Rabu, 11 Januari 2012

"TENTANG PESTA TAHUN BARU (M)"

Tulisan lepas:

"Apakah Tahun Baru harus  disambut dengan PESTA?"

(Sebuah opini atas dasar keprihatinan, sekaligus otokritik seorang anak bangsa)

 Pesta Kembang Api

 Released by mastonie on Tuesday, January 10, 2012 at 10:52am



Antara Desember ceria dan kelabu

Akhir bulan Desember  hampir selalu adalah musim hujan. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah: ‘Desember....gede-gedene sumber”. Artinya bulan Desember mempunyai sumber air yang besar (dari hujan).

Menjelang habisnya sebuah tahun, dijalanan tampak mulai banyak penjual terompet kertas. Pemandangan ini nyaris terlihat disemua kota besar di Indonesia. Saya selalu memandang mereka dengan hati miris. Sebab kalau hujan tak juga mereda, harapan para penjual terompet untuk mendapatkan penghasillan semakin tipis. 
Itulah nasib rakyat kecil. Rakyat jelata. Para akar rumput.


Alih-alih mempertontonkan pemerataan, perayaan pergantian tahun selalu lebih menonjolkan kemewahan milik para ‘the haves’. Para konglomerat, pebisnis kaya raya, politisi, pejabat negara, koruptor, semua berlomba memesan tempat di hotel-hotel mewah. Mereka inilah yang barangkali dijaman Bung Karno dulu disebut sebagai Kapitalis Birokrat.
Mereka benar-benar mencoba membuat bulan Desember yang ceria.

 Perumahan kumuh di Jakarta
Sementara itu dipinggir rel kereta, bantaran sungai atau dibawah jembatan layang, kehidupan harus terus berjalan. Tak ada kecerian diwajah para penghuni gubuk-gubuk kumuh itu. Mereka mungkin malah sedang berpikir keras, bagaimana mencari makan untuk esok hari. Jangankan membeli terompet kertas, untuk membeli nasi buat mengganjal perut anak-anak saja mereka harus membanting tulang. Kerja keras seharian sebagai apa saja. Kuli, buruh bangunan, pemulung, penyapu jalan dan entah apa lagi.
Merekalah yang biasa disebut kaum papa, fakir miskin atau kaum duafa.
Bagi mereka bukan hanya Desember, setiap bulan bahkan selalu jadi bulan kelabu.

Jangan salah sangka. Kaum duafa  ini jumlahnya jauh lebih banyak dari mereka yang pesta dihotel mewah. Ditambah dengan mereka yang pergi ke tempat rekreasi umum sekalipun. Kaum duafa ini tak sempat berpikir tentang tahun baru, apalagi untuk merayakannya dengan gegap gempita.
Lalu kenapa masih ada juga yang tega bermewah-mewah disetiap pergantian tahun?
Kenyataannya,  itulah yang terjadi setiap tahun. Bahkan sudah seperti tradisi.

Memang, sesuatu yang “salah kaprah” (terlanjur sudah biasa dilakukan) biasanya susah meluruskannya.
Dibutuhkan tidak hanya niat. Tapi juga perubahan cara pandang dan pola pikir banyak orang.
Sesuatu yang nampak gemerlapan, tidak selamanya menggambarkan situasi atau keadaan yang sebenarnya. Dalam kosakata bahasa Jawa ada pepatah yang sangat pas: “Kencono katon wingko” (Emas tampak seperti puing) demikian juga sebaliknya, ”Wingko katon kencono”.


Munculnya peringatan hari besar Islam

Sejarah bangsa ini mencatat, bermacam ragam budaya, keyakinan, kepercayaan dan agama datang silih berganti. Jauh sebelum bumi Nusantara dijajah oleh bangsa asing. Namun agama yang tampak paling menonjol perkembangannya adalah Islam. Itu berkat perjuangan para wali yang sangat gigih menyebarkan agama Islam. Semua daya upaya dilakukan dengan merangkul budaya dan adat kebiasaan (animisme dll) yang sudah lama ada. Termasuk agama lain (Hindu dan Budha yang sudah lebih dulu eksis) akhirnya harus mengakui superioritas para Wali. Dan terbukti agama Islam mempunyai penganut terbesar di Indonesia sampai saat ini. (Lebih dari 87%, menurut data statistik BPS tahun 2010).

Sebenarnya Islam tidak mengajarkan adanya peringatan untuk hari–hari tertentu. Kecuali hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Namun para Wali (tentu dengan persetujuan penguasa/Raja) membuat peringatan untuk menyambut tahun baru 1 Muharam. Bahkan peringatan Maulid (hari lahir) Nabi Muhammad Saw. 
Padahal salah satu yang tidak dikenal (karena tak ada ajarannya) dalam agama Islam adalah peringatan Hari Ulang Tahun (Belanda: Jarig). Junjungan kita Nabi Muhammad Saw  tidak berkenan merayakan hari lahirnya. Apalagi seorang manusia biasa. Demikian pula dengan memperingati hari wafatnya seseorang yang biasa disebut dengan haul.
Tetapi Sultan Agung dan para Wali dahulu memutuskan membuat acara peringatan tahun baru 1 Muharam dan Maulid Nabi bukan tanpa alasan. Semuanya dilakukan dengan satu alasan: dakwah sekaligus menarik minat masyarakat untuk masuk agama Islam.
Diharapkan dengan peringatan itu masyarakat tertarik masuk agama Islam. Acara juga cukup diselenggarakan secara sederhana. Tidak berlebihan. Penuh dengan perlambang dan simbol keagamaan. Itu sebuah kiat saja ditengah masyarakat yang sangat heterogen. Walaupun mungkin tetap ada yang menamakannya sebagai bid’ah.
Sejak itulah diadakan peringatan menyambut tahun baru 1 Muharam (1 Suro) yang biasa dilakukan oleh keraton Yogya dan Solo. Peringatan dilakukan dengan kirab (perjalalanan keliling) ditengah malam sambil mengarak senjata pusaka yang akan disucikan tepat pada tanggal 1 Muharam. Tampak disini bahwa para Wali masih mau mengadopsi acara adat yang di'bungkus' dengan balutan ajaran agama (Islam). Semuanya demi mencegah resistensi (penolakan) masyarakat terhadap ajaran agama yang relatif masih baru,

(Peringatan tahun baru Islam 1 Muharam secara internasional juga baru dimulai sejak  sekitar tahun 1970-an. Awalnya dari ide pertemuan cendekiawan Islam di Amerika Serikat. Pada saat itu terjadi fenomena maraknya dakwah Islam. Masjid-masjid dipenuhi jemaah, dan para muslimah mulai berani tampil mengenakan jilbab. Sampai kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival. Bahkan majalah Times pun memuat disampul depannya tulisan Islamic Revival.  Untuk lebih menggelorakan kebangkitan Islam, akhirnya disepakati perlunya peringatan tahun baru Islam 1 Muharam menyebar ke umat Muslim diseluruh penjuru dunia)

Demikian pula perayaan setiap tanggal 12 Rabi’ul awal (Maulud) memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw.  Perayaan di bulan Maulud (Maulid, Milad) itu disebut dengan “Sekaten” (konon berasal dari kata ‘syahadatain’ = dua kalimat syahadat). Sekaten biasa dimulai dengan membawa dua perangkat gamelan dan beberapa ‘Gunungan’ dari dalam Keraton. Benda-benda itu diarak dihadapan khalayak ramai yang biasanya sudah menunggu di alun-alun (lapangan luas didepan keraton). Dua perangkat gamelan akan dikembalikan ketempat masing-masing. Akan tetapi gunungan habis ‘dijarah’ rakyat yang akan ‘ngalap berkah’. Sebuah simbol pengharapan rakyat kecil kepada sang penguasa.

Bumi Nusantara terjajah semua berubah

Setelah bumi Nusantara menjadi negeri jajahan negara Barat (Portugis, Inggris dan Belanda), maka pengaruh negeri barat itu juga sangat terasakan. Agama yang mereka bawa (Nasrani) memang tidak cukup kuat menggeser keyakinan sebagian besar masyarakat. Akan tetapi pengaruh budaya barat yang turut dibawa ternyata sangat dalam membekas.
Bagaimana tidak? Bumi Nusantara berada dalam genggaman penjajah Belanda nyaris tiga setengah abad lamanya.

Salah satunya adalah pemakaian kalender Masehi untuk menggantikan kalender Jawa atau Islam. Seluruh kegiatan pemerintah dan rakyat Hindia Belanda harus memakai penanggalan (kalender) Gregorian/Masehi.
Memang kalender inilah yang akhirnya menjadi kalender internasional.
Walaupun almanak Jawa dan kalender Islam masih juga dipakai oleh golongan tertentu, tapi sehari-hari kalender yang dipakai adalah kalender Masehi.
Jangan heran apabila saat ini anda hanya mengenal hari ulang tahun anda dengan tanggal Masehi, bukan tanggal Jawa atau Islam. Sudah banyak pula orang Jawa yang tak tahu weton (neptu hari) nya sendiri. Penentuan hari pernikahanpun memakai kalender Masehi. Karena kalender berbasis surya itu  ditetapkan pula menjadi kalender nasional. Otomatis demikian pula dengan perayaan hari besar semua agama yang diakui pemerintah.

Salah satu hari yang dirayakan secara besar-besaran selain hari kelahiran Nabi Isa (disebut sebagai hari Natal) adalah hari pergantian tahun Masehi.
Orang ‘barat’ memang terbiasa merayakan kedua hari  besar itu dalam satu paket. Mungkin karena waktunya sangat berdekatan. Didukung pula dengan datangnya musim dingin dan cuti akhir tahun. Kalau Natal dirayakan dalam suasana penuh nuansa keagamaan, maka pergantian tahun dirayakan dalam suasana pesta besar.
Bahkan nyaris berupa pesta masal yang penuh hura-hura.

Diakui atau tidak, globalisasi telah menyebar keseluruh penjuru dunia. Demikian pula dengan ‘neolib’. 
Faham neo liberalisme yang dibantah mati-matian oleh penguasa ini jelas telah merambah luas di Indonesia. Terutama dalam hal budaya berbelanja.
Budaya berbelanja ini sangat ditentukan oleh para kapitalis. Mungkin dari segi politik dan ekonomi ada yang menolak karena hal tersebut merupakan ancaman nyata terhadap perekonomian atau politik. Tetapi dari segi budaya, penyusupan ‘gemar belanja’ ini bersifat halus, tak terasa. Susahnya lagi, juga tak mudah diidentifikasi.
Oleh sebab itu mendapat resistensi (penampikan) paling kecil dari masyarakat luas.

‘Budaya’ itu pula yang tampaknya menyebabkan kaum borjuis dan elite negeri ini selalu gila pesta mewah dalam menyambut pergantian tahun.
Sesungguhnya golongan menengah kebawah tertular juga ‘virus’ itu. Namun karena situasi dan kondisi ekonomi, mereka cukup membeli terompet kertas dan merayakannya dirumah. Atau pergi ketempat rekreasi dan tempat umum lain yang menyuguhkan aneka atraksi. Ada yang gratis ada yang berbayar. Tapi biasanya cukup terjangkau oleh rakyat kebanyakan.
Itulah dampak langsung maupun tak langsung dari neo liberalisme tadi.
Mereka berlindung pada alasan: kebiasaan, jaga gengsi dan yang lebih parah, tebar pesona.  Orang sugih mblegedhu seperti tak tahu lagi kemana menghamburkan uang yang berlimpah dikantongnya. Semua terpukau pada gemerlapnya pesta ‘old and new’ dengan suguhan hiburan artis ternama.
Sayang sekali, ‘hura-hura’ mubazir itu dibantu dengan gencarnya iklan dimedia masa.

Para pejabat dan orang kaya berpesta didalam gedung atau hotel mewah. Rakyat jelata cukup dihibur dan diajak berpesta ditempat terbuka. Disinilah terompet kertas dan terompet beneran dibunyikan. Udara meledak dalam semburan aneka kembang api. Aroma petasan tercium dimana-mana. Suaranya seolah memecahkan gendang telinga. Mirip arena pertempuran, minus suara bom. Sepanjang malam suasananya memang sangat meriah.
Rakyat yang ikut merayakan seakan terbius dan lupa keadaan kesehariannya yang terlunta-lunta. Sedangkan rakyat yang lain tak punya modal dan kesempatan ikut merayakannya. Mereka hanya pasrah semalaman terganggu suara yang memekakkan telinga. Sementara anak-anaknya menangis merengek tak bisa ikut meniup terompet.

Kebiasaan ini terbawa nyaris sepanjang sejarah bumi Nusantara dicengkeram penjajah. Apalagi ketika Indonesia merdeka banyak pemimpin dan penguasa yang memperoleh pendidikan dinegara barat. Mereka juga terbiasa menjalankan pesta rutin setahun sekali itu. Walau mereka mengaku sebagai seorang muslim sekalipun (meski tak semuanya).

Sejatinya ajaran Islam mengutamakan manfaat daripada mudarat.
Itulah seharusnya yang menjadi pegangan orang yang beriman. Kalau para Wali dan Raja pada jaman dahulu menyelenggarakan peringatan pergantian tahun Islam (sekaligus tahun Jawa), itu dalam rangka menarik minat masyarakat masuk agama Islam. Jelas lebih banyak diperoleh manfaat daripada mudaratnya. Juga untuk perayaan hari besar Islam lainnya.
Itupun bagi ulama yang kukuh berpegang pada ajaran Islam murni, tetap saja dinilai sebagai sesuatu yang bid’ah. Apalagi kalau merayakan tahun baru yang bukan merupakan tahun baru (orang) Islam. Dinegeri yang 85% lebih penduduknya menganut agama Islam, pesta seperti itu sungguh bukan perbuatan yang dianjurkan.

Ini sekedar ilustrasi. Akhir tahun 2007 saya kebetulan sedang menunaikan ibadah haji ditanah suci. Tepat pada tanggal 31 Desember tengah malam, saya mengikuti tausiah dipenginapan dikota Madinah. Semua jemaah haji dikota Madinah tak merasakan adanya nuansa pergantian tahun. Saluran televisi kabel dihotel tetap menyiarkan langsung perayaan pergantian tahun diseluruh dunia. Tapi  di tanah suci Arab hal itu tak tampak gaungnya. Penduduk setempat ‘adem ayem’ saja. Mereka justru heran kalau ada orang (non Arab) yang mengucapkan ‘selamat tahun baru’ kepada orang lain. Jemaah haji Indonesia ternyata juga tidak ada yang merayakan pergantian tahun internasional itu. Begitupun dengan jemaah haji dari negara-negara lain. Sayang saya tak punya pengalaman menikmati pergantian tahun baru Hijriyah ditanah suci.

Menyaksikan pertunjukan musik, makan besar ditengah malam,  membakar petasan dan kembang api, tampaknya wajar saja. Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang bijaksana dilakukan. Sementara banyak anggota masyarakat lain yang hidupnya masih menderita. Semua itu pada hakekatnya hanya membuang-buang dan membakar uang. Mengapa uang yang begitu banyak jumlahnya (bisa mencapai puluhan milyar rupiah) tidak untuk membantu saudara kita kaum dhuafa
Kenapa tidak untuk membantu pendidikan anak-anak jalanan dan gelandangan?


Kegembiraan menghadapi tahun baru  dengan berpesta pora itu sebenarnya adalah sebuah kesenangan semu. Bak menari-nari dihadapan tetangga yang sedang kelaparan. Apakah yang mereka dapatkan dari ‘hura-hura’ menjelang pergantian tahun itu?
Apakah mereka mengerti apa yang mereka lakukan, kecuali mengumbar syahwat memburu kesenangan?
Sebab makna hakiki tentang peringatan tahun baru itu sendiri tak banyak orang yang tahu. Tidak juga para penguasa dan pemimpin yang ikut pesta pora  itu. Kecuali satu hal: merekalah sesungguhnya korban neo liberalisme yang selalu mereka sanggah sendiri keberadaannya.

Lalu mengapa tak ada satupun pemimpin muslim yang tergugah hatinya untuk menyerukan ”amar ma’ruf nahi munkar”?
Disebutkan dalam salah satu hadits: “jika engkau tak berdaya memerangi kemungkaran dengan tanganmu, maka cukup ucapkan dengan lisanmu saja”.
Sayang sayapun hanya mempunyai daya dengan sebuah opini berbentuk tulisan.

Seperti uraian saya diawal tulisan, sangat susah meluruskan sesuatu yang sudah ‘salah kaprah’.
Apalagi salah kaprah itu sudah berjalan nyaris ratusan tahun alias berabad-abad. Ditambah dengan datangnya jaman globalisasi dan faham neolib. Lengkap sudah. Selama ini juga tampaknya tidak ada yang keberatan.
Tapi betapapun keadaannya dan dengan dalih apapun, kebenaran harus selalu dikemukakan. Walau hanya dengan satu ayat. Dan selain keberanian juga butuh waktu. Tidak pendek,  pasti. Karena dibutuhkan niat dan tekad yang sangat kuat. Juga harus mengubah kebiasaan, faham, sudut pandang dan pola pikir banyak orang.

Tak ada sesuatu yang tak mungkin bukan?
Jika Allah berkenan membuka jalan, tak ada sesuatu apapun yang sulit bagiNya.

Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar