Sabtu, 03 September 2011

"MENGANTAR KETURUNAN 'WONG JOWO' KELILING TANAH JAWA..."


Tulisan lepas:



Pak Ardjosemito dan saya di Tanah Lot


 released by mastonie on Saturday, September 3, 2011 at 2.55pm


Tamu dari Suriname mulai berdatangan…

Dua tahun setelah kunjungan Menko Kesra Soepardjo Roestam ke Suriname (pada tahun 1990), mulailah berdatangan tamu-tamu dari negeri “wong Jowo” yang terbuang itu.
Memang sebelum kembali ke tanah air,  Pak Pardjo berkenan mengundang siapa saja (warga Suriname) yang berminat pergi ke Indonesia. Terutama bagi mereka yang ingin mencari sanak saudaranya yang sudah terpisah nyaris satu abad. Juga bagi para pekerja seni yang ingin lebih memperdalam kesenian Jawa yang sangat populer di Suriname.
Pak Pardjo sangat tersentuh dengan sikap warga Negara Suriname keturunan Jawa yang begitu teguh memegang adat istiadat. Mereka juga terlihat sangat teguh “nguri-uri” (memelihara) budaya nenek moyang mereka yang berasal dari Jawa.
Secara pribadi, Pak Pardjo pasti masih ingat kemampuan saya sebagai petugas Protokol Gubernur yang dulu sangat sering mengatur acara kunjungan tamu Gubernur dari luar negeri. Atau mungkin juga karena saya termasuk dalam rombongan Delegasi Indonesia yang ikut pergi ke Suriname,   maka ketika para tamu pribadi Menko Kesra datang silih berganti ke Indonesia, beliau memberikan tugas khusus kepada saya untuk mendampingi dan melayani tak kurang dari tiga orang diantara tamu-tamu tersebut.


Dolar Amerika terselip dalam surat .....

Tamu yang pertama kali datang adalah seorang wiraswasta atau pengusaha Suriname, yang berdarah campuran Jawa dan Cina. Namanya Michael Liem. Dia sangat tertarik untuk bisa menjalin kerjasama dagang dengan pengusaha Indonesia. Utamanya dibidang agrobisnis.
Karena Pak Pardjo pernah menjabat Gubernur Jawa Tengah dua periode, maka beliau jelas sangat menguasai situasi perekonomian dan perdagangan di Jawa Tengah. Tidak heran beliau secara khusus meminta saya untuk membawa Pak Michael keliling ke beberapa kota di Provinsi yang pernah menjadi daerah ‘kekuasaannya’ itu.
Beberapa Kabupaten yang memiliki perkebunan dipilih oleh Pak Pardjo, antara lain Banyumas, Wonosobo dan Magelang. Setelah itu baru Solo dan Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan dan kesenian Jawa.
Seperti kebanyakan Warga Negara Suriname, Pak Michael hanya menguasai bahasa Inggris, Belanda dan sedikit bahasa Jawa kasar. Oleh sebab itu saya harus bekerja rangkap. Sebagai pengatur acara, guide sekaligus sebagai penerjemah. Kecuali apabila disuatu daerah sudah ada petugas penerjemahnya.
Kebun Karet, Teh, Tembakau yang terletak di Banyumas dan Wonosobo menjadi sasaran utama kunjungannya. Bahkan perkebunan Anggrek di Magelang serta peternakan sapi dan kambing maupun kolam budi daya ikan air tawar termasuk yang dilihatnya secara detil dan teliti. Sehabis itu baru minta diantar ke kota Solo dan Yogyakarta.
Pak Pardjo sangat memperhatikan tamunya. Semua biaya transportasi dan akomodasi ditanggung oleh kantor Menko Kesra. Hanya biaya makan dan minum diluar hotel yang dibayar sendiri oleh Pak Michael. Termasuk tip dan honor para pengemudi mobil dinas milik Pemda Jawa Tengah yang kita pakai untuk keliling. Sebagai seorang pengusaha besar (di Suriname dan Belanda) tentu biaya yang harus dikeluarkannya selama berada di Indonesia jadi tidak terlalu besar.
Oleh karena itu tidak heran kalau Pak Michael senang sekali selama berkunjung ketanah kelahiran nenek moyangnya.
Mungkin karena dia bisa berhemat sangat banyak, sebelum pulang ke Suriname Pak Michael mengajak saya ke Blok M Plaza untuk berbelanja perhiasan sebagai oleh-oleh buat isteri dan keluarganya.
Beberapa bulan kemudian dengan suka cita  dia mengirimkan surat tercatat lewat pos kepada saya. Yang mengagetkan, didalam surat tersebut diselipkannya beberapa lembar dolar Amerika sebagai ucapan terima kasih. Ini jelas bukan 'sogokan', apalagi upeti.......

Bertemunya sebuah keluarga yang terpisah nyaris seabad lamanya…..

Tamu kedua adalah seorang mantan Ketua Parlemen Suriname yang asli keturunan Jawa. Namanya saja sangat khas nama ‘wong ndeso’, pendek tapi bermakna: “Kaiman”. Nama yang mengingatkan saya pada nama orang kebanyakan di Jawa, Paiman. Tapi ternyata Kaiman mempunyai arti ‘buaya’ (dari bahasa Inggris: Cayman).
Pak Kaiman seorang pria setengah umur yang sangat kekar, berkulit gelap, ramah dan sungguh masih berwajah sangat “nJawani”.
Seperti Pak Michael, dia juga pandai bicara bahasa Belanda dan Inggris. Tapi penguasaan bahasa Jawa nya sangat bagus. Walaupun bahasa Jawa ‘ngoko’ (kasar).
Saya terpaksa menyesuaikan diri ikut ‘ngoko’, walaupun merasa risih, karena usia Pak Kaiman jauh lebih tua dari saya. Saya biasa bicara bahasa Jawa ‘Krama’ (halus) kalau berhadapan dengan para pinisepuh. Apa boleh buat, karena kalau saya pakai bahasa ‘krama’, Pak Kaiman malah tidak ‘mudheng’ (faham).
Berbeda dari Pak Michael yang bertujuan dagang, Pak Kaiman secara khusus datang ke Jawa untuk menelusuri dan mencari sanak saudaranya yang ada di tanah Jawa. Salah satunya konon berada dikota Semarang. Selama ini ternyata telah terjalin korespondensi antara dia dan saudaranya itu. Tidak heran pak Kaiman bisa menyebutkan alamat saudaranya dengan jelas. Kebetulan saya juga lama hidup dikota Semarang, sehingga tak terlalu susah menemukan alamat tersebut.
Menyaksikan pertemuan sebuah keluarga yang terpisah jarak dan waktu sedemikian jauh membuat saya sangat trenyuh. Puluhan tahun bahkan nyaris seabad keluarga itu telah terpisah atau dipisahkan dengan paksa. Kini mereka juga terpisah jarak yang terentang ratusan ribu kilometer. Bahkan sekalipun ditempuh dengan pesawat terbang, jarak sejauh itu tetap butuh waktu tempuh sekitar 30 jam!
Tak terasa air mata saya menetes dipelupuk mata. Sungguh sebuah peristiwa yang sangat mengharukan sekaligus membahagiakan.

Mantan Menteri yang sederhana dan merakyat

Pak Pardjo & Pak Ardjosemito
Pak Ardjosemito adalah Mantan Menteri Pertanian Suriname. Pria gagah berkulit gelap dan berkumis tipis yang terkesan masih muda ini menjadi tamu ketiga Pak Pardjo. Datang dibulan September, dua tahun tepat setelah kunjungan Pak Pardjo beserta rombongan ke Suriname pada bulan September tahun 1990 silam.
Kali ini saya mengajak isteri saya ikut mendampingi tamu kehormatan Menko Kesra itu.
Selain studi banding masalah pertanian di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Pak Ardjo juga minta diantar bertamasya ke Pulau Dewata.
Sisa keramah tamahan khas ‘wong Jowo’ masih tampak jelas pada diri Pak Ardjo. Banyak senyum dan tertawa lepas. Sekalipun fasih berbahasa Belanda dan Inggris, dia selalu bicara bahasa Jawa ngoko dengan saya dan isteri. Demikian pula dengan orang-orang yang dijumpainya dimana saja. Walaupun orang kadang heran ada orang yang enak saja bicara ngoko kepada orang yang lebih tua. Maklum Pak Ardjo juga tidak faham bahasa Jawa ‘krama’. Hanya dengan Pak Pardjo dia “Holland spreken” (bicara dengan bahasa Belanda).
Warga Suriname memang rata-rata tidak faham bahasa Jawa ‘krama’ (halus). Apalagi bahasa Indonesia. Oleh sebab itu yang mereka sukai hanya lagu-lagu dan penyanyi yang senang menyanyikan lagu berbahasa Jawa. Waljinah, Mus Mulyadi, Eddy Silitonga (saat ini juga kondang si Didi Kempot) adalah para penyanyi pujaan ‘wong Jowo’ di Suriname.
Ada sebuah peristiwa yang unik. Sewaktu Pak Ardjo saya dampingi berkunjung ke Yogyakarta, TVRI Stasiun Yogya sempat meminta waktu untuk mengadakan siaran langsung wawancara dengan beliau.
Sangat menarik ada seorang ‘turis asing’ yang berasal dari luar negeri diwawancarai dengan memakai bahasa Jawa. Ngoko lagi. Tapi pemirsa tidak heran karena wajah Pak Ardjo memang tipe wajah orang Jawa kebanyakan. Bahkan tipe wajah petani atau buruh kasar. Dengan tenang, sambil tersenyum-senyum penuh percaya diri, Pak Ardjo menjawab semua pertanyaan dengan bahasa Jawa ngoko. Tanpa ragu sedikitpun!

Sebagai tamu resmi Menko Kesra, di Bali Pak Ardjo disambut secara resmi pula.
Gubernur Bali khusus memberi perintah kepada Bapak I Gede Ardhika, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali untuk menyambut dan mendampingi Pak Ardjosemito selama berada di Pulau Dewata.
Tentu saja saya beserta isteri turut menikmati ‘penghormatan’ sebagai tamu resmi Pemerintah Bali. Saat itu tak pernah sekalipun saya mengira, kelak kemudian hari Pak I Gede Ardhika akan naik jabatan menjadi Menteri Pariwisata di Kabinetnya Presiden Megawati!
Hampir semua ‘point of interest’ di Pulau Kahyangan masuk dalam acara kunjungan Pak Ardjo. Dari Tanah Lot, Sangeh, Ubud, Sukawati, Besakih, sampai ke danau Bedugul dan danau Batur serta desa Trunyan dimana terletak makam yang tulang belulangnya dibiarkan berserakan. Kelihatan sekali bahwa Pak Ardjo sangat terkesan.

Tapi yang sangat mengggembirakan dan mungkin tak terlupakan bagi Pak Ardjo (tentu juga bagi saya dan isteri saya) adalah jamuan makan malam resmi yang dilengkapi sajian tarian Kecak dengan lakon “Calon Arang” yang sangat mengagumkan itu.

Setelah kedatangan Pak Ardjosemito, masih ada beberapa lagi tamu resmi Menko Kesra yang datang dari Suriname. Akan tetapi tak perlu saya antar karena mereka bermaksud (diantaranya) memperdalam ‘ilmu’ memainkan gamelan dan mendalang.

Keturunan ‘Wong Jowo’ di Suriname memang sangat memegang teguh dan kukuh ‘nguri-uri’ kesenian dan kebudayaan leluhurnya yang berasal dari tanah Jawa.

1 komentar:

  1. saya pengusaha Indonesia mau bekerja sama dengan pengusaha dari suriname.

    BalasHapus