(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Mendampingi Mendagri ke PNG.
Menteri Dalam Negeri RI secara ex-officio merangkap jabatan sebagai Ketua JBC (Joint Border Committee). Sebuah Komite Perbatasan Bersama dengan Negara-negara tetangga yang sama-sama mempunyai “daerah perbatasan” (darat) diantara kedua Negara dan saling bersinggungan. Yang paling sering mengadakan rapat perbatasan bersama adalah dengan Negara tetangga PNG (Papua New Guinea atau Papua Nugini). Rapat setidaknya dilakukan setahun sekali, dengan mengambil tempat bergantian. Kadang diadakan di Indonesia (bisa di Jakarta atau Bandung atau Jayapura) atau diselenggarakan di PNG (di Port Moresby atau kota lainnya).
Pada saat awal Pak Pardjo menjabat Mendagri, dalam kapasitasnya sebagai Ketua JBC, beliau bersama Ketua DPR/MPR-RI M. Kharis Suhud mendapat undangan dari Pemerintah Papua Nugini untuk menghadiri Peresmian Gedung Parlemen (DPR) PNG yang menurut rencana akan dilakukan oleh Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran Charles “Prince of Wales”.
Sebagai Ajudan Mendagri, tentu saya ditugaskan untuk mengikuti Mendagri dalam kunjungan itu. Artinya saya harus ikut ke Port Moresby yang merupakan ibukota PNG.
Dan Papua Nugini adalah Negara lain…Wah jadi saya harus pergi ke Negara lain alias keluar negeri nih. Sudah barang tentu ini adalah pengalaman baru buat saya:
pergi ke LUAR NEGERI!
Saya sudah tahu kalau pergi keluar negeri harus mempunyai Paspor. Akan tetapi saya baru tahu kalau yang pergi keluar negeri seorang pegawai negeri atau pejabat Pemerintah, maka yang dipakai harus Paspor Dinas. Dan yang menerbitkan Paspor Dinas adalah Departemen Luar Negeri. Saya juga jadi tahu bahwa ada tiga macam Paspor Republik Indonesia, pertama adalah Paspor biasa yang bisa dimiliki oleh siapa saja warganegara RI yang mau bepergian ke luar negeri. Paspor ini mempunyai sampul berwarna hijau dan diterbitkan oleh kantor Imigrasi Departemen Kehakiman (sekarang Depkumham). Yang kedua adalah Paspor Dinas bersampul biru, dan yang ketiga Paspor Diplomatik bersampul hitam. Keduanya diterbitkan oleh bagian Konsuler Departemen Luar Negeri.
Paspor Dinas (biru) dipakai oleh para Pegawai dan Pejabat Pemerintah. Sedangkan Paspor Diplomatik (hitam) dipakai oleh (terutama) Pejabat Korps Diplomatik dan Pejabat Tinggi Negara setingkat Menteri, atau yang diberi kewenangan untuk memakainya. Selain itu Pemerintah juga memberlakukan Paspor khusus bagi Jemaah haji Indonesia. Dan Paspor yang hanya berlaku dan dipakai untuk sekali musim haji itu berwarna coklat. Dikeluarkan oleh Departemen Agama.
Saya baru tahu bahwa ternyata untuk dapat pergi keluar negeri urusannya tidak mudah. Paling tidak tak semudah bepergian didalam negeri yang paling-paling hanya harus mempunyai KTP dan dompet (yang tentu saja harus ada ‘isi’nya).
Akhirnya, menurut catatan saya, dipertengahan tahun 1984, sewaktu hendak pergi ke PNG itulah saya memperoleh Paspor bersampul biru (Paspor Dinas) saya yang pertama.
(Kelak sepanjang karir saya di Depdagri, saya telah menghabiskan tidak kurang dari 3 (tiga) buah Paspor Dinas @ 48 halaman. Plus satu Paspor Haji yang bersampul coklat. Dari ke 3 Paspor Dinas bersampul biru itu, kebanyakan saya pakai pergi keluar negeri ketika diperbantukan -selama 5 tahun- di kantor Menko Kesra. Pengalaman yang cukup lumayan juga).
Pertama kali keluar negeri naik pesawat jet eksekutif ‘G-III’.
Karena membawa Rombongan Delegasi RI yang cukup penting, Pak Pardjo merasa perlu mencarter pesawat khusus milik Pelita Air Service untuk terbang ke Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).
Malam sebelum terbang, saya tidur agak gelisah. Sekarang jelas bukan karena soal mau terbangnya. Yang jadi pikiran saya adalah mau pergi keluar negerinya. Terus terang harus saya akui bahwa penguasaan Bahasa Inggris saya hanya setingkat “little little I can” saja. Tapi saya berusaha menghibur diri sendiri, kan saya punya dua tangan yang bisa dipakai untuk “bahasa Tarsan”. Betul?
Jadi bagaimanapun, sekecil apapun tugas saya, ini tugas dari Pemerintah yang dibayar dengan uang Negara. So, why not? Go ahead man. Saya harus berangkat.
Pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 1984, saya diantar anak isteri pergi ke Bandara Internasional Halim Perdanakusumah (saat itu Bandara Kemayoran hanya dipakai untuk penerbangan domestik, sedang Bandara Cengkareng masih dalam penyelesaian).
Seperti biasa -kalau mengerjakan sesuatu untuk yang pertama kali- saya merasa agak ‘nervous’. Perasaan saya pada waktu itu Bandara Halim sudah begitu hebat. Terlihat di Apron terparkir pesawat berbagai jenis dan ukuran dari bermacam Maskapai Penerbangan berbagai negara. Di landas pacu Bandara terlihat kesibukan naik turunnya pesawat.
Delegasi RI berkumpul di ruang tunggu VIP Bandara Halim, menunggu kedatangan Mendagri dan Ketua DPR/MPR-RI.
Pada pagi hari itu pesawat jet eksekutif Grumman American Gulfstream-III (dikenal dengan nama G-III -three-), yang berpenumpang Mendagri dan Ketua DPR/MPR-RI, masing-masing beserta isteri, dan beberapa orang staf JBC (termasuk saya), lepas landas melesat terbang dari Bandara Halim Perdana Kusumah (HPK) Jakarta menuju Port Moresby.
Pesawat jet kecil buatan pabrik Grumman (kini Gulfstream) Amerika Serikat itu mempunyai 2 buah mesin buatan Rolls Royce, berkecepatan maksimal 0,85 Mach dengan daya jelajah sekitar 7500 kilometer tanpa mengisi ulang bahan bakar. Dan mampu mengangkut penumpang sampai 18 orang.
Penerbangan ke Papua Nugini dilakukan secara nonstop dengan perkiraan waktu sekitar 6 jam.
Ketika mendarat di Bandara Internasional Jacksons Port Moresby PNG pada sekitar jam 4 sore hari, saya terkejut. Karena (pada tahun 1984) Bandara Ahmad Yani Semarang jauh lebih bagus keadaannya daripada Bandara Jacksons, Port Moresby. Walau ada sedikit keunggulannya, Bandara Jacksons (yang diberi nama sebagai kenangan atas kehebatan John Jackson, Pilot pesawat tempur Royal Australia Air Force -RAAF- yang tewas saat terlibat pertempuran udara dengan Pilot pesawat Kamikaze Jepang diatas Port Moresby pada tahun 1942), mempunyai status “Internasional” dan mempunyai lahan yang lebih luas. Tetapi kondisi bangunannya masih tampak sederhana sekali. Ruang tunggu VIP nya hanya memakai beberapa AC window, yang suaranya lumayan bising. Udara diluar ruang tunggu jadi lumayan panas menyengat.
Bagaimanapun, Papua Nugini (PNG) adalah Negara tetangga pertama yang saya kunjungi diawal kisah perjalanan saya pergi keluar negeri.
Pernah menjadi daerah kekuasaan Inggris Raya, (dengan nama British New Guinea), Negara ini menjadi Negara Persemakmuran Australia pada tahun 1906. Secara resmi Papua New Guinea (Papua Nugini, disingkat PNG) baru dinyatakan sebagai Negara merdeka pada bulan September 1975, jadi mereka memang sedang berada dalam masa restrukturisasi sebagai Negara merdeka yang berdaulat. Termasuk pembangunan sarana dan prasarananya.
Petugas dan security Bandara kebanyakan warga kulit putih Australia. Hanya portir dan petugas kebersihan saja yang tampaknya penduduk asli. Ternyata kondisi tersebut sama dengan ditempat lain. Di Hotel ataupun jalan raya. Tampaknya warga Negara Australia masih mendominasi lapangan kerja yang dianggap penting dan strategis di PNG.
Kota yang ditemukan oleh Kapten John Moresby pada tanggal 20 Februari 1873 ini diberi nama “Port Moresby” untuk mengenang dan menghormati ayah Si Kapiten yang bernama Admiral Sir Fairfax Moresby. Port berarti Bandar.
Kondisi kota Port Moresby yang terletak dipantai Teluk Papua tidak jauh berbeda dengan kota Jayapura. Banyak sekali bukit yang bertebaran ditengah dan pinggir kota. Iklim negeri tropis sangat terasa. Suhu udara di ibukota PNG itu pada bulan Agustus bisa mencapai 35 derajat celcius disiang hari. Panas terik.
Menurut perasaan saya Jakarta agak sedikit lebih dingin. Belum banyak bangunan modern ketika itu. Saya tidak melihat ada pertokoan besar, kecuali gerai “Circle K” yang ada dibeberapa tempat dengan simbolnya yang khas. Huruf “K” dalam lingkaran merah. Itupun berupa bangunan yang sederhana saja. Komunikasi dilakukan dalam bahasa Inggris Australia yang aksennya terdengar sedikit aneh. Atau dalam bahasa daerah yang disebut “Pijin” atau “Tok Pisin”.
Pemerintah PNG menyiapkan akomodasi untuk Delegasi RI di sebuah hotel bernama “Travelodge” yang mirip Motel, karena kamarnya berbentuk paviliun atau cottage yang terletak saling berjauhan.
Nampang didepan kantor KBRI PNG
foto: dok pribadi
Malam pertama di Port Moresby dihabiskan dikediaman Bapak Soepomo, Duta Besar RI untuk PNG. Rumah Dinas Pak Dubes terletak disebuah bukit dengan pemandangan yang cukup cantik. Rombongan dijamu santap malam dengan makanan ala Sunda, karena Ibu Soepomo adalah orang Sunda yang pintar memasak. Jadi walaupun berada diluar negeri, tapi malam itu saya serasa makan direstoran ‘Kurang Kuring’ saja. Sedap.
Bertemu dengan Pangeran Charles, “Prince of Wales”.
Sebagai Negara yang ‘ditemukan’ dan pernah dijajah oleh bangsa Inggris, PNG ternyata tetap berhubungan baik dengan negeri bekas penjajahnya itu. Tidak mengherankan kalau kemudian justru Pangeran Charles, putra mahkota Kerajaan Inggris raya yang diminta untuk meresmikan Pembukaan Gedung Parlemen PNG yang baru.
Terletak disebuah bukit, Gedung Parlemen untuk para wakil rakyat itu terlihat cukup megah.
Upacara peresmiannya dilaksanakan disebuah Lapangan Upacara besar yang berada tidak jauh dari lokasi Gedung Parlemen berdiri.
Mengenakan seragam kebesaran Angkatan Laut Inggris berwarna putih dengan topi bersetrip emas, suami Lady Diana itu memang tampak gagah sekali. Wajah berhidung mancung itu tersenyum lebar saat melambai-lambaikan tangannya menyambut sorak gegap gempita rakyat PNG yang dengan semangat mengelu-elukan kedatangannya. Saya duduk ditribun VVIP, bersebelahan dengan Bapak dan Ibu Kharis Suhud, yang posisi duduknya berada tepat ditepi jalan yang dilewati Sang Pangeran. Beberapa kali saya sempat mengabadikan wajahnya dari jarak sangat dekat. Sayang tidak ada waktu untuk bisa berbicara dengan Pangeran dari Wales itu.
Pergi kekota Rabaul, terbang bersama ayam.
Masih ada beberapa hari tersisa di Port Moresby, oleh karena itu Bapak Soepomo
Dubes RI untuk Papua Nugini mengajak Delegasi RI terbang ke Rabaul, kota kecil yang menyimpan peninggalan sejarah Perang Dunia II, ketika pasukan sekutu dibawah Jenderal Mc’Arthur bertempur dengan pasukan Jepang.
Menggunakan pesawat F-28 Air Nugini, kita terbang menuju kota Rabaul. Rupanya pesawat terbang adalah moda transportasi penting di PNG. Sama dengan keadaan alam di Irian Jaya (Papua) yang tidak memungkinkan perjalanan darat antar kota karena penuh hutan rimba yang sangat lebat, maka penduduk PNG terpaksa harus selalu menggunakan pesawat terbang untuk bepergian.
Tidak ada seat khusus untuk VIP, jadi Pak Pardjo, Pak Dubes dan rombongan terpaksa duduk bercampur baur dengan penumpang pesawat yang merupakan penduduk setempat. Celakanya mereka naik pesawat dengan cara dan gaya mereka. Berpakaian ala kadarnya dan membawa barang bawaan dan ‘tentengan’ kedalam kabin pesawat. Termasuk beberapa ekor ayam (hidup!) yang sepanjang perjalanan berkotek-kotek menyanyikan mars ‘ayam den lapeh’. Selain itu mereka ternyata senang sekali saling mengobrol dengan suara keras dalam bahasa ‘Pijin’ yang tentu saja tidak bisa saya mengerti. Jadi suasana didalam pesawat mirip dengan suasana dalam bis kota atau metro mini jurusan Blok M – Ciledug, minus kernetnya, tentu saja! Untung ada larangan merokok didalam kabin pesawat, kalau tidak, saya tidak bisa membayangkan apa jadinya.
Rabaul ternyata kota pantai yang lebih panas dari Port Moresby. Pada tahun 1942, kota ini pernah diduduki oleh Pasukan Jepang yang menjadikan kota Rabaul sebagai basis Angkatan Lautnya di Pasifik Selatan. Tentara Jepang juga membuat kubu pertahanan dengan melubangi dinding-dinding bukit yang banyak terdapat disekeliling kota. Kubu tersebut sampai sekarang masih ada. Penduduk setempat menyebutnya sebagai “Gua Jepang”.
Pantai Rabaul sangat indah. Pesisir pantainya bahkan jadi obyek wisata “Scuba Diving” dan “Snorkeling” (menyelam) yang keindahan dasar lautnya konon bisa menyaingi keindahan pantai Bunaken di Sulawesi Utara.
Kota ini mempunyai dua buah Gunung berapi yang masih aktif, Gunung Tavurur dan Gunung Vulvcan. Pada tahun 1937 kedua gunung berapi itu pernah meletus bersamaan dan membuat kerusakan dan korban jiwa sangat besar.
Disiang hari yang panas terik itu saya bersama pak Malikus Suamin, Sekretaris JBC dari Direktorat Asia Pasifik Deplu, berkeliling kota melihat pemandangan yang ada. Saya dan pak Malikus bahkan sempat mencoba masuk kebeberapa ‘gua Jepang’ yang cukup menyeramkan dan berfoto ria didepannya.
Malam harinya rombongan menginap di Hotel Travelodge Rabaul, dan esok paginya kita kembali ke Port Moresby, bersama para ‘bakul gendong’ lagi.
Tanggal 9 Agustus 1984 Delegasi RI kembali ke Jakarta dengan pesawat carter Pelita Air Service, jet eksekutif yang sama, Grumman G-III.
Sepanjang perjalanan saya ‘ngudarasa’ (berbicara dalam hati): “Begini rasanya terbang dengan pesawat jet pribadi, bagaikan raja minyak atau pesohor kaya raya”. Sungguh pengalaman pertama terbang keluar negeri yang mengasyikkan.
bersambung.....