(dari draf buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
by mastonie on Monday, May 31, 2010 at 9:27am
(Salah satu tugas sebagai Protokol Gubernur adalah mengatur acara dan mendampingi kunjungan tamu dari negara sahabat, termasuk para Duta Besarnya. Kisah dibawah ini adalah salah satu peristiwa yang cukup mengesankan saya....)
Selama Bapak Soepardjo Roestam menjabat Gubernur (1974 s/d 1983), banyak sekali Duta Besar negara sahabat yang berkunjung ke Provinsi Jawa Tengah. Maklum beliau juga pernah menjadi Duta Besar RI dua kali (di dua negara, Yugoslavia dan Malaysia). Jadi hubungan beliau dengan para anggota “CD” (Corps Diplomatic) juga sangat luas.
Sebagai staf Protokol, beberapa kali saya mendapat tugas mengantar tamu Duta Besar yang mengadakan ‘Courtessy Call’ (Kunjungan Kehormatan) pada Pak Gubernur.
Selama Bapak Soepardjo Roestam menjabat Gubernur (1974 s/d 1983), banyak sekali Duta Besar negara sahabat yang berkunjung ke Provinsi Jawa Tengah. Maklum beliau juga pernah menjadi Duta Besar RI dua kali (di dua negara, Yugoslavia dan Malaysia). Jadi hubungan beliau dengan para anggota “CD” (Corps Diplomatic) juga sangat luas.
Sebagai staf Protokol, beberapa kali saya mendapat tugas mengantar tamu Duta Besar yang mengadakan ‘Courtessy Call’ (Kunjungan Kehormatan) pada Pak Gubernur.
Salah satunya Duta Besar Uni Soviet (kini Rusia). Dubes yang satu ini (kelihatannya) sangat merakyat. Tapi juga agak ‘lain daripada yang lain’. Berbeda dengan Dubes dari negara lain yang tidak keberatan memakai mobil yang disediakan oleh Pemda, Dubes Uni Soviet ini membawa mobil dinas sendiri dari Jakarta.
Sedan Mercedes Benz bernomor CD 37-01 (Nomor mobil Dubes Uni Soviet) yang dibawanya -tampaknya- adalah mobil sedan yang anti peluru. Lengkap dengan sopir khusus yang merangkap tugas sebagai ‘bodyguard’ dan penerjemah. Uniknya, sopir Dubes ini tidak mau memakai pakaian yang resmi. Jadi dia hanya memakai pakaian kasual (pakaian sehari-hari) saja. Kontras sekali dengan penampilan Duta Besarnya yang selalu memakai Jas dan dasi. Badan si sopir ini gempal dan punya potongan rambut cepak a la tentara.
Melihat gaya dan cara bicaranya dengan Sang Duta Besar, saya yakin dia pasti anggota ‘Kommissariat Gosudartsvenni Bezopastnotsi’ (Komisariat untuk Keamanan Negara) atau yang lebih dikenal luas didunia sebagai “KGB” alias Dinas Rahasia Uni Soviet (dahulu).
Kali ini saya bertugas bersama dengan Pak Ujuwolo, staf Protokol baru yang fasih berbahasa Inggris karena pernah bertugas sebagai home staff di KBRI Papua New Guinea (PNG). Jadi selama dalam perjalanan kunjungan Dubes Soviet ke Jawa Tengah, konfigurasi duduk di mobil Mercy yang sangat mewah itu adalah sebagai berikut: di kursi belakang duduk Sang Dubes didampingi Pak Ujuwolo yang bertugas sebagai penerjemah. Saya yang bertindak sebagai Petugas Protokol sekaligus penunjuk jalan, duduk di front seat disamping sopir (yang sangat mungkin sekali anggota KGB itu).
Mengapa saya juga jadi penunjuk jalan? Karena Dubes yang ‘antik’ ini tidak mau memakai pengawalan dari Polisi yang biasa disiapkan untuk kunjungan tamu negara!
Maka kunjungannya ke Provinsi Jawa Tengah jadi seperti kunjungan incognito saja. Sedan yang khusus disediakan oleh Pemda akhirnya hanya ditumpangi oleh Staf Kedutaan Uni Soviet. Sedangkan sedan petugas PJR hanya mengikuti dibelakang mobil rombongan sebagai pengawalan tertutup.
Alkisah, setelah acara kunjungan kehormatan ke kediaman resmi Pak Gubernur, acara berikutnya adalah mengunjungi Candi Borobudur dan Dieng. Kunjungan ke Candi Borobudur berlangsung lancar.
Saya tidak tahu pasti alasan Pak Dubes yang setelah mengunjungi Candi Borobudur ternyata (diluar jadwal acara) ingin melihat Jembatan Kali Krasak, yang memang tergolong jembatan baru.
Disekitar lokasi jembatan Kali Krasak inilah kemudian terjadi sebuah ‘insiden’. Sedan Mercy yang kami tumpangi sedang melaju kencang menuju jembatan ketika tiba-tiba terdengar suara “plethaak” !! Lalu sebagian dari kaca depan mobil sekonyong-konyong seperti ada gambar sarang laba-laba. Seisi mobil terkejut bukan main. Tapi sopir KGB itu menunjukkan ‘kelas’nya. Ia dengan tenang mengurangi kecepatan dan meminggirkan mobil ketepi jalan.
Sebagai Petugas Protokol yang bertanggung jawab atas jalannya kunjungan, saya langsung turun. Begitu juga sang sopir. Kita mencoba menganalisa terjadinya insiden itu. Yang dapat meretakkan kaca depan mobil sedan ini pastilah sebuah benda keras, mungkin saja sebuah batu. Pertanyaannya adalah: bagaimana dan mengapa ada batu yang bisa melayang dan tepat mengenai kaca mobil? Pasti ada orang yang dengan sengaja melempar. Siapa? Wallahu’alam.
Dari sejak awal perjalanan memang saya merasa sedikit agak ‘aneh’. Naik sedan mewah dengan plat nomor CD-37-01, memakai bendera Uni Soviet yang berkibar dimoncong mobil, tapi tanpa pengawalan petugas PJR ataupun polisi! (Karena sedan petugas PJR hanya mengikuti dibelakang rombongan saja).
Padahal (seperti kita ketahui) bendera Uni Soviet itu berwarna merah darah dengan gambar ‘PALU ARIT’ diujungnya! Pikiran jelek saya muncul. Jangan-jangan karena ada bendera merah bergambar ‘palu arit’ itu, ada orang iseng melempar batu. Pada waktu itu sentimen anti PKI memang masih sangat kuat. Saya hanya bisa mohon maaf kepada Pak Dubes seraya minta agar insiden itu dianggap sebagai kecelakaan yang tidak disengaja.
Tiba di Wonsobo sudah lewat tengah hari. Pak Bupati menyambut tamunya di Pendopo Kabupaten dengan jamuan santap siang. Semua tamu yang hadir berpakaian resmi dan rapi. Kecuali sang "sopir jagoan". Tanpa merasa risih sedikitpun, iapun ikut duduk dan ikut pula makan siang bersama. Padahal ia hanya memakai kaos dan celana jins! Saya dan Pak Ujuwolo hanya bisa geleng-geleng kepala. Pak Uju bisik-bisik kepada saya: “Nek sopir Pemda mpun kulo kamplengi tenan”
(Kalau sopir dari Pemda pasti sudah saya pukuli benar-benar).
Malam harinya acara bebas. Pak Dubes bermalam di Pendopo. Kita (saya, Pak Ujuwolo, sopir KGB dan staf Kedutaan Uni Soviet) dapat jatah tempat bermalam di “Wisma PJKA”. Kira-kira hanya berjarak sekitar 200 meter dari Pendopo. Pada saat makan malam, sopir KGB dan Staf Kedutaan mengeluarkan sebatang roti yang bentuknya bulat panjang seperti ‘penthungan’ (pemukul), beberapa makanan kaleng seperti sarden dan 2 botol minuman berwarna putih bening. Pak sopir dengan cekatan memotong-motong roti dan mengolesinya dengan sesuatu berwarna hitam yang dikeluarkannya dari kaleng. Sementara staf Kedutaan menuangkan minuman berwarna putih jernih itu kemasing-masing gelas kami.
“Let’s try the most delicious meals in the world” ajaknya.
Saya memandang Pak Uju dengan tatapan heran. Saya anggap ia lebih tahu daripada saya tentang makanan yang bentuk dan warnanya ‘aeng-aeng’ (aneh-aneh) ini.
“Mas, ini namanya roti Prancis yang diolesi kaviar dan itu yang namanya vodka, minuman keras asli dari Soviet” Pak Uju bisik-bisik menjelaskan.
Sudah lama saya tahu ada makanan yang namanya kaviar. Itu adalah sejenis telur ikan, yang -kata orang- rasanya sangat lezat, tapi konon harganya sangat mahal. Dan vodka itu minuman keras asli Soviet yang sejenis dengan whiskey. Wah, ini kesempatan langka, kata hati saya. Makan roti diolesi kaviar dan minum vodka. Saya sudah membayangkan kelezatannya. Saya ambil sepotong roti yang telah diolesi kaviar. Warna kaviar ini mirip petis (sejenis bumbu berwujud pasta berwarna hitam, khas Jawa). Hitam mengkilat, tapi berupa butiran kecil-kecil yang lengket satu sama lain. Dengan hati-hati saya gigit rotinya sedikit untuk meresapi kenikmatannya. Weee lhadalah. Lha koq keras banget ini roti. Dan yang disebut sebagai kaviar itu, rasanya, astaga naga, asiiiin banget. Kening saya berkerinyit. Dimana lezatnya? Sang sopir memandang saya sambil bertanya:
“What do you think, very nice, isn’t it?”.
“Yes, yes very nice”. Jawab saya berbasa-basi untuk menyenangkan hatinya.
Padahal, alamak kalau tak ingat harus menghormati tamu, saya sudah muntahkan ‘telur ikan asin’ itu. Buru-buru saya minum dari gelas yang ada didepan saya. Nyooossss, aduh biyung, minuman apa lagi ini? Lidah saya seperti terbakar. Ini rupanya yang namanya vodka itu. Saya lirik Pak Uju disamping saya senyum-senyum sambil dengan nikmatnya menyantap roti diseling dengan minum vodka. Edan tenan. Sang Sopir dan temannya juga kelihatan asyik dan lahap banget. Belum habis setengah gelas, Sopir gendheng itu sudah menuangkan lagi vodka kegelas saya sambil berseru:
“Have some more. Come on”.
Sebetulnya saya jarang sekali minum minuman keras selain bir. Pernah sesekali (untuk menghormati tamu asing yg saya antar) saya minum whiskey, tapi selalu dicampur dengan (lebih banyak) cola. Jadi rasanya masih lebih dominan manisnya.
Entah kenapa malam ini saya termakan ‘rayuan maut' si Agen KGB itu. Saya minum vodka yang rasanya pahit ‘kemranyas’ sampai tandas dua gelas bablaass!!
Tengah malam saya muntah-muntah dikamar mandi.
Melihat ada orang yang jadi "korban", Pak Uju malah tertawa ngakak.
Oooooo...Dasar wong gendheng kabeh (orang gila semua). Saya mengumpat.
Sedan Mercedes Benz bernomor CD 37-01 (Nomor mobil Dubes Uni Soviet) yang dibawanya -tampaknya- adalah mobil sedan yang anti peluru. Lengkap dengan sopir khusus yang merangkap tugas sebagai ‘bodyguard’ dan penerjemah. Uniknya, sopir Dubes ini tidak mau memakai pakaian yang resmi. Jadi dia hanya memakai pakaian kasual (pakaian sehari-hari) saja. Kontras sekali dengan penampilan Duta Besarnya yang selalu memakai Jas dan dasi. Badan si sopir ini gempal dan punya potongan rambut cepak a la tentara.
Melihat gaya dan cara bicaranya dengan Sang Duta Besar, saya yakin dia pasti anggota ‘Kommissariat Gosudartsvenni Bezopastnotsi’ (Komisariat untuk Keamanan Negara) atau yang lebih dikenal luas didunia sebagai “KGB” alias Dinas Rahasia Uni Soviet (dahulu).
Kali ini saya bertugas bersama dengan Pak Ujuwolo, staf Protokol baru yang fasih berbahasa Inggris karena pernah bertugas sebagai home staff di KBRI Papua New Guinea (PNG). Jadi selama dalam perjalanan kunjungan Dubes Soviet ke Jawa Tengah, konfigurasi duduk di mobil Mercy yang sangat mewah itu adalah sebagai berikut: di kursi belakang duduk Sang Dubes didampingi Pak Ujuwolo yang bertugas sebagai penerjemah. Saya yang bertindak sebagai Petugas Protokol sekaligus penunjuk jalan, duduk di front seat disamping sopir (yang sangat mungkin sekali anggota KGB itu).
Mengapa saya juga jadi penunjuk jalan? Karena Dubes yang ‘antik’ ini tidak mau memakai pengawalan dari Polisi yang biasa disiapkan untuk kunjungan tamu negara!
Maka kunjungannya ke Provinsi Jawa Tengah jadi seperti kunjungan incognito saja. Sedan yang khusus disediakan oleh Pemda akhirnya hanya ditumpangi oleh Staf Kedutaan Uni Soviet. Sedangkan sedan petugas PJR hanya mengikuti dibelakang mobil rombongan sebagai pengawalan tertutup.
Alkisah, setelah acara kunjungan kehormatan ke kediaman resmi Pak Gubernur, acara berikutnya adalah mengunjungi Candi Borobudur dan Dieng. Kunjungan ke Candi Borobudur berlangsung lancar.
Saya tidak tahu pasti alasan Pak Dubes yang setelah mengunjungi Candi Borobudur ternyata (diluar jadwal acara) ingin melihat Jembatan Kali Krasak, yang memang tergolong jembatan baru.
Jembatan Kali Krasak foto: rumputilalang
Kali (sungai) Krasak ini berada diperbatasan Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Memang sungai ini mengandung banyak kisah terutama saat Gunung Merapi sedang ‘marah’. Bebatuan yang tampak disepanjang sungai adalah batu yang dimuntahkan dari kepundan Gunung Merapi. Suatu saat bahkan arus lahar dingin dan batu-batu itu berhasil menjebol dan merobohkan jembatan Kali Krasak. Kini jembatan sudah dibangun kembali dengan konstruksi jembatan ‘bailey’ a la "Calendar Hamilton" yang sangat kokoh. Peresmian pembukaan jembatan itu dilakukan sendiri oleh Presiden Soeharto. Disekitar lokasi jembatan Kali Krasak inilah kemudian terjadi sebuah ‘insiden’. Sedan Mercy yang kami tumpangi sedang melaju kencang menuju jembatan ketika tiba-tiba terdengar suara “plethaak” !! Lalu sebagian dari kaca depan mobil sekonyong-konyong seperti ada gambar sarang laba-laba. Seisi mobil terkejut bukan main. Tapi sopir KGB itu menunjukkan ‘kelas’nya. Ia dengan tenang mengurangi kecepatan dan meminggirkan mobil ketepi jalan.
Sebagai Petugas Protokol yang bertanggung jawab atas jalannya kunjungan, saya langsung turun. Begitu juga sang sopir. Kita mencoba menganalisa terjadinya insiden itu. Yang dapat meretakkan kaca depan mobil sedan ini pastilah sebuah benda keras, mungkin saja sebuah batu. Pertanyaannya adalah: bagaimana dan mengapa ada batu yang bisa melayang dan tepat mengenai kaca mobil? Pasti ada orang yang dengan sengaja melempar. Siapa? Wallahu’alam.
Dari sejak awal perjalanan memang saya merasa sedikit agak ‘aneh’. Naik sedan mewah dengan plat nomor CD-37-01, memakai bendera Uni Soviet yang berkibar dimoncong mobil, tapi tanpa pengawalan petugas PJR ataupun polisi! (Karena sedan petugas PJR hanya mengikuti dibelakang rombongan saja).
Padahal (seperti kita ketahui) bendera Uni Soviet itu berwarna merah darah dengan gambar ‘PALU ARIT’ diujungnya! Pikiran jelek saya muncul. Jangan-jangan karena ada bendera merah bergambar ‘palu arit’ itu, ada orang iseng melempar batu. Pada waktu itu sentimen anti PKI memang masih sangat kuat. Saya hanya bisa mohon maaf kepada Pak Dubes seraya minta agar insiden itu dianggap sebagai kecelakaan yang tidak disengaja.
Tiba di Wonsobo sudah lewat tengah hari. Pak Bupati menyambut tamunya di Pendopo Kabupaten dengan jamuan santap siang. Semua tamu yang hadir berpakaian resmi dan rapi. Kecuali sang "sopir jagoan". Tanpa merasa risih sedikitpun, iapun ikut duduk dan ikut pula makan siang bersama. Padahal ia hanya memakai kaos dan celana jins! Saya dan Pak Ujuwolo hanya bisa geleng-geleng kepala. Pak Uju bisik-bisik kepada saya: “Nek sopir Pemda mpun kulo kamplengi tenan”
(Kalau sopir dari Pemda pasti sudah saya pukuli benar-benar).
Malam harinya acara bebas. Pak Dubes bermalam di Pendopo. Kita (saya, Pak Ujuwolo, sopir KGB dan staf Kedutaan Uni Soviet) dapat jatah tempat bermalam di “Wisma PJKA”. Kira-kira hanya berjarak sekitar 200 meter dari Pendopo. Pada saat makan malam, sopir KGB dan Staf Kedutaan mengeluarkan sebatang roti yang bentuknya bulat panjang seperti ‘penthungan’ (pemukul), beberapa makanan kaleng seperti sarden dan 2 botol minuman berwarna putih bening. Pak sopir dengan cekatan memotong-motong roti dan mengolesinya dengan sesuatu berwarna hitam yang dikeluarkannya dari kaleng. Sementara staf Kedutaan menuangkan minuman berwarna putih jernih itu kemasing-masing gelas kami.
“Let’s try the most delicious meals in the world” ajaknya.
Saya memandang Pak Uju dengan tatapan heran. Saya anggap ia lebih tahu daripada saya tentang makanan yang bentuk dan warnanya ‘aeng-aeng’ (aneh-aneh) ini.
“Mas, ini namanya roti Prancis yang diolesi kaviar dan itu yang namanya vodka, minuman keras asli dari Soviet” Pak Uju bisik-bisik menjelaskan.
Sudah lama saya tahu ada makanan yang namanya kaviar. Itu adalah sejenis telur ikan, yang -kata orang- rasanya sangat lezat, tapi konon harganya sangat mahal. Dan vodka itu minuman keras asli Soviet yang sejenis dengan whiskey. Wah, ini kesempatan langka, kata hati saya. Makan roti diolesi kaviar dan minum vodka. Saya sudah membayangkan kelezatannya. Saya ambil sepotong roti yang telah diolesi kaviar. Warna kaviar ini mirip petis (sejenis bumbu berwujud pasta berwarna hitam, khas Jawa). Hitam mengkilat, tapi berupa butiran kecil-kecil yang lengket satu sama lain. Dengan hati-hati saya gigit rotinya sedikit untuk meresapi kenikmatannya. Weee lhadalah. Lha koq keras banget ini roti. Dan yang disebut sebagai kaviar itu, rasanya, astaga naga, asiiiin banget. Kening saya berkerinyit. Dimana lezatnya? Sang sopir memandang saya sambil bertanya:
“What do you think, very nice, isn’t it?”.
“Yes, yes very nice”. Jawab saya berbasa-basi untuk menyenangkan hatinya.
Padahal, alamak kalau tak ingat harus menghormati tamu, saya sudah muntahkan ‘telur ikan asin’ itu. Buru-buru saya minum dari gelas yang ada didepan saya. Nyooossss, aduh biyung, minuman apa lagi ini? Lidah saya seperti terbakar. Ini rupanya yang namanya vodka itu. Saya lirik Pak Uju disamping saya senyum-senyum sambil dengan nikmatnya menyantap roti diseling dengan minum vodka. Edan tenan. Sang Sopir dan temannya juga kelihatan asyik dan lahap banget. Belum habis setengah gelas, Sopir gendheng itu sudah menuangkan lagi vodka kegelas saya sambil berseru:
“Have some more. Come on”.
Sebetulnya saya jarang sekali minum minuman keras selain bir. Pernah sesekali (untuk menghormati tamu asing yg saya antar) saya minum whiskey, tapi selalu dicampur dengan (lebih banyak) cola. Jadi rasanya masih lebih dominan manisnya.
Entah kenapa malam ini saya termakan ‘rayuan maut' si Agen KGB itu. Saya minum vodka yang rasanya pahit ‘kemranyas’ sampai tandas dua gelas bablaass!!
Tengah malam saya muntah-muntah dikamar mandi.
Melihat ada orang yang jadi "korban", Pak Uju malah tertawa ngakak.
Oooooo...Dasar wong gendheng kabeh (orang gila semua). Saya mengumpat.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar