(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (26)
Ajudan Gubernur koq tidak punya apa-apa.
Pada saat Pak Pardjo dilantik menjadi Gubernur Jawa Tengah untuk kedua kali, saya sudah beberapa waktu lamanya jadi Ajudan Gubernur. Selama itu pula saya tak pernah mengeluh soal transportasi. Padahal rumah (Perumnas, cicilan BTN) saya terletak dipinggiran kota Semarang. Setelah sebelumnya selalu jadi ‘kontraktor’ (karena selalu mengontrak rumah), rumah pertama yang bisa saya B-eli T-api N-yicil itu berada didaerah yang bernama Krapyak, sebuah kelurahan diwilayah Kecamatan Semarang Barat. Terpisah hanya beberapa ratus meter saja dari runway (landas pacu) Bandara Ahmad Yani. Setiap hari anak-anak saya dengan suka cita dapat menyaksikan pesawat terbang yang mengudara dan mendarat di Bandara. Masalah transportasi memang bukan sesuatu hal yang sulit karena banyak mobil angkutan kota -‘angkot’- masuk melewati jalan didepan rumah saya.
Yang justru menjadi masalah adalah jadwal tugas saya sebagai Ajudan Gubernur yang kadang harus berangkat sebelum subuh dan pulang kerumah diwaktu tengah malam. Disaat-saat itu angkot belum ‘narik’ atau malah sudah selesai beroperasi. Kecuali bis kota jurusan Mangkang yang lewat jalan raya Semarang-Jakarta. Jalan raya ini berjarak sekitar 300 meter dari rumah saya. Jadi kalau angkot belum (atau sudah tidak) jalan, saya harus ‘hentak-hentak bumi’ dari rumah kejalan raya (atau sebaliknya) untuk menunggu bis kota lewat. Terkadang terlewat juga sebersit perasaan nelangsa. Lha wong Ajudan Gubernur mau tugas melayani Gubernurnya koq naik angkot. Tapi saya ikhlas. Ya saya anggap saja itung-itung prihatin. Orang Jawa biasa menyebutnya sebagai wala-wala kuwata (ini mungkin diambil dari kalimat “hauqolah”: “laa haula walaa quwwata illaa billaah” yang artinya: “tak ada daya upaya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah”).
Tapi sekuat-kuatnya tenaga saya, akhirnya toh sekali waktu saya pernah ‘ketiwasan’ (terkena sial) juga.
Ajudan Gubernur "kepancal sepur" (ketinggalan)
Hari Selasa tanggal 3 Juni 1980, saya dapat giliran tugas melayani Pak Gubernur sampai hampir tengah malam. Hujan sedang mengguyur seluruh kota Semarang. Saya nekat ‘nglucut’ (berhujan ria) pulang kerumah karena hari semakin malam. Apalagi keesokan harinya harus tugas pagi sekali mengikuti kunjungan dinas Pak Gubernur ke Dieng Wonosobo, mendampingi kunjungan kerja Menteri PU. Maka dengan ‘full’ jas hujan saya menunggu bis kota dari Jatingaleh di halte bis Candi Baru. Kalau sudah malam begini bis kota bisa lama sekali datangnya. Setengah jam lebih saya baru dapat bis. Padahal saya masih harus ganti bis lagi kejurusan Krapyak di Tugu Muda. Hujan turun semakin deras. Sudah kepalang basah ya sekalian saja, gumam saya menghibur diri. Turun dari bis kota di jembatan Krapyak saya masih harus berjalan kaki lagi sejauh sekitar 300an meter sampai kerumah. Tentu saja anak isteri saya sudah terlelap tidur. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam. Saya sudah merasa sedikit pilek dan demam sehingga langsung beranjak tidur karena sadar harus bangun lagi sebelum subuh. Meskipun sudah memasang alarm di wekker untuk berdering pukul setengah 4 pagi, ternyata saya masih bangun kesiangan juga. Jam sudah menunjukkan pukul 4.15 pagi! Dengan panik saya berpakaian, membangunkan isteri saya lalu langsung ‘tancap gas’ lari ke jalan raya (sejauh 300 meter) untuk menunggu bis kota dari Mangkang. Hari masih gelap. Untung hujan sudah reda. Sudah hampir sepuluh menit belum tampak sebuah bis kotapun lewat. Waktu itu di Semarang belum ada taksi resmi yang beroperasi 24 jam. Saya semakin panik karena sudah yakin seyakin-yakinnya pasti akan terlambat sampai di Puri Gedeh. Saya bisa membayangkan wajah Pak Pardjo yang pasti marah besar menunggu kedatangan ajudannya. Padahal beliau terkenal sangat disiplin soal waktu. Tepat ketika saya menginjakkan kaki turun dari bis kota di halte Candi Baru, saya lihat mobil Jip Toyota H-1 warna amber yang ditumpangi Pak Gub melesat keluar dari tikungan Jl. Gedeh. Saya terkesiap, pasrah. Tak ada lagi yang bisa saya lakukan. Mau mengejar pakai apa? Terbang? Sebuah hil yang mustahal, eh (tuh kan, saking paniknya saya) maksud saya hal yang mustahil. Dengan gontai saya berjalan ke Puri Gedeh.
Hari Rabu Legi tanggal 4 Juni 1980 itu sungguh hari yang menyedihkan. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi lebih sedikit. Ruang Staf Pribadi Gubernur di Puri Gedeh masih kosong.
“Bapak Gubernur baru saja berangkat pak, belum lima menit” kata seorang petugas piket Polisi Pamong Praja, menyambut kedatangan saya.
Wajahnya tampak kumal dan agak sedikit pucat.
“Ya saya tahu” jawab saya pendek. Sedikit ketus karena ia mengatakan ‘belum lima menit’ tadi dengan gaya suara meniru iklan pembersih lantai di TV itu. Tapi bagaimanapun saya juga merasa bersalah telah menyebabkan orang lain yang tidak tahu apa-apa jadi ‘ketiban sampur’ terkena proyek senen.
“Kamu dimarahi Bapak ya tadi?”
“Iya pak, tadi saya disuruh telepon Pak Tony, lha kan Pak Tony nggak punya telepon dirumah” jawabnya jujur dengan wajah memelas. Saya maklum. Kini saya baru sadar, Ajudan Gubernur koq nggak punya apa-apa. Telepon tidak punya, apalagi motor. Wis jan kere tenan. (Benar-benar miskin sekali). Demikian kata hati saya.
“Terus..?” saya bertanya lagi, sekedar ingin tahu reportase nya saja.
“Ya nggak terus, Bapak cuma bilang sontoloyo kabeh. Lalu masuk mobil sambil membanting pintu dan berteriak ‘ayo berangkat Jon’, lalu wesss…. bablas”
Saya makin panik.
“Saya diperintah untuk nyusul, nggak?”
“Bapak nggak bilang apa-apa lagi tuh, cuma wajahnya itu lho, sadis banget, saya sampai gemeteran melihatnya”.
Dalam hati saya tertawa mendengar istilah sadis banget itu. Wajah koq sadis.
Surat permohonan ‘kudhung lulang macan’.
“Lho lha koq masih ‘leha-leha’ (santai) disini kang. Nggak ikut Bapak ke Dieng?” Tanya Pak Noor waktu memasuki ruang Spri dan melihat saya masih berada didalam ruangan. Jam didinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Saya sedang termenung dikursi ajudan sambil nonton berita di TV, tapi pikiran saya seolah ‘mabur’ melayang kemana-mana. Saya bayangkan akibat terburuk yang akan saya terima dari ‘ketertinggalan’ saya pagi itu.
“Nggak” jawab saya pendek.
“Kepancal (ketinggalan) ya?” tanya Pak Noor lagi.
“Ho’oh. Salah siapa ajudan nggak dikasi motor, nggak diantar jemput” jawab saya sengit. Mumpung belum disalahin, lebih enak nyalahin orang dulu.
“Jangan begitu. Ya nanti saya tak lapor Pak Haryono, siapa tahu masih ada motor bekas yang bisa dipakai”. Yang disebut oleh Pak Noor itu adalah Pak Haryono SA, mantan Kepala Bagian Protokol dan sekarang jadi Kepala Biro Perlengkapan (dan Perbekalan Materiil).
“Motor rongsokan juga boleh” sergah saya masih dalam nada sengit.
“Wee lha koq njur nesune karo aku. (Koq lalu marah kepada saya) Sebetulnya tadi bagaimana ceritanya?”
Saya ceritakan kronologi kisah tragedi “Kepancalnya Sang Ajudan”. Lengkap dari A sampai Z. Untuk mendramatisir suasana, laporan itu saya lengkapi dengan suara serak, batuk dan pilek.
“Sudah tahu begitu kenapa nggak nginep saja tadi malam?” kata Pak Noor setelah tuntas mendengarkan ‘kisah sedih dihari ini’ versi saya itu.
“Suruh tidur sama Mbak Nem? Bisa perang dunia ketiga sama Mas Darjo” jawab saya sengit. Mbak Nem adalah pembantu setia yang sudah sangat lama ikut keluarga Bu Pardjo. Mbak Nem menikah dengan salah seorang sopir -yang melayani kebutuhan rumah tangga Gubernur di Puri Gedeh- bernama Darjo.
Di Puri Gedeh memang (sayang sekali) tidak disiapkan kamar khusus untuk ajudan. Ada satu kamar kosong dibelakang ruang Spri, tapi penuh dengan barang. Didekat kamar mandi ruang Spri hanya ada satu dipan kecil yang sudah lusuh, sekedar untuk melepas lelah. Tapi tidak layak untuk tidur.
Hari itu rasanya berlalu sangat panjang. Namun saya malah berharap agar waktunya bisa diperpanjang lagi, supaya Pak Gub jangan cepat pulang.
Untuk menghibur hati saya yang gundah, Pak Noor menyarankan kepada saya untuk segera membuat surat kepada Kepala Biro Perbekalan. Surat yang isinya berupa permohonan untuk mendapatkan motor inventaris kantor sebagai kendaraan dinas saya sehari-hari. Dengan segera saran yang menarik itu saya kerjakan. Surat permohonan itu saya tujukan kepada Kepala Biro Perbekalan, tapi sengaja saya buat tembusan kepada Bapak Wahyudi, Assisten III dan kepada Bapak Gubernur untuk diketahui. Ketika membaca konsep surat saya, Pak Noor langsung protes:
“Kenapa pakai tembusan ke Bapak segala sih? Nanti malah nggak di asese (ACC) lho” katanya sambil mencoret tulisan tembusan dikonsep surat saya itu.
“Wah Pak Noor nggak faham strategi, itu namanya taktik ‘kudhung lulang macan’. Teknik untuk menggertak secara halus”, saya mencoba menjelaskan. “Kalau surat itu datang dari saya tanpa diketahui Assisten III dan Bapak Gubernur, bisa saja Pak Haryono menolak mentah-mentah. Siapa sih Tony ini, berani-beraninya minta kendaraan. Punya jabatan juga tidak”. Pak Noor tampak manggut-manggut. Saya melanjutkan ‘pidato’:
“Kalau beliau melihat Pak Gub saya kirimi tembusan, apalagi kalau -semoga- Pak Gub malah berkenan memberikan disposisi acc langsung ke Pak Har, pasti urusan jadi lancar. Begitu lho Kang maksud saya”.
“Itu kalau Bapak setuju, lha kalau tidak?” sergah Pak Noor.
“Ya biar saya datang terlambat terus saja. Nggak peduli saya” sahut saya sinis.
“Itu namanya mutung kesarung” jawab pak Noor mencoba main pelesetan sambil tertawa ngekek.
“Yo wis ben (ya biar) malah anget” jawab saya sekenanya.
Sore hari sehabis magrib Pak Gubernur kembali kekediaman. Dengan hati deg-deg plas saya menjemput beliau. Saya langsung membukakan pintu mobil seraya mohon maaf:
“Dalem nyuwun pangapunten kalawau enjang radi telat, amargi mboten pikantuk angkot Pak” (Saya mohon maaf tadi pagi datang terlambat karena tidak dapat angkot) saya berkata dengan takzim dan -mungkin- dengan wajah memelas. Wajah Pak Gub masih tampak lelah, beliau hanya melihat sekilas kemudian langsung menjawab pendek saja:
“Ya” hanya itu. Saya sebetulnya sudah bersiap kena damprat. Apapun akan saya terima karena memang saya telah berbuat salah. Tidak tepat waktu. Pak Pardjo langsung masuk kedalam rumah. Saya lirik Jono senyum-senyum kecut dibalik pintu mobil.
“Bapak tadi bilang apa?” saya bertanya lirih kepadanya.
“Pokoknya saru dan seru” jawabnya bisik-bisik sambil kembali masuk mobil. Saya mencecarnya lagi:
“Seru gimana? Awas kalau nggak mau cerita” ancam saya.
Jono hanya cengengesan sambil langsung memindahkan mobil untuk diparkir.
Saya betul-betul jadi penasaran. Ingin tahu apa yang dikatakan Pak Gub tadi pagi mengenai saya. Tapi Jono tetap bungkam seribu bahasa. Sama sekali tidak mau cerita kata ‘saru dan seru’ yang -konon- diucapkan oleh Pak Pardjo.
Akhirnya surat permohonan kendaraan saya kirimkan Ke Biro Perlengkapan. Isinya: saya memohon dapat diberikan sepeda motor sebagai kendaraan dinas, mengingat saya belum punya kendaraan sendiri. Selain itu rumah saya terletak agak jauh dari kantor ataupun dari Puri Gedeh sehingga harus ganti angkot sampai 3 kali. Tembusan surat untuk Assisten III dan Pak Gubernur saya sampaikan lewat Pak Noor. Selanjutnya saya tinggal menunggu saja. Pasrah.
Hikmah dari peristiwa saya ‘ketinggalan sepur’ beberapa hari yang lalu, saya dapat fasilitas antar jemput kalau harus berangkat dinas sangat pagi atau kalau pulang kemalaman. Kalau kondisi ‘normal’ saja, saya tetap harus berangkat dan pulang kerja dengan cara lama, naik angkot dan atau bis kota.
Kurang lebih sehari kemudian dari saat surat permohonan yang saya kirim ke Biro Perlengkapan berikut tembusannya, saya dipanggil Pak Noor diruang Spri di Puri Gedeh:
“Nih suratmu sudah turun. Bapak nggak setuju” katanya pendek sambil menyerahkan kembali surat saya. Saya terkesiap. Wadhuh, Alamat bakal naik angkot seumur hidup nih. Kata hati saya. Saya terima kembali surat permohonan itu dengan sedikit ogah-ogahan. Saya tambah keki waktu melihat Pak Noor malah tersenyum-senyum.
“Senang ya Kang lihat orang susah?” tanya saya.
“Sabar to, mbok ya dibaca dulu dengan tenang. Aja grusa-grusu ngono lho” (Jangan terburu nafsu begitu). Dengan berdebar saya buka surat yang saya bikin sendiri itu. Yang saya baca hanya disposisi Pak Gub saja. Isi suratnya kan saya sudah hafal diluar kepala.
Terletak miring dibawah perihal isi surat, disitu tertulis disposisi Pak Pardjo dengan tulisan tangan yang khas (yang juga sangat saya hafal) dan selalu ditulis dengan tinta biru, pendek saja isinya:
“Ass. III, acc. Carikan dari kendaraan yang ada”.
Asem tenan. Pagi pagi saya sudah dikadalin (ditipu) Pak Noor.
“Senang niii yeee” kata Pak Noor sambil mengulurkan tangannya untuk mengucapkan selamat. Saya mengucapkan terima kasih. Merasa lega sekali, seolah sebuah beban -yang menghimpit dada- telah terlepas.
“Tapi barangkali prosesnya agak lama lho Kang” kata Pak Noor lagi.
“Soalnya saya dapat info dari Pak Har kalau sepeda motor inventaris sudah habis dibagikan ke pemakai. Mungkin harus tunggu tahun anggaran baru”.
Saya pasrah saja. Habis bagaimana, kalau sudah tidak ada lagi kendaraan, ya saya memang harus menunggu Anggaran Daerah untuk beli kendaraan baru. Yang entah kapan baru terlaksana.
“Sabaar.....” kata Pak Noor. “Kan seperti kata pepatah, orang sabar itu........”
“Kasihan sekaleeee....” langsung saya sambar omongan Pak Noor itu.
Dapat kendaraan dinas roda dua.
Sekitar dua-tiga bulan kemudian saya dipanggil menghadap Pak Haryono SA. Beliau juga seorang aktifis Pramuka. Sebetulnya saya malah masih mempunyai hubungan keluarga -jauh- dengan beliau (dari garis keturunan ayah saya).
“Ton, ini kebetulan ada jatah sepeda motor untuk anggota Dewan (DPRD), saya ambilkan satu dulu untuk kamu. Soalnya saya rikuh selalu ditanya Pak Wahyudi” kata beliau kepada saya. He he he, taktik “Kudhung lulang macan” (memakai tudung/tutup kepala dari kulit harimau) yang saya terapkan -pada saat menulis surat permohonan- agaknya berhasil ‘makan’ korban.
“Matur sembah nuwun Pak.”(Terima kasih pak) jawab saya takzim dengan hati berbunga-bunga sekaligus terharu kalau mengingat bahwa selama ini saya harus selalu ‘setia’ menunggu di halte dan kemudian berdesakan dalam angkot atau bis kota untuk berangkat atau pulang bekerja.
“Tapi kamu harus ambil sendiri motornya di gudang dekat pelabuhan sana. Jangan lupa untuk minta DO (delivery order)nya dulu dibagian perlengkapan”. Beliau memberikan petunjuk.
“Eh, tapi kamu nanti harus lapor Pak Gub lho ya, kalau kamu saya beri sepeda motor baru gres, matur kalau Ajudan Gubernur nggak pantes pakai sepeda motor bekas, gitu. Berani nggak? ” canda Pak Haryono.
Hari itu saya langsung pergi mengambil DO. Mungkin motornya baru bisa saya ambil lain waktu kalau pas saya sedang dapat giliran off.
Begitulah. Akhirnya saya dapat kendaraan dinas juga. Sebuah sepeda motor merk Honda 110 cc warna merah. Baru gres. Kinyis-kinyis. Masih ‘reyen’ (in riyden). Nomor Polisinya saja masih nomor sementara. Terus terang, pada saat itu malah saya belum mempunyai SIM C (apalagi SIM A), walaupun saya sudah sangat mahir mengendarai sepeda motor dan mobil (berkat pinjaman dari orang yang baik hati disana-sini).
Maka era Ajudan Gubernur Jawa Tengah -yang pulang pergi bekerja- naik angkutan kota, sejak saat itu berakhir sudah.
Alhamdulillah.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar