Jumat, 27 Januari 2012

"KOLEKTOR"

Tulisan lepas:

(Ternyata bukan hanya pemulung yang suka mengumpulkan barang atau benda. Saya termasuk salah satu yang bukan pemulung tapi sangat suka mengumpulkan benda) 


Koleksi Boneka
 Released by mastonie on Wednesday, January 25, 2012 at 7:46pm


Rumah (yang) berantakan dan tidak pernah rapi

     Setiap orang yang pernah berkunjung kerumah saya pasti heran. Dimana-mana tampak terkumpul benda-benda atau pernak pernik yang berserakan didalam rumah.
Sebetulnya tidak berserakan amat, karena sudah saya kelompokkan sesuai jenisnya.
Bagi yang menyukai ruangan yang apik, resik dan rapi, rumah saya pasti tampak bagaikan gudang. Tapi siapa peduli? Home sweet home, kata orang sono.

     Jadi kalau saya merasa rumah saya sudah nyaman saya tempati, ya buat apa mendengar komentar orang. Belum tentu saya juga merasa nyaman dirumah orang lain kan?
Habis mau bagaimana lagi. Saya memang nyaris seperti ‘pemulung’. Suka mengumpulkan barang atau benda-benda yang saya anggap pantas untuk dikumpulkan. Pasti itu sangat subyektip sifatnya. Karena benda yang saya sukai belum tentu disukai oleh orang lain. Bahkan oleh keluarga saya sendiri.

Bermula dari hobi

     Kalau harus merunut kebelakang, kapan saya mulai senang mengumpulkan segala sesuatu yang saya sukai, saya menyerah. Saya hanya ingat bahwa sejak masih balita saya suka sekali mengumpulkan mainan berupa apa saja. Terutama mobil-mobilan.
Setahu saya (setelah jadi orang dewasa) lebih banyak balita yang merusak mainannya sendiri. Sehingga boro-boro dikumpulkan, bekasnya saja sudah susah dicari. Karena sudah berantakan. Tapi mainan saya pada saat masih balita biasanya awet dan saya simpan dengan rapi.
Jadi sebenarnya saya bisa digolongkan sebagai balita yang agak “lain daripada yang lain”.

     Yang jelas saya rasakan adalah bahwa saya mempunyai sebuah kecenderungan, sangat menyayangi semua benda yang saya miliki. Saya tidak tahu apakah itu termasuk dalam istilah ilmu psikologi yang disebut sebagai ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan).
Mungkin ini sindroma posesif yang berlebihan. Tapi kecenderungan itu lalu berubah menjadi sebuah hobi (kesenangan). Saya pasti akan menyimpan barang atau benda (berupa apa saja) yang saya sukai dan akan saya simpan dengan baik.

     Sewaktu masih duduk di kelas satu Sekolah Rakyat (SR), saya sudah senang mengumpulkan mobil-mobilan dan mainan lain. Saya juga suka mengumpulkan kelereng, perangko, kartupos dan bungkus rokok (terutama) buatan luar negeri. Tidak mengherankan jikalau kamar tidur saya berantakan penuh dengan barang-barang simpanan.
Sayang sekali pada saat saya kelas 6 SR, kedua orang tua saya berpisah. Hidup saya kocar kacir, begitupun dengan barang-barang dan semua mainan saya.
Hidup saya betul-betul berantakan. Hati saya terluka amat parah. Kehilangan keutuhan orang tua dan barang-barang yang sangat saya sayangi.

Mulai jadi kolektor

     Setelah tumbuh dewasa, dan sudah bisa mencari nafkah sendiri, saya mulai agak serius menjadi pengumpul barang. Istilah keren nya kolektor. Dari benda-benda sepele seperti korek api, sabun dan ‘tetek yang tidak bengek’ yang saya dapatkan dari hotel dimana saja saya pernah bermalam. 
Saya juga senang mengumpulkan benda-benda khas yang berasal dari suatu daerah.

Tapi yang paling banyak saya kumpulkan adalah buku dan majalah.
Itu sangat berhubungan dengan ‘minat gila’ saya: membaca.
     Seiring dengan hobi mengumpulkan barang itu, saya juga selalu menyimpan kuitansi pembelian buku dan kartu garansi barang atau alat elektronik. Sebelum bisa membuat stempel, saya cantumkan (dengan tulisan tangan) tanggal pembelian disetiap buku yang saya beli. Kuitansinya saya selipkan dibelakang sampul dengan perekat. Itu menjadi sebuah kebiasaan yang sepertinya tidak bisa saya hindari. Sampai sekarang, saat saya menulis catatan ini.
Mungkin ada orang yang menganggap aneh tingkah laku saya itu, bahkan berlebihan. Tapi saya bergeming. Sepanjang kelakuan itu tidak mengganggu orang lain, saya pikir saya berhak menentukan sikap dan pola hidup saya sendiri.

     Maka begitulah, waktu masih bujangan saya menyewa kamar kos yang berukuran hanya 2 x 3,5 meter. Didalamnya penuh dengan rak gantung berisi koleksi buku. Juga Piala kejuaraan Deklamasi dan benda-benda koleksi saya. Didinding tergantung segala macam piagam yang berhasil saya peroleh. Kebanyakan berupa Piagam Penghargaan dari Gerakan Pramuka yang jumlahnya sampai puluhan lembar. Piagam-piagam itu saya masukkan dalam pigura dan saya pajang untuk hiasan dinding. Lumayan untuk menutupi bopeng dan lubang di dinding yang terbuat dari papan kayu sengon itu.
     Selain itu saya juga termasuk ‘maniak’ mengumpulkan foto. Tentu foto-foto yang menyangkut kegiatan saya. Pada waktu itu saya belum mampu membeli album foto. Maka foto-foto itu saya masukkan dalam sampul plastik yang biasa dipakai untuk sampul buku.  Sejak itulah saya juga mulai gandrung dengan hobi fotografi.
Namun pada jaman itu (tahun 60 – 70an) harga sebuah toestel (kamera foto) sangat mahal, termasuk negatip film dan ongkos cetaknya. Jadi saya harus pinjam kamera kesana kemari untuk menyalurkan hobi fotografi tersebut.
Setelah menjadi Pegawai tetap dan punya gaji tetap, saya menyisihkan sekitar 10% untuk membeli buku. Terkadang juga membeli majalah berita paling top pada masa itu. Alhasil, harta saya yang paling banyak barangkali ya cuma buku dan majalah.

     Ketika hidup saya sudah agak mapan, saya bendel semua majalah bulanan per 6 bulan. Saya belajar sendiri memberikan nomor katalog disetiap buku, sesuai dengan kaidah perpustakaan internasional.
Masalah kemudian muncul. Rak-rak buku yang saya buat sendiri dari besi siku ternyata tidak kuat menyangga berat buku dan majalah yang ada. Ada rak buku yang sampai melengkung, mungkin terlalu berat. Istri saya yang pertama kali protes. Sebab tidak sedap dipandang mata. Selain itu rumah jadi seperti gudang buku. Lama kelamaan anak-anak saya juga mengikuti jejak ibunya: protes keras. Empat melawan satu, saya jelas kalah suara. Dengan berat hati saya merelakan koleksi majalah saya dijual ke tukang loak. Saya hanya bisa menangis dalam hati. Itu adalah bendel majalah yang saya kumpulkan sejak tahun 1974.
Sampai kini saya tetap menyesali tindakan bodoh saya itu. Tapi semua sudah terjadi.

Koleksi dari perjalanan dinas keluar negeri

     Ketika saya berkesempatan untuk pergi dinas keluar negeri, hobi mengumpulkan barang semakin jadi. Dinegara-negara Eropa dan Amerika, selalu ada sebuah genta kecil (bel, keliningan) yang bersimbol negara atau ciri khas daerahnya.
Saya beli satu persatu, tapi pasti saya pilih harga yang termurah. Soalnya uang saku saya tidaklah banyak.
     Disetiap hotel berbintang, selalu disediakan secara cuma-cuma peralatan mandi (toiletries). Sabun kemasan kecil, sikat gigi, odol dan shampo dalam botol kecil. Bentuknya lucu dan menarik, itu menyebabkan minat saya untuk mengoleksi. Toh saya selalu membawa peralatan mandi sendiri yang cukup lengkap. Beberapa hotel ternama bahkan juga menyediakan minuman keras dalam botol mini. Kalau gratis atau harganya tidak mahal, juga pasti saya beli. Banyak juga hotel yang mengeluarkan korek api dan alat tulis menulis (stationary) yang boleh dibawa para tamunya. 
Benda inipun tak luput dari incaran saya.

     Maskapai penerbangan asing selalu menyajikan hidangan dengan peralatan makan yang terbuat dari logam. Itu terjadi jaman dahulu (tahun 80 -90an) pada saat saya sering dinas keluar negeri. Kini peralatan makan kebanyakan sudah terbuat dari plastik.  Sendok garpu itu selalu memakai simbol maskapai penerbangan yang bersangkutan.
Peralatan makan itu juga saya kumpulkan. Termasuk gelas (cup) kecil yang manis bentuknya. Tentu saja dengan seijin dari Pramugari. Kepada penumpang asing, biasanya para Pramugari (maskapai penerbangan apa saja) sangat murah hati. Termasuk memberikan ekstra minuman wine (anggur) dalam botol kecil. Walaupun saya hanya penumpang kelas “Y” (ekonomi). Anggur dalam botol mini itu juga ikut menjadi benda yang saya koleksi.
Karena sudah pergi nyaris ke lima benua, saya juga tak lupa mengoleksi uang logam (coin) dari beberapa negara yang saya datangi.

     Sejak lama saya berminat mengumpulkan ‘tosan aji’ juga. Terutama keris dan tombak. Benda ini saya anggap sebuah hasil karya asli anak negeri yang patut dilestarikan. Bukan karena kesaktian atau ‘isi’nya. Saya mengumpulkan keris berdasarkan lekuk (luk), dan pamornya (corak yang timbul pada bilah). Beberapa karena usianya yang tua. Tapi tak satupun yang saya anggap bertuah atau perlu dikeramatkan. Semuanya saya anggap sebagai benda seni semata.

     Tak terasa kemudian koleksi saya ternyata menjadi banyak sekali. Korek api dan toiletries hotel dari seluruh dunia. Ada juga lonceng mini, sendok garpu maskapai penerbangan, sendok kecil berlambang khas daerah dan gantungan kunci. Bermacam-macam minuman keras dalam botol minipun saya koleksi. Jelas bukan untuk diminum. Saya hanya tertarik pada bentuknya yang unik dan lucu.
Selama mengadakan perjalanan keluar negeri, saya selalu membuat dokumentasi foto. Itu sebabnya saya juga mengumpulkan bermacam kamera. Baik kamera foto maupun kamera video. Kebanyakan masih berupa kamera foto konvensional (memakai negatif film), bukan digital.

     Dikemudian hari istri saya ternyata juga tertular ‘virus’ aneh saya. Dia mulai gemar mengumpulkan benda-benda ucapan terima kasih dari teman-teman yang punya hajat nikah. Benda yang satu ini banyak sekali bentuk dan ragamnya.
Ada gelas kecil, kipas tangan, miniatur hewan dan banyak lagi.  
Semula saya siapkan satu almari khusus untuk menyimpan benda-benda koleksi. Ternyata satu almari tidak muat lagi. Akhirnya saya harus membuat beberapa tempat khusus bagi benda-benda koleksi itu. Maka jadilah beberapa almari (besar dan kecil) tempat saya menaruh sekaligus memajang benda-benda koleksi saya. Tapi yang terbanyak tetap saja almari atau rak buku.
     Sebab itu jangan heran kalau rumah saya seperti ‘kapal pecah’.
Nyaris berantakan dengan pernak pernik dan benda koleksi saya.
Setelah purna tugas alias ‘pangsiyun’, saya baru bisa menikmati benda-benda yang saya kumpulkan selama ini.
Hobi atau kesenangan mengumpulkan atau mengoleksi suatu benda ternyata dapat menenangkan jiwa juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar