by mastonie on Monday, August 23, 2010 at 2:34pm
Semua orang pasti punya cita-cita. Setidaknya pernah.
Apakah cita-cita itu bisa terwujud, atau tidak, itu soal lain. Anda juga pasti pernah mendengar nasihat dari para pinisepuh ini:
"Gantungkan cita-citamu setinggi langit".
Waktu saya kecil (masih di TK atau 'frobel') hal itu pernah saya tanyakan pada Bu Guru saya yang cantik, menggantung cita-cita itu memakai apa. Soalnya tubuh saya tergolong 'mini' untuk anak seumur saya.
Bu Guru hanya tersenyum, tapi tak mau (atau tak bisa) menjawab.
Oleh sebab itu bukan salah saya dong, kalau saya juga tak mau (atau tak bisa) menggantungkan cita-cita.
Boro-boro di langit, ditempat Ibu saya menggantung pakaian saja saya harus naik ke kursi!
Sewaktu melihat Bu Guru TK saya yang sangat cantik -menurut ukuran bocah yang masih 'bau kencur'-, tidak sombong dan baik hati, saya malah pernah bercita-cita jadi pengantin, bersanding dengan Bu Guru. Tapi saya harus "patah hati" diusia dini. Soalnya saya 'lulus' dari TK dan naik ke kelas 1 SR (sekarang SD). Jadi harus berpisah dengan Bu Guru TK saya yang cantik itu.
Sejak itu cita-cita saya berubah-ubah sesuai perkembangan usia saya. Jangan pernah bertanya apa cita-cita saya. Semua profesi yang tampak menjanjikan pernah jadi cita-cita saya. Dokter, Insinyur, Hakim, Jaksa, Polisi, Tentara, Pilot bahkan tukang roti! Sepertinya enak benar jadi tukang roti. Saban hari pasti bisa sarapan roti semaunya. Sedangkan saya (pada saat itu) dalam waktu seminggu belum tentu bisa sarapan duakali.
Saya jadi geli kalau -kadang-kadang- teringat itu semua.
Karena ternyata (untuk mewujudkan) cita-cita juga butuh biaya, dan biaya itu tidak sedikit, maka saya memilih untuk tidak menggantung cita-cita saya. Saya memilih untuk memendamnya saja. Dalam dalam. Sedalam Lautan Atlantik (barangkali). Disini pulalah saya harus mengubur sedikit rasa sakit (dalam hati) yang timbul akibat tergusurnya cita-cita saya itu.
Tapi tanpa saya sadari, hilangnya cita-cita saya itu malah menimbulkan dampak yang tidak kurang pula 'menggerogoti' sakitnya. Saya lalu jadi seperti orang yang terobsesi.
'Binatang' apakah sebetulnya obsesi itu? Menurut Kamus umum lengkap Indonesia-Inggris v v, karangan Prof.Drs. S. Wojowasito, Obssession, (bahasa Inggris), berarti 'pikiran yang selalu menggoda hati'.
Disitulah saya pikir letak rasa 'sakit'nya. Karena saya lalu bertekad: "Pokoknya saya harus jadi orang".
Lho, apa selama ini saya bukan orang? Maksud saya bukan begitu saudara-saudara.
Maksud saya, walaupun akhirnya saya harus hidup tanpa cita-cita, tapi saya malah lalu punya keinginan sangat kuat untuk bisa jadi 'seorang manusia yang punya eksistensi'.
Wah. Lha koq malah jadi serem ya kedengarannya?
Habis bagaimana lagi. Orang tua dan para sesepuh saya selalu menasehati:
"Thole, sak bisa-bisane kowe kudu dadi uwong, amarga yen ora, kowe bakal ora diuwongke liyan"
(Nak, usahakan sebisanya kamu harus jadi 'orang'-yang terpandang-, sebab kalau tidak, kamu nanti akan disepelekan -tidak dianggap orang- oleh orang lain).
Sebenarnya ini hanya nasehat kuno yang biasa dan normatif saja sifatnya. Siapa sih yang mau anak keturunannya tidak dianggap 'orang' alias disepelekan oleh orang lain?
Akan tetapi kalau dipikir-pikir, nasihat itu seperti ada sedikit 'bau' materialistisnya ya?
Karena mengukur keberadaan seseorang hanya dari citra lahiriahnya saja.
Namun dalam kehidupan keseharian kita, harus kita akui bahwa hal itu sangat sering terjadi. Untuk tingkat RT (rukun tetangga) saja. Sekarang ini sudah jarang seseorang dipilih jadi Ketua RT kalau dia bukan orang yang paling terpandang dilingkungannya.
Terpandang disini bisa karena dia paling kaya, paling pintar (punya banyak gelar) atau paling yang lain. Kalau hanya paling senior atau paling tua malah cuma jadi bahan guyonan. Ah kalau Pak Anu mah kagak pantes jadi Ketua RT. Pantesnya? Ketua-an lah. Tuh kan, malah mengejek.
Dipicu dan dipacu masalah itulah yang menyebabkan saya lalu menutup mata dan telinga guna mewujudkan obsesi saya menjadi 'orang'. Saya berusaha dengan keras untuk selalu bisa mendapat 'pengakuan' atas keberadaan saya. Obsesi itu sepertinya membuat saya seakan terseret menjadi orang yang ambisius. Ada tekad yang tertanam kuat dalam diri saya (didorong petuah sesepuh saya tadi): misalnya, kalau masuk dalam sebuah perkumpulan, -apapun perkumpulan itu- saya harus berusaha untuk bisa jadi pengurus! Tentu dengan berupaya betul-betul keras agar dapat menunjukkan prestasi yang pantas diakui banyak orang.
Pokoknya saya punya pedoman: "Jadi orang harus bisa menggenapkan, jangan mengganjilkan".
Faham maksud kata-kata itu? Kalimat itu menunjukkan bahwa seseorang harus bisa memosisikan dirinya dilingkungannya menjadi 'sesuatu' yang menggenapkan (bernilai positif). Bukan sebaliknya. Malah membuat ganjil (dalam arti harfiah maupun kiasan).
Sebab "ganjil" itu juga sama dengan aneh.
Tapi ada satu hal yang saya harap anda catat. Ambisi itu penting dan perlu. Tanpa ambisi anda tak akan maju. Tapi jangan ambisius, terlalu ambisi. Apa-apa kalau 'terlalu' pasti hasilnya tidak bagus. Jadi sepanjang anda masih 'under controle' dalam masalah ambisi ini, mungkin anda malah bakal disukai oleh pimpinan anda. Begitu juga kalau anda sudah jadi pimpinan, sekarang atau nanti. Apakah anda (sebagai pimpinan) berkenan punya anak buah yang 'loyo' tak punya ambisi? Apalagi ditambah dengan lemot. Pasti tidak. Betul?
Begitulah akhirnya saya mengelola obsesi guna menjaga eksistensi dan citra diri saya dalam lingkungan yang saya masuki. Baik dalam bidang pekerjaan maupun bidang sosial kemasyarakatan.
Ternyata (menurut pengalaman pribadi saya) obsesi itu jika dikelola dengan ambisi yang terkontrol, bisa menunjukkan hasil yang positif. Hanya saja anda harus pandai membuat rambu sendiri. Selama ini rambu yang saya pakai adalah rambu (milik) Allah SWT alias ajaran agama. Baru kemudian rambu (Hukum dan Undang-Undang) yang dibuat oleh pemerintah dan Negara.
Ini adalah landasan utama, yang harus kita punyai.
Insya Allah tidak akan membuat kita terjerumus dalam mewujudkan obsesi.
Separah apapun obsesi anda!
Contoh nyata obsesi yang tidak terkontrol dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini adalah banyaknya orang yang tertangkap tangan oleh KPK maupun polisi, karena didakwa melakukan Korupsi.
(Barangkali) seperti saya yang terobsesi jadi 'orang', maka para Koruptor itu juga pasti terobsesi menjadi orang yang terpandang dalam segala hal. Utamanya dalam hal materiil atau harta kekayaan duniawi.
Dan karena mereka tidak (mau) memakai rambu, maka untuk mewujudkan obsesinya itulah mereka justru melanggar semua rambu.
Baik rambu (yang diciptakan oleh) Allah SWT atau (apalagi) rambu hukum dan peraturan yang (hanya) dibikin oleh manusia (pemerintah).
Akibatnya, sudah dapat diduga. Bukan tercapai keinginannya (untuk jadi orang yang kaya raya), tapi malah menghancurkan nama baik (sendiri, keluarga dan instansi), bahkan masa depannya sendiri!
Betapa malang jadinya keluarga yang ditinggalkan oleh para koruptor itu.
Selain mendapat 'cap' sebagai anak-cucu koruptor, keluarga (atau sanak saudara) yang (sebetulnya) tidak bersalah itu juga harus menanggung malu akibat perbuatan nista yang notabene tidak mereka lakukan sendiri.
Masih untung kalau ada harta tersisa, yang bisa digunakan untuk menyambung hidup setelah "sang koruptor" yang menjadi tiang keluarga masuk penjara.
Lha kalau akhirnya hakim memutuskan bahwa semua harta kekayaan (hasil korupsi) yang dimiliki harus disita untuk negara?
Naudzubillahi min dzalik.
Apakah cita-cita itu bisa terwujud, atau tidak, itu soal lain. Anda juga pasti pernah mendengar nasihat dari para pinisepuh ini:
"Gantungkan cita-citamu setinggi langit".
Waktu saya kecil (masih di TK atau 'frobel') hal itu pernah saya tanyakan pada Bu Guru saya yang cantik, menggantung cita-cita itu memakai apa. Soalnya tubuh saya tergolong 'mini' untuk anak seumur saya.
Bu Guru hanya tersenyum, tapi tak mau (atau tak bisa) menjawab.
Oleh sebab itu bukan salah saya dong, kalau saya juga tak mau (atau tak bisa) menggantungkan cita-cita.
Boro-boro di langit, ditempat Ibu saya menggantung pakaian saja saya harus naik ke kursi!
Sewaktu melihat Bu Guru TK saya yang sangat cantik -menurut ukuran bocah yang masih 'bau kencur'-, tidak sombong dan baik hati, saya malah pernah bercita-cita jadi pengantin, bersanding dengan Bu Guru. Tapi saya harus "patah hati" diusia dini. Soalnya saya 'lulus' dari TK dan naik ke kelas 1 SR (sekarang SD). Jadi harus berpisah dengan Bu Guru TK saya yang cantik itu.
Sejak itu cita-cita saya berubah-ubah sesuai perkembangan usia saya. Jangan pernah bertanya apa cita-cita saya. Semua profesi yang tampak menjanjikan pernah jadi cita-cita saya. Dokter, Insinyur, Hakim, Jaksa, Polisi, Tentara, Pilot bahkan tukang roti! Sepertinya enak benar jadi tukang roti. Saban hari pasti bisa sarapan roti semaunya. Sedangkan saya (pada saat itu) dalam waktu seminggu belum tentu bisa sarapan duakali.
Saya jadi geli kalau -kadang-kadang- teringat itu semua.
Karena ternyata (untuk mewujudkan) cita-cita juga butuh biaya, dan biaya itu tidak sedikit, maka saya memilih untuk tidak menggantung cita-cita saya. Saya memilih untuk memendamnya saja. Dalam dalam. Sedalam Lautan Atlantik (barangkali). Disini pulalah saya harus mengubur sedikit rasa sakit (dalam hati) yang timbul akibat tergusurnya cita-cita saya itu.
Tapi tanpa saya sadari, hilangnya cita-cita saya itu malah menimbulkan dampak yang tidak kurang pula 'menggerogoti' sakitnya. Saya lalu jadi seperti orang yang terobsesi.
'Binatang' apakah sebetulnya obsesi itu? Menurut Kamus umum lengkap Indonesia-Inggris v v, karangan Prof.Drs. S. Wojowasito, Obssession, (bahasa Inggris), berarti 'pikiran yang selalu menggoda hati'.
Disitulah saya pikir letak rasa 'sakit'nya. Karena saya lalu bertekad: "Pokoknya saya harus jadi orang".
Lho, apa selama ini saya bukan orang? Maksud saya bukan begitu saudara-saudara.
Maksud saya, walaupun akhirnya saya harus hidup tanpa cita-cita, tapi saya malah lalu punya keinginan sangat kuat untuk bisa jadi 'seorang manusia yang punya eksistensi'.
Wah. Lha koq malah jadi serem ya kedengarannya?
Habis bagaimana lagi. Orang tua dan para sesepuh saya selalu menasehati:
"Thole, sak bisa-bisane kowe kudu dadi uwong, amarga yen ora, kowe bakal ora diuwongke liyan"
(Nak, usahakan sebisanya kamu harus jadi 'orang'-yang terpandang-, sebab kalau tidak, kamu nanti akan disepelekan -tidak dianggap orang- oleh orang lain).
Sebenarnya ini hanya nasehat kuno yang biasa dan normatif saja sifatnya. Siapa sih yang mau anak keturunannya tidak dianggap 'orang' alias disepelekan oleh orang lain?
Akan tetapi kalau dipikir-pikir, nasihat itu seperti ada sedikit 'bau' materialistisnya ya?
Karena mengukur keberadaan seseorang hanya dari citra lahiriahnya saja.
Namun dalam kehidupan keseharian kita, harus kita akui bahwa hal itu sangat sering terjadi. Untuk tingkat RT (rukun tetangga) saja. Sekarang ini sudah jarang seseorang dipilih jadi Ketua RT kalau dia bukan orang yang paling terpandang dilingkungannya.
Terpandang disini bisa karena dia paling kaya, paling pintar (punya banyak gelar) atau paling yang lain. Kalau hanya paling senior atau paling tua malah cuma jadi bahan guyonan. Ah kalau Pak Anu mah kagak pantes jadi Ketua RT. Pantesnya? Ketua-an lah. Tuh kan, malah mengejek.
Dipicu dan dipacu masalah itulah yang menyebabkan saya lalu menutup mata dan telinga guna mewujudkan obsesi saya menjadi 'orang'. Saya berusaha dengan keras untuk selalu bisa mendapat 'pengakuan' atas keberadaan saya. Obsesi itu sepertinya membuat saya seakan terseret menjadi orang yang ambisius. Ada tekad yang tertanam kuat dalam diri saya (didorong petuah sesepuh saya tadi): misalnya, kalau masuk dalam sebuah perkumpulan, -apapun perkumpulan itu- saya harus berusaha untuk bisa jadi pengurus! Tentu dengan berupaya betul-betul keras agar dapat menunjukkan prestasi yang pantas diakui banyak orang.
Pokoknya saya punya pedoman: "Jadi orang harus bisa menggenapkan, jangan mengganjilkan".
Faham maksud kata-kata itu? Kalimat itu menunjukkan bahwa seseorang harus bisa memosisikan dirinya dilingkungannya menjadi 'sesuatu' yang menggenapkan (bernilai positif). Bukan sebaliknya. Malah membuat ganjil (dalam arti harfiah maupun kiasan).
Sebab "ganjil" itu juga sama dengan aneh.
Tapi ada satu hal yang saya harap anda catat. Ambisi itu penting dan perlu. Tanpa ambisi anda tak akan maju. Tapi jangan ambisius, terlalu ambisi. Apa-apa kalau 'terlalu' pasti hasilnya tidak bagus. Jadi sepanjang anda masih 'under controle' dalam masalah ambisi ini, mungkin anda malah bakal disukai oleh pimpinan anda. Begitu juga kalau anda sudah jadi pimpinan, sekarang atau nanti. Apakah anda (sebagai pimpinan) berkenan punya anak buah yang 'loyo' tak punya ambisi? Apalagi ditambah dengan lemot. Pasti tidak. Betul?
Begitulah akhirnya saya mengelola obsesi guna menjaga eksistensi dan citra diri saya dalam lingkungan yang saya masuki. Baik dalam bidang pekerjaan maupun bidang sosial kemasyarakatan.
Ternyata (menurut pengalaman pribadi saya) obsesi itu jika dikelola dengan ambisi yang terkontrol, bisa menunjukkan hasil yang positif. Hanya saja anda harus pandai membuat rambu sendiri. Selama ini rambu yang saya pakai adalah rambu (milik) Allah SWT alias ajaran agama. Baru kemudian rambu (Hukum dan Undang-Undang) yang dibuat oleh pemerintah dan Negara.
Ini adalah landasan utama, yang harus kita punyai.
Insya Allah tidak akan membuat kita terjerumus dalam mewujudkan obsesi.
Separah apapun obsesi anda!
Contoh nyata obsesi yang tidak terkontrol dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini adalah banyaknya orang yang tertangkap tangan oleh KPK maupun polisi, karena didakwa melakukan Korupsi.
(Barangkali) seperti saya yang terobsesi jadi 'orang', maka para Koruptor itu juga pasti terobsesi menjadi orang yang terpandang dalam segala hal. Utamanya dalam hal materiil atau harta kekayaan duniawi.
Dan karena mereka tidak (mau) memakai rambu, maka untuk mewujudkan obsesinya itulah mereka justru melanggar semua rambu.
Baik rambu (yang diciptakan oleh) Allah SWT atau (apalagi) rambu hukum dan peraturan yang (hanya) dibikin oleh manusia (pemerintah).
Akibatnya, sudah dapat diduga. Bukan tercapai keinginannya (untuk jadi orang yang kaya raya), tapi malah menghancurkan nama baik (sendiri, keluarga dan instansi), bahkan masa depannya sendiri!
Betapa malang jadinya keluarga yang ditinggalkan oleh para koruptor itu.
Selain mendapat 'cap' sebagai anak-cucu koruptor, keluarga (atau sanak saudara) yang (sebetulnya) tidak bersalah itu juga harus menanggung malu akibat perbuatan nista yang notabene tidak mereka lakukan sendiri.
Masih untung kalau ada harta tersisa, yang bisa digunakan untuk menyambung hidup setelah "sang koruptor" yang menjadi tiang keluarga masuk penjara.
Lha kalau akhirnya hakim memutuskan bahwa semua harta kekayaan (hasil korupsi) yang dimiliki harus disita untuk negara?
Naudzubillahi min dzalik.
jempollllll....pullll,,,,s7 buangettt,,,,
BalasHapus