Rabu, 03 Agustus 2011

"TENTANG HEWAN YANG SETIA"


Tulisan lepas:

(secuil kenangan pada hewan peliharaan dimasa kecilku)


Patung "Hachiko"

 
 released by mastonie, on Wednesday, August 3, 2011, at 9.15 am


Saya beruntung sekali mempunyai seorang Ibu yang pandai menyanyi dan mendongeng. Masa kecil saya penuh dengan “dongeng sebelum bobo”, yang selalu diceritakan ibu dengan penuh penghayatan. Saya (dan kakak perempuan saya satu-satunya) sering begitu terkesimanya sampai kadang terharu hingga menitikkan airmata mendengar dongeng Ibu, sebelum akhirnya jatuh terlelap ke alam mimpi. 

Kisah tentang kesetiaan seekor anjing.

     Ada beberapa dongeng yang betul-betul membekas sangat dalam disanubari saya sebagai balita, yang bahkan terpateri dalam ingatan sampai saat ini. Secara kebetulan saja dua diantara dongeng  mencekam itu mengisahkan tentang kesetiaan seekor anjing kepada majikannya.
    Dongeng pertama adalah tentang seorang wanita petani yang mempunyai seekor anjing kampung yang sangat setia. Ketika suatu waktu wanita tersebut melahirkan bayi perempuan yang sangat jelita, si anjing rupanya juga sangat suka kepada bayi tersebut. Hampir setiap hari anjing tersebut dengan setia berbaring disamping si bayi yang diletakkan diatas tikar dilantai rumah, seolah ingin menjaganya dari siapapun yang berniat jahat.

     Pada suatu hari wanita tersebut berniat pergi kepasar untuk membeli keperluan sehari-hari dan untuk keperluan bayinya. Dengan kepercayaan penuh kepada sang anjing, ditinggalkannya rumahnya untuk beberapa waktu. Alangkah kaget dan terkesiapnya wanita itu sewaktu pulang dari pasar  mendapati sang anjing sedang asyik mengunyah daging merah dengan mulut penuh dengan darah segar didepan pintu rumah. Dengan kalap sambil berteriak-teriak histeris wanita tersebut menghajar anjingnya yang sama sekali tidak melawan, dengan sebilah kayu sampai akhirnya si anjing tewas seketika.

     Penuh dengan perasaan cemas iapun berlari kekamar bayinya. Didalam kamar ia dapati bayinya tidur pulas dengan menyunggingkan senyum. Sehat wal afiat tak kurang suatu apapun. Disamping bayi itu  tergeletak bangkai seekor ular sanca sebesar lengan yang telah hilang kepalanya!
Kini wanita itu menjerit untuk yang kedua kalinya. Ia telah membunuh anjingnya yang setia, anjing yang telah menyelamatkan nyawa anaknya dari serangan seekor ular sanca. Wanita itu telah salah sangka terhadap anjing yang begitu setia dan perwira. Tapi penyesalan selalu datang terlambat dan tak ada gunanya.
Hachiko
     Dongeng kedua barangkali anda telah pernah mendengar atau bahkan menontonnya digedung bioskop. Yaitu kisah seekor anjing sangat setia bernama “Hachiko” yang bertahan bertahun-tahun duduk didepan sebuah stasiun kereta api menunggu kedatangan majikannya,  yang tidak akan pernah datang karena sang majikan telah meninggal dunia. Hachiko, anjing yang setia itupun akhirnya menemui ajalnya dalam sebuah badai salju, ia tewas ditempat sehari-hari ia duduk bersetia menunggu sang majikan.
     Untuk memperingati kesetiaan Hachiko (‘Hachi’ dalam bahasa Jepang artinya delapan, sebuah angka lambang keberuntungan), kini didirikan sebuah patung disebuah taman yang menggambarkan Hachiko yang sedang duduk setia menanti majikannya yang tak akan pernah tiba.

Anjing koq sebesar 'belo' (anak kuda)........



     Sewaktu berusia sekitar lima atau enam tahun, saya mendapat hadiah seekor anak anjing dari Pakde saya yang menjadi Wedana didaerah Demak. Umur anak anjing jantan itu barangkali baru beberapa minggu dan terpaksa dibuang karena induknya melahirkan anak terlalu banyak.
Berbulu warna cokelat terang, anak anjing ‘buangan’ itu tampak sehat dan lucu menggemaskan. Ekornya tak pernah berhenti dikibaskan jika ada yang mendekatinya. Gonggongannya kecil melengking dan sangat suka menggigit apa saja yang ditemuinya.  Nyaris semua bantalan kursi, kaos kaki, sandal dan sepatu kain (kets) serta ‘welcome’ (keset) dirumah kami jadi dedel duel, hancur berantakan.

Entah mendapat ide darimana, Bapak saya memberikan nama ‘Soni’ kepada anak anjing jantan itu. Padahal nama saya (satu-satunya anak laki-laki Bapak pada saat itu) adalah Tony!
Perkembangan tubuh dan keterampilan Soni ternyata sangat luar biasa. Walaupun induknya adalah seekor anjing ‘Gladaker’ atau anjing kampung biasa, tapi dengan  melihat bentuk dan ciri tubuhnya bisa saya pastikan bapaknya adalah seekor Herder. Jadi Soni adalah anjing “indo” (peranakan).
Ayah saya mendidik dan melatih Soni dengan keras, kalau tidak boleh saya katakan agak kejam. Namun hasilnya memang sangat menakjubkan. Anjing keturunan Herder yang aslinya merupakan anjing penjaga itu nyaris mengerti semua percakapan dan perintah orang kepadanya.
Kalau hanya perintah ‘duduk’, ‘berdiri’ atau ‘tidur’, itu masalah kecil baginya. Soni bahkan bisa mengacungkan kaki depan kanannya kalau dia diminta untuk memperkenalkan diri, tabik (menghormat sekaligus bersalaman) atau kalau dia mau meminta sesuatu. Soni juga mampu berdiri dengan  dua kaki belakangnya serta menguasai hampir semua kode yang diajarkan oleh Bapak saya.

     Umur satu tahun, badan Soni sudah setinggi anak kuda, dengan perawakan tegap, telinga mendongak keatas dan ekor berbulu tebal yang selalu dikibaskannya kalau ‘mood’nya sedang ceria. Kalau kami sekeluarga jalan-jalan keliling kampung Soni akan mengikuti dengan lari-lari kecil dibelakang atau didepan. Banyak orang yang ketakutan melihat postur tubuhnya begitu besar, seperti 'belo' (anak kuda). Padahal Soni sangat jinak. Kecuali jika instingnya mencium sesuatu yang ‘tidak beres’, ia akan menggonggong dengan keras. Gonggongannya dijamin akan membuat orang yang berniat jahat lari tunggang langgang.

     Kami keluarga yang sangat sederhana, jadi makanan untuk Soni juga tidak istimewa. Apa yang kami makan, itulah yang juga dimakan Soni. Yang sangat mengherankan, Soni sangat suka sekali makan ‘pohung’ (singkong) rebus. Kalau kebetulan Mbok Yem (nama pembantu ibu saya) sedang merebus singkong, dimanapun Soni sedang berada, dia akan langsung lari pulang kerumah. Dia akan duduk dan tak mau beranjak dari dapur sebelum diberi satu atau dua potong singkong rebus. Bahkan kadang dia meminta lebih. Soni akan duduk sambil mengacungkan kaki kanannya keatas, dengan mengeluarkan suara seolah merengek, sampai mendapat tambahan jatah ekstra lagi. 

Beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan.

     Rumah (sewa/kontrakan) keluarga saya pada saat Soni dihadiahkan kepada kami, adalah di kampung Bulu Setalan (bukan selatan) didaerah Lemah Gempal, dekat dengan pinggir Kali (sungai) Banjir Kanal Semarang. Setiap ada waktu luang, Bapak mengajar Soni untuk berenang dikali yang pada waktu itu airnya belum sekeruh dan sedangkal sekarang. Semua tetangga tahu kalau ada anjing yang pandai berenang dikali, itulah Soni anjing kami.

     Tetapi entah karena iri atau ada yang sakit hati karena niat jahatnya (mungkin) pernah digagalkan oleh Soni, maka dalam sejarah hidupnya, Soni pernah beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan.
Pada suatu pagi Bapak bangun tidur dan tidak menemukan sosok anjing setia itu dikandangnya. Tidak ada yang tahu kemana dia pergi, karena biasanya Soni tak pernah beranjak dari kandang pada malam hari. Selama ini kalau Soni tak berada dikandang, Bapak hanya berdiri diluar pagar dan berteriak: ”Soniiii!!”, maka tak butuh waktu lama Soni akan terlihat berlari pulang dan langsung menubruk dengan mengangkat kedua kaki depannya kebahu Bapak. Kalau tidak dilarang, dia akan menciumi wajah Bapak. Soni tak pernah berbuat begitu kepada saya, karena agaknya dia maklum, kalau dia berdiri mengangkat dua kaki depannya, maka dia jauh lebih tinggi dari tubuh saya yang belum genap berumur tujuh tahun.
Tiba-tiba ada beberapa tetangga datang memberitahu, bahwa mereka melihat Soni dengan tubuh penuh darah berlarian dari kali Banjir Kanal. Sontak kami sekeluarga panik dan mencari sambil meneriakkan namanya berulang kali. Ternyata kami dapati Soni tergeletak dipinggir rumah dengan tubuh bersimbah darah. Tak terdapat tanda kehidupan karena lehernya nyaris putus dengan luka menganga lebar. Pagi itu kami semua bertangisan. Tidak membuang waktu Bapak melarikan Soni dengan naik becak ke RST (Rumah Sakit Tentara) yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah.
Alhamdulillah, Soni bisa melewati masa kritisnya dan akhirnya bisa pulih kembali.
Bekas jahitan dilehernya akhirnya ditutup Bapak dengan sebuah kalung terbuat dari kulit dengan hiasan kenop logam berwarna putih mengkilat. Soni malah tampak jauh lebih gagah sekarang.

Jadi kurir dan bertahan tak mau pindah rumah.

     Sebelum saya beranjak besar, hubungan antara Soni dengan Bapak memang lebih akrab. Mungkin karena selama ini Bapaklah yang mengajar hampir semua keahlian yang dia miliki. Kemana saja Bapak pergi, Soni akan mengikuti. Bahkan kalau tidak dilarang, dia akan mengikuti sepeda Bapak sampai kekantornya di ”Lawang sewu” dekat Tugu Muda.
Suatu ketika Bapak jatuh sakit yang mengharuskannya di rawat di RST. Soni ikut kerumah sakit dan bertahan tidur dibawah ranjang dimana Bapak berbaring. Tak seorangpun bisa mengusirnya pergi. Dokter dan perawat di RST tidak ada yang berani menghadapi anjing yang sebesar 'belo”  itu.

     Pada jaman itu (pertengahan tahun 50 - 60 an) belum banyak sambungan telepon rumah. Apalagi telepon genggam. Tapi Bapak punya “kurir” khusus yang setia. Setiap membutuhkan sesuatu dari rumah, Bapak akan menulis surat, kemudian surat itu diletakkan dikalung yang ada dileher Soni. Dengan membisikkan perintah ketelinga Soni dan sedikit tepukan, maka anjing pandai itu akan melesat lari pulang kerumah dan langsung menemui Ibu sambil menggosok-gosokkan lehernya. Ibu tahu ada sesuatu dan kemudian akan menemukan surat Bapak. Itulah Soni, kurir sekaligus penjaga setia Bapak selama sakit.
     Menjelang masuk kekelas dua Sekolah Rakyat (SR), Bapak dan Ibu memutuskan pindah rumah kedaerah Tegal Wareng (kini Jalan Sriwijaya), didekat Kebun Binatang. Namanya kampung Genuk Krajan.
Kami pindah rumah secara berangsur-angsur dengan mengangkat perabotan memakai mobil dinas Bapak dan sebagian dengan becak. Jarak dari rumah lama di Bulu Setalan ke Genuk Krajan lumayan jauh. Mungkin sekitar 15 kilometer lebih. Semua berjalan dengan lancar sesuai rencana kecuali satu hal: Soni tidak mau beranjak dari rumah lama kami.

     Anjing setia itu bersikukuh kembali lagi kerumah lama walaupun sudah diangkut dengan becak kerumah baru. Dia menerobos keluar dari rumah baru dan lari kembali pulang kerumah lama. Hebatnya, dia bisa menemukan rumah lama kami walaupun jaraknya begitu jauh.
Dirumah lama itu Soni memilih tidur didepan pintu dan mengancam dengan menggeram siapa saja yang mendekati rumah yang sekarang sudah kosong itu! Dia mampu bertahan berhari-hari walaupun tak ada yang memberinya makan. Butuh kesabaran untuk bisa membujuk Soni pindah kerumah baru.
Ada beberapa kali dia terus saja ‘menghilang’ karena lari kembali kerumah lama. Setelah bekas rumah kami mendapatkan penghuni baru, akhirnya Soni baru mau menetap dirumah kami di Genuk Krajan. 

Soni diracun orang dan menghilang.

     Di kampung Genuk Krajan Soni menjadi anjing paling populer karena tubuhnya yang besar dan bukan anjing yang galak. Hanya jika insting binatangnya merasa ada orang jahat, Soni bisa berubah menjadi bengis sekali. Ia akan menggonggong berkepanjangan sampai salah satu dari kami (Bapak, Ibu, saya atau kakak saya) turun tangan menenangkannya.

     Dan di kampung Genuk Krajan  ini pula  terjadi usaha pembunuhan terhadap Soni untuk yang kedua kalinya. Saya sudah kelas 4 SR waktu pada suatu sore hari Soni pulang dari ‘ngeluyur’ dengan moncong berbusa. Tubuhnya basah kuyup dan ekornya melipat kedalam diantara dua kaki belakangnya. Dia seperti melolong pelan seakan minta pertolongan. Kami sekeluarga menjadi sangat bingung. Soni muntah-muntah disembarang tempat. Busa putih keruh terus saja keluar dari moncongnya. Matanya kuyu dan telinganya yang biasanya tegak berdiri, kini layu menggelayut.
Tetangga terdekat mulai berdatangan mendengar kegemparan yang terjadi dirumah kami. Mereka berkesimpulan bahwa pasti ada orang yang memberikan racun kepada Soni. Padahal Soni bukan jenis anjing yang mudah makan disembarang tempat. Secara teratur dia makan dirumah sehari tiga kali pada waktu yang selalu sama. Tentu kami heran ada orang yang berniat jahat kepadanya.
Ada tetangga yang akhirnya memberi saran untuk mencari air kelapa hijau guna menetralkan racun ditubuh Soni. Tapi Soni terus saja gelisah. Dia merangkak-rangkak disepanjang sisi rumah kami dan akhirnya tersungkur dan tergeletak dibelakang rumah. Beberapa orang tetangga membantu memasukkan air kelapa hijau kemoncongnya yang terkatup rapat tapi masih terus mengeluarkan busa.

     Malam itu kami sekeluarga tidur dengan gelisah. Saya mulai menangis karena sedih membayangkan akhir hidup Soni, anjing kami yang sangat setia dan luar biasa itu mengalami hal yang sangat menyedihkan.
Pagi harinya kami terbangun mendengar kegaduhan diluar rumah. Terdengar suara Mbok Yem, pembantu kami yang berulang kali memanggil nama Soni. Saya meloncat turun dari tempat tidur dan lari keluar menemui Mbok Yem yang tampak panik.  Soni sudah tidak ada ditempatnya lagi. Saya menangis sambil ikut meneriakkan nama Soni berulang-ulang.
Bapak langsung mengambil sepeda dan berusaha mencari keliling kampung sampai ke Genuk Karanglo dan sepanjang jalan Tegalwareng. Tapi Soni seperti raib ditelan bumi. Sepanjang hari itu saya terus menangis sampai mogok tidak mau berangkat ke sekolah. Hati saya sedih sekali. Bertahun-tahun Soni menjadi binatang yang selalu setia menemani kami, kini ada orang yang berniat jahat yang menyebabkan Soni menghilang dari rumah.
Bayangan jelek menghantui saya. Saya membayangkan Soni tertabrak mobil yang lalu lalang disepanjang jalan Tegalwareng, atau barangkali Soni tewas hanyut dikali karena tubuhnya sangat lemah akibat racun yang masuk ketubuhnya.

     Akhirnya Soni betul-betul tidak kembali lagi kerumah. Bapak berusaha sekuat tenaga untuk mencarinya dengan membuat pengumunan diradio dan memasang iklan kehilangan binatang peliharaan di Koran (sesuatu yang belum lazim dimasa itu). Tapi Soni tetap tak berhasil diketemukan.
Saya betul-betul merasa kehilangan dan terus meratapi kepergian Soni. Pupus sudah harapan saya bisa menemukan Soni kembali. 

Kejutan dipagi hari …..

     Beberapa bulan kemudian disuatu subuh yang udaranya dingin karena musim penghujan, terdengar suara garukan dipintu depan rumah kami. Garukan berulang dipintu depan itu berirama sangat khas.
Kami serumah hafal betul, itu adalah suara garukan kuku kaki Soni kalau dia minta dibukakan pintu. Tapi kali ini tanpa suara menggeram pelan seperti biasanya. Mbok Yem yang selalu bangun paling awal segera bergegas kepintu depan.
Dipagi yang masih gelap itu kami semua tersentak bangun dan meloncat turun dari tempat tidur ketika mendengar suara Mbok Yem berteriak-teriak nyaris histeris: “Ya Allah..Soni….Soni kamu pulang kembalii..!!!” Disusul suara ringikan anjing yang sudah sangat kami kenali.

     Kami berebut lari kepintu depan dan mendapati Mbok Yem sedang bergumul dilantai dengan Soni! Astagfirullah!! Saya seperti mimpi. Soni betul-betul kembali. Anjing peranakan Herder itu menghambur kearah kami sambil mengibaskan ekornya kekanan kiri. Tubuhnya kurus dan kulitnya kusam seperti anjing kampung yang tak terawat. Kami semua bertangisan bahna gembira.
Hari itu Soni dimandikan Ibu dengan air kembang setaman, sebagai bentuk ucapan syukur atas kepulangan Soni, anjing kami yang setia itu.

Siapa bilang anjing selalu jadi musuh kucing?

Kampung Genuk Krajan berada dilereng bawah daerah Candi, kota Semarang bagian atas (highland) yang kebanyakan dihuni orang-orang kaya, termasuk sisa-sisa warga Belanda yang akhirnya diusir oleh Pemerintah RI agar pulang kembali kenegerinya.
Saya mendapat ‘berkah’ dari kepulangan mereka. Suatu pagi saya mendapati seekor anak kucing terbaring lemah didepan pintu rumah kami. Berwarna abu-abu keperakan, bayi kucing berjenis kelamin jantan itu terlihat lain daripada kucing biasa. Ekornya berbulu lebat dan tampak mengembang kalau dia terusik.
Pada dasarnya sejak kecil saya suka merawat dan memelihara binatang. Jadi saya putuskan untuk merawat anak kucing malang itu. Saya tahu dirumah kami sudah ada Soni, anjing kami yang setia itu tentu akan merasa cemburu. Tapi pasti bisa diatur nanti.

     Walaupun dalam keadaan sangat tidak terawat, kucing jantan kecil ini berwajah manis sekali. Saya langsung memberikan nama untuknya: “Manis”. Secara naluri alamiah, konon anjing dan kucing tidak akan pernah bisa akur. Pada awal kedatangan si Manis, Soni juga sudah memperlihatkan rasa permusuhannya dengan menggeram ketika melihat saya sedang membersihkan tubuh bayi kucing itu sambil memberinya secawan susu hangat. Saya perintahkan Soni untuk duduk dan diam. Dia menurut dengan agak malas-malasan. Tapi sepanjang saya memberi minum Manis, Soni bisa diam meskipun matanya ‘ketap-ketip’ mengikuti semua gerakan saya. Untuk beberapa waktu Soni masih menggeram jika bertemu dengan Manis.

     Saya tak mengira Manis tumbuh dengan pesat. Kucing kecil itu sekarang bahkan berani menantang Soni dengan raungan meong kecilnya.  Mungkin dia merasa saya akan selalu melindunginya.
Akhirnya tampak bahwa Manis memang bukan kucing biasa. Jelas dia keturunan kucing Anggora. Bulu tubuhnya sangat lebat berwarna abu-abu putih keperakan. Ekornya mengembang sangat besar, terutama jika dia sedang marah atau senang. Mukanya imut dan manis sekali.

     Saya terus mencoba menjadi juru damai antara Soni dan Manis. Saya meniru gaya Bapak sewaktu mendidik Soni dahulu, yaitu dengan sedikit memakai kekerasan. Saya mulai dengan pendekatan perut. Kalau saat memberi makan tiba, saya paksa Soni dan Manis makan dari satu piring. Awalnya terjadi keributan. Tapi saya tahu kalau Soni selalu terlihat ‘ngeper’ jika melihat gagang (tangkai) kemoceng yang biasa dipakai Bapak untuk menghukum saat dia nakal. Oleh sebab itu saya intimidasi Soni dengan alat itu.

     Akhirnya usaha saya berhasil juga. Soni dan Manis bisa akur saat makan bersama. Kini bahkan terlihat kalau Soni berusaha mengalah. Dia akan menunggu sampai Manis (yang jatah makannya hanya sedikit) selesai makan. Kemudian Soni akan menghabiskan sisa makanan dalam piring yang sudah ditinggalkan Manis. Lucu dan terharu juga melihatnya.
Lama-lama keakraban mereka sampai juga ketempat tidur. Manis akan tidur menggelendot ketubuh Soni yang sesekali bahkan berbaik hati menjilati tubuh Manis. Mereka jadi sangat rukun akhirnya.
Harus saya akui bahwa Soni adalah anjing jantan yang setia dan ternyata juga punya rasa setia kawan yang sangat besar.
     Disamping Soni dan Manis, saya juga punya Bagong, ayam jantan (jago) Bangkok bertubuh bongsor dan kekar. Bagong saya pelihara sejak masih piyik (bayi) jauh sebelum saya menemukan Manis. Ketiga binatang berlainan jenis tapi sama-sama jantan itu bisa menjadi teman akrab.
Bahkan Soni akan selalu bertindak sebagai “the Godfather”.
Jika Manis atau Bagong berkelahi dengan kucing atau ayam jago tetangga, maka Soni akan langsung ‘turun tangan’ melabrak musuh sampai lari terbirit-birit.


Tragedi mengiringi akhir kisah hidup Soni……

     Pada saat saya sedang menghadapi ujian akhir kelas 6 SR, tanpa tahu asal muasal dan sebab yang pasti, Bapak dan Ibu memutuskan untuk berpisah. Seperti biasa yang sangat terpukul adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Saya merasa paling terpukul karena saya sedang akan mengikuti ujian akhir Sekolah Rakyat. Sementara itu kakak perempuan saya sudah berada dikelas 2 SMP.
Tapi perpisahan itu juga tampaknya menghancurkan nasib hewan-hewan kesayangan kami.

     Sejak Ibu meninggalkan rumah untuk bergabung bersama Simbah kakung, kami hidup bertiga dirumah sewa itu tanpa semangat lagi. Mbok Yem pun minta berhenti dan Soni, Manis serta Bagong jadi tak terawat lagi. Bagong mati tak lama kemudian. Manis hilang entah kemana rimbanya.
Kesedihan akibat perceraian orang tua adalah teman hidup saya sehari-hari. Semangat saya nyaris terbang dan tak sempat bersedih lagi kehilangan hewan peliharaan tercinta.

     Ketika akhirnya Bapak memutuskan pindah kerumah Eyang putri di Pandean Lamper, kisah yang lalu terulang kembali. Soni, anjing setia kami bersikukuh tak mau meninggalkan bekas rumah kami di Genuk Krajan. Berulang kali dia dibawa ke Pandean Lamper, tapi berulang kali pula dia melarikan diri pulang ke Genuk Krajan lagi. Kali ini Bapak seperti tak peduli.
Dan dalam keadaan putus asa, saya hanya merasa tak berdaya.
Saya mendengar dari tetangga di Genuk Krajan,  Soni jadi anjing kampung yang berkeliaran untuk mencari makan dari satu tempat ketempat lain.
Hati saya seperti teriris-iris mendengar akhir kisah hidup Soni yang mati dalam penderitaan karena tak punya induk semang lagi.


1 komentar:

  1. Dari cerita ttg 'Sonny' :
    - Anjing dan kucing selalu dikatakan tdk pernah bisa akur...tapi ternyata dg bimbingan yg tepat mereka bisa akur.
    - Anjing saja bisa begitu setia kepada orang yg telah merawat dan menbimbingnya, tapi manusia kadang ada yg tega berkhianat pada orang yg tlh berjasa padanya.......jadi kesimpulannya...???

    BalasHapus