(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (33)
“Jij ikut saya ke Jakarta”.
Pak Pardjo masih ngantor seperti biasa pada pagi harinya, hari Kamis, 17 Maret 1983.
Beliau sekaligus menjadi IRUP pada Upacara Bendera 17an dihalaman Kantor Pemda Provinsi Jawa Tengah di Jalan Taman Menteri Soepeno. Kesempatan itu beliau pakai untuk memberikan amanat dan ucapan terima kasih atas dukungan segenap pejabat dan karyawan-karyawati Kantor Pemda Provinsi. Upacara diakhiri dengan pemberian ucapan selamat kepada calon Menteri Dalam Negeri yang pada saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Sesudah itu saya sibuk memersiapkan keberangkatan Pak Pardjo beserta keluarga yang harus segera berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Upacara Pengambilan Sumpah Jabatan Kabinet.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Puri Gedeh, sewaktu mobil melewati RS Mata “William Booth”, Pak Pardjo mendadak bertanya:
“Ton, jij punya keluarga di Jakarta?”
“Inggih (ya) pak, Mertua saya tinggal didaerah Pasarminggu” jawab saya ragu-ragu. Terus terang saya tidak mengerti arah pertanyaan beliau.
“Kalau begitu setelah saya dilantik, jij ikut saya ke Jakarta”. Itu saja kalimat yang saya dengar dari Pak Pardjo. Sebenarnya saya masih belum ngeh dengan maksud kalimat “Jij ikut saya ke Jakarta” yang dikatakan oleh Pak Pardjo. Tapi mau tidak mau saya jawab singkat saja: “Inggih Pak”.
Soalnya dalam kalimat Pak Pardjo tadi juga tidak diawali dengan pertanyaan “mau atau tidak”. Sifatnya hanya seperti ‘pemberitahuan’ saja. Tapi bernada setengah perintah, dengan tanpa minta pendapat atau persetujuan saya.
Keesokan paginya, Jum’at 18 Maret 1983, Bapak dan Ibu Soepardjo beserta putra-putranya bertolak ke Jakarta dengan pesawat Garuda. Saya tidak ikut karena turun dinas. Yang bertugas sebagai Ajudan Gubernur pada hari Jum’at ini adalah Pak Tris. Jadi Pak Trislah yang mengikuti Pak Pardjo sekeluarga ke Jakarta. Saya (bersama para Pejabat Pemda) hanya mengantar keberangkatan beliau sampai di Bandara Ahmad Yani saja.
"Diperintahkan ikut ke Jakarta sebagai Ajudan Mendagri.."
Hari Senin 21 Maret 1983 Pak Gub (sekarang resmi merangkap jadi Mendagri) mengadakan rapat Staf dengan Pejabat teras Pemda. Situasinya memang terasa ‘tidak biasa’ karena kedudukan Pak Pardjo yang mau tidak mau harus merangkap jabatan. Sebagai Gubernur (karena masa jabatan Gubernur Jawa Tengah seharusnya baru berakhir pada tanggal 2 Juni 1985) dan sekaligus Mendagri (karena sudah dilantik pada tanggal 19 Maret 1983). Rapat itu diantaranya adalah untuk segera mengusulkan kepada DPRD Tingkat I Jawa Tengah untuk mengadakan penjaringan Bakal Calon Gubernur yang akan menggantikan Pak Pardjo. Tentu setelah Gubernur Soepardjo membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari Jabatan.
Yang unik adalah bahwa nantinya surat pernyataan pengunduran diri Gubernur Soepardjo Roestam akan diteruskan oleh DPRD untuk disetujui oleh Mendagri yang tak lain dan tak bukan adalah juga Pak Pardjo sendiri.
Siang hari setelah rapat selesai, Pak Wahyudi mendekati saya:
“Dik Tony, Pak Gub eh Pak Menteri sudah memberikan petunjuk kepada saya, bahwa Dik Tony diperintahkan untuk ikut ke Jakarta sebagai Ajudan Mendagri. Saya akan segera buatkan SK nya. Untuk sementara hanya Dik Tony lho yang akan dibawa Pak Pardjo. Selamat ya? Tapi nanti kalau sudah di Jakarta jangan lupa sama ‘orang daerah’”.
Demikian penjelasan Pak Wahyudi kepada saya.
Sekarang saya baru menyadari arti kalimat Pak Pardjo “jij ikut saya ke Jakarta” dulu itu.
“Matur sembah nuwun sanget (terimaksih sekali) Pak” kata saya kepada Pak Wahyudi.
“Selama ini bapaklah yang telah membimbing dan meng’orbit’kan saya sebagai pegawai hingga jadi seperti ini” lanjut saya lagi.
“Ya nanti kalau di Jakarta ada lowongan pesuruh, saya juga siap diajak koq dik”. Seloroh Pak Wahyudi.
Saya betul-betul merasa berhutang budi pada Pak Wahyudi. Bayangan perjalanan karir saya sebagai pegawai negeri saling berkelebat. Bayangan pada saat saya menghadap beliau dan ditawari jadi pegawai, lalu kemarahan beliau ketika saya minta pindah kerja sampai perjuangan beliau untuk mengusulkan saya jadi ajudan Gubernur dan lain-lainnya.
Siang hari itu saya termenung. Perasaan saya campur aduk antara terharu, senang, bangga sekaligus sedih karena harus meninggalkan teman-teman lama di Pemda yang selama hampir sembilan tahun jadi kawan senasib sepenanggungan.
Kini saya harus bersiap untuk ‘hijrah’ ke Ibukota, yang konon katanya lebih kejam dari ibu tiri itu. Tapi rupanya memang itulah ‘suratan tangan’ yang saya miliki. Mungkin seperti kata pepatah “Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih” itu. Bagaimanapun saya harus siap menghadapi tugas baru yang harus saya pikul.
Kalau mau bicara sejujurnya, sebetulnya kan tidak beda-beda jauh tugas saya.
Lha wong saya juga tidak naik pangkat dan tetap saja jadi Ajudan gitu lho ya.
Bedanya kan hanya tipis saja, dulu Ajudan Gubernur, sekarang Ajudan Menteri.
Gaji juga pasti tidak berubah, sebab saya tetap PNS yang digaji dengan aturan PGPS yang berlaku dimanapun diseluruh bagian di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sama-sama kita cintai.
Ndak tahu ya, kalau di Depdagri nanti ada tambahan tunjangan jabatan dan honor ini itu. Kata orang yang namanya rejeki kan bisa datang dari mana saja yang tidak bisa kita duga sebelumnya.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar