Sabtu, 30 Juli 2011

"TENTANG SALAH (YANG) KAPRAH....."


Tulisan lepas:



(sebuah catatan kecil  menjelang bulan Romadhon dan Syawal setiap tahun)

 Ziarah kubur menjelang Romadhon


released by mastonie, on Friday, August 20, 2010 at 9.15 pm

Tentang istilah "Lebaran"
 
     (Hari Raya) Idul Fitri, yang jatuh pada setiap tanggal 1 Syawal  tahun Hijriyah atau tanggal berapapun dibulan dan tahun Masehi, akan segera datang dan segera pula akan berlalu.
Mungkin atmosfer ‘Minal aidin wal faizin, maaf lahir batin’ dan ‘Taqobalallahu minna wa minkum’ masih terasa kental disekeliling kita.
Baju baju baru juga mungkin baru saja dicuci. Kita kembali hidup ‘seperti biasa’ lagi.
Artinya, kita mesti berpijak ‘kebumi’ lagi dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.
Jadi, apakah kehidupan kita pada bulan (Romadhon) yang lalu tidak membumi?
Hanya Allah SWT dan anda yang tahu dan bisa menilai sendiri.
Bukankah Allah SWT pernah berfirman:
“Puasa itu untuk KU, maka AKU SENDIRI lah yang akan memberikan PAHALAnya”
(HR. Bukhori-Muslim)
    Ada beberapa hal yang mengganggu pikiran saya tentang adanya sesuatu yang salah tapi kaprah. Mungkin pendapat yang saya sampaikan dalam catatan kecil ini tidak seratus persen benar.
Tapi lebih baik berpendapat daripada hanya menggerutu dibelakang bukan?
    Idul Fitri dikalangan masyarakat kita (meski awalnya berasal dari istilah orang Jawa} lebih terkenal dengan sebutan “Lebaran” (‘lebar’ dalam bahasa Jawa berarti -telah- selesai). Begitu populernya kata Lebaran ini, sehingga sekarang istilah itu malah sudah ‘diadopsi’ resmi masuk dalam  kosakata Bahasa Indonesia.
Padahal menurut saya,  istilah LEBARAN ini  kurang tepat, kalau tidak boleh disebut sebagai keliru. Tapi ilmu kelirumologi kan memang sudah jamak dinegeri kita (begitu kata bung Jaya Suprana, si pakar ilmu keliru itu). Malahan sudah ‘kaprah’ (terlanjur biasa dilakukan).
Terjemahan bebas “Idul Fitri” (bahasa Arab) adalah “Hari Raya (kembali ke) Fitrah”.
Artinya, kalau kita tadinya penuh bergelimang  kesalahan dan kekhilafan (sebuah hal yang wajar saja, karena kita semua adalah manusia biasa), maka setelah melaksanakan ibadah shaum atau puasa Romadhon sebulan penuh, Insya Allah dosa-dosa kita akan diampuni Nya.
Dalam salah satu hadist, Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa berpuasa -pada- bulan Romadhon dengan beriman dan mengharap ridha Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya pada masa lalu”  (HR. Bukhori-Muslim).

     Jadi setelah kita melaksanakan puasa sebulan penuh, maka pada Hari Raya Fitri itu, Insya Allah -seperti sabda Nabi-, kita akan ‘terlahir kembali’ sebagai mahluk yang tanpa dosa, alias suci kembali. Aamiin. Insya Allah.
Lalu bagaimana hari raya yang sebetulnya berarti “kembali ke fitrah” disebut hanya sebagai “lebaran” saja? Lebaran itu kan maksudnya -sudah- selesai berpuasa. Begitu thok. Oleh sebab itu saya rasa lebaran itu -sebetulnya- bukan istilah yang tepat. Tapi apa daya, nasi sudah jadi bubur, kata pepatah. Jadi ya tinggal diberi cakue sama telor mata sapi saja biar lebih enak.
Maksud saya, ya karena sudah kaprah (terlanjur), maka istilah itu kita ikhlaskan saja masuk dalam KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan uraian begini: Lebaran n hari raya umat Islam sehabis menjalankan ibadah puasa (tanggal 1 Syawal), Idulfitri.
Sudah resmi walaupun  kaprah kan?

Tentang ziarah kubur dan kebiasaan menjelang Lebaran
  
ziarah kubur
Seminggu sebelum bulan Romadhon tiba, masyarakat ramai berbondong memadati TPU untuk melakukan ‘ziarah kubur’. Begitu pula seusai shalat Ied. Kebiasaan ziarah kubur ini pada jaman Rasulullah dahulu pernah dilarang karena seringnya terjadi penyimpangan ajaran agama.
Bahkan oleh sebagian ulama disebut sebagai bid’ah, karena ada kecenderungan ritual yang keliru, antara lain: bukannya mendo’akan arwah, tapi malahan meminta do’a dari yang telah meninggal dunia.
     Demikian pula dengan banyaknya orang yang menjual jasa membaca ayat-ayat Al-Qur’an di pekuburan atau TPU, yang merupakan kebiasaan yang tak ada dasarnya dalam ajaran agama Islam.
Sampai saat inipun masih banyak kita jumpai hal seperti itu bukan? Sudah terlanjur kaprah sih.


    Dalam melaksanakan ibadah puasa Romadhon, disunahkan bagi kita untuk melaksanakan shalat sunah malam yang lazim kita sebut dengan shalat tarawih selama sebulan penuh. Menurut para Ustad dan Da’i (yang sering kita dengar diacara Tabligh Akbar), bulan Romadhon dibagi menjadi 3 bagian: 10 hari pertama adalah hari penuh rohmah (berkah) Allah, 10 hari kedua adalah hari penuh maghfiroh (ampunan) dan 10 hari terakhir adalah hari ‘pembebasan’ dari api neraka. 

Akan tetapi apa yang sering kita lihat dan jumpai di masjid-masjid seputar kediaman kita?
Ini dia: 10 hari pertama, jemaah shalat tarawih penuh sesak, kadang luber sampai keteras dan halaman masjid.
10 hari kedua shaf mulai berkurang. 10 hari terakhir shaf makin ‘maju’, artinya yang melaksanakan shalat tarawih makin sedikit.
Lalu kemanakah gerangan mereka (para jamaah tarawih) itu?
Mereka -maaf, terutama ibu-ibu- (mudah-mudahan anda tidak termasuk golongan ini) ternyata malah sibuk memersiapkan segala hal yang berhubungan dengan akan datangnya hari yang fitri itu.
Dari mulai memasak kue, penganan khas ‘lebaran’ dan menjahit baju baru (bagi yang bisa menjahit sendiri). Ada pula yang sibuk keliling ‘safari dari mal ke mal’ untuk memborong kue dan penganan serta segala perlengkapan rumah dan baju. Tentu agar pada hari raya fitri nanti semua tampak baru ‘kinyis-kinyis’. Makananpun disediakan serba berlimpah ruah.

     Ada pula yang sudah sibuk bersiap untuk ‘mudik’ dengan (tak lupa) memborong ‘tetek bengek’ untuk oleh-oleh buat sanak saudara dan handai taulan nun jauh di kampung halaman sana.
Itu artinya harus ada dana lebih. Dari mana dana itu? Memang ada orang yang sejak jauh-jauh hari sudah menabung -khusus- untuk menyambut idul fitri. Tapi orang (yang rela dan mau menabung) seperti itu pasti termasuk ‘barang langka’. Betul?
Yang menjadi pegawai atau karyawan dan buruh biasanya dapat THR. Tapi nilai THR paling banyak kan hanya sebulan gaji.  Tentu masih kurang dong. Lalu? Banyak solusi yang bisa dipilih: pergi ke “PAKDE” alias pegadaian, atau ambil kredit berjangka. Tawaran kredit ini (celakanya) banyak dilakukan oleh bank-bank (Pemerintah maupun Swasta), bahkan jauh sebelum bulan puasa tiba.
Dengan agresif bank memasang iklan besar-besar di media massa: “Bahagiakanlah keluarga anda di hari raya, manfaatkan dana pinjaman kami, proses mudah dan cepat, bunga ringan, tanpa agunan dst…” dan sebagainya.
Nah,  bukannya menuntaskan ibadah di 10 hari terakhir, agar terbebas dari api neraka, eeeh ternyata malah banyak yang sibuk dengan hal-hal yang hanya menyangkut masalah ‘keduniawian’ belaka.

Tentang tradisi "Mudik"
 Rame2 mudik naik Kereta Api
     Kebiasaan yang terakhir ini malah sanggup membikin ‘heboh’ orang se Nusantara. Yaitu kebiasaan dari sebagian besar masyarakat kita yang selalu harus mudik’ setiap tahun bertepatan dengan hari raya. Kata ‘mudik’ ini jelas asli Jakarta dan  merupakan adopsi dari bahasa Betawi, yang maksudnya adalah ‘pulang ke udik’.Di kalangan masyarakat Betawi, kata udik adalah kata yang menunjukkan tempat dipelosok kampung atau desa.

     Konon istilah mudik ini (dahulu kala} muncul dari banyaknya kaum pendatang dari kota-kota kecil di Jawa yang merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah. Para perantau inilah yang setiap Idul Fitri selalu harus pulang kampung atau mudik untuk mengunjungi sanak keluarga.  

     Hebatnya, kegiatan ‘mudik’ atau pulang kampung ini kemudian menjalar dan mewabah.
Lalu berubah menjadi sebuah acara ‘ritual massal’. Begitu massalnya sehingga pada  waktu sekarang kegiatan ini malah  bagaikan sebuah “Agenda Tahunan Nasional”. Resmi dan diakui oleh pemerintah. Ditandai dengan kebijaksanaan Pemerintah (walau sedikit menimbulkan polemik karena kontroversial) untuk membuat 'merah' tanggal di kalender dengan catatan "Cuti Bersama".
Kebijaksanaan ini  makin membuka peluang masyarakat untuk pulang kampung alias mudik rame-rame.
     Sudah susah kalau sekarang harus merunut kebelakang, sejak kapan sebenarnya ritual mudik ini dimulai.
Nyatanya sekarang ini mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Para Pengusaha (jamu, produsen kendaraan bermotor dll) setiap setahun sekali dapat dipastikan ikut sibuk mempersiapkan agar ‘hajatan nasional’ ini bisa terselenggara dengan meriah, sukses dan tertib.
Dari aparat keamanan sampai instansi yang mengurus masalah transportasi maupun prasarana jalan, semua sibuk pusing. Kalau mau bicara jujur, sebenarnya jarak antara kegiatan mudik ke mudik berikutnya adalah setahun penuh. Tapi entah kenapa perbaikan jalan raya dan prasarana transportasi lain biasanya baru dilakukan oleh pihak berwenang pada saat menjelang atau bahkan terkesan mepet dari hari H nya Lebaran.
Apabila kita mau menelusur lagi lebih jauh, sejatinya mudik atau pulang kampung ini timbul karena maraknya urbanisasi yang merata hampir kesemua kota besar di Indonesia.

     Seperti yang telah lazim diketahui, masyarakat kita mempunyai rasa ikatan kekeluargaan yang tertanam kuat untuk saling kunjung mengunjungi, juga untuk berziarah kemakam para leluhur ditanah kelahiran sebelum atau tepat pada waktu Lebaran tiba. Hal itulah yang mendorong kegiatan pulang kampung menjadi tradisi setahun sekali yang walau seberat apapun resikonya harus tetap dijalani. Akhirnya kegiatan itu malahan berkembang seolah-olah menjadi sebuah ‘kewajiban’.
Memang harus diakui, bahwa tradisi mudik sejalan atau setidaknya tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mengutamakan dan menjunjung tinggi silaturahim. Namun tetap perlu diingat bahwa tradisi pulang kampung (mudik) -sebenarnya- bukan ajaran agama.
Kegiatan mudik sebenarnya adalah sebuah tradisi yang berakar dari adat istiadat masyarakat kita saja. Tradisi (mudik) ini tidak akan kita temukan dinegara Islam manapun (bahkan di Arab Saudi, tempat lahirnya agama Islam).
    Sesungguhnyalah, kegiatan pulang kampung atau mudik itu  sah-sah saja dilakukan, karena intinya adalah untuk menjalin tali silaturahim antar keluarga dan kerabat.  Namun pada kenyataannya, kegiatan mudik ini lalu berkembang jadi semacam ajang untuk ‘unjuk eksistensi’ (istilah modern untuk pamer).
Juga seakan menjadi simbol keberhasilan seseorang  yang pergi merantau untuk mencari ‘sesuap nasi dan segenggam berlian’ diperantauan (baca: kota-kota besar yang konon ‘katanya’  menjanjikan penghasilan dan kehidupan yang jauh lebih baik).

     Sayang seribu sayang tradisi yang pada awalnya mulia ini, seiring berlalunya waktu dan pengaruh perkembangan jaman,  lalu berkembang jadi kegiatan konsumtif yang nyaris tak terkendali.
Lihat saja dari iklan kredit sepeda motor dan mobil. Iklan yang (setiap menjelang hari raya) membuat orang berbondong-bondong pergi ke show room  untuk membeli (secara tunai maupun kredit) kendaraan idaman yang akan dipakai untuk mudik. Bagi yang belum mampu membeli, ya menyewa. Maka jadilah mereka menyerbu tempat penyewaan kendaraan bermotor yang juga tumbuh subur menjelang lebaran.
     Tak dapat dipungkiri memang, dua jenis alat transportasi modern (motor dan mobil) inilah primadona yang seakan merupakan simbol status keberhasilan seorang perantau dimata sanak saudara dan kerabat sekampung halamannya.   

Mudik naik sepeda motor
Coba kita simak. Selain menggunakan moda transportasi biasa, seperti bus atau kereta api dan pesawat terbang, dari tahun ketahun semakin banyak pemudik yang menggunakan sepeda motor.
Jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu dan membuat aparat keamanan jalan raya jadi pusing tujuh keliling. Karena  sepeda motor sebenarnya bukanlah moda transportasi jarak jauh, apalagi antar kota. Kalau dipaksakan (dengan alasan apapun juga), hal itu bisa sangat membahayakan pengendara sepeda motor itu sendiri dan bahkan orang lain.
Belum lagi ditambah  dengan ribuan keluarga pemudik yang "me rame" pulang kampung memakai mobil pribadi (atau dinas).
Itulah sebabnya jalur utara pantai Jawa (Pantura} dan jalur selatan pulau Jawa selalu macet berkepanjangan menjelang atau sesudah hari raya tiba.
     Statistik juga menunjukkan bahwa kegiatan arus mudik ini melibatkan pula arus ‘rupiah’ dari kota-kota besar yang terdistribusikan sampai ke pelosok-pelosok desa, dalam jumlah yang cukup signifikan besarnya. Sayangnya dana sebesar itu (jumlahnya bisa mencapai ratusan miliar rupiah!) kebanyakan hanya ‘menguap’ untuk urusan yang sifatnya "hura-hura" dan konsumtif saja.
Bayangkan  kalau seandainya dana sebesar itu dipakai untuk sesuatu yang lebih produktif, seperti membangun sekolah, tempat ibadah atau membantu kaum duafa, misalnya.
Nah, (menurut saya pribadi) bukan tradisi mudik itu yang keliru, tapi niat dan perilaku orang yang akan mudik itulah yang seharusnya diluruskan.

Tentang 'ekses' sesudah Lebaran
 
    Sebenarnya yang ingin saya kemukakan dan garis bawahi dalam catatan kecil ini adalah ekses atau akibat dari salah kaprah tadi. Terutama salah kaprah yang terakhir, yang menyangkut usaha untuk “unjuk eksistensi” pada sanak saudara dikampung halaman.
Sudah banyak kita jumpai  anggota masyarakat (saya berharap anda tidak termasuk diantaranya), yang sesudah merayakan ‘hari kemenangan’, ternyata tidak menang tapi malah ‘kalah K.O’ dan jatuh bangkrut alias pailit bin ‘tongpes’.
Karena apa? Ya tentu saja karena tuntutan harus membayar cicilan kendaraan, menebus barang yang dititipkan dirumah ‘PakDe’ atau melunasi hutang di bank yang menurut iklan ‘katanya’ bisa membahagiakan keluarga  itu.

    Kalau sudah terjadi ‘kebangkrutan lokal’ seperti itu, maka siapa yang harus disalahkan jika setelah hari raya berlalu, kemudian banyak muncul profesi baru: ‘tukang gali lubang’? Maksud saya orang yang kerjanya ‘gali lubang, tutup lubang’, alias masuk ‘lingkaran setan’. Lingkaran yang membuat orang harus hutang disana untuk menutup hutang disini dan begitu seterusnya.
Padahal inti atau pokok masalah dari semua itu hanya gara-gara ingin merayakan hari yang fitri, tapi dengan cara yang kurang bijaksana.
Saya jadi teringat peribahasa yang jadi terasa perih bahasa nya:
“Sesal  dahulu pendapatan, sesal kemudian pengeluaran, eh bukan, sesal kemudian tak berguna”.

    Maka oleh karena itu saudaraku, janganlah anda mudah ikut latah terhadap hal-hal yang  sebenarnya kurang pada tempatnya, tapi sudah terlanjur jadi kaprah.
Waspadalah, WASPADALAH!



2 komentar:

  1. Setelah membaca tulisan mas Koes, ada yg perlu direnungkan :
    - lebih utama ziarah yg sampai perlu memerlukan waktu dan beaya yg banyak, atau cukup kita doakan beliau2 yg sdh seda itu setiap saat dirumah.
    - puasa Romadhon seharusnya bisa menjadi timing yg pas untuk kita evaluasi ibadah kita selama setahun terakhir,luluskah kita yg berarti naik peringkat atau harus mengulang dikelas yg sama....?

    BalasHapus
  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus