(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (29)
By mastonie· Wednesday, May 26, 2010
Telepon ‘bisik-bisik’ dari Sekmil Presiden.
Pada suatu hari, beberapa hari setelah Rapim dan Latgab ABRI 1981 berakhir, Pak Kardono (Sekretaris Militer Presiden) menelepon ke kantor Gubernur Jawa Tengah. Kebetulan saya yang menerima panggilan telepon itu. Secara pribadi saya juga sudah mengenal Pak Kardono karena Pak Pardjo sering berkomunikasi dengan beliau.
“Kardono disini, siapa ini?”. Saya terkejut. Tidak biasanya Pak Kardono ‘memutar’ telepon sendiri. Kenapa beliau tidak menelepon melalui ajudan atau staf? Wah pasti ada yang urgent ini.
“Siap pak, dalem (saya) Tony Pak, Ajudan”
“Dik Tony Bapakmu ada?” sambung beliau lagi.
“Mohon maaf, pak Gubernur sedang menerima tamu Pak”
”Wis ora apa apa. Matura wae (tidak apa-apa bilang saja). Ini kabar penting, tolong sambungkan ke Mas Pardjo. Eh, tak kandhani (saya beritahu) Bapakmu sekarang jadi ‘bintang tiga’. Tapi jangan cerita-cerita dulu”. Kata Pak Kardono berbisik. Saya tersenyum. Tidak pakai berbisikpun tidak akan ada yang mendengar pembicaraan saya dengan beliau. Lha wong jelas kita bicara melalui telepon koq.
”Wis ora apa apa. Matura wae (tidak apa-apa bilang saja). Ini kabar penting, tolong sambungkan ke Mas Pardjo. Eh, tak kandhani (saya beritahu) Bapakmu sekarang jadi ‘bintang tiga’. Tapi jangan cerita-cerita dulu”. Kata Pak Kardono berbisik. Saya tersenyum. Tidak pakai berbisikpun tidak akan ada yang mendengar pembicaraan saya dengan beliau. Lha wong jelas kita bicara melalui telepon koq.
Saya segera melapor keruang kerja Pak Gub, meskipun saat itu beliau sedang menerima tamu. Sebagai Ajudan saya punya otoritas dan pertimbangan sendiri untuk menentukan apakah Pak Gub bisa diganggu atau tidak. Kalau yang menelepon Pejabat yang mempunyai kapasitas atau akan menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting, saya bisa langsung melapor kedalam ruang kerja Gubernur, dalam kondisi apapun. Meskipun akhirnya Pak Gubernur juga yang akan memutuskan, berkenan atau tidak menerima sambungan telepon itu.
Seusai menerima telepon dari Sekmil, Pak Pardjo langsung memanggil saya.
(Untuk urusan ‘panggil-memanggil’ staf ini, Pak Pardjo menerapkan kode yang berlaku untuk seluruh staf pribadi, baik dikantor maupun dikediaman resminya. Panggilan dilakukan melalui dua cara, bel listrik dan interkom. Bunyi bel satu kali berarti yang dipanggil Ajudan, kalau bel berbunyi dua kali artinya yang dipanggil Sekpri atau bagian TU Pimpinan. Kalau dilakukan dengan interkom, siapapun boleh menerima panggilan dengan catatan harus langsung menyebutkan nama penerima. Kebiasaan ini terus dipakai Pak Pardjo sampai saat beliau menjadi Menteri).
Sewaktu saya masuk kedalam ruang kerja, Pak Pardjo langsung memberikan perintah singkat, lugas dan tegas:
“Ini confidential. Siapkan tiket flight pertama ke Jakarta besok pagi. Tony ikut. Lapor Ibu untuk menyiapkan pakaian seragam tentara PDU IV saya. Langsung pulang sorenya”.
Sambil mencatat perintah dibuku catatan, saya menjawab singkat: “Siap pak”.
Keluar dari ruang kerja Gubernur saya langsung bertindak cepat sambil mengingat pesan confidential (rahasia) yang ditekankan diujung perintah Pak Pardjo tadi. Saya minta bagian Protokol untuk menyiapkan 2 tiket ke Jakarta PP. Lalu telepon ke Kepala Perwakilan di Jakarta untuk menyiapkan penjemputan. Yang terakhir saya menelepon ajudan Ibu Soepardjo agar Ibu berkenan menyiapkan pakaian dinas upacara (tentara) yang dipesan Pak Pardjo. Semua yang saya ajak bicara di telepon atau yang mendengar pembicaraan yang saya lakukan, saya minta untuk menyimpan rapat-rapat rencana kepergian ke Jakarta itu. Seperti yang dipesankan Pak Kardono, saya tidak boleh cerita dahulu kepada siapapun. Pak Pardjo juga berpesan bahwa kepergian beliau ke Jakarta bersifat confidential.
Sore hari itu sewaktu saya membereskan meja kerja Pak Pardjo sebelum kembali kekediaman, saya mendahului mengucapkan selamat kepada beliau:
”Nderek ngaturaken sugeng Pak. Selamat jadi Letnan Jenderal” kata saya khidmat. Pak Pardjo kelihatan agak sedikit kaget.
“Darimana jij tahu?”
“Dari Pak Sekmil”
“Sontoloyo, jangan ngomong-omong dulu” pesan Pak Pardjo.
“Inggih Pak”.
Jenderal “bintang tiga” ganti pakaian di lapangan Monas.
Keesokan harinya Pak Pardjo dan saya terbang ke Jakarta.
Di Bandara Kemayoran Pak Tarto (Sutarto Darsono, Kepala Perwakilan Pemda Jateng di Jakarta) datang menjemput sendiri. Tapi Pak Tarto diminta langsung kembali ke Perwakilan, tidak usah ikut Pak Gubernur seperti biasanya.
“Ke Kantor Pangab di Merdeka Barat ya” sambil masuk kedalam mobil Pak Pardjo memberikan perintah kepada Bejo, sopir Perwakilan Pemda Jateng yang biasa melayani Pak Gubernur di Jakarta.
“Inggih Pak” jawab Bejo. Hampir semua Staf Perwakilan Jateng (termasuk Pak Tarto) selalu menggunakan bahasa Jawa halus kalau berbicara dengan Bapak dan Ibu Soepardjo.
“Tapi masih banyak waktu, pelan-pelan saja. Nanti kalau sudah sampai Monas, muter saja keliling Monas dulu. Saya mau ganti pakaian” perintah Pak Pardjo lagi.
“Mboten mampir (tidak singgah) ke Hotel saja sebentar Pak?” saya mencoba mengajukan usul.
“Nggak usah. Nanti malah semua orang tahu”.
Jadi rupanya Pak Pardjo betul-betul mau merahasiakan kenaikan pangkatnya.
Saya dan Bejo cuma tersenyum-senyum saja ketika sudah sampai di Monas. Pak Pardjo tampak bersusah payah ganti pakaian didalam mobil yang berjalan berputar-putar mengelilingi Tugu kebanggaan masyarakat Ibukota yang pada sekitar tahun 80an itu masih belum dipagar rapat. Akhirnya selesai juga ‘proses ganti rupa’ itu. Kini Pak Pardjo sudah berganti pakaian seragam tentara dengan (masih) dua bintang emas dipundaknya. Gagah juga beliau. Selama jadi Gubernur Jawa Tengah, Pak Pardjo sangat jarang memakai seragam tentaranya. Kecuali ketika ikut Rapim dan Latgab ABRI.
Sesampai di Mabes ABRI (Kantor Pangab) di Jl. Merdeka Barat, Pak Pardjo dijemput oleh Perwira Penghubung yang langsung memberikan tanda pangkat baru untuk dikenakan dipundak: Tiga Bintang Emas! Saya bukan anggota ABRI, jadi kurang faham tatacara upacara kenaikan pangkat dilingkungan ABRI. Tapi setelah mengikuti Upacara hari itu saya jadi mengerti bahwa Upacara itu lebih pantas disebut sebagai Acara Laporan Kenaikan Pangkat kepada Panglima ABRI saja. Karena acaranya hanya pembacaan SKEP Pangab. Kemudian Para Perwira yang naik pangkat berbaris menghadap Pangab untuk melaporkan kenaikan pangkatnya, sudah dengan mengenakan tanda pangkat yang baru dipundaknya. Begitu saja. Acara diakhiri dengan Sambutan Pangab. Tapi hari itu termasuk agak istimewa karena Pangab Jenderal TNI M. Jusuf juga memberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat luar biasa bagi para anggota Kopassandha (Korps Pasukan Sandi Yudha, sekarang Kopassus) yang berhasil menggagalkan usaha pembajakan pesawat terbang DC-9 Garuda “Woyla” di Bandara Don Muang Bangkok.
Selesai mengikuti Upacara di Mabes ABRI, Pak Pardjo mengulang lagi ‘ritual’ ganti pakaian didalam mobil yang berputar-putar mengelilingi Monas. Kini Pak Pardjo sudah jadi ‘sipil’ lagi. Sebelum kembali menuju Bandara Kemayoran, Pak Pardjo sempat mengajak mampir untuk makan siang disebuah restoran Padang disekitar Jl. Sabang. Maka jadilah sebuah acara “jamuan makan siang” tidak resmi yang menunya sangat sederhana (makanan khas Padang) untuk mensyukuri kenaikan pangkat beliau jadi Letnan Jenderal.
Yang hadir pada ‘jamuan makan siang’ itu hanya tiga orang saja: Pak Pardjo, saya dan Bejo.
Sore hari itu juga dengan pesawat F-28 Garuda Pak Pardjo dan saya kembali ke Semarang dengan selamat. Kini Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam sudah jadi Letnan Jenderal. Saya sangat bangga termasuk orang pertama yang mengetahui kenaikan pangkat beliau dan dapat ikut hadir serta menyaksikan Upacara Laporan Kenaikan Pangkat jadi Jenderal Bintang Tiga (Letnan Jenderal) di Mabes ABRI.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar