(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (13)
By mastonie · Monday, May 31, 2010
Saya bersama Pak Rahmat -juga staf Bagian Protokol- mendapat tugas dari Pak Rasiman (Kepala Bagian Protokol) untuk mempersiapkan Upacara Hari Pahlawan Tingkat Jawa Tengah tanggal 10 November 1976 yang akan diselenggarakan secara terpusat di Kota Magelang.
Dua hari sebelumnya -pada waktu ‘gladi resik’- kita berdua memutuskan untuk berangkat ke Magelang guna mengatur segala sesuatunya berkoordinasi dengan Pak Sekwilda Magelang yang menjadi Ketua Panitia setempat.
Karena jip Nissan sedang dipakai dinas Staf Protokol ditempat lain, maka terpaksa kami meminjam mobil dinas Kepala Bagian Protokol. Sebuah jip VW Safari jatah Pemilu Tahun 1972 lengkap dengan sopirnya! Pak Rasiman memang selalu dengan ikhlas memberikannya. Terus terang saya mengagumi pola kepemimpinan Pak Rasiman yang sangat dekat dengan bawahan. Juga rasa setia kawan dan ‘mengalah’nya itu.
Dengan berbekal SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) untuk 3 hari kami berdua segera berangkat ke Magelang memakai VW Safari dengan Poniman -pengemudi Pak Rasiman-. Sopir yang satu ini lebih halus dan santai ‘gaya’nyopirnya dibandingkan dengan Yitno, sopir dinas yang satu lagi di Bagian Protokol.
Panitia Daerah yang dipimpin oleh Bapak Sekwilda Magelang telah memersiapkan segala sesuatu sebaik–baiknya. Maka gladi resik Upacara Hari Pahlawan berjalan lancar. Hanya ada perbaikan–perbaikan kecil yang saya usulkan dibeberapa bagian disesuaikan dengan ‘selera’ Bapak Gubernur. Ini selalu saya pegang teguh karena Pak Gub sangat teliti pada hal–hal yasng bersifat protokoler.
Selesai latihan Upacara, Pak Rahmat mengajak saya kembali ke Semarang. Padahal Pak Sekwilda telah memersiapkan tempat bermalam di Guest House Pemda untuk kita bertiga. Tapi Pak rahmat ‘ngeyel’ (bersikeras) untuk pulang hari itu juga, dengan alasan jarak tempuh Magelang – Semarang yang hanya satu setengah jam saja. Saya yang meskipun lelah akhirnya mengalah karena Pak Rahmat lebih senior dari saya.
Nyaris jadi 'tumbal' Hari Pahlawan di Banaran
Selepas ashar kita bertiga meluncur kembali menuju Semarang.Sepanjang perjalanan hujan turun rintik – rintik. Sesudah melewati restoran ‘Kopi Eva‘ didaerah yang bernama Banaran, jalan raya menurun tajam dan berkelok – kelok. Sebetulnya pemandangan dikiri kanan jalan sangat indah. Oleh karena itu disini ada jalur kereta api (buatan pemerintah Kolonial Belanda) dengan rel khusus -bergerigi- untuk para wisatawan. Mobil yang dikemudikan Poniman meluncur tidak terlalu kencang, kurang lebih hanya sekitar 40 – 50 kilometer perjam. Menjelang tikungan tajam yang terakhir tiba–tiba mobil seperti tidak bisa dikendalikan. Saya yang duduk disebelah sopir, kaget karena Poniman agak panik dan berteriak “a,e,a,e” sambil tangannya tak henti memutar kemudi kekanan kiri. Mobil meluncur zig –zag. Makin lama makin cepat. Rupanya roda – roda mobil selip. Saya memegang kursi erat–erat, merasa tak berdaya. Pak Rahmat yang duduk sendirian di kursi belakang berteriak–teriak Allahu Akbar berulang–ulang. Saya pasrah dan berdoa dalam hati ya Allah selamatkan kami dari azab dan siksamu baik didunia maupun diakhirat. Pada upayanya yang terakhir Poniman membanting kemudi kekanan karena melihat ada pohon ditepi jalan, sambil menginjak pedal rem kuat–kuat. Terdengar suara decit ban yang keras dan lama. Mobil tetap meluncur meski sudah agak berkurang kecepatannya. Persis pada saat akan menghantam pohon mobil dapat dikuasai kembali oleh Poniman dan berhenti “nyender” (menempel) dipohon dengan ‘manis’nya. Hanya kurang lebih setengah meter dari bibir jurang yang menganga lebar siap menerima siapa saja! Dari jauh terdengar sayup – sayup adzan maghrib. Langit sekitar sudah mulai gelap. Rintik hujan masih belum juga reda. Suasana sungguh sangat mencekam. Kita bertiga ‘dheleg-dheleg’ (tepekur) dikursi masing-masing sambil menghela nafas lega. Alhamdulillah ya Allah, Kau selamatkan kami bertiga dari bencana. Saya melirik Poniman yang tampak gemetaran. Saya juga. Entah pak Rahmat bagaimana, saya tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena gelap.Mobil berada dibahu jalan sebelah kanan. Sangat beruntung lalu lintas sedang sepi. Seandainya ramai, pasti tadi sudah terjadi tabrakan beruntun. Mungkin ada sekitar sepuluh menit kita tepekur didalam mobil. Kaki terasa sangat berat digerakkan untuk keluar mobil. Poniman yang lebih dulu memecah kesunyian : “Istirahat dulu ya Pak. Saya kok masih ‘ndredeg’ (gemetar karena takut)” katanya terbata–bata.
Saya hanya mengangguk, masih belum kuasa berbicara. Pak Rahmat juga hanya bisa mengeluarkan suara ah uh saja. Akhirnya dapat juga kita meninggalkan tempat yang nyaris ‘menghabiskan’ riwayat kita bertiga. Sekitar pukul 8 malam mobil dengan selamat memasuki Kota Semarang. Agak lama memang. Soalnya Poniman terus kita tekan agar berjalan pelan–pelan saja, yang penting selamat sampai tujuan.Ya seperti pepatah Jawa : Alon – alon waton kelakon. Biar lambat asal selamat.
“Gara–gara Pak Rahmat ‘ngeyel’ minta pulang, kita nyaris jadi tumbal (korban) Hari Pahlawan” gerutu Poniman sewaktu tiba dirumah saya. Pak Rahmat cuma bisa nyengir kuda karena merasa bersalah memaksakan diri untuk pulang.
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar