by mastonie on Tuesday, September 22, 2009 at 9:51am
Pernahkah anda mendengar ‘sas-sus’ tentang kisah seorang turis yang tersesat disebuah kota karena -konon- sulit memahami tata bahasa kita? Kalau belum, begini cerita (kabar burung) nya:
Syahdan disebuah kota wisata ada seorang ‘wisman’ (wisatawan mancanegara) yang baru pertama kali datang ke Indonesia. Dengan ‘pede’ ia berkeliling kota tanpa pramuwisata (guide) hanya dengan berbekal sebuah kamus kecil berisi percakapan harian bahasa Indonesia. Mengemudikan sendiri sebuah mobil sewaan, ia berkeliling kota mencari sebuah obyek wisata yang tertera di peta wisata yang dibawanya. Sudah hampir seharian ia capek mengemudi tapi tak kunjung menemukan tempat yang dicarinya. Apa pasal? Ternyata setiap kali berada dipersimpangan jalan (traffic light) dan bermaksud belok kekiri, ia membaca papan petunjuk arah: “BELOK KIRI JALAN TERUS”.
Maka si turispun jalan terus (tentu saja) lurus kedepan. Anda bingung? Saaammmaaaa....saya juga.
Itu sekedar contoh betapa rancunya bahasa Indonesia yang dipakai oleh masyarakat kita sehari-hari. Apalagi bangsa kita kan memang terkenal kreatif dalam segala hal. Termasuk dalam berbahasa.
Bahasa yang dipakai para Pejabat, lain dengan bahasa orang awam. Apalagi bahasa kaum marjinal.
Mari kita mulai dari ‘goleat’ (golongan elite atas alias para Pejabat).
Lihat saja kata ‘daripada’ (yang seharusnya adalah kata pembanding), yang ternyata paling disukai oleh Bapak-bapak Pejabat yang terhormat itu. Juga akhiran kan yang selalu diucapkan menjadi ken.
Seniman Butet ‘SBY’ paling jago kalau meniruken daripada bahasa yang semangkin ‘kisruh para rawuh’ alias rancu itu.
Ketua RW dikomplek perumahan daripada saya -yang termasuk angkatan ‘jadul’- juga selalu tidak lupa menggunaken kata “khas daripada pejabat” itu dalam setiap pidato yang diucapken didepan daripada warga komplek.
Kerancuan juga bisa kita temuken di ‘golmeja’ (golongan menengah saja).
Penggunaan daripada kata-katanya disini (Eh kok jadi ikut keterusan bicara ken dan daripada), terasa lebih ‘meresap’ karena terlanjur dipakai oleh kebanyakan orang.
Contoh: “Selamat Hari Raya Idul Fitri”. Ini jelas pemborosan kata. Karena Idul (atau Aidil) sudah berarti Hari Raya. Jadi yang benar: "Selamat Idul Fitri". Juga kata “Dirgahayu” yang sering kita baca di spanduk dan gapura pada setiap bulan Agustus. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Dirgahayu mempunyai arti panjang umur atau berumur panjang. Jadi kata ini bisa dipakai untuk orang atau organisasi atau negara. Maka Dirgahayu Kemerdekaan RI ke . . atau Dirgahayu Proklamasi Kemerdekaan dst itu tidak tepat. Yang benar adalah Dirgahayu Republik Indonesia dst.
Penggandaan kata (yang sudah) salah kaprah juga sering kita temukan, seperti Universitas UI, Bank BCA dll. Alih-alih mematuhi aturan berbahasa, para pemakai bahasa ini malah membela diri dengan mengatakan bahwa UI, BCA, BNI dan sebagainya itu sudah boleh dikatakan jadi sebuah benda atau merk. Jadi boleh saja kalau disebut sebagai Universitas UI, Bank BNI dsb.Yaaaaa......capeeek deeeh...!!
Nah, bagaimana dengan para ‘golwah’ (golongan bawah) alias kaum marjinal?
Kalau anda termasuk bermata jeli, coba perhatikan kata-kata mentereng disetiap pinggir jalan yang kita lalui, yang malah sering membuat orang jadi bingung. Biasanya kreatifiitas ini dilakukan oleh para pedagang dan pemilik toko.
Dibawah ini saya berikan beberapa contoh.
“Toko Santosa, ahli cervices awuning dan kere”. Ini jelas gabungan dari salah tulis dan tak cukupnya pemahaman berbahasa dengan baik dan benar. Cervices? Wah lha ini kan istilah medis? Ternyata bukan. Yang dimaksud adalah servis alias perbaikan.
Awuning itu dari kata bahasa Inggris ‘awning’ (tenda). Lalu kere? Hah, kere diservis? Itu jelas maksudnya juga tenda (kere). Saya sendiri juga bingung kalau harus menulis kata ‘kere’ itu. Krei, kerei atau krai?
“Disini specsial ahli serpise jetpom”. Ini sudah pasti bin jelas kios tukang pompa.
“Bang Jo. Terima revarasi velek recing”. Ini tukang reparasi pelek (didekat ‘lampu merah-hijau’ atau traffic light) yang kepingin gagah tapi malah salah.
Masih ada lagi yang bikin kening tambah berkerut:
“Lyss Tailor, akhli vermaacs jin”. Anda punya jin? Nah, mungkin jin anda bisa ditolong Mbak Lyss Tailor (yang bukan bintang film) untuk dipermak jadi . . . . setan! Barangkali. He he. Seru kan?
Tapi kayaknya memang susah untuk bisa menertibkan tata bahasa gaya pinggir jalan ini.
Masalahnya sederhana saja. Mereka sebetulnya hanya ingin tampil keren, ‘sok gaya’ atau mungkin karena persaingan usaha yang begitu ketat. Jadi perlu kiat untuk ‘MPO’ alias menarik perhatian orang.
Maka timbullah kreatifitas dengan mencampur adukkan bahasa asing (terutama bahasa Inggris dan atau Belanda) dengan bahasa Indonesia. Maksud hati tampil modern, apa daya ilmu tak sampai.
Bagaimana dengan para Pejabat tadi? Ah, itu mah sepertinya hanya karena Bapak yang terhormat itu melakuken daripada kebiasaan saja. Supaya semangkin tampak daripada ia punya wibawa.
Tetapi pasca Pak Harto ‘lengser keprabon’, sudah banyak kok Pejabat yang sadar dan kembali ‘kejalan yang lurus dan benar’ (dalam berbahasa). Kalau para pecinta Universitas Undip, Bank BNI de el el de es be (dll, dsb) sudah susah dilurusin.
Maklumlah, sudah terlanjur bubrah dan salah kaprah.
Jadi tugas siapa sih sebetulnya untuk menata kembali segala kerancuan yang terjadi itu?
Siapa sebetulnya yang punya tugas untuk mengembalikan yang salah kaprah itu kedalam tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun dengan tidak perlu memasung kreatifitas?
Terus terang, terang terus, saya nyerah saja deh.
Soalnya tulisan saya ini juga amburadul tata bahasanya kan?
Barangkali anda mampu dan punya solusi.
MAU?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar