Selasa, 09 Agustus 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 3 )

Tulisan bersambung:

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-


Bagian Ketiga

Bubur Kacang Hijau


Kisah “Panji Klanthung” dan bubur kacang hijau di ibukota…..

     Awal tahun 70-an ketika belum mendapat seorangpun ‘sponsor’ yang mau membayar uang kuliah saya di Perguruan Tinggi, maka saya sering ‘lari’ ke ibukota.
Ada seorang paman saya yang sudah lama tinggal di Jakarta dan menjadi guru SMA.
Sebagai seorang “Panji Klanthung” (lontang lantung, pengangguran), tak banyak yang saya kerjakan di Ibukota Republik yang konon lebih kejam dari Ibu Tiri itu. Paling-paling jalan-jalan melihat keindahan kota (yang waktu itu) terbesar dan termegah se Indonesia. Saya betul-betul jalan dalam arti yang sesungguhnya. Karena cekak nya uang yang ada dalam saku saya. Jadi jangan heran kalau saya pernah berjalan kaki dari Lapangan Monumen Nasional sampai Jalan Radio Dalam, dimana paman saya mengontrak rumah. Waktu itu Jalan Soedirman-Thamrin masih berupa jalan besar dua jalur yang kiri kanannya rindang dengan pepohonan besar. Cukup teduh bagi para pejalan kaki.
Sesampai di bundaran CSW dekat kantor Kejaksaan Agung saya menuju pasar Mayestik untuk beristirahat sejenak sebelum jalan lagi melewati Jl. KH. Ahmad Dahlan terus ke Radio Dalam. Di Pasar Mayestik inilah saya punya langganan penjual bubur kacang hijau dan ketan hitam

Semangkok bubur kacang hijau campur ketan hitam itu sudah cukup membuat perut saya kenyang. Biasanya dapat ekstra segelas air teh tawar gratis.
Seingat saya pada tahun 70-an itu, yang dominan ‘menghias’ pasar Mayestik dan nyaris disemua pinggir jalan (kaki lima) adalah para pedagang bubur kacang hijau dan ketan hitam. Saya tidak melihat ada seorangpun penjual bubur ayam. Tidak ada juga penjual bubur ayam yang keliling keluar masuk kampung.



Makan Sabu (Nyabu) siapa takuuut……?

     Awal tahun 1983 saya alih tugas mengikuti seorang Pejabat Tinggi Negara ke sebuah Departemen di Jakarta. Untuk sementara saya mondok di Jl. Dharmawangsa yang dekat dengan Pasar Blok A dan juga Blok M. Kalau sedang tidak berdinas, saya suka jalan-jalan (kini dengan naik Bajaj) ke Blok M. Disitu saya melihat masih banyak juga penjual bubur kacang hijau dan ketan hitam. Sekarang menunya bertambah dengan roti bakar. Tentu saja kenangan nostalgia makan bubur kacang hijau membersit dalam relung hati.
     Saya sudah tidak ingat dengan pasti dimana letaknya, waktu tiba-tiba saya menemukan sebuah warung yang menjual bubur ayam. Tapi masih dikawasan Blok M itulah adanya. Bubur ayam? Itulah pertanyaan yang menggelayuti pikiran saya. Makanan macam apa pula itu. Terus terang tapi tidak terang terus, saya masih merasa asing dengan nama bubur yang satu ini.
Waktu masih tinggal di Semarang saya hanya mengenal bubur merah putih, bubur sumsum atau bubur candil. Tentu juga bubur kacang hijau dan ketan hitam.
Tapi yang paling terkenal di Semarang pastilah Soto Ayam, bukan bubur ayam.

     Rasa penasaran itulah yang membuat saya ingin mencoba merasakan sendiri apa dan bagaimana si bubur ayam itu gerangan. Barangkali bubur yang dimasak dengan kaldu dan daging ayam, begitu perkiraan saya.
Memakai mangkuk yang lebih besar dari mangkuk Soto Kudus, bubur yang disodorkan kemuka saya itu masih mengepul uapnya. Buburnya sendiri hanya tampak samar-samar karena permukaannya dipenuhi dengan sayatan daging ayam, cakwe, potongan daun seledri dan krupuk warna warni. Dimeja tersedia kecap dan sambal botol tanpa merek.
Ternyata buburnya memang masih panas sekali. Jadi untuk mengurangi rasa panas, alih-alih meniup dengan mulut, saya putuskan saja ‘mengublak’ (mengaduk jadi satu) semua yang ada dalam mangkuk itu. Hmmmm…aromanya lumayan juga…dan setelah mengambil satu suapan, wooooo…it’s not bad man!!
Lumayan juga nih bubur. Rasa gurih bubur dan sayatan daging ayam bercampur dengan rasa asin cakwenya serta rasa pedas sambal membuat sensasi rasa yang seperti iklan permen Nano-nano. Cuma tidak ada rasa asemnya saja.
     Sejak itu saya sering jajan bubur ayam. Tidak hanya di satu tempat.
Entah bagaimana dari tahun ketahun kedai bubur ayam makin menjamur diseantero Ibukota. Bahkan ada yang berkeliling dari kampung kekampung. Rupanya Jakarta sudah terkena wabah bubur ayam. Saya sampai hafal beberapa tempat yang bubur ayamnya recommended dari mulut kemulut. 

Salah satu diantaranya yang mangkal pagi hari di dekat TPU Karet. Penjualnya seorang laki-laki asal Puerto Rico, eh, maksud saya, Purwokerto. Sayangnya dia hanya buka pagi hari saat orang-orang berangkat ke kantor saja. Kadang-kadang saking banyaknya pembeli, jam 8 pagi saja gerobaknya sudah bersih. Rasa buburnya sendiri memang nyooossss.... Dia hanya mengandalkan rasa bubur asli tanpa tambahan kuah apapun. Paling-paling hanya ditambah kecap saja.
Tapi justru itu yang membuat orang balik dan balik lagi. 

Ada satu lagi warung bubur ayam istimewa yang mangkal di Jalan Tanjung. Mentang-mentang jualan didaerah elite yang dekat dengan rumah Klan Soeharto di Jalan Cendana, maka hampir semua pembelinya naik mobil. Yang naik sepeda motor bisa dihitung dengan jari. Yang naik sepeda onthel atau berjalan kaki pasti hanya para pembantu sekitar daerah itu yang diutus majikannya untuk cari sarapan.
Bubur ayam sekarang sudah jadi makanan para elite.
Apalagi ketika penyanyi dangdut rock Alam (yang adiknya Vetty Vera) mempopulerkan lagu “Nyabu”.
Orang sudah tidak takut lagi Nyabu alias NYArap BUbur.


Belum ke Manado kalau belum nyoba 3 (tiga) B…….

     Sekitar pertengahan tahun 1984, saya berkesempatan ikut kunjungan kerja ke ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Ini untuk pertama kalinya saya datang ke Menado atau Manado. Kotanya bersih dan asri. Penduduknya selalu tampil perlente. Baik laki-laki apalagi kaum hawa nya. Mereka semua senang tampil dengan pakaian bagus berikut perhiasan yang bagus pula. Pria Menado biasanya memakai jam tangan merk terkenal yang berwarna emas. Saya tidak tahu pasti apakah jam tangan itu asli atau aspal.
Satu lagi yang menjadi catatan saya, orang Menado rata-rata suka menyanyi dan pandai 'ajojing' (berdansa). Budaya peninggalan kolonial tampak jelas masih membekas. Terlihat dari banyaknya penduduk yang masih fasih berbahasa Belanda.
     Ada pemeo miring tentang Menado. Anda belum dianggap pernah berkunjung ke Menado kalau belum melakukan 3  (tiga) B. Apakah gerangan itu?
B yang pertama Bunaken. Ini adalah taman bawah laut yang sangat indah. Setara dengan the Great Barierre Reef di perairan Australia. Di Bunaken ini anda bisa melakukan Scuba Diving, menyelam dengan peralatan selam (scuba) untuk melihat keindahan taman bawah lautnya. Atau bagi yang tidak pandai berenang, anda bisa menyewa perahu Catamaran (perahu yang punya dek ganda). Dek bawahnya terbuat dari kaca tembus pandang untuk melihat pemandangan bawah laut cukup dari atas perahu saja.

B yang kedua adalah Bubur Menado, ini jelas nama makanan yang oleh orang setempat disebut dengan Tinutu’an. Bubur Menado sangat khas, sangat lezat dan sehat.
Terbuat dari campuran beberapa sayuran, diantaranya jagung manis, kemangi, daun katuk, bayam atau kangkung ditambah dengan ubi jalar, labu kuning atau kentang. Memakai bumbu jahe, sereh dan daun kunyit yang dipotong-potong, membuat aromanya sangat khas. Belum lagi ditambah aroma wangi dari daun kemangi. Setelah masak disajikan dengan ikan Roa (ikan khas Menado) yang diasinkan dan sambel terasi yang rasanya biasanya sangat pedas.
B yang terakhir mungkin hanya guyonan orang saja. 
Tapi kalau kebetulan anda bisa merasakannya juga tidak ada salahnya, mungkin malah beruntung karena B yang ini adalah Bibir Menado.  
Hahahaha…just joke bung.


bersambung…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar