Kamis, 22 September 2011

MISTERI MAKAM "ASTA TINGGI", SUMENEP


Tulisan lepas: 

"Robohnya Sopir Kami"

 Gerbang Makam "Asta Tinggi" Sumenep

Released by mastonie on Thursday, September 22, at 09.41 pm


Rencana merayakan Lebaran ditanah leluhur

Setidaknya sejak akhir tahun 90an saya sudah bukan termasuk pecinta “Mudik”. Saya merasa bahwa ritual "Mudik Bersama" itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaaatnya. Padahal sesungguhnya tradisi itu adalah tradisi yang baik. Menjaga tali silaturahim adalah suatu hal yang dianjurkan pula dalam agama. Tapi ternyata tradisi yang baik itu berkembang menjadi sesuatu yang menimbulkan banyak persoalan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kemacetan jalan raya yang sangat parah adalah salah satu dampaknya. Dan itulah yang saya hindari.
Tapi awal bulan puasa tahun 2002 ternyata ada usul dari keluarga besar isteri saya untuk ramai-ramai berlebaran ditanah leluhur ayah mertua di Pulau Madura. Isteri saya adalah sulung dari 7 bersaudara. Menghadapi 6 suara (dari adik2nya) plus suara paling berpengaruh (dari ibu mertua), saya menyerah. Akhirnya diputuskan berangkat dengan mengendarai mobil masing-masing. Waktu keberangkatan bebas, tapi sudah harus berkumpul di kota Surabaya paling lambat hari H+2 sesudah sholat Ied. Dari Surabaya (dimana masih ada ipar ayah dan sesepuh asli Madura lainnya) baru ramai-ramai konvoi ke kota Sumenep di pulau garam. Jembatan Suramadu belum dibangun, mungkin baru sebatas wacana. Jadi konvoi 4 buah mobil (terdiri dari 2 Toyota Kijang, 1 Nissan Serena dan 1 Opel Blazer) menyeberang menggunakan ferry dari Tanjung Perak ke Bangkalan. Sebagai anak (menantu) yang tertua, saya otomatis didaulat sebagai pimpinan rombongan. Komunikasi antar mobil memakai HT 2 meteran. Karena kalau memakai HP kemungkinan ada blank spot. Selain itu juga mahal membayar pulsanya.

‘Perang mulut’ demi buah jambu….
Ini perjalanan saya yang kedua ke tanah leluhur ayah mertua. Madura masih seperti yang dulu. Panas dan kering kerontang. Setidaknya itu yang terasa sepanjang perjalanan. Walaupun makanan khas yang terkenal sampai ibukota adalah sate ayam dan soto Madura, tapi yang tampak banyak dijajakan dipinggir jalan adalah buah jambu air (lat: Syzygium Aqueum) yang berwarna hijau. Sangat eye catching (menarik mata) dan menerbitkan selera. Semua sepakat untuk membeli dan menikmati buah jambu itu. Akhirnya empat mobil berhenti dipinggir jalan. Para sesepuh yang memang asli Madura didaulat untuk maju menawar. Dalam pikiran awam, harga pasti bisa jadi miring kalau pembeli dan penjual berasal dari satu daerah dan berkomunikasi dengan bahasa yang sama.  Tapi yang terjadi kemudian sangat diluar dugaan. Barangkali karena melihat mobil yang dipakai semua ber plat nomor “B” (Jakarta), maka harga yang ditawarkan sungguh gila-gilaan. Mungkin para pedagang itu punya prinsip: ”Saudara tetap saudara, duit tetap duit”. Pada siang terik itu kemudian terjadi ‘perang mulut’ yang seru dan seram. Menggunakan bahasa dan dialek Madura yang sangat kental, terjadi perdebatan dalam suara tinggi dihiasi dengan tangan yang serabutan. Generasi penerus yang menunggu dalam mobil (dan tidak faham bahasa leluhurnya) hanya bisa bengong melihat adegan seru tapi semi kocak itu. Isteri saya yang ikut dalam ‘pertempuran’ itu rupanya sudah berhasil mencicipi beberapa biji jambu, lalu balik kemobil sambil tak kuasa menahan tawa. 
Dek remaaaah sampiyan diiiiik......
Yang lebih menggelikan, para sesepuh akhirnya juga kembali ke mobil masih dengan mengomel dan merepet panjang pendek. Tapi dengan tangan hampa. Alias gagal membeli jambu meski hanya satu bijipun. Akhirnya bisa juga kita menemukan pedagang jambu yang masih ‘normal’, beberapa kilometer dari lokasi perang mulut tadi. Maka jadilah kita makan jambu me-rame didalam mobil sambil tertawa ngakak sepanjang jalan.

Kisah nasi rawon

Kota Sampang terlewati, mobil melaju menuju Pamekasan. Matahari sudah tergelincir, panas masih menyengat dan perut mulai keroncongan. Tujuan berikutnya tentu saja mengisi perut. Maka dicarilah rumah makan dipinggir jalan yang penampilannya cukup meyakinkan. Benak saya sudah membayangkan makan sate ayam dan soto Madura yang ‘nyemooot’ (nikmat). Sambil nyender dan nyelonjorin kaki saya buka daftar menu. Alamaaaak…..ternyata yang tertera adalah masakan cina (Chinese food).  Masakan Jawa yang tersedia hanya “nasi rawon” thok thil (saja). Rupanya semua setuju. Maka kita rame rame makan nasi rawon. Beberapa anak minta bakmi goreng. Alamaaaak…(yang kedua), ternyata nasi rawon yang warnanya kehitaman itu rasanya ‘ora ngalor ora ngidul’ alias tidak karu-karuan. Berhubung perut lapar, ya terpaksa dihabiskan juga. Kemudian hari ternyata bahwa setiap rumah makan yang kita singgahi selama berada dipulau garam, menu utamanya adalah nasi rawon! Kemana itu kaburnya sate ayam dan soto yang katanya khas Madura? Kabur ke pulau Jawa? Yang kita temukan dikota Pamekasan malah cuma “sate lalat”.

“Tragedi” Pantai Lombang, pengemudi satu persatu ‘tumbang’….

Sumenep adalah ibukota Kabupaten yang terletak paling timur dipulau Madura. Waktu itu hanya ada satu penginapan yang bisa menampung satu keluarga besar. Terletak dipertigaan jalan, penginapan itu konon biasa dipakai oleh keluarga Bung Karno kalau sedang ziarah ke Sumenep. Sesudah istirahat semalam, keesokan harinya sesudah makan pagi, empat mobil langsung tancap gas menuju Pantai Lombang. Mobil pertama saya kemudikan sendiri, mobil kedua dikemudikan oleh Tacok, adik laki-laki tertua isteri saya, mobil ketiga dikemudikan oleh Itok, adik laki-laki nomer 6 dan mobil terakhir dikemudikan oleh Kilik, adik laki-laki nomer 4. Semua tidak mengandalkan ‘co-pilot’. Identitas para pengemudi ini perlu saya jelaskan, karena nanti akan terjadi sebuah peristiwa ‘misterius’ yang nyaris tak masuk akal. 

Terletak sejauh 30 kilometer lebih dari kota, Pantai Lombang adalah pesisir laut Jawa di pulau Madura. Tempat rekreasi yang mulai digarap untuk wisata pantai dan laut. Ternyata memang cukup diminati oleh wisatawan domestik. Disitu sudah tersedia perahu layar dan perahu motor untuk disewa mengelilingi pantai. Ada panggung kesenian untuk menampilkan atraksi pada setiap hari libur. Kios cindera mata dan makanan juga tersedia lengkap. Dipantai ini terdapat banyak sekali tanaman hias jenis ‘cemara udang’. Tanaman yang mahal harganya ini tampak dibudidayakan dan dijual disepanjang jalan menuju pantai.
Kurang lebih baru sekitar satu jam lamanya kita menikmati keindahan pantai Lombang, ketika tiba-tiba terdengar suara gaduh. Ternyata Tacok terserang diare sangat berat. Di siang hari yang panas terik itu dia sudah berulang kali keluar masuk jamban yang ada dipantai. Akhirnya dia pingsan kena dehidrasi.  SATU sopir robohBuyar semua rencana wisata. Saya putuskan untuk segera balik kekota Sumenep. Posisi Tacok sebagai driver diambil alih oleh istri Kilik yang pandai menyopir. Empat mobil segera ngebut pulang. Baru kurang lebih setengah perjalanan ketika Kilik teriak-teriak lewat HT minta konvoi berhenti. Perasaan hati saya mulai tidak enak. Saya memutuskan berhenti didekat sebuah masjid dipinggir jalan. Sekarang giliran Kilik yang terkena sakit perut akut. Sudah DUA sopir tumbang. Bahaya nih. Selesai menuntaskan hajatnya,  Kilik berkeras tak mau digantikan. Konvoipun melanjutkan perjalanan. Beberapa kilo menjelang masuk kota, saya merasa perut saya mulai berontak. Gawat. Masak sakit perut mendadak ini hanya menyerang para pengemudi? Para penumpang semuanya baik-baik saja! Pikiran saya melayang ke nasi rawon kemaren. Akan tetapi andaikan salah makan, atau keracunan makanan, pasti semua akan terkena. Giliran saya yang teriak minta mampir kerumah saudara yang terdekat dari jalan raya yang dilalui. Saya sudah tak tahan lagi. Belum sempat memarkir mobil, saya sudah ‘terbang’ menuju kamar kecil. Perut rasanya seperti diaduk-aduk. Perih dan melilit. Tetapi yang keluar hanya cairan. Sekarang TIGA sopir sudah jadi korban. Tinggal Itok yang masih segar bugar. Tapi belum selesai saya menuntaskan hajat, saya dengar Itok minta ijin mendahului pulang ke penginapan. Katanya perutnya juga sudah mulai terasa tidak karuan. Astagfirullah….kini lengkap sudah EMPAT sopir roboh terkena serangan penyakit misterius dan ‘aneh’ itu. Saya putuskan bergegas kembali ke penginapan. Isteri saya berkeras agar anak laki-laki saya yang ganti mengemudi. Selama ini saya tidak mengijinkan anak laki-laki saya mengemudi mobil selama masih ada saya. Walaupun dia ahli menyetir pesawat terbang, tidak berarti dia juga ahli menyetir mobil. Jelas saya jauh lebih pengalaman karena sudah menyetir mobil ketika dia masih ingusan. Siang itu saya menyerah. Posisi pengemudi diambil alih anak laki-laki saya. Sampai di penginapan empat orang pengemudi terkapar dikamar masing-masing. Masih terus pulang pergi kekamar kecil. Adik ipar saya yang dokter gigi sibuk perintah sana sini untuk mengendalikan situasi. Seluruh toko di Sumenep di-ubek untuk mencari minuman ‘pocari’ guna mencegah dehidrasi yang lebih parah.

Gara-gara melupakan “Asta Tengki” ?


Prasasti Makam Asta Tinggi

Acara pada malam hari itu sebetulnya adalah malam silaturahim. Pertemuan dengan seluruh keluarga besar ayah mertua dan para sesepuh yang masih ada dikota Sumenep. Bahkan ada yang datang dari kota Pamekasan dan Sampang. 
Sewaktu mendengar kisah tentang “robohnya (empat) sopir kami”, salah seorang paman yang paling sepuh mendekati saya yang masih dalam kondisi badan lemah, lesu, lemas. 
Beliau bertanya dengan wajah serius:
”Sudah sowan (datang menghadap) ke ‘Asta Tengki’ nak?” Saya terperangah. Tak kuasa menjawab, karena kenyataannya memang kita satu rombongan belum melakukan ziarah kemakam para leluhur itu. Tak sengaja saya teringat pesan almarhum ayah mertua. Apabila anak cucu keturunan para bangsawan Keraton Sumenep datang ke kota Sumenep, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah ziarah kemakam Asta Tinggi atau Asta Tengki. Sesudah itu mereka baru boleh pergi kemana saja sesuka hati.
Masya Allah, padahal yang kita lakukan pertama kali sewaktu datang ke Sumenep tadi pagi justru berwisata ke Pantai Lombang! Apakah robohnya para sopir alias pengemudi adalah karena melanggar 'wewaler' (aturan berupa pantangan) yang tak tertulis itu? 
Wallahu a’lam.

“Asta Tinggi” makam para bangsawan Sumenep.

Terletak diketinggian sebuah bukit dikelurahan Kebon Agung, Kecamatan Kota Sumenep, makam para bangsawan dan leluhur Keraton Sumenep ini konon dibangun pada tahun 1750 M. Letaknya ditanah yang tinggi itulah yang barangkali lalu menjadikan makam itu dinamakan “Asta Tinggi” atau “Asta Tengki” (bahasa Madura). Lokasi makam ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dinamakan Kubah “Bindoro Saud”, yang kedua komplek makam “Panjang Jimad” dan yang paling belakang dinamakan Pemakaman “Pangeran Panji Pulang Jiwo”.
Ada tata tertib khusus apabila ingin berziarah di makam Asta Tinggi. Selain harus mengisi buku tamu disetiap komplek makam, para peziarah harus mulai kunjungan dari komplek paling belakang yaitu komplek pemakaman “Pangeran Panji Pulang Jiwo”. Kemudian baru melangkah ke makam “Panjang Jimad” dan terakhir ke Kubah “Bindoro Saud”.
Konon menurut kisah penduduk sekitar makam, masih sering terjadi hal-hal misterius dan aneh disekitar makam Asta Tinggi ini. Diantaranya adalah sinar yang keluar dari salah satu batu nisan yang ada di dalam komplek makam itu dan meledaknya sebuah makam yang sampai kini tidak diketahui pasti apa penyebabnya.
Makam Asta Tinggi dan Keraton Sumenep menjadi bukti sejarah adanya bangsawan keturunan Raja Jawa yang pernah berkuasa di pulau Madura. Tidak heran bahwa penduduk Sumenep rata-rata lebih halus tutur kata dan perilakunya dibanding penduduk kota lain dipulau garam yang kering dan panas itu.
Wallahu a’lam bissawab.


Catatan:
(Believe it or not. Boleh percaya boleh tidak, ketika mencoba mengunggah tulisan ini kedalam blog, kebetulan tepat pada hari malam Jum'at, mendadak komputer pribadi (PC) saya ngadat. Mati dengan sendirinya sambil meninggalkan pesan dilayar "No signal detected". Kemudian mendadak restart (hidup kembali) sendiri. Sewaktu sudah berhasil masuk ke blog, PC sekali lagi mati sendiri. Begitu berulang-ulang, sampai pagi hari!. Akhirnya saya terpaksa mengunggah lewat laptop, tapi tanpa dokumentasi foto. Tukang service komputer yang saya panggil tidak berhasil menemukan virus atau kerusakan apapun dalam CPU komputer saya. Sampai saat anda baca tulisan saya ini)

NB: Dua Minggu kemudian kerusakan baru terdeteksi. Setelah diganti beberapa part dan software system nya baru CPU bisa bekerja normal kembali. Ternyata kerusakan memang ada pada CPU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar