(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (15)
Dieng, akhir Februari 1979.
Terletak diperbatasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, dataran tinggi (plateau, plato) Dieng yang bersuhu sekitar 13 sampai 17 derajat Celcius disiang hari dan 10 derajat Celcius dimalam hari itu konon adalah dataran tinggi (bukan gunung) nomor dua tertinggi didunia (sekitar 2100 meter). Dataran tinggi ini dikelilingi oleh beberapa gunung, antara lain yang terkenal adalah gunung Sindoro (3.151 meter) dan Sumbing (3.371 meter).
Menurut sejarahnya, Dieng adalah sebuah ‘kaldera’ (kawah atau kepundan) yang sangat luas dari sebuah gunung berapi.
“Dieng” (berasal dari kata Sansekerta “Di” dan “Hyang”, berarti tempat tinggi para Dewa, atau Kahyangan) pada jaman dulu kala merupakan tempat ziarah dan bersemedi Raja-raja Jawa Tengah yang beragama Hindu. Oleh karenanya terdapat banyak sekali Candi di daerah Dieng, yang (oleh masyarakat sekitar) diberi nama dengan nama tokoh-tokoh wayang.
Kini Dieng menjadi tempat wisata yang sangat menarik karena terdapat banyak peninggalan sejarah dan keadaan alamnya yang indah tapi penuh misteri. Banyak sumber air panas, kawah dan telaga yang bisa berubah-ubah warnanya ditengah kerimbunan pepohonan.Sekitar tahun 70-an di dataran tinggi Dieng juga terdapat budidaya jamur merang dan perkebunan ‘Carica’ (semacam papaya) yang buahnya dikalengkan untuk diekspor.
Sepanjang penugasan saya sebagai staf Protokol, telah beberapa kali saya mengantar Duta Besar Negara Sahabat berkunjung kedaerah Dieng yang berpemandangan alam nan eksotis itu. Meski terletak didua daerah yang meliputi Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, entah mengapa lokasi pariwisata Dieng kebanyakan berada didaerah Kabupaten Wonosobo.
Tapi yang paling mengesankan (sekaligus mengerikan) adalah ketika terjadi bencana alam dikawah Sinila. Pada tanggal 20 Februari 1979, kawah Sinila yang terletak didesa Dieng Wetan (timur), tiba-tiba meletus dan menyemburkan gas beracun ‘karbon monoksida’ (CO) yang sangat mematikan. Tercatat 149 jiwa tewas dalam musibah yang kemudian dinyatakan sebagai musibah nasional ini. Oleh pemerintah daerah setempat (Wonosobo dan Banjarnegara) Desa Dieng Wetan langsung dinyatakan sebagai daerah tertutup dan dilarang dimasuki oleh siapapun. Jalan masuk menuju desa itu ditutup dengan portal dan dijaga aparat keamanan. Praktis Desa Dieng Wetan menjadi desa yang benar-benar mati.
Beberapa hari setelah keadaan dinyatakan agak aman, Presiden Soeharto berkenan meninjau tempat musibah sebagai bentuk rasa simpati dan duka cita dari Pemerintah Pusat. Karena Presiden akan datang secara pribadi, tentu saja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mempersiapkan kedatangan beliau dengan sebaik-baiknya. Saya termasuk salah satu Staf Protokol Jawa Tengah yang ditugaskan untuk ikut mempersiapkan kedatangan Presiden Soeharto, bekerjasama dengan Protokol Istana Kepresidenan.
Bulan Februari tahun 1979 adalah musim penghujan. Sehari sebelum kedatangan Presiden, saya sudah berada didesa yang bertetangga dengan desa Dieng Wetan. Seharian itu hujan turun tak berhenti dari siang sampai malam. Suhu udara mungkin lebih dingin dari 10 derajat Celcius. Sangat menggigilkan. Suasana sekitar desa Dieng Wetan masih sangat mencekam. Hilangnya nyawa sekitar 149 orang menimbulkan cerita-cerita seram yang mendirikan buluroma.
CO atau karbon monoksida adalah gas yang tak berbau, tak berasa tetapi sangat mematikan. Gas maut itu konon menyebar pada ketinggian sekitar 50 sentimeter dari permukaan tanah. Siapapun (baik manusia maupun hewan) yang mempunyai tinggi badan lebih dari 50 sentimeter sangat mungkin menghirup gas racun itu tanpa sadar, sampai tiba-tiba jatuh pingsan dan bisa saja tewas kalau gas yang dihirupnya melebihi ambang batas. Dan itulah yang terjadi. Ketika kawah Sinila mengeluarkan letusan, terjadi semacam gempa yang membuat penduduk desa Dieng Wetan berlarian keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Saat itulah gas karbon monoksida menyembur dari kawah Timbang didekat Sinila, dan langsung dihirup oleh orang-orang yang berlarian itu. Satu per satu mereka roboh dan tewas. Mayat-mayat manusia dan hewan bergelimpangan dimana-mana. Tak seorangpun berani menolong dan menjamahnya, karena beberapa orang yang mencoba menolong para korban ternyata juga ikut menjadi korban pula. Yang mengherankan adalah kenyataan bahwa hewan ternak unggas seperti ayam dan beberapa hewan kecil seperti kucing ternyata tidak ikut menjadi korban. Hal itu menguatkan teori bahwa memang gas beracun itu ‘mengambang’ diudara.
Malam hari menjelang kedatangan rombongan Presiden, saya bermalam disalah satu rumah penduduk. Gelap gulita disekitar desa yang belum seluruhnya terjamah listrik itu. Penduduk tak ada yang berani keluar rumah setelah magrib, karena mendengar cerita ‘horor’ serba mistik dan menyeramkan yang menyebar dari mulut kemulut.
Jadi ‘tukang ojek payung’ untuk RI-1.
Rapat koordinasi yang diadakan oleh Protokol Istana dan Paswalpres (kini Paspampres) pada malam hari di Balai Desa berpenerangan lampu listrik sekedarnya ditambah beberapa lampu petromaks itu saya ikuti dengan tidak sepenuh hati. Cerita tentang mayat bergelimpangan dan hantu yang konon bergentayangan mencari ‘pertolongan’ membuat saya tercekam dan nyaris tak dapat memejamkan mata semalaman.
Menurut rencana rombongan Presiden akan datang menggunakan beberapa pesawat helikopter Puma. Selanjutnya Presiden akan meninjau lokasi kawah Sinila dan diakhiri dengan berziarah kemakam para korban yang dikubur secara massal, untuk membacakan doa bagi arwah para korban.
Karena hujan turun terus menerus maka disiapkanlah ‘pasukan payung’ khusus untuk rombongan Presiden yang terdiri dari para petugas Protokol yang ditunjuk. Saya termasuk salah seorang diantara yang ditugaskan untuk memayungi ‘orang nomor satu’ dan satu-satunya di Indonesia itu. Kelihatannya memang ‘hanya’ tugas remeh, menjadi ‘tukang ojek payung’, tapi kali ini untuk memayungi Presiden Republik Indonesia.!!
Tugas yang cukup untuk membuat hati saya merasa bangga.
Pesawat helikopter Puma yang membawa rombongan Presiden mendarat disebuah lapangan sepakbola yang berada agak jauh dari lokasi desa Dieng Wetan. Selanjutnya rombongan memakai kendaraan mobil menuju ketempat peninjauan. Hujan rintik-rintik seolah mengisyaratkan air mata duka alam sekitar.
Didampingi Gubernur Soepardjo dan Menteri PU serta beberapa Pejabat yang ikut dalam rombongan, Pak Harto dengan wajah sangat serius tampak tekun mendengarkan penjelasan dan kronologi saat terjadinya musibah Kawah Sinila. Beliau juga tampak memberikan beberapa petunjuk setelah bertanya jawab tentang beberapa persoalan penting yang menyangkut evakuasi dan pengamanan daerah Sinila khususnya dan daerah dataran tinggi Dieng umumnya dimasa yang akan datang. Tentu dengan maksud agar peristiwa tragis dan memilukan itu tidak akan terulang lagi, atau setidaknya andai terulang lagipun, masyarakat telah mendapat penyuluhan tentang cara-cara menghadapi keadaan darurat seperti itu.
Setelah itu Presiden menuju ketempat pemakaman massal korban gas beracun kawah Sinila. Hujan yang turun semakin deras tidak menghalangi Pak Harto untuk berziarah membacakan doa digundukan tanah yang masih berwarna merah. Dengan membawa sebuah payung besar, saya berdiri tepat disebelah Pak Harto untuk memayungi beliau dari terpaan air hujan. Namun usaha itu tak sepenuhnya berhasil. Karena angin bertiup cukup kencang, maka air hujan tempias kemana-mana. Tapi saya lihat Pak Harto tetap tampak tenang, tidak memerdulikan air yang membasahi nyaris sekujur tubuhnya kecuali di bagian kepala yang terlindung payung. Beliau tampak khusyuk menyimak dan mengamini doa yang dibacakan oleh Kakanwil Departemen Agama Jawa Tengah.
Diam-diam saya kagum dengan keteguhan hati seorang pemimpin bangsa yang sangat peduli akan musibah yang menimpa rakyat yang dipimpinnya.
Hari itu adalah hari yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya.
Menjadi “tukang ojek payung” untuk orang yang paling berkuasa di Indonesia, adalah sebuah pengalaman yang cukup langka dan tidak setiap orang bisa mendapatkan kesempatan seperti itu.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar