(Kisah berikut ini terjadi sekitar tahun 1970. Ketika itu saya mendapat tugas menjadi "kurir Gubernur", untuk mengantar sebuah surat penting dan segera kepada Presiden Republik Indonesia di Jakarta. Jadi harus dilaksanakan sesegera mungkin. Oleh karenanya harus memakai alat transportasi tercepat: pesawat udara).
Jadi 'kurir istimewa' Gubernur
Jadi 'kurir istimewa' Gubernur
Entah bagaimana urutan kejadiannya, pada suatu pagi ‘uthuk-uthuk’ (pagi sekali) saya dipanggil keruangan Pak Rasiman, Kepala Bagian Protokol.
“Wah Dik, Pak Gub mendadak memerintahkan salah satu dari ‘orang kita’ untuk membawa surat penting dan sangat rahasia ke Jakarta hari ini juga”.
Demikian beliau memulai percakapan. Saya masih tidak mengerti arah pembicaraan.
Jadi saya hanya diam mendengarkan.
“Saya rasa Dik Tonny bisa. Oleh karena itu tolong segera menemui Pak Dachlan Noor di “Puri Gedeh” sekarang juga. Minta Poniman untuk mengantar kesana”, jelas Pak Rasiman lebih lanjut.
Jadi saya hanya diam mendengarkan.
“Saya rasa Dik Tonny bisa. Oleh karena itu tolong segera menemui Pak Dachlan Noor di “Puri Gedeh” sekarang juga. Minta Poniman untuk mengantar kesana”, jelas Pak Rasiman lebih lanjut.
Yang disebut sebagai "PURI GEDEH" ini adalah kediaman resmi Gubernur Jawa Tengah yang terletak di Jl. Gedeh, Candi Baru Semarang. Sebuah rumah berarsitektur Belanda yang asri dan terletak diketinggian.
Saya bengong. Saya ditugaskan membawa surat penting dan sangat rahasia ke Jakarta?
Wah, ini TUGAS BARU, ini BARU TUGAS!
Selama bertugas di Bagian Protokol belum pernah saya ditugasi untuk menjadi kurir. Apalagi ini kurir istimewa dan dadakan. Tapi apa saya bisa menolak? Tentu saja tidak.
“Kalau begitu sambil pulang kerumah mengambil pakaian ya Pak?” Saya bertanya.
“Lho, buat apa bawa-bawa pakaian. Kan tidak perlu sampai menginap. Kalau bisa segera berangkat kan sore nanti juga sudah bisa langsung kembali” Pak Rasiman memandang saya yang masih keheranan.
“Jadi....” saya masih mencoba bertanya.
“Ya, kan perintahnya segera. Jadi harus naik pesawat. Kalau bisa mengejar ‘flight’ yang pagi, kan bisa pulang dengan pesawat yang terakhir sore nanti dari Jakarta”.
Saya tambah bengong. Ini babak baru dalam sejarah kehidupan saya. Naik ‘montor mabur’! (pesawat terbang). We lhadalah, mimpi apa saya semalam. Sambil menahan gejolak jiwa dan rasa gugup saya segera minta ijin ke Puri Gedeh. Pak Rasiman masih menambahi:
“Tiket dan ‘sangunya’ langsung dari Pak Gub lho Dik”.
Saya tertegun. Boro-boro mikir sangu. Mikir mau naik pesawat terbang saja perasaan saya sudah duluan terbang.
Diantar Dik Poniman -sopir Pak Rasiman- dengan VW Safari Kepala Bagian, sayapun meluncur ke Puri Gedeh. Sebelum itu saya nekat mampir kerumah untuk berganti pakaian. Karena letak rumah saya bisa dilewati dalam perjalanan menuju Rumah Dinas Gubernur.
Sambil ganti pakaian saya berpikir: kurir Gubernur Jawa Tengah kok berpakaian lusuh. Kan tidak pantas.
Tiba di Puri Gedeh saya disambut Pak Dahlan Noor -Kepala Bagian TU Pimpinan merangkap Sekpri Gubernur- dengan senyum lebar.
“Wah lha iki kurir pilihan tenan, olehe mlithit!”. (Nah ini betul-betul kurir pilihan, pakaiannya sangat rapi) selorohnya melihat penampilan saya yang amat rapi pada pagi hari itu.
Saya cuma tersipu. Pak Noor memperlihatkan sebuah amplop tebal berlambang Gubernur Jawa Tengah kepada saya. Sekilas saya lirik alamat yang tertera diatasnya. “Kepada Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia di Jakarta” dan dipojok kiri atas ada tulisan “Sangat segera” dan “Rahasia”.
Wah, benar-benar tidak main-main tugas saya kali ini. Pak Noor masih memberikan beberapa instruksi lagi.
“Surat ini harus sampai ketangan Bapak Presiden -melalui Ajudan- hari ini juga. Tiket pesawat PP sudah dipesan. You tinggal lapor di counter Garuda di Ahmad Yani. Di Jakarta nanti di jemput Staf Perwakilan Jateng. Terus segera bawa surat ini ke Jl. Cendana, kediaman Bapak Presiden. Soalnya kalau disampaikan lewat Bina Graha, belum tentu bisa sampai ditangan Presiden hari ini. Jangan lupa minta tanda terima dari Ajudan Presiden. You mau nginap terserah, mau langsung kembali pulang juga OK“.
Wadhuh biyung, instruksi kok panjang banget.
Sebelum Pak Noor mulai ‘khotbah’ lagi, saya langsung memotong:
“Kok Pak Noor nggak berangkat sendiri saja to?”
“Berangkat sendiri piye sih. Lha yang disuruh kerja disini siapa? Lagipula ini kan perintah langsung dari Bapak supaya you yang berangkat”
Dheg! Jantung saya serasa berhenti mendengar jawabannya yang terakhir tadi. Pak Gub menunjuk nama saya? Ah, Pak Noor pasti cuma mau menggertak saya.
“OK Pak. Kalau begitu saya berangkat sekarang” saya minta diri.
“Wadhuh, kurirnya semangat banget nii yee“ ejek Pak Paino (staf pribadi Gubernur yang bertugas mengetik surat di Puri Gedeh).
“Belum disangoni, sudah mau langsung berangkat”. Tambah Pak Paino lagi.
“Nanti dulu, sabar, tunggu perintah langsung dari Bapak. Main cabut saja!” Pak Noor menimpali.
“Tunggu disini dulu, saya lapor kedalam” sambungnya sambil masuk keruang dalam.
Tidak lama kemudian Pak Pardjo masuk keruang Ajudan.
“Noor, siapa yang akan ke Jakarta?" tanya beliau tanpa menoleh sedikitpun kepada saya!
“Tonny Pak, staf Protokol, punika sampun siap wonten mriki” (Tony Pak, ia sudah siap disini) jawab Pak Noor sambil menunjuk kearah saya yang berdiri kaku disebelahnya. Saya berusaha menutupi kegugupan dengan menampilkan sikap sempurna. Entah mengapa mendadak saya dihinggapi sindroma “minder wardeh B komplek” (ini plesetan dari kata "minderwaardigheids complex" -bahasa Belanda-, sindrom perasaan rendah diri)
“Tiketnya sudah ada?” Pak Gub bertanya lagi.
“Sud..sudah Pak” saya buru-buru menjawab.
“Ya sudah, sana cepat berangkat. Biar suratnya bisa diterima Bapak Presiden hari ini juga”. lanjut beliau sambil berjalan kembali keruang dalam. Bergegas saya mengikuti dari belakang.
“Terima kasih atas tugas yang diberikan. Dalem nyuwun pamit saha nyuwun pangestu (Saya mohon diri dan mohon doa) Pak”. Saya pamit kepada beliau.
Tanpa berhenti berjalan beliau menjawab:
“Ya, segera lapor kalau sudah kembali. Eh, Noor! sangunya Tonny jangan lupa!” beliau menambah instruksi kepada Pak Noor.
Wah, saya ternyata benar-benar dapat bekal uang saku langsung dari Pak Gubernur!
Pertama kali naik "montor mabur"
Diantar Poniman saya meluncur ke Bandara Ahmad Yani. Dalam kendaraan yang dipacu kencang saya sibuk berkata-kata sendiri dalam hati. Pertama kali jadi kurir kok mengantar surat kepada Bapak Presiden! Naik pesawat terbang lagi. "Opo ora huebat?”. Hati saya bernyanyi-nyanyi.
Tapi disudut hati saya yang lain ada perasaan "miris” (ngeri). Kalau cuma soal tugas menyampaikan surat pasti bisa saya lakukan dengan baik. Tapi harus naik pesawat terbang, ini yang mengganggu pikiran saya.
Saya mencoba mengurut kebelakang, sepertinya dalam sejarah keluarga besar saya (pada waktu itu, tahun 70an) yang mampu (dan pernah dapat kesempatan) naik pesawat terbang bisa dihitung dengan jari. Lha kok saya sekarang tiba-tiba masuk dalam hitungan ‘yang hanya sedikit’ itu. Alhamdulillah.
Tapi kira-kira bagaimana ya rasanya ‘terbang’? Jangan-jangan nanti malah ceblok (jatuh). Kasihan isteri saya, anak-anak masih kecil. Tapi saya kuatkan hati. Mati hidup seseorang kan sepenuhnya ‘hak prerogatif’ Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa!
“Montor mabur” yang akan saya naiki untuk pertama kali dalam sejarah hidup saya itu adalah sebuah pesawat F-28 Garuda Indonesia, buatan pabrik pesawat Fokker Belanda. F-28 seri-3000 (Fellowship) adalah pesawat jet berpenumpang sampai 85 orang.
Versi awal F-28 terbang pertama kali pada tahun 1967, mempunyai 2 buah mesin turbofan buatan Rolls-Royce R.B 183-2, dengan kecepatan sampai 845 km/jam dan mempunyai jarak jelajah terbang (non stop) sekitar 1.850 kilometer.
Duduk dalam kabin pesawat Fokker-28, saya mencoba mencuri-curi pandang ke penumpang lain disebelah saya. O, begitu caranya memasang sabuk pengaman. Saya perhatikan kursi yang saya duduki. Tombol apa saja kira-kira yang ada. Saya yang pada dasarnya selalu ingin tahu mulai mencoba satu-satu. Tiba-tiba saya nggeblak! Kursi yang saya duduki mendadak mendongak kebelakang. Bukan main kaget saya! Belum lagi malunya itu! Penumpang disebelah saya menoleh dan buru-buru buang muka sambil menahan tawa.
Saya tegakkan punggung tapi sandaran kursi tetap saja condong kebelakang. Wadhuh, jangan-jangan kursinya rusak gara-gara ulah saya. Suara pesawat terdengar makin keras. Saya makin grogi. Seorang Pramugari melintas sambil melihat-lihat kekanan-kiri.
“Maaf Pak, tolong kursinya ditegakkan, sebentar lagi pesawat akan lepas landas” sapanya ramah.
Melihat saya kebingungan, dengan tangkas dia mendekat. Sandaran kursi ditegakkannya. O, jadi begitu, kata hati saya, rahasianya ada pada tombol diujung tangan kursi. Dasar “kamsek” (kampungan)!
Pesawat F 28 Garuda mulai bergerak perlahan. Saya berdoa “ndremimil” (terus menerus): “Bismillahirrahmaaniirrohim, ya Allah, terima kasih atas karunia yang Kau berikan kepada hamba-Mu hari ini. Kau perkenankan saya naik pesawat terbang untuk yang pertama kali. Berikanlah kekuatan dan perlindungan, agar kesempatan ini bukan yang pertama dan yang terakhir kali. Semoga saya dapat kembali lagi ketengah-tengah keluarga dengan selamat. Aamiiiin”.
Pramugari telah selesai memberikan petunjuk -yang tidak sepenuhnya dapat saya ikuti, karena saya khusuk berdoa-, bunyi pesawat makin menggemuruh. Saya pejamkan mata ketika terasa pesawat mulai meluncur cepat. Tubuh saya bagaikan didorong ke belakang, sampai mendongak. Saya cengkeram lengan kursi kuat-kuat. Peluh menitik di kening dan telapak tangan saya.
Ketika saya merasa makin terdongak ke belakang, saya tidak tahan lagi. Saya mengintip dengan ‘setengah’ mata kejendela di samping saya. Astagfirullah! Rupanya pesawat sudah mengudara! Saya lihat daratan di bawah berkotak-kotak di sepanjang tepi laut. Itu pasti ‘tambak’ (kolam dipinggir pantai untuk budidaya ikan bandeng atau udang). Sesaat kemudian yang tampak hanya air membiru.
Saya sudah terbang, betul-betul terbang! Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Saya mencoba menikmati pemandangan di luar jendela, karena pada dasarnya saya memang bukan orang yang takut ketinggian. Pramugari mulai mengedarkan minuman dan makanan kecil. Eh, ternyata enak juga lho naik pesawat terbang. Beda jauh sekali dibandingkan naik bus kota atau kereta api. Apalagi becak.
Sepanjang penerbangan pada siang hari yang cerah itu, tak henti-hentinya saya melihat keindahan pemandangan yang ada, yang bisa saya lihat melalui jendela. Terkadang tampak awan beriringan berwarna putih kapas. Tiba-tiba saja saya membayangkan, seandainya dari balik awan itu muncul Raden Gatotkaca!
Tiba di Bandara Kemayoran saya langsung berusaha mencari penjemput saya. Di luar ruang tunggu kedatangan saya lihat seseorang mengacung-acungkan selembar kertas bertulisan nama saya. Itulah penjemput saya dari Perwakilan Pemda Jawa Tengah di Jakarta. Kini saya bisa menikmati rasanya jadi ‘orang penting’ walau hanya ‘sekelebat’.
Setelah basa-basi sejenak saya langsung diantar ke jalan Cendana. Jakarta bukan kota yang asing lagi bagi saya , karena mertua saya juga tinggal di Jakarta. Tapi kedatangan saya kini untuk ‘bertamu’ ke kediaman Presiden Republik Indonesia, tentu membuat saya cemas-cemas girang. Berapa banyak sih rakyat Indonesia yang bisa mendapat kesempatan emas seperti saya? Pegawai rendahan tapi bisa masuk rumah orang nomor satu di Indonesia.
Kalau mengingat tugas saya ini, saya sungguh sangat bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih kepada Gubernur Soepardjo yang entah karena apa berkenan mengutus saya mengantarkan surat kepada Bapak Presiden.
Tanpa melalui pemeriksaan yang berbelit saya diizinkan untuk menemui Ajudan Presiden di ruang kerjanya. Rupanya Pak Gub sudah sempat menelepon dari Semarang memberitahukan perihal maksud kedatangan saya membawa surat beliau yang harus disampaikan kepada Bapak Presiden hari ini juga.
Setelah mendapatkan tanda terima surat, saya tinggalkan Cendana dengan hati berbunga-bunga. “Mission Accomplished” (Tugas telah -selesai- dilaksanakan)!
Sekali lagi Alhamdulillah. Rasanya kota Jakarta tampak lebih indah dari biasanya. Mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi siapakah yang bisa mengingkari kegembiraan hati, dapat menyelesaikan tugas sekaligus mendapat pengalaman yang sangat berarti?
Tanpa membuang waktu saya segera minta kepada Staf Perwakilan Jawa Tengah untuk diantar kembali ke Bandara Kemayoran guna mengejar pesawat kembali ke Semarang. Berbeda dengan pada saat berangkat dari Bandara Ahmad Yani tadi pagi, kali ini di Bandara Kemayoran, saya memasuki pesawat F-28 Garuda dengan penuh rasa percaya diri. Pengalaman yang kedua pasti lebih mudah. Keledai saja tak pernah terantuk pada batu yang sama, bukan? Masak saya kalah sama keledai.
Begitu gembira hati saya sampai terlupa tidak mengajak makan siang para pengantar saya. Padahal ‘sangu’ dari Pak Gub lebih dari cukup. Waktu belum menunjukkan pukul lima sore hari ketika saya tiba kembali di rumah dengan selamat.
Tentu saja dengan bergaya saya mencarter taksi Bandara!
"Kurir Istimewa" Gubernur jeee, masak turun dari 'montor mabur' terus naik angkot.
Saya bengong. Saya ditugaskan membawa surat penting dan sangat rahasia ke Jakarta?
Wah, ini TUGAS BARU, ini BARU TUGAS!
Selama bertugas di Bagian Protokol belum pernah saya ditugasi untuk menjadi kurir. Apalagi ini kurir istimewa dan dadakan. Tapi apa saya bisa menolak? Tentu saja tidak.
“Kalau begitu sambil pulang kerumah mengambil pakaian ya Pak?” Saya bertanya.
“Lho, buat apa bawa-bawa pakaian. Kan tidak perlu sampai menginap. Kalau bisa segera berangkat kan sore nanti juga sudah bisa langsung kembali” Pak Rasiman memandang saya yang masih keheranan.
“Jadi....” saya masih mencoba bertanya.
“Ya, kan perintahnya segera. Jadi harus naik pesawat. Kalau bisa mengejar ‘flight’ yang pagi, kan bisa pulang dengan pesawat yang terakhir sore nanti dari Jakarta”.
Saya tambah bengong. Ini babak baru dalam sejarah kehidupan saya. Naik ‘montor mabur’! (pesawat terbang). We lhadalah, mimpi apa saya semalam. Sambil menahan gejolak jiwa dan rasa gugup saya segera minta ijin ke Puri Gedeh. Pak Rasiman masih menambahi:
“Tiket dan ‘sangunya’ langsung dari Pak Gub lho Dik”.
Saya tertegun. Boro-boro mikir sangu. Mikir mau naik pesawat terbang saja perasaan saya sudah duluan terbang.
Diantar Dik Poniman -sopir Pak Rasiman- dengan VW Safari Kepala Bagian, sayapun meluncur ke Puri Gedeh. Sebelum itu saya nekat mampir kerumah untuk berganti pakaian. Karena letak rumah saya bisa dilewati dalam perjalanan menuju Rumah Dinas Gubernur.
Sambil ganti pakaian saya berpikir: kurir Gubernur Jawa Tengah kok berpakaian lusuh. Kan tidak pantas.
Tiba di Puri Gedeh saya disambut Pak Dahlan Noor -Kepala Bagian TU Pimpinan merangkap Sekpri Gubernur- dengan senyum lebar.
“Wah lha iki kurir pilihan tenan, olehe mlithit!”. (Nah ini betul-betul kurir pilihan, pakaiannya sangat rapi) selorohnya melihat penampilan saya yang amat rapi pada pagi hari itu.
Saya cuma tersipu. Pak Noor memperlihatkan sebuah amplop tebal berlambang Gubernur Jawa Tengah kepada saya. Sekilas saya lirik alamat yang tertera diatasnya. “Kepada Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia di Jakarta” dan dipojok kiri atas ada tulisan “Sangat segera” dan “Rahasia”.
Wah, benar-benar tidak main-main tugas saya kali ini. Pak Noor masih memberikan beberapa instruksi lagi.
“Surat ini harus sampai ketangan Bapak Presiden -melalui Ajudan- hari ini juga. Tiket pesawat PP sudah dipesan. You tinggal lapor di counter Garuda di Ahmad Yani. Di Jakarta nanti di jemput Staf Perwakilan Jateng. Terus segera bawa surat ini ke Jl. Cendana, kediaman Bapak Presiden. Soalnya kalau disampaikan lewat Bina Graha, belum tentu bisa sampai ditangan Presiden hari ini. Jangan lupa minta tanda terima dari Ajudan Presiden. You mau nginap terserah, mau langsung kembali pulang juga OK“.
Wadhuh biyung, instruksi kok panjang banget.
Sebelum Pak Noor mulai ‘khotbah’ lagi, saya langsung memotong:
“Kok Pak Noor nggak berangkat sendiri saja to?”
“Berangkat sendiri piye sih. Lha yang disuruh kerja disini siapa? Lagipula ini kan perintah langsung dari Bapak supaya you yang berangkat”
Dheg! Jantung saya serasa berhenti mendengar jawabannya yang terakhir tadi. Pak Gub menunjuk nama saya? Ah, Pak Noor pasti cuma mau menggertak saya.
“OK Pak. Kalau begitu saya berangkat sekarang” saya minta diri.
“Wadhuh, kurirnya semangat banget nii yee“ ejek Pak Paino (staf pribadi Gubernur yang bertugas mengetik surat di Puri Gedeh).
“Belum disangoni, sudah mau langsung berangkat”. Tambah Pak Paino lagi.
“Nanti dulu, sabar, tunggu perintah langsung dari Bapak. Main cabut saja!” Pak Noor menimpali.
“Tunggu disini dulu, saya lapor kedalam” sambungnya sambil masuk keruang dalam.
Tidak lama kemudian Pak Pardjo masuk keruang Ajudan.
“Noor, siapa yang akan ke Jakarta?" tanya beliau tanpa menoleh sedikitpun kepada saya!
“Tonny Pak, staf Protokol, punika sampun siap wonten mriki” (Tony Pak, ia sudah siap disini) jawab Pak Noor sambil menunjuk kearah saya yang berdiri kaku disebelahnya. Saya berusaha menutupi kegugupan dengan menampilkan sikap sempurna. Entah mengapa mendadak saya dihinggapi sindroma “minder wardeh B komplek” (ini plesetan dari kata "minderwaardigheids complex" -bahasa Belanda-, sindrom perasaan rendah diri)
“Tiketnya sudah ada?” Pak Gub bertanya lagi.
“Sud..sudah Pak” saya buru-buru menjawab.
“Ya sudah, sana cepat berangkat. Biar suratnya bisa diterima Bapak Presiden hari ini juga”. lanjut beliau sambil berjalan kembali keruang dalam. Bergegas saya mengikuti dari belakang.
“Terima kasih atas tugas yang diberikan. Dalem nyuwun pamit saha nyuwun pangestu (Saya mohon diri dan mohon doa) Pak”. Saya pamit kepada beliau.
Tanpa berhenti berjalan beliau menjawab:
“Ya, segera lapor kalau sudah kembali. Eh, Noor! sangunya Tonny jangan lupa!” beliau menambah instruksi kepada Pak Noor.
Wah, saya ternyata benar-benar dapat bekal uang saku langsung dari Pak Gubernur!
Pertama kali naik "montor mabur"
Diantar Poniman saya meluncur ke Bandara Ahmad Yani. Dalam kendaraan yang dipacu kencang saya sibuk berkata-kata sendiri dalam hati. Pertama kali jadi kurir kok mengantar surat kepada Bapak Presiden! Naik pesawat terbang lagi. "Opo ora huebat?”. Hati saya bernyanyi-nyanyi.
Tapi disudut hati saya yang lain ada perasaan "miris” (ngeri). Kalau cuma soal tugas menyampaikan surat pasti bisa saya lakukan dengan baik. Tapi harus naik pesawat terbang, ini yang mengganggu pikiran saya.
Saya mencoba mengurut kebelakang, sepertinya dalam sejarah keluarga besar saya (pada waktu itu, tahun 70an) yang mampu (dan pernah dapat kesempatan) naik pesawat terbang bisa dihitung dengan jari. Lha kok saya sekarang tiba-tiba masuk dalam hitungan ‘yang hanya sedikit’ itu. Alhamdulillah.
Tapi kira-kira bagaimana ya rasanya ‘terbang’? Jangan-jangan nanti malah ceblok (jatuh). Kasihan isteri saya, anak-anak masih kecil. Tapi saya kuatkan hati. Mati hidup seseorang kan sepenuhnya ‘hak prerogatif’ Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa!
“Montor mabur” yang akan saya naiki untuk pertama kali dalam sejarah hidup saya itu adalah sebuah pesawat F-28 Garuda Indonesia, buatan pabrik pesawat Fokker Belanda. F-28 seri-3000 (Fellowship) adalah pesawat jet berpenumpang sampai 85 orang.
Versi awal F-28 terbang pertama kali pada tahun 1967, mempunyai 2 buah mesin turbofan buatan Rolls-Royce R.B 183-2, dengan kecepatan sampai 845 km/jam dan mempunyai jarak jelajah terbang (non stop) sekitar 1.850 kilometer.
Duduk dalam kabin pesawat Fokker-28, saya mencoba mencuri-curi pandang ke penumpang lain disebelah saya. O, begitu caranya memasang sabuk pengaman. Saya perhatikan kursi yang saya duduki. Tombol apa saja kira-kira yang ada. Saya yang pada dasarnya selalu ingin tahu mulai mencoba satu-satu. Tiba-tiba saya nggeblak! Kursi yang saya duduki mendadak mendongak kebelakang. Bukan main kaget saya! Belum lagi malunya itu! Penumpang disebelah saya menoleh dan buru-buru buang muka sambil menahan tawa.
Saya tegakkan punggung tapi sandaran kursi tetap saja condong kebelakang. Wadhuh, jangan-jangan kursinya rusak gara-gara ulah saya. Suara pesawat terdengar makin keras. Saya makin grogi. Seorang Pramugari melintas sambil melihat-lihat kekanan-kiri.
“Maaf Pak, tolong kursinya ditegakkan, sebentar lagi pesawat akan lepas landas” sapanya ramah.
Melihat saya kebingungan, dengan tangkas dia mendekat. Sandaran kursi ditegakkannya. O, jadi begitu, kata hati saya, rahasianya ada pada tombol diujung tangan kursi. Dasar “kamsek” (kampungan)!
Pesawat F 28 Garuda mulai bergerak perlahan. Saya berdoa “ndremimil” (terus menerus): “Bismillahirrahmaaniirrohim, ya Allah, terima kasih atas karunia yang Kau berikan kepada hamba-Mu hari ini. Kau perkenankan saya naik pesawat terbang untuk yang pertama kali. Berikanlah kekuatan dan perlindungan, agar kesempatan ini bukan yang pertama dan yang terakhir kali. Semoga saya dapat kembali lagi ketengah-tengah keluarga dengan selamat. Aamiiiin”.
Pramugari telah selesai memberikan petunjuk -yang tidak sepenuhnya dapat saya ikuti, karena saya khusuk berdoa-, bunyi pesawat makin menggemuruh. Saya pejamkan mata ketika terasa pesawat mulai meluncur cepat. Tubuh saya bagaikan didorong ke belakang, sampai mendongak. Saya cengkeram lengan kursi kuat-kuat. Peluh menitik di kening dan telapak tangan saya.
Ketika saya merasa makin terdongak ke belakang, saya tidak tahan lagi. Saya mengintip dengan ‘setengah’ mata kejendela di samping saya. Astagfirullah! Rupanya pesawat sudah mengudara! Saya lihat daratan di bawah berkotak-kotak di sepanjang tepi laut. Itu pasti ‘tambak’ (kolam dipinggir pantai untuk budidaya ikan bandeng atau udang). Sesaat kemudian yang tampak hanya air membiru.
Saya sudah terbang, betul-betul terbang! Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Saya mencoba menikmati pemandangan di luar jendela, karena pada dasarnya saya memang bukan orang yang takut ketinggian. Pramugari mulai mengedarkan minuman dan makanan kecil. Eh, ternyata enak juga lho naik pesawat terbang. Beda jauh sekali dibandingkan naik bus kota atau kereta api. Apalagi becak.
Sepanjang penerbangan pada siang hari yang cerah itu, tak henti-hentinya saya melihat keindahan pemandangan yang ada, yang bisa saya lihat melalui jendela. Terkadang tampak awan beriringan berwarna putih kapas. Tiba-tiba saja saya membayangkan, seandainya dari balik awan itu muncul Raden Gatotkaca!
Tiba di Bandara Kemayoran saya langsung berusaha mencari penjemput saya. Di luar ruang tunggu kedatangan saya lihat seseorang mengacung-acungkan selembar kertas bertulisan nama saya. Itulah penjemput saya dari Perwakilan Pemda Jawa Tengah di Jakarta. Kini saya bisa menikmati rasanya jadi ‘orang penting’ walau hanya ‘sekelebat’.
Setelah basa-basi sejenak saya langsung diantar ke jalan Cendana. Jakarta bukan kota yang asing lagi bagi saya , karena mertua saya juga tinggal di Jakarta. Tapi kedatangan saya kini untuk ‘bertamu’ ke kediaman Presiden Republik Indonesia, tentu membuat saya cemas-cemas girang. Berapa banyak sih rakyat Indonesia yang bisa mendapat kesempatan emas seperti saya? Pegawai rendahan tapi bisa masuk rumah orang nomor satu di Indonesia.
Kalau mengingat tugas saya ini, saya sungguh sangat bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih kepada Gubernur Soepardjo yang entah karena apa berkenan mengutus saya mengantarkan surat kepada Bapak Presiden.
Tanpa melalui pemeriksaan yang berbelit saya diizinkan untuk menemui Ajudan Presiden di ruang kerjanya. Rupanya Pak Gub sudah sempat menelepon dari Semarang memberitahukan perihal maksud kedatangan saya membawa surat beliau yang harus disampaikan kepada Bapak Presiden hari ini juga.
Setelah mendapatkan tanda terima surat, saya tinggalkan Cendana dengan hati berbunga-bunga. “Mission Accomplished” (Tugas telah -selesai- dilaksanakan)!
Sekali lagi Alhamdulillah. Rasanya kota Jakarta tampak lebih indah dari biasanya. Mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi siapakah yang bisa mengingkari kegembiraan hati, dapat menyelesaikan tugas sekaligus mendapat pengalaman yang sangat berarti?
Tanpa membuang waktu saya segera minta kepada Staf Perwakilan Jawa Tengah untuk diantar kembali ke Bandara Kemayoran guna mengejar pesawat kembali ke Semarang. Berbeda dengan pada saat berangkat dari Bandara Ahmad Yani tadi pagi, kali ini di Bandara Kemayoran, saya memasuki pesawat F-28 Garuda dengan penuh rasa percaya diri. Pengalaman yang kedua pasti lebih mudah. Keledai saja tak pernah terantuk pada batu yang sama, bukan? Masak saya kalah sama keledai.
Begitu gembira hati saya sampai terlupa tidak mengajak makan siang para pengantar saya. Padahal ‘sangu’ dari Pak Gub lebih dari cukup. Waktu belum menunjukkan pukul lima sore hari ketika saya tiba kembali di rumah dengan selamat.
Tentu saja dengan bergaya saya mencarter taksi Bandara!
"Kurir Istimewa" Gubernur jeee, masak turun dari 'montor mabur' terus naik angkot.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar