Jumat, 01 Juli 2011

KERIPIK TEMPE RENYAH 'RASA KANTONG PLASTIK'


Tulisan lepas: 

(Sebuah catatan tentang perilaku pedagang yang tak bertanggung jawab)

Bagian Pertama



released by mastonie, on Friday, July 1, 2011 at 09.56 pm



Jauh sebelum Muhammad ditetapkan sebagai Nabi dan Rasul Allah, semenjak masih muda belia, beliau telah menjadi seorang wiraniaga (pedagang) yang sangat berhasil dan mempunyai banyak sekali pelanggan. Hal tersebut tidak lain  karena perilaku, moral dan etika beliau (yang mendapat julukan “Al-Amin”: orang yang dapat dipercaya) dalam melakukan transaksi jual beli. Padahal saat itu (tentu saja) Al-Qur’an yang merupakan ‘buku panduan hidup manusia’ belum diturunkan oleh Allah Swt.
Oleh sebab itu sangat wajar apabila setelah beliau ditahbiskan sebagai Nabi terakhir dan mendapat wahyu Allah (yang kemudian dirangkum menjadi Kitab Suci Al-Qur’an), maka didalamnya termasuk pula tata cara dan hukum berniaga yang diawali dengan sebuah ayat  didalam surah kedua yang bunyinya:

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”  (Al-Baqarah, QS. 2 : 275)

Secara umum itulah pathokan yang (seharusnya) dipakai oleh kaum muslim apabila hendak melakukan pekerjaan jual beli, berniaga, berdagang atau berwiraswasta. Selanjutnya dalam surah yang sama pula ditetapkan rukun jual-beli sangat rinci yang secara garis besar antara lain sbb:
Syarat bagi pembeli dan penjual: keduanya harus berakal, dalam arti tidak gila atau tidak waras dan harus terjadi tanpa dipaksa atau secara suka sama suka. Disyaratkan pula seorang penjual sebaiknya sudah baligh (dewasa, umur 15 tahun keatas), karena dikhawatirkan anak-anak belum cukup nalarnya untuk berdagang. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa anak kecil yang berdagang tidak sah jual belinya.

Tentang barang dagangan itu sendiri disyaratkan harus suci. Barang yang najis atau haram tidak sah diperjualbelikan. Barang atau benda yang dijual juga harus bermanfaat. Tidak boleh menjual barang yang tidak atau belum ada ujudnya, karena bisa menjadi ajang penipuan. Barang yang dijual harus disepakati oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sebelum dilakukan transaksi atau disebut juga sebagai ijab qobul. 

Dan masih banyak syarat lain yang sangat rinci termasuk antara lain larangan mengurangi takaran/timbangan atau jumlah barang yang diperjual belikan dan memberikan keterangan yang tidak benar atas barang yang dijualnya. Intinya adalah, bahwa Islam menjaga agar jual beli atau perdagangan bisa terlaksana dengan baik, ber etika dan tidak merugikan kedua belah pihak.

Apakah panduan dagang Islami itu yang dipakai sebagai acuan oleh para usahawan (muslim maupun non muslim) di Indonesia? 
Mari kita lihat fakta sejarah ini:
Walaupun Indonesia adalah negeri dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, namun kita tentu tidaklah khilaf, bahwa selama lebih dari tiga abad, Bumi Nusantara (yang kelak dinamakan Indonesia) telah dijajah oleh tidak kurang dari empat bangsa Asing. 
Yang terlama bercokol di tanah ‘Rayuan Pulau Kelapa’ adalah Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau hampir seluruh Peraturan Perundangan  dan Hukum yang diterapkan di Indonesia adalah warisan dari negeri kincir angin itu. Setidaknya setelah Indonesia merdeka, maka peraturan dan hukum yang dipakai adalah adaptasi kitab hukum  kolonialis Belanda yang biasa disebut sebagai hukum ciptaan 'orang Barat’.
Dengan demikian maka dunia perdagangan di Indonesia pada hakekatnya menganut hukum dagang ‘a la’ bangsa Barat juga. Namun setelah proklamasi kemerdekaan, kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang telah merdeka. 

Secara umum kita ketahui bahwa sifat dasar dari perdagangan pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (jika perlu) dengan memakai modal yang sekecil-kecilnya, nyaris tanpa ada aturan etikanya.
Itulah yang terjadi dinegeri kita sekarang. Betapa moral dan etika berniaga sudah menjadi hal yang lumrah kalau dikesampingkan. Ada kecenderungan para pedagang (dalam skala besar maupun kecil) berniat mengeruk keuntungan yang setinggi-tingginya, walaupun dengan berbuat sesuatu hal yang kurang terpuji. Mereka menyadari bahwa yang mereka lakukan  sangat besar kemungkinannya akan berakibat buruk (bahkan fatal) bagi para pembeli atau konsumennya. Tapi mereka tak peduli.
Dinegara maju, hak konsumen sangat dijunjung tinggi. Oleh sebab itu selalu ada semacam Institusi yang akan menjaga dan membantu para konsumen sekiranya terjadi tindak kecurangan yang dilakukan oleh pedagang dan atau produsen serta hal-hal negatif lain yang ditengarai bisa berakibat buruk atau merugikan para konsumen. Di Indonesia sudah lama dikenal adanya Lembaga Konsumen yang tugasnya kurang lebih sama seperti yang tersebut diatas tadi. Namun apakah Lembaga itu berfungsi secara efektif atau tidak, adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya masih bisa diperdebatkan. Sebagai Lembaga yang independen dan tidak bergantung kepada anggaran yang diberikan oleh Pemerintah, maka kita sangat maklum kalau Lembaga Konsumen menjadi sebuah insitusi mandiri yang gencar berjuang menyuarakan hak-hak yang seharusnya diperoleh  konsumen. Akan tetapi sayang, kegarangan itu hanya  menjadi semacam “macan kertas”. Ompong lagi. Sama sekali tak berdaya menghadapi  tingkah para pedagang dan produsen yang seakan selalu dilindungi oleh para birokrat.
Dengan semangat menguak fakta kebenaran dijaman teknologi informasi yang sangat maju, beberapa stasiun televisi swasta pernah melakukan penyiaran laporan investigasi (investigation report) yang hasilnya cukup mencengangkan. Ternyata telah terjadi berbagai macam kecurangan dalam melakukan kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pedagang secara sadar dan sengaja. Hal tersebut semata didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang besar hanya dengan modal yang kecil saja. Walaupun rata-rata pelaku juga menyadari bahwa akibat dari tindakannya tersebut dapat berakibat buruk bagi konsumen, tapi mereka terkesan tidak peduli. Dalam wawancara ‘gelap’ yang disamarkan itu mereka bahkan mengakui bahwa tindakan tidak terpuji tersebut sebenarnya bisa disebut sebagai tindakan kriminal dan melawan hukum.
Walaupun fakta yang diungkap oleh stasiun televisi itu menyajikan perbuatan orang per orang dan dalam skala kecil, namun akibat yang ditimbulkannya justru langsung menimpa para konsumen yang rata-rata adalah golongan menengah bawah sampai menengah atas. Bahkan bisa jadi akan menimpa pula seluruh masyarakat dari semua golongan. Yang sangat memrihatinkan adalah kenyataan bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh para pedagang itu yang terbanyak adalah menyangkut penjualan makanan. Baik makanan siap saji maupun makanan yang harus diolah lebih dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan makanan yang dijual dipasaran adalah berasal dari bahan dasar yang kemudian diberi pelezat rasa,  pengawet dan pewarna. Ketiga bahan itu dipakai untuk 'mendongkrak'  rasa, daya tahan makanan sekaligus untuk menarik perhatian konsumen. Tidak ada seorang penjual makananpun (mulai dari tukang penjual gorengan kaki lima, bakso keliling sampai restoran mahal bertaraf internasional) yang tidak berusaha untuk membuat sajian makanannya terasa enak dan nikmat serta membuat lidah bergoyang. Itulah satu-satunya cara agar tidak ditinggalkan para pelanggannya. 
Dan itu artinya mereka harus selalu menggunakan “penambah cita rasa” yang lebih dikenal sebagai mecin, vetsin, atau moto yang sejatinya mempunyai bahan yang sama yaitu MSG (Mono Sodium Glutamat). Yang terkenal paling ‘royal’ memakai atau menambah mecin dalam masakannya adalah para koki restoran Chinese food, baik  kelas kali lima maupun kelas hotel berbintang. Dari sinilah kemudian muncul istilah “Chinese food syndrome” yang merupakan gejala tidak enak badan setelah makan masakan Cina. Memang MSG adalah bahan kimia yang menurut penelitian para ahli kesehatan bisa mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan manusia apabila dikonsumsi dalam jumlah tertentu dan dalam kurun waktu berkelanjutan. Apakah si Abang Tukang Bakso dan para Koki restoran tidak tahu akibat buruk itu? Bisa ya bisa tidak. Tapi yang jelas mereka akan tetap memilih memakai pelezat makanan (yang notabene mendapat sertifikasi ‘halal’) itu daripada kehilangan pelanggan yang berarti mengurangi keuntungan atau bahkan bisa mematikan mata pencaharian mereka. Perkara kesehatan para pelanggannya? Sekali lagi: siapa peduli?
Untuk mempertahankan agar makanan yang dijual tidak cepat basi atau busuk, maka tentu makanan harus diawetkan atau diberi bahan pengawet. Cara tradisional untuk mengawetkan makanan sebenarnya sudah ada sejak jaman ‘kuda gigit besi’ tempo doeloe. Yang paling mudah diantaranya adalah dengan menggoreng  atau mengukus, menggarami dan mengeringkan , mengasamkan, atau mencampur dengan bahan makanan lain yang berfungsi mengawetkan seperti cabe dan lain-lain. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, cara kuno tersebut dianggap masih kurang efektif dan kurang tahan lama. Oleh sebab itu dibutuhkan bahan pengawet lain yang harus ditambahkan. 
Ternyata para pedagang bisa menemukan solusi ‘cerdas’, walaupun jelas tidak bertanggung jawab. Bahan pengawet yang diperlukan memang murah meriah dan mudah didapatkan karena dijual bebas. Tapi yang membuat bergidik adalah bahwa bahan pengawet yang rata-rata berbentuk senyawa kimia ini sejatinya bukan bahan untuk mengawetkan makanan! 

 Yang pertama kali membikin heboh adalah ketika diketahui bahwa para pedagang memilih boraks sebagai pengawet tahu dan bakso. Boraks adalah kristal lunak yang mengandung boron, tidak berwarna dan mudah larut dalam air. Bahan kimia bernama ilmiah natrium tetraborat dekahidrat ini memang bisa membuat makanan jadi bertekstur padat, kenyal dan tidak mudah basi. Sangat cocok untuk tahu dan bakso. Selain itu ternyata ada pedagang yang membuat bakso dan ‘kawan-kawan’ nya (siomay, batagor dll) dengan tambahan bahan lain selain daging sapi. Demikian pula dengan saus pelengkapnya (saus tomat, saus cabe dsb).  Ada pedagang yang mengakui bahwa bahan  pencampur untuk bakso dan siomay adalah daging ikan sapu-sapu yang hidup diparit-parit, atau daging hewan lain yang harganya lebih murah karena apkiran. Sedangkan bahan untuk saus cabe dibuat dari cabe apkiran  dan cabe busuk yang bisa didapat tanpa membeli dipasar tradisional. Sedangkan saus tomat dibikin dari ubi busuk dan pepaya  yang tidak laku dijual.  Semua bahan murah meriah itu kemudian dicampur dengan pengawet dan pewarna sintetis sehingga menghasilkan warna yang seindah aslinya. Apakah bahan campuran lain itu halal atau tidak, bukan hal penting bagi mereka. Yang terpenting adalah bisa mendapat keuntungan yang lebih banyak, karena bahan-bahan campuran itu biasanya jauh lebih murah harganya bahkan ada yang bisa diperoleh secara cuma-cuma.


Belakangan terungkap pula kasus yang membuat masyarakat gempar, yaitu dipakainya formalin sebagai bahan pengawet ikan, daging dan makanan lain. Formalin adalah cairan formaldehida  yang dilarutkan dalam air dan bersifat antiseptik (antikuman). Larutan ini biasa dipakai untuk mensuci-hamakan peralatan kedokteran dan laboratotium. Tapi formalin juga dipakai untuk mengawetkan mayat! Tentu saja ikan (kering atau segar), daging dan makanan apa saja bisa menjadi sangat tahan lama. Bayangkan kalau zat kimia seperti itu masuk kedalam perut manusia.
Dalam reportase investigasi itu juga terungkap taktik lain yang lumrah dipakai para pedagang untuk membuat makanan buatannya tampil dengan warna memikat. Maksudnya jelas agar supaya menarik minat konsumen. Yang terbanyak adalah para pedagang makanan kecil yang biasa mangkal didepan sekolah. Merasa pangsa pasarnya adalah anak-anak sekolah yang uang sakunya tidak besar (kecuali anak konglomerat dan anak koruptor), maka para pedagang makanan itu berusaha membuat dagangannya tampil memikat dengan cara seirit dan sehemat mungkin, sehingga mereka tetap bisa menjual makanan itu dengan harga ‘miring’. Akan tetapi rupanya taktik itu segera pula diikuti oleh para pedagang makanan kecil (biasanya berupa kue basah ataupun kering) yang biasa menjajakan kue-kue itu dipasar-pasar tradisional. 
Memang ‘kunci’ untuk menarik minat pembeli adalah tampilan dari makanan yang dijajakan. Warna adalah unsur yang paling mudah memikat mata. Oleh sebab itu para pedagang akan berupaya membuat makanan yang berwarna-warni menggugah selera. Untuk itu diperlukan zat pewarna. Karena harus menjual dengan harga serendah mungkin (mengingat persaingan yang makin ketat) tapi harus tetap mendapat untung, maka dicarilah zat pewarna yang paling murah dan mudah didapat. Dan itu adalah wenter ! Wenter adalah bahan kimia yang biasa dipakai untuk mewarnai pakaian dan sama sekali bukan bahan pewarna makanan untuk dikonsumsi manusia!
Namun menurut investigasi itu pula, rupanya masih ada lagi  bahan kimia yang dipakai oleh para pedagang untuk membuat makanan berwarna cerah sekaligus tahan lama. Barangkali tertarik dengan fungsinya yang bisa menjernihkan air, maka para pedagang makanan lalu menggunakan tawas (bahan kimia terbuat dari bauksit yang mengandung aluminium oksida). Tawas terbukti  bisa membuat bahan makanan berwarna cerah terang dan ternyata juga bisa membuat makanan jadi tahan lama. 
Para pedagang makanan siap saji memang tak henti-hentinya berimprovisasi. Barangkali karena semakin sengitnya persaingan usaha yang berpotensi mengurangi keuntungan, mereka lalu memakai segala macam daya dan usaha untuk membuat makanan yang dijualnya terasa enak, awet, menarik dan disukai pembeli. Para pedagang makanan gorengan ternyata telah menemukan “metode” baru untuk membuat gorengannya renyah, garing dan tidak mudah melempem. Mereka berhasil membuat resep yang pasti akan membelalakkan mata siapa saja. Inilah rahasia resepnya: setelah minyak goreng mendidih, maka mereka akan memasukkan beberapa lembar kantong PLASTIK transparan (yang biasa dipakai untuk mengemas kue), dan menunggu sampai plastik tersebut ‘hilang’ larut tercampur dalam minyak yang mendidih. Setelah itu baru tempe atau tahu atau pisang dimasukkan kedalam minyak yang kini sudah mengandung plastik itu. Tentu saja hasil gorengannya akan menjadi renyah, garing dan tidak mudah melempem! Gorengan campur plastik gitu lhoooh! Anda tak percaya? Silakan mencoba resep hebat itu dirumah, kalau anda punya nyali dan berani menanggung resikonya.
Apakah para pedagang itu merasa bersalah dengan tindakannya? Ternyata tidak, mereka sama sekali tak peduli. Bahkan mereka tak pernah memikirkan akibat buruk yang mungkin  saja terjadi kalau manusia makan gorengan “rasa kantong plastik” itu. Yang terpikir oleh para pedagang itu hanya bagaimana membuat makanan gorengan yang terasa renyah dan tidak mudah melempem, serta bayangan keuntungan yang akan didapatnya.
Inti persoalan disini adalah: para pedagang tersebut sama sekali tidak peduli dan tidak mau tahu akan akibat buruk yang menimpa para konsumen. Yang penting mereka bisa mendapatkan keuntungan besar dari tindakan yang sesungguhnya (mereka ketahui) tak terpuji itu.
Mereka sepertinya juga menafikan adanya peraturan, bahkan hukum yang berlaku. 
Ada anekdot yang sangat kondang: “ Bukankah peraturan dan hukum dibuat untuk dilanggar?”.
Dari penelusuran investigasi wartawan televisi itulah kita tahu bahwa moral dan etika berniaga seperti yang diuraikan dalam hukum niaga secara Islami tak terpakai lagi.
Lalu bagaimana dengan nasib para konsumen kita? Apa yang sudah dilakukan oleh Lembaga Konsumen? Apakah sudah ada usaha menempuh jalur hukum untuk masalah yang menyangkut ‘hajat hidup orang banyak’ itu?
Payung hukum untuk menindak para pedagang curang itu tampaknya tidak ‘berkembang’ dengan semestinya. Dimana saja bisa kita temukan solusi mudah apabila terjadi pelanggaran hukum: “jalan damai”. Tak peduli masalah hukum yang besar atau kecil, jalan damai itu tampaknya lebih disukai oleh masyarakat kita saat ini.
Para pelanggar hukum ternyata memang lebih taat kepada UUD (Ujung Ujungnya DUIT). 
Mungkin orang-orang yang gemar melanggar (hukum dan aturan) itu tak pernah sadar bahwa diakhirat kelak mereka akan berjumpa dengan Ahkamil haakimiin, “Sang Hakim atau Pengadil Sejati”. 
Wallahu a'lam bissawab.....

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus