(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (31)
Pemilu 1982 sukses, Pak Harto jadi Presiden lagi.
Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 1982 berhasil dilaksanakan dengan sukses di seluruh wilayah Indonesia. Termasuk pula di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Sebagai Gubernur, Pak Pardjo berusaha sekeras-kerasnya untuk menjadi ‘wasit’ Pemilu yang baik. Beliau berusaha menempatkan diri sebagai fihak yang netral, tidak memihak kepada sesuatu partai ataupun golongan peserta -waktu itu sering disebut sebagai ‘kontestan’- Pemilu.
Sekalipun pada jaman itu terkenal slogan “Mono Loyalitas” bagi setiap pejabat, pegawai atau karyawan Pemerintah.
Dan tampaknya Pak Pardjo berhasil jadi contoh wasit atau ‘juru pengadil’ Pemilu yang baik. Semua Bupati/Walikota di Jawa Tengah ikut meniru teladan yang diberikan, menjadi ‘Wasit Pemilu’ yang bersikap netral. Itu terbukti dari -nyaris- tidak adanya komplain atau protes yang diajukan oleh parpol peserta Pemilu (tentang pelaksanaan Pemilu) di Jawa Tengah pada waktu itu.
Sudah jelas, Partai Pemerintah (Golkar) lah yang berhasil memenangi Pemilu Tahun 1982 itu.
Dengan prosentase hasil suara yang cukup meyakinkan pula.
Dalam konstelasi politik pada waktu itu, Partai Pemenang Pemilu yang mendapatkan suara ‘mayoritas’ (yang berarti menguasai sebagian besar ‘kursi’ anggota DPR/MPR-RI), hampir dapat dipastikan memenangi pula Pemilihan Presiden. Karena Pemilihan Presiden dilakukan oleh para Wakil Rakyat Yang Terhormat yang duduk sebagai Anggota DPR/MPR-RI.
Maka demikianlah, dalam Sidang Umum (SU) MPR yang dilaksanakan di Jakarta pada awal tahun 1983, Presiden Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia untuk yang keempat kalinya. Pak Harto ditetapkan sebagai Presiden oleh MPR dengan Ketetapan atau Tap MPR no. 11/MPR/1983.
Ada satu hal yang patut untuk dicatat karena merupakan ‘kebiasaan’ yang terus dilakukan secara konsisten oleh Jenderal Soeharto selama menjabat sebagai Presiden. Kebiasaan -baik- itu ialah, beberapa waktu setelah terpilih (kembali), dan kemudian dilantik menjadi Presiden RI, beliau akan selalu tampil sendiri untuk membacakan daftar susunan Kabinetnya.
Biasanya pengumuman itu disampaikan dalam sebuah acara khusus di Istana Merdeka Jakarta dan diliput oleh seluruh media cetak maupun elektronik dari dalam maupun luar negeri. Namun sebelum acara ‘pengumuman’ susunan Kabinet itu, biasanya juga selalu terjadi sebuah hal yang khas Pak Harto pula. Para calon menteri yang akan duduk di Kabinet selalu dipanggil menghadap Pak Harto lebih dahulu.
Inilah peristiwa yang ditunggu-tunggu para wartawan. Karena dari orang-orang atau pejabat yang dipanggil menghadap Pak Harto (baik di Cendana ataupun di Bina Graha) itu, dapat diperkirakan dan layak diduga siapa saja yang akan duduk di Kabinet.
Maka biasanya lalu muncul -spekulasi- daftar susunan ‘Kabinet Bayangan’ buatan para kuli tinta, jauh sebelum pengumuman resmi yang dibacakan oleh Pak Harto sendiri.
Perjalanan ‘misterius’ dimalam hari.
Saya sudah lupa hari dan tanggalnya. Tapi seingat saya, beberapa hari setelah Pak Harto ditetapkan menjadi Presiden Republik Indonesia (lagi) dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1983, secara tiba-tiba Pak Pardjo minta ‘terbang’ ke Jakarta. Suasananya mirip ketika Pak Pardjo mau naik pangkat -jadi Letjen- dulu. Serba tergesa dan tertutup. Saya yang kebetulan sedang dapat giliran dinas, tentu saja harus ikut pula terbang ke Jakarta.
Sampai di Jakarta Pak Pardjo langsung menuju Kantor Perwakilan Pemda Jawa Tengah yang berada di Jl. Darmawangsa. Siang itu tidak ada kegiatan apapun. Pak Pardjo hanya beristirahat dan minta tidak diganggu. Saya dan Pak Tarto (Kepala Perwakilan) sampai siang hari itu tidak dapat menduga apa gerangan keperluan Pak Gubernur yang secara mendadak memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Selesai magrib baru Pak Pardjo turun (dari kamar beliau dilantai dua). Sudah berpakaian rapi. Batik lengan panjang berbentuk semi-jas, (dan selalu) dengan saputangan tersembul disaku kirinya.
“Pak Tarto, saya mau pergi sebentar. Ada perlu. Kalau ada telepon mencari saya bilang kalau saya sedang keluar” pesan beliau pada Pak Tarto.
“Sendika dhawuh (iya) Pak” jawab Pak Tarto sambil mengikuti Pak Pardjo menuju mobil. Sebagai ajudan tentu saja saya sudah harus lebih dulu siap didekat mobil (lengkap dengan sopirnya) jika melihat Pak Pardjo sudah ‘siap tempur’ dan berpakaian rapi.
Tanpa bicara sepatah katapun beliau masuk kesedan Toyota Crown, yang merupakan kendaraan dinas Gubernur Jateng jika sedang berada di Jakarta. Sudah menjadi ‘protap’ (prosedur tetap) yang harus diketahui semua staf Perwakilan Jawa Tengah -dari Kepala Perwakilan sampai sopir-, bahwa kalau Pak Pardjo berada di Jakarta bukan dalam kaitan dengan tugas dinas, maka mobil yang dipakai harus berpelat hitam (pelat nomor polisi mobil pribadi). Demikian pula sebaliknya apabila Gubernur sedang melaksanakan tugas dinas di Jakarta, maka kemanapun beliau pergi harus menggunakan mobil dengan pelat nomor dinas (nomor putih diatas dasar pelat warna merah).
Malam hari itu -karena Pak Gub pergi bukan dalam rangka dinas- sedan Toyota Crown itu memakai nomor ‘pelat hitam’, nomor mobil pribadi. Huruf H (nomor polisi kendaraan dari Semarang) dengan empat angka dibelakangnya.
“Nuwun sewu, badhe tindak dateng pundi (Maaf, mau pergi kemana) Pak?” tanya Bejo -sopir perwakilan yang selalu melayani Pak Gub di Jakarta-, begitu mobil mulai bergerak meninggalkan halaman Kantor Perwakilan di Jalan Dharmawangsa VIII.
Hening agak lama. Pak Pardjo masih diam saja.
“Ambil arah ke HI saja” jawab Pak Pardjo beberapa saat kemudian.
“Tony dan Bejo, ini untuk kalian berdua saja. Kalau ada yang tanya malam ini saya pergi kemana, jangan kalian beritahukan yang sebenarnya (saya pergi kemana)”. Pak Pardjo melanjutkan lagi.
“Inggih (Ya) Pak” jawab saya dan Bejo hampir serentak. Saya sedikit bingung. Gagal menerka kemana sebetulnya arah kepergian Pak Pardjo malam ini. Bejo tampak tenang saja. Terus terang pikiran saya jadi berkecamuk. Tidak biasanya Pak Pardjo ‘main petak umpet’ seperti malam hari ini.
Bunderan HI dengan ‘Patung Selamat Datang’nya sudah tampak dikejauhan. Gemerlap dengan pendar warna-warni lampu hias yang bergelantungan.
“Ambil arah kekanan, masuk ke Imam Bonjol” perintah Pak Pardjo ketika merasa mobil hendak diarahkan Bejo menuju pintu masuk Hotel Indonesia.
O jadi bukan mau kehotel Indonesia, pikir saya. Jalan Imam Bonjol terlewati. Kini mobil sudah mendekati Taman Suropati.
“Ambil kiri, ke Teuku Umar” Pak Pardjo memberikan perintah lagi. Juga pendek saja. Saya langsung menebak, kalau tidak kerumah Pak Yusuf, mungkin Pak Pardjo akan menghadap Mendagri Amir Mahmud. Rumah kedua pejabat negara itu memang terletak di Jl. Teuku Umar.
Rumah Pak Yusuf sudah terlewati, kini mobil melaju didepan rumah Pak Boed (Marsekal Boediardjo, mantan Menteri Penerangan).
“Pelan-pelan Jo, kamu nanti masuk saja ke Jalan Cendana. Ke rumah Pak Harto. Usahakan mencari tempat parkir yang tidak -mudah- terlihat, tetapi gampang saya temukan”, pesan Pak Pardjo.
Eeealah, saya baru ngeh sekarang. Rupanya Pak Pardjo malam hari ini mau menghadap Presiden. Menghadap atau dipanggil Pak Harto ya? Saya sibuk menerka. Jangan-jangan . . . tapi saya memutuskan untuk berhenti menerka-nerka. Lebih baik mulai pasang strategi cari tempat parkir ‘aman’ seperti pesan Pak Pardjo tadi saja. Urusan lain biar jadi urusan Pak Pardjo. Disepanjang Jl. Cendana tampak beberapa mobil diparkir. Termasuk mobil patroli polisi dan mobil Paswalpres (kini disebut Paspampres)
Tampaknya malam hari ini pengamanan sekitar Jalan Cendana agak ketat.
“Jangan bicara atau cerita apapun, kalau ada wartawan atau siapapun yang tanya” pesan Pak Pardjo lagi.
“Inggih Pak”, saya menjawab pendek saja. Entah mengapa suasana didalam mobil tiba-tiba menjadi sedikit tegang. Saya kira Bejo juga merasakan hal yang sama dengan perasaan saya. Terlihat dari cara duduk nyopirnya yang jadi sangat tegak.
Mobil berjalan perlahan mendekati rumah kediaman orang nomor satu di Republik ini. Bejo memasang sein (tanda belok) sebelah kanan. Didekat gerbang masuk kerumah Presiden, seorang Polantas datang mendekati. Dibelakangnya menyusul seorang berpakaian preman warna gelap dengan handy-talky ditangan. Potongan rambutnya cepak khas prajurit. Dengan segera saya membuka kaca jendela mobil.
“Selamat malam. Maaf Pak, mobil siapa ini?” si Polantas bertanya dengan sopan dan hati-hati, mungkin karena melihat nomor polisi mobil pribadi yang berasal dari luar kota (H-Semarang) yang tidak dikenalinya sebagai mobil milik siapa.
“Pak Pardjo” jawab saya pendek. Terkesan hati-hati juga. Khawatir salah jawab.
Mendengar jawaban pendek saya yang cukup keras, keduanya mengambil sikap sempurna lalu serentak tanpa aba-aba memberi hormat.
“Silakan terus masuk Pak, nanti parkir didalam saja” petugas yang berpakaian preman memberi petunjuk.
“Baik, terima kasih” jawab saya.
Ketika mobil baru saja berhenti, beberapa orang tampak bergegas datang mendekat. Dibahunya bergelantungan kamera foto. Wadhuh, wartawan nih pikir saya. Gawat. Pak Pardjo terlihat agak ragu untuk turun dari mobil. Saya segera turun duluan. Beberapa petugas berpakaian resmi (ada yang memakai PSL -jas lengkap-, ada yang PSH -safari-) yang saya kenali sebagai Protokol Istana, ikut bergegas pula datang mendekat. Sebagian dari petugas ini mencegah wartawan mendekat ke mobil, sedang seorang diantaranya -yang memakai jas- langsung menjemput Pak Pardjo yang bersegera turun dari mobil. Para wartawan berusaha terus mendekat dan mengejar, tapi Pak Pardjo sudah ‘diamankan’ oleh Petugas Protokol yang segera melarikan Pak Pardjo keruang tunggu.
Saya masuk kembali ke mobil. Bejo langsung mencari tempat parkir strategis dihalaman rumah Pak Harto -yang hanya dapat memuat beberapa mobil- seperti pesan Pak Pardjo tadi. Saya memutuskan untuk menunggu sambil tetap berada dalam mobil saja. Daripada cari ‘perkara’ dengan para wartawan itu. Khawatir kalau mereka bertanya-tanya dan saya juga takut kalau sampai salah bicara.
Waktu berlalu sangat lambat. Saya masih terus berusaha menerka, gerangan apa yang terjadi malam hari ini. Bejo berkata setengah bercanda:
“Kayaknya Pak Gub mau jadi menteri nih”.
“Ah jangan nggege mangsa (berharap sebelum tiba saatnya) dulu deh” jawab saya sekenanya. Sebab pikiran saya memang -terus terang saja- juga persis seperti apa yang dikatakan Bejo.
“Siapa tahu Pak Pardjo hanya ingin melaporkan situasi Jawa Tengah sehabis Pemilu saja”. Saya mencoba berkilah.
“Tapi siapa sih yang berani sowan (menghadap) Pak Harto saat ini? Beliau kan sedang sibuk ngotak-atik susunan menterinya yang baru?” lanjut Bejo lagi.
“Ah sok tahu sampeyan”. Saya menukas.
“Berani taruhan?” tantang Bejo sambil cengengesan.
“Oooo dasar botoh (tukang judi)” jawab saya.
“Soalnya kalau bukan ditimbali Kyaine (dipanggil -orang- yang berkuasa), kenapa tadi mesti pakai ‘rahasia-rahasiaan’, hayoo” tambah Bejo lagi.
“Wis, sampeyan menengo wae ndisik (sudah, kamu diam saja dulu), tunggu sampai nanti Pak Pardjo kembali. Berani nggak nanti tanya sendiri? “ jawab saya.
Sekitar satu setengah jam kemudian tampak Pak Pardjo berjalan keluar dengan didampingi Petugas Protokol dan Paswalpres yang mengawalnya dengan ketat untuk menghindari serbuan ‘nyamuk pers’. Bejo langsung saya minta memajukan mobil untuk menjemput Pak Pardjo guna memperpendek jarak sekaligus memperkecil kemungkinan serbuan para wartawan yang akan mengajukan pertanyaan. Saya dengan cepat membuka pintu mobil dan Pak Pardjo -seperti meluncur- langsung masuk kedalam mobil. Ketika pintu mobil saya tutup kembali, Pak Pardjo sempat membuka sedikit jendela mobil seraya berkata:
“Maaf saudara-saudara, malam ini saya no comment saja dulu ya?”.
Terdengar suara keluhan para wartawan pertanda kecewa.
“Satu pertanyaan saja pak” seru salah seorang dari para wartawan itu.
“Bapak diminta Pak Harto untuk duduk di Kabinet ya?” lanjutnya seraya ‘menempel’ ke mobil yang mesinnya sudah berbunyi dan siap sedia segera ‘kabur’ secepatnya.
Saya melompat masuk ke mobil seraya menggamit Bejo sebagai kode untuk segera bergerak meninggalkan halaman Jalan Cendana 8. Pak Pardjo masih sempat mengucapkan kata “Maaf” sekali lagi sambil menutup kaca jendela mobil. Dikeremangan cahaya lampu teras Pos Penjagaan, saya sempat melihat wajah-wajah penuh kekecewaan dari para wartawan yang gagal mendapatkan keterangan dari sumber berita. Bejo membawa mobil ke Jalan Cendana dan segera tancap gas kembali ke Perwakilan. Betul-betul tidak ada komentar sedikit pun yang keluar dari mulut Pak Pardjo pada malam itu. Kepada saya dan Bejopun tidak. Saya juga tak berani bertanya, apalagi Bejo. Tapi ada sedikit keyakinan dalam hati saya, bahwa Pak Pardjo pasti akan masuk di jajaran Kabinet yang baru. Tetapi entah akan ‘ditaruh’ pada posisi apa.
Hanya Pak Harto yang tahu. Karena susunan Kabinet itu pasti sudah ‘ada dikantong’ nya.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar