(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (39)
Menikmati status pegawai 'berskala' nasional
Wilayah kerja seorang Menteri Dalam Negeri tentu saja berskala nasional (bahkan kadang internasional). Dengan demikian Ajudan Mendagri juga nunut mukti (ikut beruntung) jadi pegawai berskala nasional. Dan karena wilayah kerja yang berskala nasional, maka Pak Pardjo sering mengadakan kunjungan kerja dinas keseluruh daerah yang ada di Indonesia. Seperti judul lagu wajib jaman sekolah dahulu: “Dari Sabang sampai Merauke”.
Kunjungan kerja kedaerah ini bisa bermacam-macam bentuknya, ada Pelantikan Gubernur, ada peresmian proyek, ada peninjauan daerah tertinggal dan lain-lain. Dengan demikian maka daftar ‘koleksi’ kota atau daerah yang saya kunjungi juga ikut bertambah banyak. Kalau dulu hanya kota-kota di Jawa Tengah dan daerah sekitarnya, kini merambah keseluruh daerah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi saya pribadi, pengalaman ini adalah sebuah anugrah dan nikmat dari Allah SWT yang terus saya syukuri. Terkadang saya teringat pada ‘ramalan’ garis tangan saya yang dibaca Kiai dari Jawa Timur dulu. Saya tidak percaya ramalan itu, tapi saya menganggap apa yang dibaca dan ditafsirkan oleh Sang Kiai sebagai doa yang dikabulkan oleh Allah, Sang Maha Tahu. Alhamdulillah wa Syukurillah.
Wilayah Indonesia yang (pada tahun 80an) terdiri dari 27 Provinsi, sudah lengkap saya kunjungi. Tentu saja dalam rangka ikut kunjungan kerja Menteri Dalam Negeri. Tidak hanya sampai di ibukota Provinsi saja. Tapi sampai ke kota-kota kecil bahkan desa terisolir dipelosok Nusantara.
Baru setelah jadi Mendagri, saya tahu Pak Pardjo ternyata orang yang suka pada kegiatan ‘avonturir’ (petualangan) juga. Saya kadang agak ciut nyali juga mengikuti kiprah beliau dalam melakukan kunjungan kerja kedaerah terpencil.
Di Provinsi Jambi (yang jalur transportasinya kebanyakan berupa sungai) Pak Pardjo memutuskan untuk menggunakan speedboat untuk berkunjung ke Kabupaten Bungotebo. Padahal saat itu hujan deras sedang mengguyur wilayah Jambi disepanjang hari. Jadilah kita menyusuri sungai dengan speedboat yang melaju kencang menyibak air sungai Batanghari ditengah rintik hujan. Waktu kunjungan kerja di Kalimantan Tengah dalam rangka Pelantikan Gubernur kejadian serupa terulang lagi. Meskipun rombongan Mendagri dalam kunjungan kerja itu mendapat pinjaman pesawat Fokker 27 dari AURI sejak berangkat dari Jakarta, tapi Pak Pardjo bersikukuh menempuh perjalanan dari kota Palangkaraya (ibukota Provinsi Kalimantan Tengah) menuju kota Banjarmasin (ibukota Provinsi Kalimantan Selatan), dengan naik speedboat juga. Jarak sejauh itu kalau ditempuh dengan pesawat udara hanya butuh waktu sekitar 1 jam, sedangkan kalau menggunakan speedboat lama perjalanan yang ditempuh bisa memakan waktu sekitar delapan jam! Itupun sambil berpacu dengan waktu, karena kalau terlalu sore, air sungai bisa surut dan tentu saja membahayakan perjalanan perahu atau speed boat antar kota antar Provinsi yang melewati sungai itu. Akhirnya pesawat F-27 itu itu terbang dari Palangkaraya ke Banjarmasin dalam keadaan ‘ngglondhang’ (tanpa penumpang). Banyak lagi kisah-kisah ‘kenekatan’ Pak Pardjo yang secara rinci akan saya uraikan dalam bab tersendiri.
Mendagri melantik para Gubernur.
Sebagaimana sudah saya kisahkan dalam ‘Mantan Gubernur melantik Gubernur’ sebenarnya Gubernur yang pertama kali dilantik oleh Mendagri Soepardjo Roestam adalah justru Gubernur Jawa Tengah, Bapak Letjen TNI (Purn). H.M. Ismail (Mantan Pangdam VII/Diponegoro) yang terpilih menggantikan Pak Pardjo. Akan tetapi yang agak unik adalah, pada saat melantik Gubernur Jawa Tengah tersebut (yang dilaksanakan pada sekitar bulan April tahun 1983), Pak Pardjo juga masih merangkap jabatan. Selain sebagai Mendagri, Pak Pardjo saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, karena acara serah terima jabatan sebagai Gubernur Jawa Tengah baru dilakukan beberapa saat kemudian setelah acara pelantikan selesai.
Setelah itu barulah sebagai Mendagri (yang sudah tidak merangkap jabatan), Pak Pardjo mulai melantik para Gubernur yang lain.
Seingat saya, Gubernur yang termasuk dilantik pada awal-awal masa kerja sebagai Mendagri adalah Bapak Letjen TNI (Purn) Kaharuddin Nasution, sebagai Gubernur Sumatera Utara (akhir 1983) dan kemudian Bapak Soeprapto, BA sebagai Gubernur Bengkulu pada bulan Juli tahun 1984.
Menurut pengamatan saya, kedua orang Gubernur tersebut sangat akrab dengan Pak Pardjo.
Saya tahu dengan persis bagaimana usaha Pak Pardjo membujuk Pak Kaharuddin Nasution (mantan Komandan RPKAD dan mantan Gubernur yang terkenal keras kepala) agar -sekali lagi- mau jadi Gubernur Sumatera Utara.
(Tentu setelah Pak Pardjo -sebagaimana ‘kebiasaan’ pada saat rejim Orde Baru- mendapat sinyal ‘lampu hijau’ dari Pak Harto, tentang siapa orang yang akan ‘ditempatkan’ sebagai calon Gubernur Sumatera Utara).
Sedangkan Pak Prapto (yang alumnus APDN Malang) adalah ‘arek’ Jawa Timur yang selain humoris dan agak ‘nyentrik’, juga suka bicara ceplas-ceplos dan apa adanya. Mirip dengan kebiasaan orang Banyumas yang juga terkenal suka bicara ‘blaka suta’ (terus terang, apa adanya).
Tidak aneh kalau Pak Pardjo (yang orang “Banyumas Asli”) bisa sangat akrab dengan beliau.
foto: dok.suaramerdeka
foto: dok.suaramerdeka
Seusai Upacara Pelantikan Gubernur Bengkulu yang berlangsung pada tanggal 17 Juli 1984 di kantor DPRD Provinsi Bengkulu, Pak Gubernur Soeprapto langsung mengajak Mendagri untuk naik sebuah dokar yang telah dipersiapkannya, untuk meninjau sekaligus meresmikan beberapa Proyek.
Tidak tanggung-tanggung, Pak Pardjo bahkan dengan suka cita bersedia menjadi kusir (sais) kereta kuda beroda dua itu.
Saya kira hanya Gubernur Bengkulu Soeprapto, BA yang punya keberanian ‘memerintah’ Mendagri (yang notabene adalah atasan langsungnya) untuk menjadi seorang kusir dokar!
Tapi justru karena Mendagri jadi kusir itu, peresmian proyek jadi sangat meriah.
Masih banyak lagi kisah unik, lucu bahkan ‘aeng-aeng’ (aneh), yang saya alami pada waktu mengikuti Mendagri Soepardjo Roestam melantik para Gubernur di provinsi lain diseluruh Indonesia. Akan tetapi apabila semua saya kisahkan, maka pasti sangat menghabiskan tempat dan mungkin malah membosankan.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar