(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (20)
‘Setori’ (kisah) yang mengganggu pikiran.
Puri Gedeh, Kediaman Resmi Gubernur Jawa Tengah.
Sejauh ini saya masih terus menyangsikan, apakah posisi saya pada saat ini (menjadi Ajudan Gubernur) bisa disebut sebagai the dream comes true, -impian jadi kenyataan- soalnya selama ini memang saya tidak pernah berani mimpi menjadi seorang Ajudan Gubernur.
Lha wong dari dulu impian saya ya hanya menjadi seorang Penyiar Radio yang suaranya dapat dinikmati oleh orang banyak. Bagi saya jadi Protokol Gubernur saja rasanya sudah salah jalan. Ternyata sekarang malah kesasar (tersesat) lebih jauh lagi: mendapat kepercayaan jadi Ajudan seorang Gubernur Kepala Daerah.
Demikian saya ngudarasa (bicara pada diri sendiri) pada suatu pagi saat saya sedang di ruang kerja Ajudan yang terletak di sayap kanan Rumah Dinas Gubernur di Puri Gedeh.
Mendadak Pak Pardjo memangil saya di teras samping yang menuju dapur dan ruang makan pribadi. Masih mengenakan pakaian tenis -beliau secara rutin main tenis seminggu 2 kali– beliau langsung bertanya kepada saya
“ Ton, kamu sudah menikah apa belum? ”
Agak terperanjat -karena tak menyangka mendapat pertanyaan semacam ini- saya menjawab dengan gagap:
“ Su… sudah Pak ”
“ Sudah punya anak? ”
“ Sudah Pak, 2 orang ” saya mulai menjawab lancar.
“ Lho, saya kira kamu masih bujangan, bagaimana sih Wahyudi, saya kan sudah bilang cari Ajudan yang masih single ”. kata beliau sambil masuk ke ruang dalam.
Wee lhadalah kopyah! Seperti tersambar petir, badan saya lemas dan gemetar. Terkejut bukan main saya mendengar kata-kata beliau tadi.
“ Saya kan sudah bilang cari Ajudan yang masih single” !
Sambil berjalan gontai kembali ke ruang Ajudan benak saya terus berputar. Gerangan apa dan siapakah yang salah dalam hal ini? Saya merasa sangat ‘shock’ dan terpukul serta mungkin wajah saya terlihat pucat pasi.
“Kamu sakit ya Kang?”, sambut Kang (mas) Dahlan Noor -Kabag TU Pimpinan yang sekarang jadi atasan langsung saya- melihat penampilan saya yang amburadul. Saya diam saja. Bengong sambil menatapnya nanar.
“Wah, kena ‘proyek senen’[1] ya? Sepagi ini?” guraunya lagi. Saya menggeleng lemah. Tapi tetap diam saja. Mulut bagaikan terkunci rasanya. Hari itu konsentrasi kerja saya buyar. Persis orang linglung. Beruntung saya tidak membikin kesalahan yang lebih fatal lagi.
Saya mencoba membuat ‘kalkulasi’ sendiri. Belum ada 2 bulan saya bertugas melayani Pak Gub. Selama ini tampaknya beliau belum pernah memperlihatkan kekecewaan atas kinerja saya dalam melaksanakan segala petunjuk maupun perintah.
Kini tiba-tiba Pak Pardjo seolah-olah kecewa setelah mengetahui bahwa ternyata saya sudah menikah, bahkan telah punya dua ‘buntut’. Saya jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apakah Pak Wahyudi sebagai Assisten III Sekwilda yang membawahi Biro Personalia dan telah mengajukan nama saya sebagai calon Ajudan Gubernur tidak menyertakan riwayat hidup saya?
Dulu kata Pak Wahyudi, usulannya -tentang saya- sudah di asese (disetujui) Pak Pardjo sendiri.
Saya teringat petuah Pak Rasiman sebelum melepas saya dulu:
“Hati-hati saja Dik, Pak Pardjo itu gampang-gampang angel”.
Saya juga tahu bahwa sebagai seorang yang lama berkecimpung di dunia Korps Diplomatik, Pak Pardjo terkadang sangat halus dalam mengutarakan kekecewaan ataupun dalam mengritik seseorang. Kadang bahkan hanya seperti sindiran. Bagi yang ‘tebal telinga’ mungkin itu tidak menjadi masalah. Tapi bagi saya yang dididik dalam lingkungan Jawa yang harus selalu ‘tanggap ing sasmita’, (dapat membaca gelagat atau pertanda) menganggap apa yang disampaikan Pak Gub sebagai ungkapan kekecewaan beliau terhadap ‘sesuatu’ yang telah saya lakukan. Tapi ‘sesuatu’ itu -celakanya- tidak saya ketahui apa bentuknya.
Apa kira-kira beliau kecewa terhadap kinerja saya, lalu bermaksud untuk mengganti saya tapi tidak ‘tega’ menyampaikan secara ‘to the point’? Saya sampai berkeringat dingin memikirkannya. Bukan karena saya takut diganti, karena selama ini saya menyadari bahwa alih tugas adalah hal biasa dan bukan suatu hal yang perlu ditakuti. Tetapi yang sangat menyedihkan saya adalah kenyataan bahwa saya tidak mengerti dan tidak menyadari kesalahan apa yang telah saya perbuat, sehingga beliau seolah-olah mempermasalahkan dan mempersalahkan status saya yang sudah menikah!
Berhari-hari saya memendam perasaan galau sendiri. Saya juga tidak mempunyai keberanian untuk menanyakan kepada Pak Wahyudi (yang telah meng‘orbit’kan saya menjadi Ajudan), masalah ‘status’ saya yang disesali Pak Pardjo itu.
Selama ini Ajudan Gubernur Jawa Tengah ada 2 orang. Selain saya, telah ada orang yang lebih senior dari saya -yaitu Pak Sutrisno BR- yang latar belakang karirnya juga mirip saya -berasal dari Staf Protokol- dan Pak Tris juga telah berkeluarga. Bahkan anaknya lebih banyak daripada anak saya. Tapi kenapa Pak Gub tidak pernah mempermasalahkan. Jadi apa sesungguhnya yang terjadi dalam ‘kasus’ saya itu? Sebagai bawahan saya lalu mengambil sikap menunggu. Tanpa mengurangi semangat dan kinerja saya.
Kalau memang Pak Pardjo ternyata tidak berkenan dan berniat mengganti saya, pasti akan tiba saatnya saya terima SK. Saya hanya berharap, seandainya memang saya diganti, mudah-mudahan saya dapat kembali ke Bagian Protokol yang terlanjur saya senangi. Meski sesungguhnya bagi saya bertugas dibagian apapun tidak menjadi masalah. Saya kan bukan spesialis.
Walaupun sesungguhnya saya gundah gulana, tapi saya tampil biasa-biasa saja. Boleh dikata judulnya: “saya pasrah”. Que sera sera, what ever will be, will be. The future is not ours to see. (apa yang akan terjadi, terjadilah, kita tak akan tahu apa yang terjadi dimasa yang akan datang ).
Sejak percakapan ‘luar garis’ dengan Pak Wahyudi di stadion Diponegoro dulu, kadang-kadang memang saya agak pesimistis menjalani tugas sebagai Ajudan, tapi saya selalu berusaha agar kepercayaan diri saya tidak hilang. Saya tetap teguh memegang prinsip, kepercayaan yang dibebankan ke pundak saya oleh atasan, akan saya jalani sebagai amanah dan akan saya lakukan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh.
Tapi ternyata ‘setori’ tentang pertanyaan Pak Pardjo itu berlalu begitu saja bersama bergulirnya waktu. Kekhawatiran saya tidak terbukti. Tak pernah ada SK penggantian ataupun pengembalian diri saya ke Biro Kepegawaian. Saya tetap bertugas melayani Bapak Gubernur Soepardjo Roestam, sebagai Ajudan.
Bahkan (dikelak kemudian hari) terus berlanjut sampai menghabiskan hampir separuh dari masa dinas saya sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Sampai kini saya masih tetap menyimpan sejuta tanda tanya, apa sebetulnya latar belakang ‘keluhan’ Pak Pardjo yang sempat menggoncangkan batin saya itu. Sebuah pertanyaan yang (sampai Pak Pardjo wafat dan sampai detik saya menuliskan catatan ini, setelah sekian puluh tahun berlalu) tidak pernah saya dapatkan jawaban pastinya!
bersambung.....
[1] Istilah bikinan Staf Pribadi utk menghaluskan kt.: dimarahi atasan. Dalam bhs. Jw. Di-Senen-i berarti dimarahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar