Kamis, 05 Mei 2011

"MASJID KUCING DAN TAWAF IFADAH 'SILENT OPERATION'...."


(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)

( 14 )
 

Kota Mekah dilihat dari atas


Released by mastonie on  Thursday, May 5, 2011 at 11.05 pm



Masuk kota Mekah lagi

Semalaman tidur saya tidak nyenyak. Ketika bangun untuk shalat Subuh berjamaah, saya mendapati wajah yang sembab terbayang dikaca wastafel kamar mandi. Persis seperti mahluk yang berasal dari planet lain. Tapi badan rasanya sudah agak lumayan. Ini pasti khasiat dari ‘kerokan’ tadi malam. Jadi sehabis shalat Subuh saya paksakan diri untuk mandi. Tak usah khawatir, di daerah manapun di Arab Saudi, air panas tersedia cuma-cuma. Tak perlu repot pasang water heater, ditanah Arab semua tandon air  otomatis akan memanaskan air dengan tenaga matahari. yang bersinar sangat terik 
Jadi tinggal putar kran, air panas atau hangat langsung ngocor.
Sambil menanti saatnya masuk kota Mekah (lagi), istri saya rupanya menyempatkan diri keluyuran disekitar pemondokan transit didaerah Aziziah itu bersama teman-temannya dari bus 3 dan bus 4. Sepanjang jalan katanya banyak kios dan lapak pedagang yang berjualan segala macam barang keperluan sehari-hari. Termasuk makanan dan buah-buahan.
Rupanya Allah Swt telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim a.s. yang bunyinya:
"Rabbij'al haadzaa baladan aaminan warzuq ahlahu minatstsamaraati man aamana minhum billaahi wal yaumil'aakhiri"  QS 2:126.
(Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rejeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian).
Ditanah Arab yang nyaris tak sebatang pohon buahpun bisa tumbuh (kecuali kurma), kini hampir semua jenis buah dari mulai jeruk, pisang, anggur sampai buah kiwi dan lain-lain dapat dijumpai dijajakan dimana-mana dengan harga sangat murah. Rata-rata hanya sekitar 5 real sekilonya  (kecuali buah kurma yang justru harganya malah sangat mahal).
Sesudah shalat Ashar, rombongan bus 3 dan 4 diberangkatkan menuju kota Mekah al-Mukaromah. Senja turun dengan cepat sekali. Jalanan kota Mekah tampak macet dimana-mana. Suasananya mirip ketika pertama kali rombongan masuk dari kota Jeddah beberapa hari yang lalu. Beberapa ruas jalan ditutup oleh Askar. Jadi bus harus berputar-putar mencari jalan yang terdekat kelokasi hotel. Untung sopir bus nomer 4 adalah seorang mukimin (orang yang sudah lama menetap di Arab) asal Indonesia. Jadi dia terpaksa menahan diri tidak marah-marah, karena para penumpangnya mengerti sumpah serapahnya (barangkali).
Saya merasa tidak asing dengan kota Mekah dan arus lalu lintasnya. Bagaimanapun ini adalah untuk ke empat kalinya saya berkunjung kekota haram ini. Tapi kota Mekah tetap saja membuat saya pangling. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tampaknya tidak pernah berhenti membangun kota. Termasuk Masjidil Haram yang semakin besar dan indah.
Akhirnya bus terpaksa berhenti juga. Karena sudah tak ada akses jalan lagi yang terbuka untuk lebih mendekat kearah Masjidil Haram. Waktu sudah mendekati Magrib.
Dengan sempoyongan saya turun dari bus lalu berusaha mencari hotel yang kata pendamping dari Anubi, terletak tidak jauh lagi. Menurut buku petunjuk, penumpang bus 3 bermalam di hotel Sheraton, sedangkan penumpang bus 4 mendapat jatah bermalam dihotel Grand Saraya. Letak kedua hotel ini berdekatan, hanya terpisah satu blok saja. Diantara keduanya terdapat pertokoan semacam plaza yang berjualan segala macam barang.
Sambil berjalan perlahan hati saya berdebaran. Dikejauhan sudah tampak menara Masjidil Haram yang berkilauan ditimpa sinar lampu sorot terang benderang.
Subhanallah, Alhamdulillah.
Ini berarti lokasi hotel tidak terlalu jauh dari Masjidil Haram.


Masjid Meong eh Kucing dan Pasar Seng….

Tiba-tiba adzan magrib berkumandang. Terdengar sangat dekat sekali ketelinga saya.
Saya tersentak. Rupanya ada sebuah masjid disekitar tempat saya berdiri. Tidak terlalu besar bangunannya, tapi lumayan bagus bentuknya. Saya heran, bagaimana mungkin dalam radius begitu dekat dari Masjidil Haram ternyata masih ada sebuah masjid (kecil) juga?

Masjid Kucing
Menurut penduduk setempat, masjid itu disebut dengan nama “Ar-Royah” atau ada juga yang menyebutnya sebagai masjid “Abu Hurairoh”, karena konon disitulah dulu terletak rumah sahabat Nabi yang paling banyak menghafal Qur’an dan hadits itu. Dan konon karena sahabat itu sangat menyukai kucing, Rasulullah Saw memanggilnya dengan sebutan “Abu Hurairoh” (artinya Bapaknya Kucing). Itu sebabnya konon (hanya khusus) jemaah haji Indonesia  lalu menyebut masjid itu dengan nama “Masjid Kucing”. 
Walau kini tak ada seekor kucingpun yang tinggal indekos di masjid itu.
Namun menurut kabar burung ada cerita versi lain lagi mengenai sejarah Masjid Meong eh, Kucing ini. Wallahu ‘alam bissawab.
Terletak sekitar 200 meter, dari Pintu Marwah Masjidil Haram (karena pintu Babussalam sudah ditutup dengan tembok), Masjid Kucing berada persis diujung “Pasar Seng”, pasar yang namanya juga sangat akrab dan melegenda dikalangan jemaah haji Indonesia.
(Menurut perasaan saya jaraknya malah kurang dari 200 meter, karena tak sampai dua menit berjalan kaki dengan cepat dari hotel).

 Hotel Grand Saraya berada dibelakang Masjid kucing
Hotel Grand Saraya persis berhadapan dengan bagian belakang Masjid Kucing. Dipisahkan sebuah jalan yang seperti lorong kecil saja. Saya berdua dengan istri mendapat kamar  dilantai 3. Jadi bisa dengan bebas menikmati pemandangan Pasar Seng dari jendela kamar.
Siapa yang akan menyangka, bahwa pada musim haji tahun inilah rupanya (tahun 2007) saat saat terakhir jemaah haji bisa memasuki, melakukan transaksi tawar menawar dan merasakan hingar bingarnya Pasar Seng yang legendaris itu.
Dalam rangka perbaikan pelayanan kepada jemaah haji, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah berencana untuk memperluas radius pelataran Masjidil Haram hingga sejauh 300 meter. Oleh sebab Pasar Seng (termasuk hotel-hotel berbintang disekitarnya) berada kurang dari 300 meter jauhnya dari Masjidil Haram, maka semua bangunan itu tak terkecuali, mau tidak mau harus dirobohkan! Tidak ada yang bisa berkelit dari titah Sang Raja.
Itu berarti saya juga tak akan dapat melihat Pasar Seng dan hotel Grand Saraya lagi seandainya Allah Swt masih berkenan mengundang saya kembali ketanah suci.
Saya merasa sangat sedih dan juga kehilangan, setidaknya telah tiga kali saya datang dan menjelajahi Pasar yang menjual segala macam pernak pernik yang sangat khas itu. Seingat saya, nyaris lebih dari sepertiga  cinderamata dan oleh-oleh untuk kerabat dan handai taulan, saya beli di Pasar Seng. Beberapa barang diantaranya saya beli melalui tawar menawar yang super seru. 
Itu sebabnya limabelas tahun yang lalu (tahun 1992) saya pernah mendapat julukan dari teman-teman sesama haji sebagai “Boss Shopping”. Tidak lain karena saya dianggap bagai “the Negosiator” (ahli negosiasi) alias jagonya menawar.
Mungkin kelak kemudian hari saya hanya bisa menceriterakan saja kepada anak cucu, bahwa dahulu pernah ada sebuah pasar di kota Mekah yang berada didekat dipelataran Masjidil Haram dan bernama “Pasar Seng”.

Menjalankan tawaf ifadah dengan diam….

Rukun haji yang harus dilaksanakan sesudah melempar Jumroh adalah melakukan Tawaf Ifadah. Biasa disebut juga sebagai Tawaf Rukun. Karena apabila tawaf ini ditinggalkan bisa mengakibatkan batalnya haji.
Sesudah check in, sholat Magrib (terpaksa dilakukan dalam kamar masing-masing) dan makan malam, maka seluruh jemaah haji Anubi segera dipersilakan untuk melakukan Tawaf Ifadah pada malam hari itu juga. Dengan kondisi kesehatan yang belum pulih benar, saya harus berangkat melaksanakan tawaf rukun ini.
Saya dan istri memutuskan untuk ikut dalam rombongan yang dipimpin seorang pendamping ibadah haji Anubi yang berasal dari Madura. Beliau adalah seorang Kiai yang mempunyai pondok pesantren cukup terkenal didaerahnya.
Lebih dari sepuluh pasang (suami istri) jemaah haji yang ikut dalam rombongan itu.
Sesudah melakukan shalat Isya berjamaah yang diimami oleh Pak Kiai  (karena waktu shalat Isya berjamaah dengan Imam Masjidil Haram sudah terlewati), maka mulailah rombongan berjalan beriringan menuju Ka’bah untuk melakukan tawaf.
Setiap jemaah haji dilengkapi dengan buku panduan bacaan doa yang harus dibaca pada setiap rukun dan wajib haji yang dikerjakan. Itu semua karena hampir tidak mungkin dapat menghafalkan seluruh doa yang harus dibaca. Bahkan para mutawwif (pemimpin/pembimbing tawaf) saja juga masih tetap membaca doa dari buku. Kecuali barangkali beberapa orang mutawwif yang memang sudah sangat ahli dan hafal karena sering melaksanakan ibadah haji.

Suasana Tawaf disekeliling Ka'bah
Selain buku panduan, saya sendiri melengkapi diri dengan sebuah alat pemutar khusus doa Umroh dan Haji yang berupa kotak kecil bertenaga baterai dengan alat pendengar (headset) stereo yang sangat praktis. Karena stereo, maka ujung alat pendengar terbagi dua (kiri kanan), sehingga saya dan istri bisa mempergunakannya bersama-sama. Sayangnya pada saat melaksanakan tawaf ifadah malam itu, karena desakan waktu dan tergesa-gesa, saya lupa membawa peralatan tersebut. Untung buku panduan selalu ada dalam tas pinggang saya.
Selama ini (sesuai dengan latihan pada saat manasik haji) apabila jemaah melakukan tawaf berombongan yang dipimpin oleh seorang mutawwif, maka jemaah tinggal menirukan saja setiap doa yang dibaca oleh sang mutawwif. Saya lihat hampir semua jemaah yang tawaf berombongan dari berbagai Negara juga melakukan hal yang sama. Bahkan tak jarang ada yang mutawwif nya membaca doa dengan suara sangat keras, sehingga mudah diikuti oleh jemaahnya. Itulah yang membikin suasana tawaf seolah bergemuruh dengan bacaan doa.
Sewaktu rombongan memulai tawaf dari arah Hajar Aswad dengan meneriakkan kalimat: “Bismillahi Allahu Akbar” 3 kali sambil mengangkat tangan melambai kearah batu hitam itu, saya terkejut. Pak Kiai yang bertindak sebagai mutawwif ternyata tidak memimpin membaca doa seperti yang biasa dilakukan para mutawwif yang lain. Beliau hanya diam saja sambil terus berjalan.
Saya saling berpandangan dengan istri dan teman-teman lain yang ada dibelakang. Semua heran.
Tapi tidak ada seorangpun yang berani mengingatkan. Jadi semua juga hanya diam saja sambil terus berjalan mengekor dibelakang Pak Kiai. Lalu saya putuskan untuk membaca sendiri semua doa di buku panduan. Dengan suara lirih sekali tentu saja. Kalau saya membaca doa dengan suara keras, jangan-jangan malah saya yang disangka mutawwifnya! Saya bukan Kiai jeeee..... Kan tidak lucu.
Maka jadilah malam itu kita melakukan tawaf ifadah dengan gaya ‘silent operation’.
Masing-masing membaca doa sendiri dengan suara lirih atau bahkan hanya dalam hati.
Lha Pak Kiainya juga memberi contoh seperti itu……


bersambung……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar