha meningkatkan pelayanan di jalur Armina ini. Jalur jalan diperbanyak (pada tahun 1992 sudah ada 4 jalur jalan, kini kabarnya sudah jadi 9 jalur). Pengaturan lalu lintas diperketat. Tapi tetap saja kemacetan lalu lintas menjelang dan selama wukuf tak teratasi.
Bayangkan saja kalau lebih dari dua juta orang berbondong-bondong menuju satu tempat pada waktu yang sama. Mereka menggunakan bermacam jenis kendaraan bermotor, dari sedan, jip, truk sampai bus besar kecil. Bahkan banyak juga yang hanya berjalan kaki.
Tujuan mereka hanya satu: wukuf di padang Arafah sebagai tanda syah nya haji.
Syaratnya (menurut saya) hanya ada tiga perkara:  sabar, tawakal dan mau antri.
Oleh sebab itu hampir tak pernah ada yang mengeluh.
Semua menganggap itulah salah satu bagian dari ujian kesabaran seorang calon haji.
Wallahu 'alam.


bersambung.....