Kamis, 29 September 2011

"GENDER"


Tulisan lepas:

R.A. Kartini dan suaminya

Released by mastonie on Thursday, September 29, 2011 at 10.35 pm


(Gender -baca: jender- yang saya maksudkan dalam tulisan saya ini adalah kata serapan dari bahasa Inggris yang artinya ‘jenis kelamin’).

Bermula dari ‘tuntutan’ emansipasi

     Ketika mengikuti Lomba Pidato tanpa teks antar Mahasiswa se Kotamadya Semarang pada tahun 80-an, saya mengangkat tema (bebas) tentang emansipasi wanita. Emansipasi (dari kata bahasa Inggris Emancipation) berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Pada waktu itu isu tentang kesetaraan gender belum marak terangkat kepermukaan seperti sekarang.
Entah bagaimana, topik tentang emansipasi wanita itu membuat juri memutuskan saya sebagai pemenang pertama.

     Tentu tokoh emansipasi yang saya tampilkan adalah Raden Ajeng Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904), putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Kartini adalah perempuan (bangsawan) Jawa yang dikenal gigih memperjuangkan nasib perempuan untuk mendapatkan hak (utamanya pendidikan) yang setara dengan laki-laki.
Walaupun perjuangan beliau menuntut emansipasi wanita itu lebih banyak berupa tulisan dalam korespondensi (surat menyurat) dengan salah seorang sahabatnya yang bernama  Stella Zeehandelar di negeri Belanda.                 

     Kumpulan tulisan itulah yang kemudian dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon dan diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul “Door duisternis tot licht”.
Buku tersebut kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh sastrawan Indonesia jaman Pujangga Baru bernama Armijn Pane dan diterbitkan sebagai buku yang terkenal dengan judul “Habis gelap terbitlah terang”.

      Tuntutan emansipasi wanita a la R.A. Kartini sebenarnya masih dalam batas kewajaran yang ditandai dengan masih diakuinya wanita atau perempuan sebagai pendamping suami atau laki-laki. Norma dan etika yang berlaku perihal kedudukan seorang wanita dalam sebuah keluargapun masih tetap ia pertahankan.
Intinya, Kartini hanya menuntut agar perempuan mendapatkan pendidikan dan ketrampilan yang setidaknya sama dengan yang diterima oleh kaum lelaki, namun ia masih bisa menerima hak dan kewajiban wanita seperti apa adanya. Hal tersebut dibuktikannya dengan kesediaannya menerima pinangan untuk menikah dengan seorang duda yang berusia jauh lebih tua darinya. Laki-laki yang beruntung tersebut adalah Raden  Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang.
     Kartini meninggal dalam usia relatip masih sangat muda (25 tahun) ketika melahirkan putra pertamanya. Namun jejak perjuangannya memajukan wanita (Jawa) bisa dilihat dari didirikannya tempat pendidikan khusus kaum perempuan yang diberi nama “Sekolah Kartini”.

     Sekolah ini berdiri dibeberapa kota besar di Jawa seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang dan Madiun.
Berkat jasa-jasanya itulah, Pemerintah Republik Indonesia (pada masa Presiden Soekarno) secara resmi mengangkat Kartini sebagai “Pahlawan Kemerdekaan Nasional” pada tanggal 2 Mei 1964.
Dan hari lahirnya (tanggal 21 April) ditetapkan sebagai hari besar nasional yang harus diperingati setiap tahun dan dikenal sebagai “Hari Kartini”. 

     Diwaktu-waktu yang lalu “Hari Kartini” memang diperingati kaum perempuan disemua lapisan masyarakat (baik di sekolah maupun di kantor) dengan mengenakan busana nasional. Ini merupakan pertanda bahwa perempuan Indonesia masih mengenang dan menghormati ‘pejuang’ emansipasi wanita itu.

     Pada jaman Orde Baru keputusan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional mulai diperdebatkan karena masih banyak tokoh pejuang perempuan lain yang dianggap lebih besar jasanya dibanding Kartini. Oleh sebab itu peringatan Hari Kartini tampak sudah berkurang peminatnya. Terutama diluar pulau Jawa.
Pada jaman reformasi, peringatan Hari Kartini semakin nyaris tak terdengar karena semua terhanyut dengan euphoria kebebasan yang seperti tak terkendali. 

Munculnya tuntutan kesetaraan yang tidak masuk akal

“Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu…namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut disudut kerling wanita”
(“Sabda Alam” lagoe tempo doeloe, cipt. Ismail Mz)

     Namun itu hanya lirik lagu. Seiring dengan kemajuan jaman dan pengaruh ‘globalisasi’ yang makin mendunia, maka tuntutan persamaan hak dari kaum perempuan (termasuk di Indonesia) sudah meningkat menjadi tuntutan “kesetaraan gender”.
Tuntutan kesetaraan hak dan kewajiban yang diajukan oleh kaum perempuan itu sudah sebegitu jauhnya. Sehingga nyaris meninggalkan norma dan etika bahkan fitrah dan kodrat kaum perempuan yang selama ini berlaku. Terutama apabila hal tersebut dikaitkan dengan ajaran agama.

     Ironisnya, semakin marak tuntutan kesetaraan jenis kelamin itu, semakin hilang gaung semangat emansipasi RA Kartini. Bahkan pada waktu sekarang sudah tidak banyak yang ingat untuk merayakan “Hari Kartini” lagi.
Padahal apa sih yang belum terpenuhi dari tuntutan kesetaraan gender (jenis kelamin) itu?

     Semua aspek BudekSospol (Budaya, Ekonomi, Sosial dan Politik) dinegeri ini tak mengandung perbedaan jenis kelamin lagi. Pendidikan, pekerjaaan, sampai hak dan kewajiban sebagai warga Negara sudah setara. Dari profesi paling keras seperti tukang batu, sopir kendaraan umum sampai jabatan terhormat seperti birokrat, politisi hingga Kepala Negara sudah bisa dinikmati kaum perempuan. Bahkan Indonesia juga sempat dipimpin oleh seorang Presiden perempuan. Namun mengapa masih saja tuntutan kesetaraan jenis kelamin itu terus didengungkan?

     Saya sedang tidak mengarang dan mengada-ada. Apalagi mencari sensasi.
Ada seorang novelis perempuan tersohor yang sebetulnya buku-bukunya sangat saya kagumi. Dia pernah menyatakan tidak setuju dengan pernikahan yang disebutnya sebagai lembaga yang hanya mendudukkan perempuan sebagai warga kelas dua. Bahkan kalau perlu dia tidak akan menikah. Tapi beberapa waktu lalu saya dengar akhirnya dia menemukan pujaan hati dan menikahlah dia. Entah karena tuntutan biologis atau mungkin dia lupa pada janjinya karena sudah merasakan indahnya terbuai asmara.

     Bukan pernikahannya itu yang merisaukan hati saya.
Tapi saya sungguh terkejut jut jut jut, ketika kemudian dia menulis artikel disebuah koran harian yang menyatakan alasannya menikah.
Dia MAU menikah karena pasangannya bisa sependapat dengan dia bahwa tidak akan ada yang menjadi ‘atasan’ dan ‘bawahan’ dalam rumah tangga mereka. Kedudukan isteri dan suami harus sama PERSIS. Begitupun hak dan kewajiban dalam mencari nafkah. Dia malah berpendapat bahwa tidak perlu ada kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga. Dengan demikian tidak perlu lagi ada kartu Kepala Keluarga. Menurut pendapatnya, bisa saja terjadi seorang isteri akan menjadi kepala keluarga kalau si suami berpenghasilan lebih rendah, atau terkena musibah sehingga berhalangan tetap. Begitupun sebaliknya. Jadi mengapa harus dibakukan bahwa seorang kepala keluarga adalah HARUS seorang suami atau seorang laki-laki?

     Astagfirullah. Saya tidak bermaksud menilai pendapatnya itu dari segi agama. Agama apapun yang dia anut. Saya juga akan tetap menghormati pendapat seseorang.  Akan tetapi jalan pikiran (seorang perempuan) yang barangkali memang seniman yang ‘nyentrik’ itu kalau tidak ‘diluruskan’, menurut hemat saya justru akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.

     Dia mungkin keukeuh dengan pendapatnya karena menurut jalan pikirannya sendiri, itulah yang diyakininya paling benar. Tapi apakah dia tidak memikirkan implikasinya terhadap kehidupan sosial disekitarnya, kalau idenya yang ‘aeng-aeng’ itu betul-betul diterapkan?
Tidak SEMUA perempuan mempunyai kapasitas dan pikiran serta bisa bertingkah aneh seperti dia yang seorang novelis kondang.
Baik secara materiil maupun secara moril apalagi onderdil!
Jangan jangan nanti dia juga tidak akan mau mengandung bayinya dan menyerahkan tugas alamiah seorang perempuan itu kepada suaminya yang (seharusnya) tentu berjenis kelamin laki-laki.

     Banyak lagi kita lihat dan dengar di media masa cetak dan elektonik, kecenderungan perempuan karir yang enggan memberikan ASI kepada bayinya. Berbagai dalih dan alasan diutarakan, diantaranya karena takut merusak keindahan tubuh dan menghalangi untuk bekerja atau berkarya.
Tidak usahlah merujuk kepada ajaran agama, tapi menurut hemat saya, mengingkari kodrat sebagai seorang perempuan itu bukanlah maksud dan tujuan dari tuntutan kesetaraan gender.
Kalau hanya menuntut prosentase agar perempuan bisa mendapat kursi  lebih banyak di parlemen atau kabinet, itu sebuah hal yang masih masuk akal dan bisa diterima.
Tapi janganlah tuntutan itu berubah menjadi sesuatu yang keluar dari tatanan, norma apalagi kodrat manusia.

     Betapa banyak perempuan jaman sekarang, yang karena merasa mampu berbuat apa saja setara (bahkan mungkin melebihi) kaum lelaki, memutuskan untuk hidup melajang. Itu sepenuhnya hak asasi manusia yang harus dihormati, walau mungkin tak sesuai dengan ajaran agama. Tetapi apa jadinya kalau semua perempuan berpikiran seperti itu? Bagaimana kelanjutan hidup seorang anak manusia yang seharusnya mempunyai tugas reproduksi untuk berkembang biak? Reproduksi jelas tidak akan terjadi oleh kaum lelaki sendiri tanpa kehadiran perempuan disisinya.

     Bayangan ketakutan super ekstrim kaum perempuan akan diinjak-injak hak dan kewajibannya oleh kaum lelaki, seperti lirik lagu “Sabda Alam” yang saya kutipkan diatas tadi, sejatinyalah sudah tak relevan lagi pada jaman manusia modern ini.
KDRT mungkin memang masih bisa  terjadi, kapan saja, dimana saja oleh siapa saja.
Tapi dinegeri ini, kita masih percaya adanya hukum. 
Dan jangan khawatir, kedudukan hukum seorang perempuan SETARA dengan seorang lelaki.

Jadi mau menuntut apa lagi?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar