Rabu, 25 Mei 2011

"MADINAH.....KOTA YANG BERCAHAYA...."



(cuplikan dari: “kisah2 spiritual” mastonie)

( 18 )

 Masjid Nabawi


Released by mastonie on Tuesday, May 25 , 2011 at  4.13 pm


Jadi jemaah terakhir yang pulang dari Masjidil Haram…..


Berjalan pulang kembali kehotel saya merasakan gejolak perasaan yang berkecamuk penuh ‘warna’. Hari ini harus saya tinggalkan kota Mekah. Tidak lagi bisa ditunda karena saya sudah menjalankan Tawaf Wada’ (tawaf perpisahan). 
Ketika berdoa sesudah shalat sunah dua raka’at didepan Multazam, saya memohon belas kasih Allah SWT agar kesempatan ini bukanlah kesempatan yang terakhir bagi saya dan istri untuk pergi ketanahNya yang suci, tanah haram. Saya juga mohon berkah keselamatan dan keteguhan iman bagi seluruh keluarga besar saya serta mohon hidayah agar mereka tergugah hatinya untuk bersegera datang ketanah suci ketika telah mampu. Ini yang membuat saya tak kuasa menahan menitiknya air mata.  
Sesampainya dipelataran hotel saya mendapati rekan-rekan jemaah yang sudah ‘siap tempur’ hijrah ke kota Madinah. Sebagian besar bahkan sudah berada didalam bus. Empat buah bus yang disediakan pun sudah menghidupkan mesinnya! Rupanya saya dan istri adalah pasangan jemaah terakhir yang ditunggu-tunggu kedatangannya dari Masjidil Haram. 
Tak terhindarkan olok-olok dan celotehpun bermunculan:
”Kesiangan nih yeeeee…” 
Ooooo….korban tahalul qubro…” dan lain-lain dan sebagainya. 
Meski wajah merah tersipu-sipu, tapi saya berusaha santai dan tenang saja. Mereka toh tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi tadi pagi, ketika saya dan istri nyaris tak dapat mengendalikan diri buang angin sehingga harus kembali dulu kehotel.
Saya pandangi Hotel “Grand Saraya” dan Masjid Kucing bergantian. Ada rasa getun (sedih dan kecewa) membayangkan perluasan Masjidil Haram yang akan ‘memakan korban’ seluruh bangunan dalam radius sekitar 300 meter dari Masjidil Haram. Termasuk dua bangunan besar ini. Bahkan Pasar Seng (konon katanya) juga akan diratakan dengan tanah.  Jadi seandainya pada suatu hari nanti saya mendapat ijin dari Allah Swt untuk kembali mengunjungi tanah haram ini,  maka kemungkinan besar saya sudah tidak dapat menyaksikan bangunan hotel, pertokoan dan hiruk pikuknya Pasar Seng yang dimulai dari ujung Masjid Kucing ini.


Hijrah ke  Madinah lewat jalan tol bernama “Hijrah”….

Sekitar pukul setengah sepuluh pagi waktu Mekah, empat buah bus yang berisi sekitar seratus dua puluhan jemaah haji Anubi bertolak ‘hijrah’ menuju kota Madinah al-Munawaroh.  Saya dan istri tetap menjadi penumpang di bus nomor empat. 
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah membangun jalan raya tol yang menghubungkan kedua kota suci di Arab Saudi. Diberi nama Jalan Tol “Hijrah”, jalan raya lebar dan mulus dengan lapisan aspal hot mix yang melewati padang bebatuan tandus itu membentang nyaris sepanjang sekitar lebih dari 442 kilometer.  
Secara teori, dengan kecepatan rata-rata 80 – 90 km/jam saja, jalan tol sepanjang itu bisa ditempuh selama 5 atau 6 jam. Tapi pada prakteknya waktu tempuh itu ternyata susah dicapai. Apalagi pada saat musim haji dimana terdapat beberapa check point yang harus disinggahi. Askar yang bertugas di pos check point akan memeriksa dengan teliti semua kelengkapan administrasi jemaah yang berada dalam bus. Oleh sebab itu pemeriksaan bisa berjalan sangat lama, karena ratusan bus-bus besar berisi ribuan jemaah yang sama-sama menuju kota Madinah harus antri menunggu giliran diperiksa.
Begitu telitinya pemeriksaan dari Askar itu, sehingga apabila terdapat ‘penumpang gelap’ yang tidak jelas kelengkapan adiministrasinya, atau jumlahnya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam daftar penumpang, maka penumpang tersebut akan langsung dipaksa turun dari bus. 
Alkisah, kejadian naas dialami (lagi) oleh penumpang bus nomor 3, dua orang penumpangnya (kebetulan mereka adalah pembimbing ibadah) dipaksa turun dari bus. Entah kenapa nama mereka tidak tercantum dalam daftar penumpang. Sebetulnya sopir bus yang ditugaskan oleh Maktab biasanya sangat teliti. Dialah orang yang harus bertanggung jawab terhadap nasib para penumpangnya. Termasuk menyimpan semua dokumen perjalanan dan ijin yang dikeluarkan oleh Maktab. 
Sebelum berangkat biasanya si sopir akan menghitung jumlah penumpang dengan teliti sekaligus dicocokkan dengan daftar nama yang dia pegang. Dia tidak akan mau memberangkatkan bus jika masih ada penumpang yang belum naik bus. Dia juga tidak akan mau memberangkatkan kalau ada penumpang yang namanya tidak tercantum dalam daftar yang dia pegang. Tapi entah kenapa bisa terjadi kasus ‘penumpang gelap’ di bus nomor 3. 
Ternyata nasib sial masih dialami lagi oleh penumpang bus nomor 3. Radiator bus bocor. Jadi setiap beberapa puluh kilometer bus harus berhenti untuk mengisi air radiator. Bisa dibayangkan ditanah Arab yang gersang dan tandus seperti itu harus mencari air setiap saat. Memang ada pemberhentian semacam rest area di jalan tol Hijrah, dimana biasanya terdapat kantin, toilet umum dan mushola, tapi jaraknya sangat berjauhan.
Kisah memprihatinkan itu baru saya dengar dari dokter Naryo (salah seorang penumpang tetap di bus nomor 3) sewaktu sudah berada dikota Madinah. Saya menanggapinya dengan gurauan yang sangat populer ditanah suci:
“Ya semua itu memang tergantung ‘amal ibadah’ kita dok”. Maka dokter Naryo cuma bisa menanggapi komentar miring saya dengan tersenyum kecut……


Madinah kota yang bersih

Yatsrib adalah kota yang dipilih oleh Rasulullah SAW ketika harus meninggalkan kota Mekah. Setelah hijrah kekota ini, beliau mengganti nama kotanya menjadi Madinah al-Munawwaroh. Artinya Madinah yang bercahaya. Rasulullah sendirilah yang membuat batas atas kota ini, seperti yang telah beliau sabdakan:
“Batas Madinah adalah antara ‘Ayr dan Tsur, barangsiapa mengadakan hal yang baru, atau menempatkan sesuatu yang baru, maka atasnya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak akan menerimanya di Hari Kiamat” (HR. Muslim)

 Pemandangan kota Madinah al-Munawwaroh

‘Ayr dan Tsur adalah nama Jabbal (bukit) yang jaraknya satu sama lain sekitar 15 kilometer. Keduanya merupakan batas tanah suci kota Madinah disebelah selatan dan utara.
Dikisahkan pula bahwa ketika memasuki kota Yatsrib, saat itu sedang terjadi wabah penyakit.  Rasulullah kemudian berdoa untuk kota suci ini:  
“Ya Allah berikanlah kecintaan kami kepada Madinah, sebagaimana Engkau berikan kecintaan kepada Mekah, atau lebih besar dari itu. Bersihkanlah ia dan berkatilah kami dengan makanan dan bekalnya serta gantilah wabah penyakitnya dengan juhfah” (HR. Bukhari dari ‘Aisyah RA)

Rest area di jalan Tol 'Hijrah'
Alhamdulillah bus nomor 4 yang saya tumpangi bersama istri aman-aman saja meluncur di jalan bebas hambatan yang kinclong itu. Kemacetan hanya terjadi pada saat mendekati check point, setelah itu bus bisa melaju kencang. Pemandangan diluar jendela bus full AC itu memang harus saya akui agak membosankan. Dimana-mana yang terlihat hanya tanah tandus, bebatuan dan tanah yang kering gersang. Lebih menyenangkan melihat pemandangan di Tol Purbaleunyi (Cipularang). Apalagi jarak yang ditempuh menuju Madinah hampir 500 kilometer. Bersyukur bus berhenti disetiap rest area yang ada, jadi bisa beristirahat sejenak untuk melonjorkan kaki dan pergi ke toilet serta menunaikan sholat (walaupun diperbolehkan juga untuk menjamak atau mengqodo’ sholat karena termasuk sedang menjalani safar atau pergi jarak jauh).
Tabir senja sudah mulai turun ketika bus nomor 4 memasuki kawasan check point terakhir sebelum masuk kota Madinah. Berupa sebuah lapangan parkir yang sangat luas, disini terlihat ratusan bus besar yang sedang menanti sopirnya menyelesaikan urusan administrasi dengan  petugas. Memakan waktu hampir setengah jam lebih sebelum akhirnya bus menuju kota dimana Rasulullah SAW dimakamkan. 

Subhanallah, sungguh arif dan bijaksana Rasulullah memberikan julukan kota Madinah dengan sebutan “Al-Munawwaroh”, yang artinya kota yang bercahaya. Pada sore hari menjelang petang itu, kota Madinah tampak gemerlapan dengan cahaya. Apalagi ketika Masjid Nabawi tampak samar-samar dikejauhan. Menaranya yang menjulang tinggi terlihat anggun dan indah sekali. 
Berbeda dengan kota Mekah, Madinah sudah terlihat sebagai kota yang  ‘well-planned’. Terencana dengan baik, bangunan teratur rapi dengan jalan raya yang lebar dan mulus. 
Masjid Nabawi yang didirikan oleh Rasulullah nampak seperti sebuah ‘center point’ yang memukau. Dikelilingi oleh hotel-hotel ternama dan pertokoan yang diatur menjadi blok-blok seperti lazimnya kota modern. 
Kota Madinah agaknya juga menerapkan motto: ”Kebersihan adalah bagian dari iman”. Walaupun penuh sesak dengan jemaah yang berdatangan dari seluruh pelosok bumi, kota Madinah tetap tampak bersih. Bahkan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum dan taksi yang lalu lalang dijalanan tampak bersih berkilat. Secara teratur dan rutin mobil penyapu jalan beroperasi dengan jadwal yang tetap. 
Penduduk kota Madinah juga terlihat lebih santun dan lemah lembut tutur bahasanya. Situasi itu membuat pikiran  saya lalu  membandingkan dengan situasi kota Mekah yang (menurut pendapat saya pribadi) terlihat kurang teratur, kurang bersih dengan kendaraan pribadi maupun umum yang kotor dan kadang terlihat penyok-penyok di body nya. Setidaknya itulah yang saya lihat pada tahun 2007. (Konon setelah perluasan Masjidil Haram, kota Mekah al-Mukaromah kini sudah tampak lebih teratur dan bersih, semoga benar demikian adanya).


Masjid Nabawi
Turun didepan hotel persis ketika adzan Magrib bergema dari Menara Masjid Nabawi, saya terpana. 
Meski kali ini untuk yang ketiga kalinya saya datang ke Madinah, saya masih tetap ternganga……jadi inilah “kota yang bercahaya” itu. 
Padahal ketika Baginda Rasulullah SAW memberi julukan nama sekian abad lalu, listrik belum diketemukan.
.

bersambung……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar