Selasa, 04 Oktober 2011

"SUKSESI, TIRANI DAN ANARKI"


Tulisan lepas:



Arca Ken Dedes (Prajna Paramita)

Released by mastonie on Tuesday, October 4, 2011 at 9.35 pm

(Halilintar menggelegar disiang ‘ndrandhang’ yang panasnya menyengat di
Desa Lulumbang ketika lelaki tua dengan keris tertusuk di
dadanya itu bersumpah: ”Demi Sang Hyang Widhi, keris ini
akan mencabut sapta -tujuh- atma, termasuk dirimu Arok!!”. Ia menunjuk lelaki
muda perkasa yang berdiri mengangkang diatas tubuhnya.  Empu Gandring yang sakti
kini berlumur darah, tamat riwayatnya oleh keris buatannya sendiri
dan lelaki desa bernama Ken Arok itu hanya menyeringai penuh arti
mencabut keris dari dada korbannya yang tak bergerak lagi
dan berlalu. Dikepalanya sejuta rencana keji telah tertata rapi……..…)

kutipan dari narasi mastonie: ‘Arok dan Dedes’

Kisah sebuah keris pusaka bernoda darah pembuatnya….

Sengaja saya kutipkan narasi diatas untuk memberikan gambaran bahwa sejak dahulu kala sejarah bumi Nuswantoro (Nusantara, sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah bangsa) telah penuh gelimang noda dan berlumuran darah.
Kisah Ken Arok yang tertulis dalam kitab ‘Pararaton’ menjelaskan hal tersebut secara gamblang. Pengkhianatan, kecurangan, kelicikan, perselingkuhan, kebohongan, intrik dan dendam tak berkesudahan.
Sejatinya bukan hanya keris Gandring yang mengandung kutukan pembuatnya itu yang menjadi penyebabnya. Tetapi yang utama adalah nafsu aluamah yang menguasai pemilik keris (perlambang dari kekuasaan). Itulah yang merajut semua kisah tentang sebuah sejarah anak bangsa dari abad lampau yang begitu kelam.

Konon Keris buatan Empu Gandring tersebut adalah keris ber luk satu (lurus) dengan dapur Tilam Upih dan pamor tiban.
Tujuh nyawa manusia telah terbukti hilang menjadi 'korban' keris bertuah itu. Dan terjadi dalam sebuah kurun waktu yang nyaris meluluh lantakkan sebuah dinasti dari sebuah kerajaan yang pernah punya nama besar di Tanah Jawa, bahkan di Nusantara.
Kisah berawal dari niat Ken Arok menikahi Ken Dedes, wanita cantik putri seorang Pendeta Budha bernama Mpu Purwa dari desa Panawijen. Tersiar kabar bahwa Dedes adalah seorang wanita yang kelak akan melahirkan raja raja besar ditanah Jawa. Oleh sebab itu ia mendapat julukan Ardha Nareswari (konon ditandai dengan betisnya yang bisa mengeluarkan cahaya). 
Akan tetapi wanita ayu berkharisma  itu telah menjadi isteri dari Akuwu (Awuku?, Kepala Daerah Perdikan) Tumapel bernama Tunggul Ametung. 
Arok tega membunuh Empu si pembuat keris pusaka yang dipesannya karena merasa pembuatan keris itu terlalu lama. Tidak lain karena dia harus mengejar tenggat waktu membunuh lelaki yang menjadi suami wanita yang diincarnya.
Maka dengan keris ‘terkutuk’ itu pulalah Tunggul Ametung menemui ajalnya.
Setelah menikahi Ken Dedes, nafsu angkara murka Arok makin menjadi. Tak cukup menjadi Akuwu di Tumapel, ia bersekutu dengan para Brahmana menyerang kerajaan Daha (Kediri), yang dipimpin oleh Raja Kertajaya. Pada pertempuran didesa Ganter tahun 1222, Ken Arok berhasil mengalahkan dan menduduki Kerajaan Daha.
Arok kemudian mengangkat dirinya sebagai raja bergelar “Sri Rangga Rajasanagara Amurwabhumi”, dan nama Dahapun digantinya menjadi Singhasari  (Singasari).
Tak ada Raja yang tak punya ‘selir’. Maka Ken Arok pun menikahi Ken Umang untuk dijadikan selirnya. Inilah bibit kebencian yang disulutnya sendiri. Terbakar api cemburu dan dendam, Dedes bercerita kepada Anusapati (anak lelaki yang lahir dari perkawinan dengan Tunggul Ametung) perihal siapa sebenarnya pembunuh ayahnya.
Dendam membara berkobar seketika. Anusapati berhasil mencuri keris pusaka ayah tirinya sekaligus menghabiskan riwayat Raja Singasari yang pertama itu (tahun 1247), melalui orang kepercayaannya yang bertindak sebagai   eksekutor bernama Ki Pengalasan. Eksekutor malang ini kemudian juga dibunuh oleh Anusapati dengan keris yang sama untuk menutup rahasia.
Suksesi berdarah lewat senjata pusaka: ”Keris (buatan Empu) Gandring” terus terjadi. Pada tahun 1249 Anusapati dibunuh oleh Tohjaya, adik tirinya (anak Ken Arok dan Ken Umang). Akan tetapi satu tahun kemudian (1450) Tohjaya tewas pula diujung senjata bertuah buatan Empu nan sakti dari desa Lulumbang itu. Ia dibunuh oleh anak Anusapati yang bernama Ranggawuni, yang kemudian naik tahta sebagai raja Singasari dengan gelar Wisnuwardana. Ia memerintah sampai dengan tahun 1272.
Pada tahun 1292 saat  sedang diperintah oleh Raja Kertanegara, Singasari diserang oleh keturunan Raja Daha Kediri yang bernama Jayakatwang. Ia bersekutu dengan Arya Wiraraja (Bupati Madura) untuk membalas dendam atas kematian Raja Kertajaya yang dibunuh oleh Ken Arok. Singasari berhasil dikalahkan dan Raja Kertanegara terbunuh  pada pertempuran yang sangat sengit itu. 
Maka tamatlah sudah Kerajaan Singasari.
Sepanjang masa kejayaan Singasari (1222 – 1292) yang hanya tujuh dasawarsa itu telah terjadi suksesi yang dihiasi dengan aroma dendam, kekerasan, bahkan bunuh membunuh antar keluarga dan antar musuh bebuyutan.

Asal mula ‘budaya’ anarki dan pertumpahan darah

Tampaknya memang tak ada suksesi (pergantian kekuasan/tampuk pimpinan) kerajaan di tanah Jawa (dan tanah lainnya diluar Jawa) yang sepi dari tindak tirani (penguasa diktator, tangan besi). Suksesi yang selalu menyulut anarki (kekacauan, huru hara) dan penuh dengan  pertumpahan darah.
Kitab dan buku lain seperti ‘Babad Tanah Jawa’, ‘Negara Kertagama’ dan sebagainya menceriterakan kisah yang secara garis besar hampir sama.
Bukan hanya pertempuran antar sesama anak bangsa. Tetapi cerita pertikaian antar sesama anggota keluarga monarki (kerajaan) lah yang selalu menjadi latar belakang kitab yang (akhirnya) menjadi rujukan sejarah bangsa Indonesia itu.
Suksesi  kerajaaan-kerajaan di Nusantara sangat jarang yang berjalan mulus. Apalagi kalau sang ‘petahana’ (pejabat lama) adalah seorang ‘tiran’.
Dapat dipastikan yang terjadi kemudian adalah pertempuran sengit penuh pertumpahan darah, yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda.
Perang tak lain adalah tindakan anarki dalam skala besar.
Ketika kemudian bangsa Belanda (selain Inggris dan Portugis) masuk dan mulai menguasai sejengkal demi sejengkal tanah subur di bumi Nusantara, maka politik ‘devide et impera’ (memecah belah dan menjajah, politik adu domba) semakin membuat runyam keadaan. Tak lain karena pemerintah kolonial Belanda menyebarkan virus permusuhan dengan cara kong kali kong. Juga hasutan yang beraroma intrik (konspirasi, kolusi) sangat kuat diantara para bangsawan penghuni kraton dan pengikutnya.
Sepanjang sejarah pendudukan bangsa asing di Nusantara, tak terhitung banyaknya pertempuran yang justru terjadi antara sesama penduduk pribumi.  
Bukan hanya karena ada yang ingin membebaskan diri dari penjajahan, namun terutama juga karena perebutan kekuasaan dan pengaruh yang di’kompori’ oleh sang penjajah. Kondisi tersebut memang dengan sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial, agar keadaan sosial politik dinegeri jajahan tidak pernah tenteram dan damai.
Intrik memang sengaja dihembuskan. Utamanya kepada para penguasa pribumi yang memerintah di kerajaan. Akibatnya timbul suasana saling curiga (bahkan antar keluarga) yang dapat memicu pemberontakan kapan saja.
Dan sejarah mencatat, tak pernah ada pemberontakan yang tanpa pertumpahan darah.
Itu sebabnya banyak kerajaan yang kemudian terpecah belah.
Sejak saat itulah selalu tercipta adanya dua kubu. Kubu yang pro (memihak) dan kubu yang kontra  (melawan) pemerintah penjajah. Tidak heran kalau kemudian banyak bermunculan “ular kepala dua”. Mata-matapun lahir dimana-mana.
Itulah sifat alamiah dan aluamah manusia yang hanya mementingkan kebutuhan pribadi dan golongannya sendiri.
Peperangan dan pemberontakan juga melahirkan sifat negatip manusia. 
Kekerasan dan sadisme adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah pertempuran.
Kita semua tahu bahwa kondisi anarki dan  chaos (kacau) seperti itu telah terjadi ratusan tahun lamanya dibumi Nusantara.
Maka tidaklah mengherankan jikalau hal yang bersifat negatip tersebut seolah telah berubah menjadi sebuah budaya!
Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan juga diwarnai pemberontakan dan pertumpahan darah antar sesama anak bangsa. Mulai dari "Peristiwa Madiun", PRRI, Permesta, DI/TII dan beberapa kali percobaan pembunuhan Kepala Negara (Bung Karno) serta usaha coup d'etat (kudeta) yang gagal..
Puncak dari perpecahan politik didalam negeri dimasa Indonesia merdeka adalah sebuah peristiwa yang menjadi sejarah hitam kelam bangsa Indonesia.
Terjadi pada bulan September 1965, konon menurut beberapa sumber, usaha kudeta yang disebut sebagai G-30-S/PKI (karena menurut sejarah Orde Baru kudeta itu didalangi oleh PKI), telah memakan korban ratusan ribu sampai jutaan jiwa manusia.
Chaos (huru hara) Nasional itu tidak hanya menghilangkan nyawa beberapa orang Jenderal TNI, tapi juga rakyat biasa yang mungkin saja tidak tahu apa-apa.

Wajar kalau kemudian timbul pertanyaan, apakah sifat negatip itu ternyata  terus melekat (karena sudah membudaya) sampai sekarang, walaupun bangsa kita telah merdeka selama lebih dari enam dasa warsa?

Wallahu a’lam bissawab.


3 komentar:

  1. pak toni, akibat peristiwa G30S bukan memakan korban ribuan jiwa, tapi jutaan jiwa. hal ini sudah pernah diakui sendiri oleh alm jend. sarwo edhie wibowo

    BalasHapus
  2. Maaf pak Anno, saya memang tidak melihat referensi lengkap tentang sejarah G30S. Yang terang saya juga tidak bermaksud mengecilkan atau melebih-lebihkan faktanya. Namun saya sangat berterima kasih mendapat masukan dari pak Anno. Masukan sangat berharga tentang fakta sejarah yang bahkan sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan para ahli sejarah. Saya akan edit kembali tulisan saya itu dengan masukan dari pak Anno.
    Terima kasih telah 'mampir' di blog saya.

    BalasHapus
  3. Mantap tenan materi sejarah mas Tonny.
    Dari segi sosial dan politik, Selama masih ada sumber daya yang diperebutkan di mana satu pihak mengeliminasi pihak lain konflik pasti terjadi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengelola konflik tersebut.

    Apakah Indonesia sudah mempuyai mekanisme pemecahan konflik: aturan bermain, ada wasitnya, apakah keputusan wasit dihargai. Lalu, apakah ada pihak-pihak luar yang mempunyai kepentingan di Indonesia?

    Jadi untuk memprediksi bagaimana Indonesia ke depan kita harus memperhtikan variabel-variabel ini.

    BalasHapus