Minggu, 29 Januari 2012

"TENTANG TOMAS"


Tulisan lepas:


Karikatur 'Tomas'


Para tomas yang (dianggap) terhormat     

     Beberapa waktu lalu Pak Lurah hadir dalam acara pelepasan anggota Posyandu di didaerah tempat tinggal saya. Bertempat di Gedung Pertemuan RW,  Pak Lurah dalam sambutannya berkali-kali menyatakan penghargaannya pada para ‘Tomas’.
Menurut Pak Lurah, para Tomas ini mempunyai kontribusi (andil, saham, sokongan) nyata dalam penyelenggaraan Pemerintahan ditingkat Kelurahan. Karena selalu bekerja sukarela,  tanpa pamrih dan terkadang tanpa dibayar pula.
Siapa sih para Tomas itu? Jangan heran dulu. Tomas yang satu ini samasekali tidak ada hubungannya dengan “Piala Thomas”. Apalagi dengan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, -yang dianggap sebagai- sang penemu bunga Rafflesia Arnoldi dan pendiri negara kota Singapura.
Tomas  yang ini adalah akronim dari TOkoh MASyarakat.
Bagi mereka yang tinggal dilingkungan ‘pinggiran’, atau yang lingkungan pergaulannya masih erat dan akrab, istilah ini pasti sangat dikenal. 

Memang tidak ada kriteria yang baku untuk menetapkan seseorang menjadi ‘Tomas’. 
Biasanya kalau seseorang terlihat ‘menonjol’ didaerah dimana dia tinggal, bisa jadi dia akan langsung dinobatkan (oleh masyarakat sekitarnya) sebagai Tomas.
Menonjol dalam hal apa? Dalam hal apa saja.
Mungkin dia paling sepuh, paling kaya atau paling pintar (dalam segala hal, bisa agama, bisa dalam hal pendidikan atau yang lain lagi). Bisa juga seseorang yang paling berpengaruh (karena punya jabatan tinggi). Atau karena faktor ‘paling-paling’  yang lain lagi. Pokoknya dia adalah orang yang terpandang. 
Setidaknya terpandang oleh para warga atau penduduk yang berada disekitarnya. 
Yang paling sering dimasukkan sebagai 'Tomas' adalah para Guru, Dosen, Ulama dan Pejabat (tingkat apa saja). Orang kaya (yang tidak pelit) juga selalu masuk dalam kategori tomas, karena bisa sering dimintai bantuan dananya.
Akan tetapi, jangan heran kalau suatu saat predikat Tomas ini, (mungkin karena tak ada kriteria yang baku tadi) membuat kejutan. Yaitu dengan membikin orang-orang yang men’tahbis’kannya (sebagai Tomas), menjadi tercengang-cengang. Bisa jadi malah masygul bin gondok. Tidak menyangka bahwa predikat yang diberikan pada seseorang yang dianggap pantas dihormati dan jadi panutan ternyata hanya “pepesan kosong” belaka. Itu kata orang Betawi.

Tomas ‘raja copet’

     Ada satu kisah yang terjadi sekitar awal  tahun 70 an.
Ketika saya masih tinggal dikota Semarang, dilingkungan RT saya pernah ada seseorang yang waktu itu dianggap sebagai ‘tomas’. Dia memang betul-betul tokoh masyarakat  yang disegani di lingkungan RT. Namanya Pak Sohib (bukan nama sebenarnya).
Pria setengah umur berambut ikal ini mempunyai seorang isteri yang termasuk -waktu itu- paling cantik dan paling modis, se RT. Mungkin malah se Kelurahan. Apalagi umurnya masih muda sekali, kira-kira separuh dari umur sang suami. Tidak ada yang tahu pekerjaan atau jabatan apa yang dipegang Pak Sohib ini. 
Yang jelas ia termasuk orang yang sangat dermawan dan peduli pada lingkungan sekitarnya. Sangat luwes dan pandai bergaul dengan semua kalangan. Dari masyarakat kelas akar rumput sampai bapak-bapak Pejabat tingkat Kecamatan
Ia juga sering menjadi pelopor sekaligus donatur dalam kegiatan yang diadakan ditingkat RT. Sangat mengherankan bahwa ia tidak pernah mau ditunjuk untuk menjadi Ketua RT. Ia selalu punya seribu satu alasan untuk menolak jabatan (yang jaman dulu tak bergaji) itu. 
Orang-orang mengira, ia tak pernah bersedia menjadi Ketua RT karena  mungkin ia pejabat kantoran yang sangat sibuk.
Setiap pagi Pak Sohib terlihat pergi meninggalkan rumah dengan tas kantor merek “E” (yang dulu terkenal sangat mahal). Pakaiannya selalu ‘safari’ (setelan jas lengan pendek) warna gelap. Membuat penampilan Pak Sohib selalu tampak gagah dan berwibawa.
Tak ada satupun yang salah dalam pergaulannya dengan penduduk satu RT, sampai suatu ketika tiba-tiba ia menghilang. Sang istri muda (dalam arti benar-benar muda, bukan istri kedua), juga ikut bingung karena sang suami tidak kunjung pulang. Pada waktu itu (tahun 70an) belum jamannya hape. Telepon rumah saja masih jadi barang ‘luks’ untuk lingkungan RT saya. 
Jadi tidak ada seorangpun yang bisa melacak dimanakah gerangan keberadaan Pak Sohib.
Sampai pada suatu hari datanglah serombongan polisi menemui Ketua RT (yang kebetulan dijabat oleh ayah saya). Mereka mencari rumah Pak Sohib. Polisi ingin memberitahu isterinya, bahwa Pak Sohib beberapa hari lalu tertangkap basah dalam sebuah usaha percobaan perampokan yang gagal. Gegerlah kampung kami.
Lebih geger lagi ketika tahu bahwa selama ini Pak Sohib ternyata adalah gembong pencopet yang paling diincar polisi. Tak seorangpun tetangga se RT pernah menyangka bahwa sang ‘Tomas’ yang sangat santun dan dermawan, ternyata adalah rajanya tukang copet! 
Jadi selama ini ia berhasil mengecoh warga dengan penampilan yang meyakinkan dan perilaku (yang tampaknya) tak tercela.
   Ketika awal tahun 80an saya pindah tugas dan kemudian menetap di Ibukota, saya tinggal disebuah kompleks perumahan milik instansi Pemerintah.  Seperti umumnya rumah dinas yang penduduknya ‘homogen’ (berasal dari satu instansi), maka ‘Tomas’nya adalah mereka yang punya kedudukan dan jabatan tinggi di kantor. Istilah kantorannya punya ‘eselon’.
Maka macam-macam pulalah polah-tingkah para ‘Tomas’ ini. Ada yang dalam pergaulan bertetangga di kompleks, selalu membawa-bawa jabatannya di kantor. Ini karena ia merasa pangkatnya paling tinggi diantara para penghuni kompleks yang lain.
Ada lagi Tomas yang kalau ada kegiatan ronda malam atau kerja bakti di kompleks lalu memberikan disposisi kepada bawahannya (dikantor). Sang bawahan ini kebetulan juga tinggal di kompleks, maka dia diperintahkan untuk mewakili ronda. Tak ayal lagi situasi pergaulan dalam kompleks yang seharusnya bersifat ‘paguyuban’  jadi tetap bernuansa resmi kedinasan.
Disinilah timbul  keadaan “kisruh para rawuh” (membingungkan) akibat ulah para Tomas itu. Urusan kantor koq dibawa pulang kerumah. Padahal para Tomas mendapatkan  predikat kehormatan itu justru dari para tetangga (yang tak lain juga rekan sekantor) nya sendiri. 

Tomas yang ‘silau’ pada raskin

    Di tingkat kelurahan ada Tomas yang istilah bahasa Jawanya “nyolong pethek” (tak terduga). Orang ini memang betul-betul seorang Tomas dari ‘sononya’. Karena kakek buyutnya juga seorang Tomas, bahkan jadi tokoh paling berpengaruh di kampung. Kakek buyutnya itu asli kaya raya karena pekerjaannya adalah tuan tanah. Hampir separuh tanah di kelurahan adalah warisan milik sang kakek buyut.
Tak heran masyarakat sekitar sangat segan kepadanya. Rumahnya banyak dan salah satu yang ditinggalinya bersama dua isterinya (!) adalah rumah yang termewah. Ketika sang Tomas terpilih jadi Ketua LKMD (sekarang LMD atau entah apalagi namanya), semua orang ikut bersyukur. Bahkan mendukung.
Beberapa tahun berlalu dengan ‘baik-baik’ saja. Program LKMD pun berjalan lancar sampai suatu saat kemudian masuk program pembagian raskin (beras untuk orang miskin). Pak Ketua tambah populer saja dimata warga. Sebab selain supel ia juga terkenal sangat dermawan. Raskinpun tampaknya terbagi dengan baik dan lancar-lancar saja.
Pada waktu anaknya menderita “OD” karena jadi pecandu berat narkoba, masyarakat masih bisa memaafkan Pak Ketua. Orang-orang punya anggapan bahwa kejadian ‘salah asuhan’ itu hanya akibat saja. Dan merupakan salah satu konsekwensi, karena bapak (dan dua ibu) nya sangat sibuk mengurus kepentingan masyarakat. Sampai anak sendiri malah tidak terurus. Sangat ironis.

Tapi masyarakat tersentak kaget, ketika pada suatu hari nama Pak Ketua tampil besar-besar dalam headline media cetak lokal dan nasional. Tomas yang Ketua LKMD ini menjadi tersangka bahkan terdakwa kasus penggelapan raskin!
Semua dakwaan terbukti dalam sidang pengadilan. Pak Ketua mendapat ‘ganjaran’ beberapa tahun hidup gratis dipenjara. Kali ini tampaknya tak seorangpun bisa memaafkannya. Kecuali barangkali keluarga terdekatnya.

Ya, -seperti judul sebuah lagu tempo doeloe- kini tiada lagi maaf bagi ‘Sang Tomas’. 

    Agaknya ‘Tomas’ atau Tokoh Masyarakat bukan merupakan jaminan mutu. Yaitu bahwa orang yang dihormati dan menyandang predikat itu tak selalu berperilaku baik, lurus  dan pantas jadi panutan.
    Kenyataan yang memprihatinkan.




Jakarta, akhir tahun 2009
(disiapkan untuk mengisi Buletin "Warta Pajimatan")

2 komentar:

  1. Membicarakan ttg 'tomas' asyik juga ya mas, karena disekeliling kita pasti ada, bahkan mgkn kita ada didalamnya.Bagiku ini adalah 'jabatan' yg mulia, karena masyarakat di lingkungan kita 'menobatkan' kita atausiapa saja yg jadi tomas, adalah karena mereka menganggap tomas itu adalah ssrg yg pantas dihormati dan nantinya dijadikan tempat tumpuan konsultasi.Jadi seharusnyalah yg dinobatkan jadi tomas itu bisa menjaga amanah 'rakyat'nya, meski tidak dibayar.Nah...pejabat adalah tomas juga kan mas, resmi malah dan dibayar, jadi seharusnyalah mereka bisa lebih menjaga amanah rakyatnya, tapi yg terjadi...?

    BalasHapus
  2. Yang pasti, jengKoes, kita harus mampu 'belajar' dari kehidupan yang terjadi disekitar kita. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak selamanya yang terlihat baik oleh mata manusia sesuai dengan kenyataannya. Yang sering terjadi, justru banyak penilaian manusia yang meleset dan sangat berkebalikan dari apa yang terlihat. Itu sebabnya saya selalu berdoa mengharapkan yang terbaik bagi Allah lah yang menyertai kehidupan saya. Bukan yang terbaik bagi manusia atau bagi diri saya. Sebab yang terbaik bagi manusia belum tentu terbaik bagi Allah. Sedangkan yang terbaik bagi Allah pasti akan menjadi yang paling utama bagi kehidupan mahlukNya yang bertaqwa.
    Terima kasih telah berkenan setiap tengah malam meninjau blog saya...hahahahaha...itu waktu terbaik memang utk merenung seraya mengambil hikmah thd apa yg telah kita lakukan seharian. Sekaligus mensyukuri nikmat Allah Swt. Jangan lupa juga terus menulis, jangan hanya membaca saja.
    Salam hangat saya,

    BalasHapus