Selasa, 23 Oktober 2012

TENTANG "UANG PENSIUN" DAN PENSIUNAN




-Sebuah renungan untuk para penyelenggara negeri- 

 Para "Pangsiyunan" sehabis terima rapel pensiun.....

     Semua orang yang bekerja atau mempunyai pekerjaan, baik kerja tetap atau paruh waktu, pasti suatu ketika akan memasuki masa pensiun. Definisi kata “pensiun” menurut KBBI adalah: “tidak bekerja lagi, dengan menerima uang tunjangan bulanan”. Tentang ‘pensiun’ inilah yang sekarang jadi begitu hangat dibicarakan khalayak ramai. Terutama kaum “pangsiyunan” tentu saja.

   Sesuai kodrat alami, semua orang akan menjadi tua. Tak seorangpun bisa menghindar dari proses ‘menjadi tua’ ini. Artinya dalam proses menjadi tua inilah pasti akan tiba waktunya bagi seseorang untuk berhenti (atau -sesuai peraturan- diberhentikan) bekerja.
Ukuran tua memang relatif. Tapi bagi seorang pekerja, karyawan atau buruh, ada peraturan baku yang telah berlaku dan telah disepakati bersama yang menentukan pada usia berapa seseorang akan -secara otomatis- dinyatakan memasuki masa pensiun. Di Indonesia, peraturan tentang usia pensiun ini diadaptasi dari peraturan kepegawaian yang dibuat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda dulu. Tentu dengan penyesuaian disana sini.

     Karena dibuat sejak jaman Hindia Belanda (yang konon terkenal sangat cermat dan teliti dalam bidang administrasi), maka penetapan batas usia pensiun ini dapat dipastikan dibuat dengan dasar yang kuat dan pertimbangan yang matang dan rasional. Bagi para PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang gajinya diatur dengan PGPS, jelas disebutkan batas usia seseorang memasuki masa pensiun. Pegawai atau karyawan swasta lain memiliki peraturan sendiri yang tidak jauh berbeda aturannya.
Secara umum, batas usia pensiun di Indonesia adalah 56 tahun. Dengan beberapa pengecualian dan aturan khusus yang dibuat dengan peraturan tersendiri. Antara lain yang berlaku bagi Anggota TNI dan Polri, Pejabat Tinggi (struktural maupun fungsional) dan tenaga pengajar (guru, dosen, guru besar).

    Peraturan (tentang batas usia pensiun) ini sudah berlaku semenjak republik ini berdiri. Demikian pula dengan peraturan besarnya gaji pensiun yang harus diterima. Itu sudah termaktub dalam PGPS. Selama Indonesia merdeka sampai saat ini, para “pangsiyunan” ini tetap menerima gaji (uang pensiun) yang besarnya sesuai dengan pangkat/golongan dan masa kerjanya.
Dan sudah sejak jaman dulu pula yang namanya uang pensiun ini dibayarkan pada yang berhak setiap bulan.

     Tapi jangan salah. Sesungguhnya uang pensiun yang dibayarkan itu bukan “uang yang jatuh dari langit” atau hadiah cuma-cuma dari pemerintah. Itu adalah uang tabungan para pensiunan sendiri. Karena sewaktu masih berdinas, setiap bulan gajinya dipotong untuk tabungan hari tua atau masa pensiun itu.
Dan selama ini pembayaran uang pensiun berjalan “baik-baik” saja. Sampai terjadinya “Era Reformasi”. 

    Euforia reformasi yang menggebu dan meluap-luap itu (yang mungkin) menyebabkan beberapa oknum pejabat, penguasa, dan politisi semakin bebas merdeka berbuat semaunya. Salah satunya yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara adalah KORUPSI! Dijaman orde baru memang tak bisa disangkal virus jahat yang menggerogoti uang rakyat ini juga sudah ada. Namun tidak pernah separah dijaman reformasi. 
Sekarang ini korupsi merajalela bahkan dilakukan secara berjamaah. Pilar trias politika yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif sudah tercemar bibit korup sampai jauuuuuh.

     Tidak heran kalau ada Kepala Daerah, Anggota Dewan, Politikus, Penegak Hukum sampai Pejabat Tinggi Negara yang tertangkap baik basah atau kering melakukan korupsi. Akibatnya sungguh sangat mencemaskan, konon nyaris sepertiga dari anggaran negara bablas dijarah para tikus berdasi.
Lalu tiba-tiba, sekonyong-konyong, mendadak, saknalika ada petinggi bidang moneter yang mengemukakan bahwa uang negara bisa habis untuk membayar uang pensiun! Menurut beliau yang terhormat itu, setiap tahun uang untuk membayar pensiun membengkak anggarannya! Oleh sebab itu harus dicari solusi untuk menghindari ketekoran uang negara itu. 

    Jabang bayiiiik!! Sebelum mengemukakan wacana yang mengagetkan barisan pangsiyunan itu, pernahkah beliau  menghitung berapa banyak uang negara yang HILANG LENYAP dimakan para koruptor? Mengapa bukan mencari solusi untuk mencegah hilangnya uang negara karena ulah segelintir manusia yang rakus dan mementingkan diri sendiri? Mengapa justru para pangsiyunan yang notabene dibayar dari uang tabungan mereka sendiri yang malah dijadikan kambing congek?

    Mencegah dan (apalagi) memberantas korupsi jelas bukan perkara mudah. Memang jauh lebih mudah menyalahkan para pensiunan sebagai penyebab tekornya uang negara. Tapi ini jelas bukan suatu (tuduhan) yang adil. Apalagi beradab. Dinegara maju bukan hanya pensiunan yang diurus negara, bahkan mereka yang gelandanganpun mendapat jaminan sosial. Dan selama ini belum pernah terdengar kabar ada negara yang JATUH BANGKRUT karena uangnya habis untuk membayar pensiun!

    Wacana yang digelontorkan adalah membayarkan SEKALIGUS DIMUKA uang pensiun bagi para pegawai (terutama PNS) yang sudah habis masa dinasnya. Kelihatannya memang sangat menarik. Tapi nanti dulu. Apakah beliau-beliau para petinggi negeri tidak menyadari bahwa amat sangat jarang para pegawai yang terbiasa memegang uang dalam jumlah sangat besar. Juga sangat jarang pensiunan yang punya bakat wiraswasta. Oleh sebab itu ditengarai akan bisa menimbulkan sindrom ‘kaya mendadak’ yang menyertai para OKB. 

    Berdasarkan pengalaman, biasanya para OKB itu akan menjalani pola hidup yang lebih menjurus kearah  hidup konsumtif dan foya-foya. Hal itu akan berakibat menyengsarakan daripada membahagiakan diri mereka. Akibatnya bisa diperkirakan. Kalau kemudian uang yang sangat besar itu habis dalam waktu singkat, lalu bagaimana nasib para pensiunan itu selanjutnya? Apakah pemerintah akan lepas tanggung jawab dari masalah baru yang kemudian timbul? 
Mengapa tidak lebih baik meniru motto Pegadaian yang sudah teruji itu: “Menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru”.

    Para penyelenggara negara, terutama pejabat bidang moneter sebaiknya memikirkan masak-masak wacana baru itu. Sebuah teve swasta menayangkan polling pendapat para pegawai (sekali lagi terutama PNS) tentang uang pensiun yang (akan) dibayarkan sekaligus itu. Banyak diantara mereka yang tidak setuju, mengingat mereka memang tidak pernah disiapkan untuk mengelola uang dalam jumlah besar. Ada juga yang berpikiran sebagai seorang wiraswasta, yang akan menjadikan uang itu sebagai modal usaha. Tapi jumlah orang yang berjiwa dagang tidak banyak. Apalagi kalau melihat saat ini, dimana persaingan dagang sangat ketat tentu resikonya akan jauh lebih besar. Bukannya untung malah buntung.

   Selain para pegawai dan PNS yang baru akan pensiun, lalu bagaimana nasib para pensiunan yang sudah lama sekali menikmati masa pensiun dan rata-rata sudah uzur? Apakah kemudian akan dibayarkan pula sisa uang pensiunnya? Bagaimana para lansia yang sudah sepuh itu akan mengelola uang “tiban” nya?

  Tekornya uang negara sejatinya adalah karena pengelolaan anggaran yang kurang baik. Juga sekaligus akibat banyaknya kebocoran karena ulah para koruptor. Solusinya adalah: tangkap koruptor dan kembalikan seluruh kekayaan negara yang “dihisapnya” tanpa pandang bulu. Jangan hanya dipenjara karena ‘basa basi’ saja. Kelak ketika keluar penjara para koruptor masih sugih mblegedhu (kaya raya). 
Sejalan dengan itu perketat pengawasan menyeluruh beserta sanksi yang berat. Kalau perlu jatuhkan hukuman mati pada para koruptor itu! Tujuannya jelas, untuk mencegah terjadinya korupsi dimana saja.

    Membayarkan sekaligus uang pensiun BUKAN SOLUSI terbaik, karena para pensiunan sejatinya menerima bunga dari uang tabungan mereka sendiri. Sudah pasti setiap tahun akan ada pensiunan baru. Oleh sebab itu jumlah uang pensiun memang seakan MEMBENGKAK, seolah menghabiskan uang negara. Padahal orang yang waras juga tahu bahwa uang APBN habis karena digerogoti maling berdasi. Pensiunan bukan malingnya. Jangan meng “kambing congek” kan para abdi negara yang sudah purna bakti. Bagaimanapun mereka pernah berjasa kepada negara walau cuma sebesar biji sawi.

    Saya teringat pada petuah Simbah Kakung saya: “Jangan pernah berbuat dosa kepada orang-orang yang sudah tua, walau bukan orang tuamu sendiri”.
Orang Jawa jaman doeloe bilang: “Wong tuwo iku malati”.
Artinya kalau anda berbuat tidak baik kepada orang tua bisa kualat lho!
Mau jadi jambu monyet?

Tapi maaf saja, saya tidak yakin para penguasa itu mengerti!


Jakarta menjelang musim hujan, Oktober 2012.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar