Kamis, 05 Januari 2012

"TENTANG (AGAMA) ISLAM DI INDONESIA" ( 1 )

Tulisan bersambung: (Bagian pertama)


Apakah umat Islam (masih) terbanyak (jumlahnya) di Indonesia? 


 Tawaf di Baitullah


(Sebelum meneruskan membaca tulisan ini, ada baiknya saya ingatkan. Tulisan ini hanya sebuah opini. Bukan kajian ilmiah seorang yang sangat faham tentang agama. Ini adalah pendapat pribadi seorang awam, yang risau melihat perkembangan agama yang dicintainya. Tidak lebih, mungkin malah banyak yang kurang. Itu saja. Semoga tidak membuat pembaca salah faham)

“Innad diina ‘indallaahil islaamu…………”  (Surah Ali Imran, QS. 3 : 19)
(Sesungguhnya agama disisi Allah -hanyalah- Islam…….) 

Itulah ayat Al-Qur’an yang paling berkesan buat saya. Ayat itu disampaikan oleh Pak guru agama sewaktu saya masih duduk dibangku sekolah rakyat (SR, kini SD).
Sebagai anak ingusan (usia sekitar 6-7 tahun), ayat tersebut seperti menghipnotis diri saya.
Sejak saat itu saya mantap mengaku sebagai “orang (yang beragama) Islam”.

Harap maklum, saya berasal dari percampuran dua keluarga besar yang berbeda latar belakangnya. Meskipun masih satu suku: Jawa asli. Dari fihak ayah mengalir darah feodal, sedangkan dari fihak ibu mengalir darah santri. Percampuran dua latar belakang itu membuat saya masuk dalam lingkungan yang biasa disebut sebagai “Islam Abangan”.

(‘Priyayi’, ‘Islam Abangan’ dan ‘Santri’ itu adalah istilah yang dipakai oleh Clifford Geertz dalam bukunya “The Religion of Java”, yang diterbitkan oleh The Free Press of Glencoe, London, 1960).  

Saya juga masih ingat bahwa pada saat itu Pak Guru Agama selalu membanggakan umat Islam yang merupakan pemeluk agama mayoritas di Indonesia. Katanya pemeluk agama Islam di Indonesia berjumlah hampir lebih dari 90 (sembilanpuluh) persen dari seluruh penduduk warganegara Indonesia. Harap maklum, itu adalah data pada tahun 1960-an.  Terus terang (meski tidak tahu persis kebenaran data itu) saya sangat bangga mendengar cerita tersebut. Oleh sebab itu saya juga sangat bangga menjadi “orang (yang beragama) Islam”.

     Tahun demi tahun berganti. Indonesia tumbuh berkembang menjadi sebuah Negara dengan jumlah penduduk yang juga semakin ‘membengkak’. Saya tetap bangga kalau melihat jumlah jemaah haji Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Kuota jemaah haji selalu terlewati. Konon calon jemaah haji Indonesia dikota manapun sampai harus menunggu beberapa tahun agar bisa berangkat ketanah suci. Belum lagi yang berangkat Umroh tiap tahun berjubel.
Namun dari tahun ketahun hati saya juga selalu risau.
Menurut BPS, pada akhir tahun 2010,  konon penduduk Indonesia sudah lebih dari 230 juta orang. Tepatnya mencapai 237.641.326 orang.
Apakah jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia juga ikut ‘membengkak’? Tampaknya belum tentu.
Jangan gusar dulu. Ini semata-mata kalau dilihat dari persentase secara statistik.
Dimasa lalu, Indonesia pernah tercatat mempunyai lebih dari  90% warganegara yang menganut agama Islam. Berarti warganegara yang memeluk agama selain Islam hanya sekitar 10% saja.
Tapi sekarang, menurut data statistik BPS (akhir 2010),  jumlah pemeluk agama Islam menjadi sekitar 87.18 % persen. Tampak persentasenya turun lebih kurang 3 persen. Dengan demikian pemeluk agama selain Islam (tentu saja) naik sekitar 3 persen juga. Adapun perincian persentase tiap agama yang diakui pemerintah Indonesia (selain Islam) adalah, Kristen (6.96%), Katolik (2.9%), Hindu (1.69%) Budha (0.72%), Kong Hu Cu (0.05%), Lain-lain (0.13%).
Walau hanya kurang lebih 3%, tapi tetap saja itu berarti penurunan persentase.
Apakah ditahun-tahun yang akan datang bisa kembali naik atau bahkan lebih turun lagi?
Tabligh Akbar
Apakah artinya popularitas agama Islam di Indonesia juga menurun? Juga belum tentu.
Perlu kajian lebih mendalam untuk menentukan turun naiknya popularitas. Sebab banyak sekali indikatornya.
Sejauh ini, popularitas agama tidak berbanding lurus dengan populasi penduduk.
Akan tetapi memang banyak faktor yang bisa mempengaruhi penurunan itu. Diantaranya adalah perbandingan antara umat Islam yang ‘pindah agama’ (murtadin) dan pemeluk agama Islam yang baru masuk (mualaf). Menurunnya popularitas juga bisa terjadi karena faktor teknologi informasi yang berkembang sangat pesat.
Umat Islam yang belum teguh imannya dipaksa untuk menyaksikan tayangan-tayangan yang datang dari mana saja (karena adanya antena parabola dan TV kabel). Bahkan setiap hari dicekoki  tayangan berbau propaganda agama (selain Islam). Tayangan terselubung begini biasanya susah sekali disaring. Maklum jaman globalisasi.

Sebagai orang awam dan bukan ahli agama (dan dengan demikian maka sungguh dangkal pemahaman saya mengenai agama), saya lalu berpikir:
Daripada menyalahkan pihak lain, mengapa kita (umat Islam) tidak mawas diri saja?
Apakah mungkin  ada yang salah dalam konsep teori maupun praktek ‘penyebaran’ agama Islam di negeri kita tercinta, Indonesia?
Saya mencoba mencermati dengan kepala dingin dan pikiran sejernih yang saya mampu. Namun tentu saja dengan memakai logika serta analogi orang yang sangat awam terhadap agama.

Begini, kita ambil contoh dengan analogi yang juga sangat sederhana saja:
Ada dua buah toko yang terletak dalam satu lokasi yang sama. Sebut saja toko A dan toko B. Kedua toko menjual komoditi atau barang dagangan yang nyaris sama. Kalau toko A omzetnya terus naik sedangkan toko B omzetnya statis atau cenderung menurun, maka pasti ada yang salah dengan ‘manajemen’ toko B. Betul?
Kalau analogi itu tidak keliru, maka kita bisa menarik kesimpulan tentang bagaimana hal itu bisa terjadi.

Menurut hemat saya, “turunnya omset toko”  itu mencakup 3 (tiga) faktor utama:

    Faktor pertama: dana dan promosi. Ini hal yang sangat erat berkaitan. Untuk dapat berpromosi tentu dibutuhkan ‘dana’ atau biaya, disamping juga harus menguasai cara atau kiat berpromosi.

Yang akan saya uraikan dibawah ini adalah penggalangan dana DILUAR yang telah dilakukan oleh Ormas-ormas dan Partai-partai Politik berbasis Islam di Indonesia. Karena banyak Ormas dan Partai Politik Islam yang sudah sejak berdiri mempunyai sumber pendapatan sendiri. Sumber dana tersebut berasal dari hasil usaha maupun dari iuran anggota serta sumbangan atau infaq dari pihak ketiga.
Ada beberapa Ormas dan Parpol Islam yang mempunyai Lembaga Pendidikan dari tingkat TK sampai Universitas. Lembaga Pendidikan ini dikelola dengan sangat profesional. Ada beberapa yang mempunyai nama sangat terkenal sebagai lembaga pendidikan terbaik. Bahkan ada yang mempunyai Rumah Sakit dan Badan Usaha serta Yayasan atau Panti Asuhan Yatim piatu,  yang tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi sebagai ormas atau Parpol, tentu dananya sebagian besar diperuntukkan bagi warga atau anggota masing-masing.
Selain Ormas dan Parpol, harus kita akui bahwa dalam menggalang dana, umat Islam Indonesia (walau faktanya mempunyai jumlah terbanyak) selalu ketinggalan dari umat lain (non muslim, terutama nasrani).
Baik dari segi mutu (kualitas) maupun dari segi jumlah (kuantitas).

Setahu saya, sejak dahulu kala penggalangan dana umat Islam di Indonesia selalu dilakukan dengan cara tradisional. Baru akhir-akhir ini saja ada cara lain yang lebih modern dan terorganisir. Yaitu dengan adanya institusi semacam BAZIS (Badan Zakat dan Infaq Islam). Islam sesungguhnya telah mempunyai ajaran tentang penggalangan dana ini. Yaitu dengan pengumpulan zakat dan atau infaq.

Kita tahu bahwa zakat termasuk salah satu RUKUN Islam, yang seharusnya WAJIB dilaksanakan.
Tapi pada prakteknya zakat seolah menjadi hal yang suka rela.
Fakta membuktikan, bahwa pengumpulan zakat secara terkoordinir malah tidak berjalan baik.  Banyak orang Islam kaya raya yang lebih senang memberikan sedekah atau infaqnya secara langsung. Mereka seolah enggan menyerahkan lewat badan yang dibentuk oleh pemerintah. Entah karena mereka tidak yakin atau memang ada bibit suudzon.
Sesungguhnya kurangnya dana yang dialami banyak komunitas Islam tak perlu terjadi. Yaitu apabila Pemerintah lebih peduli, demikian juga dengan para ulamanya. Karena apabila dikelola dengan baik,  zakat akan bisa mengatasi semua kesulitan yang menyangkut dana.
Penduduk Indonesia yang beragama Islam jumlahnya 207.176.162 orang. Katakanlah 75% saja yang mau membayar zakat. Maka akan terkumpul dana yang tidak kecil nilai rupiahnya.

Namun cara tradisional tampaknya tetap menjadi andalan. Yang sangat sering kita jumpai adalah dengan mengedarkan kantong atau kotak atau kaleng di masjid, surau ataupun langgar. Biasanya dilakukan dalam acara ritual keagamaan. Terutama yang rutin adalah dalam penyelenggaraan sholat Jum’at, sholat Ied atau pengajian.
Terkadang kita jumpai pula penggalangan dana dengan cara menyodorkan kotak sumbangan di tengah jalan. Sebuah cara yang kadang membuat orang risau, bahkan jengkel. Maklum karena ‘aksi’ tersebut membuat kendaraan yang lalu lalang terpaksa harus mengurangi kecepatan.
Akibatnya seringkali menimbulkan kemacetan, kalau sedang jam sibuk.

Dan ‘aksi’ seperti itu tidak hanya terjadi pada saat menjelang hari besar keagamaan. Kebanyakan malah terjadi setiap ada yang akan mendirikan atau memperbaiki masjid atau mushola. Dengan tidak bermaksud mengurangi rasa hormat, saya simpulkan bahwa penggalangan dana model ini bisa disebut sebagai “TANGAN DIBAWAH”.
Padahal Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda bahwa “tangan diatas lebih mulia daripada tangan dibawah”.
Maksudnya jelas, bahwa memberi lebih mulia daripada meminta-minta.

Namun ada juga yang beranggapan bahwa lebih baik berbuat begitu (minta sumbangan ditepi jalan) daripada tidak berbuat apapun.  Yang berarti untuk membangun atau memperbaiki masjid, cara ‘tangan dibawah’ itu dianggap punya andil ‘membesarkan’ agama juga.
Secara jujur harus kita akui, bahwa agak susah menemukan cara penggalangan dana model ‘tangan dibawah’ itu pada para penganut agama lain (non Islam). Meskipun bukan berarti tidak ada. Beberapa daerah diluar Jawa yang merupakan ‘kantong’ pemeluk agama non Islam, ada juga yang melakukan pengumpulan dana seperti itu.
Tapi entah dengan cara apa dan bagaimana, mereka (yang non Islam) toh bisa melakukan dakwah secara agresif tapi efektif. Bahkan mampu mendirikan bangunan untuk tempat beribadah yang megah tanpa harus merepotkan para pengikut (umat) nya. Ternyata diketahui  bahwa memang banyak terjadi ‘dropping’ dana dari luar negeri. Dana ini khusus untuk penyebaran agama (non Islam) di Indonesia.

Itu tadi dilihat dari cara penggalangan dana.
Sekarang mari kita lihat dari cara ber”promosi”.
Promosi dalam bidang agama artinya dakwah. Itu berarti merupakan tanggung jawab para ulama (secara harfiah, ulama berarti “orang yang mempunyai ilmu”. Sedangkan yang biasa berdakwah disebut sebagai da’i).
Didaerah terpencil di Indonesia bagian timur, para da’i kita nyaris selalu ‘ketinggalan kereta’. Yaitu apabila dibandingkan para misionaris yang kaya logistik (bahkan kadang punya pesawat terbang).
Walaupun  (katanya) mereka bekerja secara ‘sukarela’. Tapi kehidupan para misionaris ini sehari-hari jelas lebih dari cukup.
Memang kita akui bahwa akhir-akhir ini banyak bermunculan da’i muda berpotensi yang sangat populer di media cetak maupun elektronik. Termasuk da’i bocah dan da’i remaja. Kita juga bangga bahwa media elektronik sekarang sudah banyak menayangkan program dakwah termasuk lomba untuk jadi da’i.
Tapi mengapa gaung dakwahnya seperti lenyap begitu saja? Dimanakah letak kekurangannya? Apakah materi dakwah yang disampaikan kurang menyentuh akar persoalan yang dihadapi umat Islam sehari-hari? Atau adakah kecenderungan sikap para da’i yang malah menimbulkan rasa ‘kurang dekat’ dengan umatnya?
Ini adalah gejala yang bisa kita rasakan mulai dari kalangan ‘akar rumput’.
Anda pasti pernah mendengar keluhan umat yang tak berani mengundang kiai atau da’i untuk berdakwah dirumahnya karena merasa tak mampu membayar ‘honorarium’ sang da’i. Masyarakat dari golongan yang lebih ‘bawah’ lagi bahkan kadang merasa rikuh untuk mengundang  pak Kiai guna memimpin selamatan dirumah. Apa sebab?  Karena ia merasa tak mampu memberi ‘amplop’ yang jumlahnya cukup memadai bagi pak Kiai! (Kiai ini nama julukan bagi ulama, khususnya di tanah Jawa. Julukan itu kemudian bisa menjadi ‘gelar’ yang selalu harus dicantumkan didepan namanya).
Selain memasuki jaman globalisasi, kapitalisme ternyata juga sudah merambah kesemua arah. Termasuk kooptasi kedalam agama, dimana dakwah lalu menjadi semacam mata pencaharian.
Terjadi semacam ‘komersialisasi jabatan’, yang ternyata juga menimpa para pendakwah agama lain.
Ini fakta, bukan isapan jempol belaka.
Apalagi ternyata banyak pula da’i yang sudah mulai berani (maaf) “pasang tarif”.
Dijaman modern ini bahkan ada da’i yang merasa wajib memakai manajer guna mengatur jadwal dakwahnya. Sehingga untuk mengundang beliau berdakwah, umat harus ‘pesan tempat’ jauh hari sebelumnya. Itupun  dengan tarif  yang ‘aduhai’ jumlahnya. “Tarif naik panggung” itu biasanya ditentukan oleh sang manajer.
Astagfirullah. Mohon seribu maaf, ini da’i atau ‘selebriti profesional’ sih?  Atau Da’i Selebriti?
Alih-alih berpromosi (kata lain dari dakwah), sejatinya para ulama atau da’i itu malah seakan-akan mendapatkan ‘kesejahteraan’ dari umat. Sekaligus juga mendapatkan popularitas, menjadi seorang da’i kondang.
Bukankah seharusnya ulama yang membuat hidup umat menjadi sejahtera?
Paling sedikit dalam hal sejahtera (kekayaan) rohaniahnya.
Atau kalau mau berkata lebih kasar, para ulama dan da’i profesional itu bisa saja disebut sebagai (maaf) “menjual diri” kepada umat.

Dari sini kita sudah bisa ‘mencium’ ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan antara ulama dan umatnya.
Marilah kita renungkan bersama.
Kalau umat tidak merasa dekat dengan umara, mungkin  itu hal yang masih wajar.
Karena masih banyak umara (birokrat) kita yang merasa dirinya sebagai Pangreh Praja (pangreh = tukang perintah) bukan Pamong Praja (pamong = pengayom /pelindung).
Akan tetapi kalau umat merasa jauh dari ulama? Nah ini bisa jadi tanda bahaya.
Oleh karena itu jangan menyalahkan fihak luar (selain Islam) apabila akhirnya umat Islam bisa “tergelincir”. Mereka hanya tergiur pada iming-iming pengkhotbah dari agama lain yang lebih terasa ‘dekat’, komunikatif, dan penuh perhatian.
Juga jangan menebarkan isu adanya  (maaf) “Kristenisasi” atau “Injilisasi” atau yang lain-lain. Walaupun secara nyata memang kasus itu benar-benar ada.
Baik “Islamisasi” maupun “Kristenisasi” itu memang benar terjadi dibeberapa daerah. Terutama pada saat ada daerah yang terkena bencana alam. Disitulah ajang dakwah terbaik bagi segala macam agama untuk 'menjaring' jemaat atau jemaah baru.
Lha, kan persis dengan tingkah partai politik yang suka tebar pesona ditengah para korban bencana.
Mereka (tokoh partai) juga mencari ‘konstituen’ dengan menebar bantuan dan janji.




bersambung.......

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar