Senin, 24 Oktober 2011

"DHAUP AGENG" (PERNIKAHAN AKBAR)


Tulisan lepas:
Bagian pertama dari dua tulisan.

'Gawe' besar
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

 Buku Kenangan Resepsi "Dhaup Ageng"

Released by mastonie on Monday, October, 24, 2011 at 11.36 am



Warga Yogya yang selalu setia pada Rajanya......

Matahari bersinar sangat terik disiang hari menjelang sore dipertengahan bulan Oktober 2011. Hati saya nratap (berdesir), pemandangan yang tersaji didepan mata mengingatkan saya pada pemandangan yang nyaris sama pada bulan Oktober tahun 1988. Masyarakat Yogyakarta berbondong-bondong mendatangi alun-alun yang terletak dipusat kota. Tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan segala usia seperti tak mengenal lelah dan tak takut terpaan sinar mentari yang menyengat mata dan kepala.

Hanya suasananya yang jauh berbeda. Bulan Oktober tahun 1988, masyarakat Yogyakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya sangat berduka karena wafatnya Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Wajah-wajah yang tampak disepanjang jalan adalah wajah yang muram, sembab dan banyak pula yang terus mengucurkan air mata. Kesedihan sangat mendalam terasakan dimana-mana. Mendung menggantung, semilir anginpun berhenti seperti menyiratkan duka nan mendalam. Sepasang Beringin kurung di alun-alun layu menguncup daunnya.
 
23 tahun kemudian, hari Selasa Wage, 20 Dulkaidah tahun 1944 atau tanggal 18 Oktober 2011, suasana tampak sangat bertolak belakang. Kini yang terlihat adalah wajah cerah ceria. Senyum menebar dimana-mana. Masyarakat Yogyakarta dan daerah sekitarnya begitu antusias menyerbu alun-alun dan sepanjang jalan Malioboro. Kemacetan pun tak terhindarkan. Mobil dan sepeda motor tampak diparkir dipinggir jalan, ratusan sepeda motor diparkir memenuhi gang-gang yang berada dekat dengan alun-alun karena Jalan Malioboro sejak pagi dinyatakan ditutup untuk semua jenis kendaraan. 


Pada hari itu ratusan pedagang kaki lima dan angkringan secara sukarela menyediakan masing-masing sekitar 200 makanan dan minuman yang dibagikan secara gratis kepada siapa saja. Tak terbayangkan kesetiaan, keikhlasan dan suka cita warga Yogyakarta menyambut pesta “Dhaup Ageng”  (Pernikahan Akbar) putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Undangan yang mengagetkan

Seminggu sebelumnya ada BBM masuk ke perangkat BlackBerry saya. Pengirimnya adalah dokter Maya Dewimayanti Rizadh. Isinya sangat mengejutkan:

“Mohon ijin memberitahukan bahwa bapak mendapat Undangan pernikahan Ubed. Harus segera ada konfirmasi kesediaan hadir. Kalau tidak undangan akan ditarik kembali. Trm ksh”.

Dokter Maya adalah teman sekolah satu angkatan dengan anak perempuan saya. Dia kakak ipar calon mempelai Pria yang sehari-hari biasa dipanggil “Ubed” (nama aslinya Ahmad Ubaidillah, SE, Msi yang sekarang bergelar Kanjeng Pangeran Harya Yudanegara). Kebetulan pula, suami dokter Maya adalah Drs. Rizky Adhari, SH (saat ini menjabat sebagai salah satu Lurah di Kebayoran Baru) yang pernah bertugas sebagai Ajudan Menteri Dalam Negeri semasa saya masih menjadi Sekretaris Pribadi Menteri Dalam Negeri. Pak Lurah Rizky ini adalah kakak laki-laki tertua dari Mas Ubed. Dialah yang akan menjadi pengganti ayahnya yang sudah wafat, untuk mendampingi Ibunya sebagai Besan Sri Sultan HB X. Sedangkan Mas Ubed (calon mempelai pria) sendiri sebelum menjabat salah satu Kasubid di Kantor Sekretariat Wakil Presiden, pernah pula bertugas sebagai staf Protokol di Depdagri, sehingga secara pribadi saya mengenal dengan baik mereka berdua beserta keluarga besarnya yang asli Lampung.
Tanpa berpikir panjang saya langsung membalas BBM  dari dokter Maya untuk menyatakan kesediaan hadir saya bersama isteri. Siapa yang mau melewatkan kehormatan bisa menyaksikan acara pernikahan Karaton Yogyakarta Hadiningrat yang pasti akan berlangsung secara megah itu. 
Dua hari kemudian Undangan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X sudah berada ditangan saya. 


Berupa sebuah buku setebal nyaris dua sentimeter, berwarna hijau dengan hiasan warna prada (emas) berlambang Sultan HB X yang sangat khas (warna merah menyala diselimuti warna emas), undangan itu dicetak sangat mewah. 
Apabila dibuka, dibagian sebelah kiri undangan “Dhaup Ageng” berwujud tiga lembar pemberitahuan (undangan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan satu kartu parkir mobil). Disebelah kanan terbagi menjadi tiga bagian. Paling atas terdapat sebuah buku notes sebagai souvenir, dibagian tengan ada dua buah lencana berbentuk lambang Sultan HB X berwarna emas dengan pita berwarna hijau. Lencana berpita ini wajib dikenakan para tamu sebagai ‘tanda masuk’ ke tempat resepsi. Bagian paling bawah adalah sebuah kartu tanda hadir yang harus diisi nama dan alamat tamu undangan. Kartu ini dipergunakan sebagai pengganti buku tamu.

Gemetar tangan saya membaca undangan dari Ngarso Dalem Sri Sultan HB X. Disitu tertulis dengan jelas (sebagai awal kalimat) siapa pengundangnya:

“NGERSO DALEM SAMPEYAN DALEM INGKANG SINUWUN KANGJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO SENOPATI ING NGALAGA, NGABDURRAKHMAN SAYIDIN PANATAGAMA, KALIFATULLAH, INGKANG JUMENENG KAPING X ING NGAYOGYAKARTA HADININGRAT  saha  GUSTI KANJENG RATU HEMAS” 

Ini adalah sebuah kehormatan bagi rakyat jelata seperti saya. Alhamdulillah. Kenangan saya surut kembali ke tahun 1988, dimana pada saat itu saya juga mendapat kehormatan bisa mengantar  jenazah almarhum Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia yang masih menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Yogyakarta. Saya bahkan duduk tepat disamping peti jenasah Sri Sultan HB IX yang dibawa kekota Yogyakarta dengan menggunakan pesawat C 130 Hercules AURI (TNI AU). Waktu itu saya mendapatkan jatah gratis sebuah surjan (jas Jawa, beskap) dan udheng wulung (ikat kepala warna hitam)  serta pinjaman kain jarik corak Yogya yang harus dipakai para peziarah untuk mengantar jenasah Ngarso Dalem sampai ke Makam Imogiri. Saat itulah saya menyaksikan betapa besarnya kecintaan rakyat Yogya terhadap rajanya yang mangkat di RS Walter Reed Amerika Serikat. Masyarakat berdiri takzim disepanjang jalan dari Karaton Yogyakarta sampai Makam Imogiri (Kabupaten Bantul) yang nyaris 20 km jauhnya.

Montor mabur yang harus terbang muter dan bermalam di Ndalem Gamelan

Saya dan isteri yang hanya mendapat undangan untuk hadir pada Resepsi Pernikahan Akbar (Dhaup Ageng), memutuskan untuk berangkat ke Yogya tepat pada hari “H” yaitu Selasa (18/10/11) pagi. Tentu hal ini menyangkut pertimbangan ‘ekonomi’, karena menyadari bahwa pasti seluruh hotel dan penginapan dikota Yogya akan fully booked  oleh tamu yang datang dari seluruh Indonesia. Saya yakin 'gawe besar' tersebut pasti akan membuat tarip hotel menjadi lebih mahal dibanding hari biasa.
Persiapan pergi ke kota Yogya memang sangat mendadak, semuanya datang secara tiba-tiba jadi harus bergerak cepat. Beberapa teman Fesbuk yang tinggal di Yogya saya hubungi, tapi semua menyatakan hotel dan penginapan sudah penuh. Beruntung adik bungsu saya mengelola sebuah home stay yang berada dikawasan njeron beteng (didalam beteng, Kraton), yaitu nDalem Gamelan, terletak dijalan Gamelan nomer 18. Kebetulan masih ada satu kamar yang kosong karena kamar mandinya berada diluar. Saya hanya butuh kamar tidur untuk semalam saja, bukan kamar mandinya, itu bukan masalah besar,  jadi saya putuskan untuk tinggal di nDalem Gamelan saja. 

Setelah menyibak kemacetan lalu lintas cukup parah di jalan tol dalam kota, hari Selasa pagi saya sudah berada di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di kawasan Tangerang. Saya dan isteri mendapat kemudahan tiket pesawat Jakarta-Yogya PP secara gratis, karena anak laki-laki saya  adalah salah seorang ‘pengemudi’ di perusahaan penerbangan yang menerapkan sistem low cost (harga rendah) pertama di Asia. Maka terbanglah saya dengan percuma, naik montor mabur ke Yogyakarta.
Pesawat Airbus A-320 dengan nomor penerbangan QZ-7346 jurusan Yogyakarta yang saya naiki harus holding (terbang berputar-putar) diatas udara kota Yogya selama lebih kurang setengah jam sebelum mendarat. Ada apakah gerangan? Ternyata pada saat yang sama pesawat Kepresidenan sedang dalam proses tinggal landas, bertolak mengudara kembali ke Jakarta.  
Hmmmm.....beginilah nasib rakyat jelata yang (demi alasan keamanan dan keselamatan Presiden) selalu harus memberikan kemudahan dan prioritas kepada para pemimpinnya. 


Turun dari pesawat terbang, udara kota Yogyakarta sungguh sangat menyengat panasnya. Akan tetapi gairah kemeriahan menyambut Pernikahan Agung Putri Bungsu Sri Sultan HB X yang menjadi Rajanya “Wong Yogyakarta” sangat terasa disepanjang jalan menuju lingkungan Kraton. Spanduk besar bertulisan “Dhaup Ageng” yang dihiasi gambar pasangan mempelai Kerajaan sedang tersenyum cerah, terpajang dipinggir-pinggir jalan yang stategis.

“Dhaup Ageng” yang tidak kalah semaraknya dengan ‘the British Royal Wedding’

Sebenarnya rangkaian upacara Pernikahan Akbar putri bungsu Sri Sultan HB X berlangsung selama empat hari berturutan. Dimulai pada hari Minggu, 16 Oktober sampai dengan hari Rabu tanggal 19 Oktober 2011. Puncaknya adalah pada hari Selasa, 18 Oktober yang berupa Upacara Akad Nikah yang berlangsung pada pagi hari, Kirab Pengantin sepanjang jalan dari Karaton sampai Kepatihan Danurejan di sore hari dan Resepsi Pernikahan pada malam harinya. 
Resepsi “Dhaup Ageng” yang sakral dan agung berlangsung di bangsal Kepatihan Danurejan di Jalan Malioboro. Kepatihan sendiri sehari-harinya dipakai sebagai Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sore hari itu sebetulnya saya beserta isteri ingin sekali ikut menyaksikan acara Kirab Pengantin Kerajaan yang digelar disepanjang jalan dari Kraton ke Kepatihan Danurejan. Akan tetapi ternyata mobil yang saya naiki terjebak kemacetan dimana-mana, sehingga saya putuskan melihat acara tersebut di nDalem Gamelan, melalui siaran langsung dari TV Yogyakarta. 
Lebih nyaman dan tidak berebutan dan berdesakan, walaupun tentu ‘atmosfer’ nya sangat berbeda.
"Kiai Jong Wiyat"                                            repro: Kompas
Kirab Pengantin yang mempergunakan 5 (lima) Kereta Kuno milik Kraton Yogya yang rata-rata buatan abad 19 itu, memang terlihat dilayar TV sangat luar biasa. Kereta Kencana (berwarna kuning keemasan) bernama “Kiai Jong Wiyat” (Kw: Jong = Kereta, Wiyat = Angkasa) yang ditumpangi sepasang pengantin adalah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda berkulit putih bersih. Diproduksi pada tahun 1880 oleh sebuah pabrik Kereta Kuda di negeri Belanda, kereta pusaka ini sudah sangat jarang dipakai karena usianya yang lebih dari 1 abad (tepatnya 130 tahun) dan dianggap sudah sangat uzur. 

Pasangan pengantin Kanjeng Pangeran Harya Yudanegara yang tampan gagah perkasa bersanding dengan Gusti Kanjeng Ratu Bendara yang mungil dan cantik jelita, tampil dengan wajah berseri-seri menimbulkan kekaguman siapapun yang menyaksikannya. Sungguh pasangan yang sangat serasi. 
Saya pribadi berpendapat, mereka berdua tidak kalah pesonanya dengan pasangan Pangeran William dan Kate Middleton, Pengantin Kerajaan Britania Raya!!  


bersambung......

2 komentar:

  1. sip....langsung sdh dibaca mas......ditunggu yg lain yg lebih menggigit...hihihi...

    BalasHapus
  2. Emangnya KRUPUK? Pake digigit segala...... haaadeeeeeh.....pa' ora siiii...????

    BalasHapus