Jumat, 23 Desember 2011

"TENTANG KEBERSIHAN"


Tulisan lepas:

“BERSIH BAGIAN DARI IMAN?"

Spanduk himbauan menjaga kebersihan

Diriwayatkan oleh Abu Malik Al Asy’ariy RA bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Membersihkan diri adalah sebagian dari iman”  (HR. Muslim).

Barangkali hadits itulah yang mengilhami slogan “Kebersihan adalah bagian dari iman”.  
Tulisan seperti itu sering kita jumpai terpampang dijalan, didinding masjid atau mushola
Bahkan ditempat fasilitas umum lain.
Maksudnya tentu untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya arti kebersihan. 

Slogan 'Pepesan Kosong'
 
Cukupkah slogan atau tulisan itu menggerakkan hati kita dan anggota masyarakat lain untuk menjaga kebersihan, terutama yang menyangkut kebersihan lingkungan secara umum?
Jujur harus kita akui bahwa tulisan itu, mirip 'pepesan kosong'. Karena walaupun berisi tentang peringatan bagi khalayak untuk menjaga kebersihan, ternyata tak mempunyai dampak yang ‘signifikan’. Bahkan nyaris tidak bermakna apa-apa.
Marilah kita tengok  lingkungan disekitar kita. Tidak usah jauh-jauh.
Mungkin lingkungan disekitar perumahan dimana kita tinggal saja dahulu. 
Sudah cukupkah kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan disekitar lingkungan tempat tinggalnya?
Anda mungkin tak perlu berkecil hati. Tampaknya secara umum kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan memang masih rendah dan sangat memprihatinkan. Terutama -biasanya- kebersihan ditempat fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti pasar tradisional, terminal atau tempat lain (termasuk tempat rekreasi) yang banyak dikunjungi oleh khalayak ramai.
Jikalau begitu darimana sebenarnya kesadaran tentang lingkungan hidup yang bersih harus dimulai? Kesadaran itu seyogyanya bisa dimulai dari unit terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga atau rumah tangga.
Barangkali anda pernah mendengar kalimat ini:
“Kesadaran tentang arti kebersihan dari sebuah keluarga tampak dari kebersihan kamar mandinya”.

Jadi kalau ingin tahu apakah sebuah keluarga faham tentang arti menjaga kebersihan, tengok saja kamar mandinya. Mungkin ruang tamunya tampak bersih, karena itulah ruangan pertama yang akan dilihat oleh orang yang memasuki rumah. Jadi pasti akan dibersihkan setiap hari. Tapi kamar mandinya? Belum tentu.
Itu hanya sebuah ilustrasi saja tentang bagaimana seharusnya “ilmu” menjaga kebersihan itu diaplikasikan atau diterapkan sehari-hari.
Padahal sebagai seorang muslim yang (tentu saja) bertaqwa kepada Allah dan RasulNya, maka niscaya hal tentang menjaga kebersihan bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. 
Sedikitnya 5 (lima) kali dalam sehari seorang muslim harus bersuci (berwudhu). Itu belum termasuk sholat sunah. Ditambah dengan mandi yang (biasanya) dua kali sehari.
Sejatinya untuk masalah kebersihan diri, Rasulullah SAW sudah memberikan tuntunan kepada umatnya tentang tata cara “thoharoh” (bersuci) dengan baik. Termasuk bagaimana caranya menghemat air.
Oleh karena itu sebuah keluarga muslim seharusnya bisa menjadi pelopor dalam meningkatkan kesadaran tentang kebersihan. Baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain dan lingkungan. 
Hal tersebut merupakan kesadaran seorang muslim untuk mengindahkan dan melaksanakan sabda Rasulullah:
“Membersihkan diri adalah sebagian dari iman”.
Bagi yang non-muslim, pasti mereka mempunyai pegangan dan aturan sendiri sesuai keyakinan masing-masing. Tak ada agama yang tidak mengajarkan kebersihan.  Rohani maupun jasmani. Semuanya jadi terpulang kembali kepada manusianya.

Harus diajarkan oleh orang tua sejak dini

Orang tua harus mulai mengajarkan kepada anak-anaknya tentang arti kebersihan sejak usia dini. Bagi pemeluk agama Islam bisa dimulai dari hal-hal sepele yang sering dilakukan dirumah. Misalnya berwudhu, sholat, mencuci tangan sebelum makan, sikat gigi, mandi.  
Yang tidak kalah penting adalah dalam hal menjaga kebersihan rumah dan lingkungan. Kalau perlu tata cara membersihkan diri dan buang hajat (toilet training) juga harus diajarkan. 
Termasuk didalamnya kesadaran untuk melakukan penghematan air. 
Anak-anak juga perlu diberikan pelajaran bagaimana makan dengan ‘tertib’ sehingga remah-remah sisa makanan tidak berceceran dimana-mana. Lalu dibuat aturan kemana mereka  harus membuang sampah.

Dijaman “Go Green” ini (artinya kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan agar tetap ‘hijau’) anak-anak juga sebaiknya diberitahu bahwa tempat sampah harus dipisah antara sampah organik dan sampah non-organik.
Tidak cukup hanya dengan mengajarkan, tapi orang tua juga harus memberikan contoh dan teladan tentang hal tersebut. Teladan itu sekaligus untuk menanamkan kesadaran bahwa memelihara kebersihan selain berarti menjaga iman dan takwa juga berarti melatih  kedisiplinan diri pribadi.  

Sebagai seorang muslim, menjaga kebersihan pada hakekatnya adalah cermin dari takwa kita kepada Allah dan RasulNya. Demikian pula dengan pemeluk agama lain.
Insya Allah “ilmu menjaga kebersihan” apabila diajarkan sejak usia dini, akan dibawa sampai anak menginjak dewasa dan berkeluarga. Begitulah untuk seterusnya.  Diharapkan mereka juga akan meneruskan “ilmu warisanitu kepada anak-anaknya.
Sayang seribu kali sayang. Kesadaran untuk memberikan pelajaran tentang kebersihan ini belum dilakukan oleh sebagian besar dari masyarakat kita. Walau keluarga muslim sekalipun! 
Mungkin karena kesibukan kedua orang tua yang harus bersama-sama mencari nafkah, sehingga pengasuhan anak hanya diserahkan kepada ‘orang belakang’ alias pembantu. Atau memang mereka termasuk orang tua yang tidak peduli. Mungkin karena menganggap bahwa pengetahuan tentang kebersihan akan diperoleh anak-anak lewat mata pelajaran disekolah.


Sampah menumpuk dipinggir sungai
Oleh sebab itu, wajar jika kesadaran tentang arti kebersihan lingkungan belum sepenuhnya dihayati oleh seluruh anggota masyarakat. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya sampah yang menumpuk diselokan, kali atau bahkan sungai besar. Mereka masih menganggap bahwa selokan, kali atau sungai adalah tempat sampah yang paling dekat, mudah, murah dan praktis. Tinggal buang sampah byuuuur….habis perkara.
Mereka tidak menyadari (atau tidak mau tahu) akan akibat yang bisa ditimbulkan dengan perilaku yang tak terpuji itu.  

Padahal salah satu akibatnya adalah banjir yang sering melanda wilayah sekitar bantaran sungai. Sangat mungkin juga melanda daerah yang lebih luas lagi. Kita tahu bahwa kalau sampai terjadi banjir besar, tentu akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah
Demikianlah yang terjadi dimana saja. Dikota kecil atau kota besar. Bahkan tidak terkecuali kota metropolitan seperti Jakarta.
Maka jangan heran jikalau kita masih melihat ada saja orang yang membuang sampah sembarangan. Orang-orang yang naik mobil mewahpun masih ada yang tega dengan enteng membuang sampah melalui jendela mobilnya. 

Belum tampak ada rasa ‘melu handarbeni’ (ikut memiliki)...

Jikalau anda adalah seorang pengguna kendaraan umum, anda pasti juga ‘akrab’ dengan keadaan kotornya angkutan umum kita. Halte yang  semrawut dan jorok, terminal bus, stasiun kereta api, bahkan Bandara! Terutama kebersihan toilet umumnya. 
 Tulisan jorok didalam toilet umum
Tentang semua yang berlabel “umum” ini, entah kenapa masyarakat kita cenderung abai atau tak peduli. Yang paling parah memang kondisi toilet umum. Selain penuh dengan coretan dan tulisan -yang biasanya jorok-, keadaan klosetnya seringkali juga sudah amburadul. Padahal kita harus membayar untuk mempergunakan toilet umum itu. 
Demikian pula dengan fasilitas untuk umum yang lain.
Seringkali kita dapati telepon umum yang sudah tidak berfungsi. Ada yang tombolnya sudah berlubang, lubang koinpun tersumbat. Yang lebih ‘sadis’ lagi, ada yang kabel berikut gagang telponnya sudah raib entah kemana. Padahal sebenarnya telepon umum adalah alat komunikasi yang disediakan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang masih belum mampu membeli ponsel agar dapat berkomunikasi dengan mudah dan murah.
 
Semua itu menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita masih sangat rendah kesadarannya dalam menjaga kebersihan dan memelihara fasilitas umum yang  disediakan untuk kepentingan bersama.
Masyarakat kita seperti tidak mempunyai sense of belonging, rasa ‘melu handarbeni’ atau rasa ikut memiliki. Ketidak pedulian ini sesungguhnya memang sangat pribadi sifatnya. Karena sangat tergantung dari sikap hidup, kebiasaan dan latar belakang pendidikan masing-masing individu. Apabila dari ‘sono’nya memang tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang pentingnya kebersihan, maka memang tak banyak yang bisa diharapkan dari sikap mereka. Jangan pula berharap mampu bersikap memelihara milik bersama.

Jadi tulisan “Jagalah kebersihan”  dan “Kebersihan adalah bagian dari iman” ataupun "Buang sampah pada tempatnya" yang ada dimana-mana seolah dianggap sebagai 'angin lalu' belaka.
Sebetulnya kita harus mau menengok dan belajar dari negeri jiran. Belajar tentang bagaimana masyarakat dinegeri tetangga menjaga kebersihan lingkungan. Akan kita lihat bahwa faktornya adalah displin, kebiasaan, dan latar belakang pendidikan warga negaranya. Namun adanya peraturan pemerintah tentang kebersihan lingkungan ternyata merupakan faktor utama. Dan yang paling penting adalah bahwa pemerintah negeri jiran membuat peraturan dengan memberlakukan ‘law enforcement’ (penegakan hukum) secara tegas, konsisten dan tidak pandang bulu. Istilah politisnya tidak ada tebang pilih.

Peraturan yang menyangkut kebersihan lingkungan dilaksanakan dengan sanksi denda yang diberlakukan ditempat. Meludah disembarang tempat didenda, membuang sampah sembarangan didenda. Bahkan membuang sisa permen karet juga akan dikenakan denda. Apalagi berani merokok ditempat yang ada tanda “dilarang merokok” nya.
Tak pernah terjadi ‘denda damai’ ditempat, TST (tahu sama tempe) atau sebangsa itu. Masyarakat dan aparat hukumnya sama-sama patuh dan taat pada hukum dan aturan.
Pertanyaannya adalah: Kalau dinegeri jiran peraturan menjaga kebersihan lingkungan bisa berjalan sangat bagus, mengapa hal itu tak bisa dilaksanakan dinegeri kita? 
Anda pasti maklum, kira-kira apa jawabannya.


4 komentar:

  1. Tegakkan hukum....kita pasti tertib teratur

    BalasHapus
  2. Naaaaah....itu yang susah bu dokter al-hajjah,
    hukum di Indonesia cuma ditegakkan utk orang kaya2 dan pejabat saja. Selebihnya dijadikan komoditi, yang mengambil korban rakyat sendiri. Bagaimana mau menegakkan hukum kalau polisi kehilangan sandal saja mencak2 dan mau memenjarakan anak dibawah umur? Itu contoh aparat yang "ndremis", yg tidak malu menengadahkan tangan diperempatan jalan menilang sekaligus menindas rakyat.....
    sangat memprihatinkan sekali....

    BalasHapus
  3. Tulisan lepas masTonie "Tentang Kebersihan" sebetulnya sudah sangatlah lengkap. Dari mulai riwayat kebersihan itu sendiri, timbulnya slogan, serta langkah untuk menanamkan kesadaran masyarakat untuk tetap memelihara kebersihan, semuanya sudah dibahas secara runut. Sampai dengan pertanyaan masTonie sendiri diakhir tulisan yang sebetulnya juga sudah ada jawabannya sebelum tulisan berakhir. Disinilah ciri khas kepandaian masTonie mengolah gerak kalimat sehingga menarik dan bahkan mengarah menjadi keren.
    Hal ini semua merupakan kebersihan yang 'kasat mata', yang sebetulnya mudah untuk dilakukan yang masTonie sendiri juga mengatakan dimulai dari masing-masing keluarga, dan lebih mandiri lagi dalam sebuah keluarga masing-masing pribadi lepas pribadi sadar untuk melakukannya sampai dengan anak-anaknya. Dan tidak kurang penting dari semua itu adalah hal kebersihan yang 'tak kasat mata' Kebersihan Hati Nurani, keluhuran budi, bagaimana cara mengajarkan dan menyadarkannya? Apakah juga cukup pelajaran dari sekolah? ya.. kalau ada.. Masih adakah masyarakat dan aparat hukum yang sama-sama patuh dan taat pada Kebersihan Hati Nurani dan Keluhuran Budi?

    BalasHapus
  4. Hari pertama ditahun 2012 ini sy mendapat hadiah mengejutkan dari Oma Rumi. Teernyata beliau masih sempat membuka lagi blog saya, diluar kesibukan menanti datanggnya tahun baru. I really appreciate that!
    Dan seperti biasa komen Oma sangatlah membesarkan hati. Sangat lengkap. Tapi seperti biasa, nyaris tak pernah berkenan mengritik! Melambungkan perasaan, iya. Dengan demikian saya tetap berharap, suatu ketika Oma berkenan memberikan kritik. Dan semoga saya tahan terhadap kritikan beliau. Hahahaha.......
    Tapi apa mungkin terjadi? Karena sepertinya Oma selama ini berpegang pada semboyan: "sesama alumnus AUP dilarang saling mengkritisi..."
    Trm kasih telah meluangkan waktunya oma. Jangan bosan ya? Klo Oma bosan.....terus saya gimana dong? Uhuks.....

    BalasHapus