-Bagian Ketigabelas-
(Sejak
pertama kali menginjakkan kaki ditanah suci (tahun 1992), saya sudah tahu ada
larangan dari fihak berwenang untuk tidak membuat foto, apalagi video
masjid-masjid yang ada ditanah suci. Askar penjaga masjid sangat “rajin”
mengadakan penggeledahan pada para jemaah yang ‘dicurigai’, untuk “mengamankan”
kamera yang mereka bawa. Tapi saya tidak pernah melihat larangan tertulis
tentang hal itu. Entah kalau ditulis memakai huruf Arab dan dalam bahasa Arab
pula. Sampai awal tahun 2008 pun larangan untuk tidak memotret itu masih sangat
ketat. Namun “believe it or not” entah bagaimana, saya selalu bisa mendapat
peluang untuk mengabadikan obyek ataupun momen-momen penting. Terutama yang ada
di kedua masjid suci di Mekah dan Madinah. Saya hanya bisa bersyukur seraya
meyakini bahwa tak ada kekuatan dan daya upaya apapun bagi seorang manusia
tanpa pertolongan Allah SWT).
Mengabadikan keindahan
Masjid –masjid ditanah suci
Kekecewaan tidak dapat berziarah ke
Pemakaman Baqi’ terhibur dengan i’tikaf
(berdiam diri) didalam Masjid Nabawi
yang suhunya selalu sejuk. Sambil menunggu tibanya waktu sholat Dhuhur, saya
mendirikan beberapa raka’at sholat sunah. Setelah itu berdzikir sambil berdoa
kepada Allah, Dzat yang Maha Agung, memohon keselamatan dunia akhirat bagi
Baginda Rasulullah, para sahabat dan pengikutnya. Tak lupa seraya meminta ampun
atas segala khilaf dan dosa, sayapun
takzim berdoa untuk memohon keselamatan dan karuniaNya bagi sanak saudara
dan isteri serta anak cucu saya.
Diantara dzikir itulah saya sempatkan
untuk mengabadikan interior Masjid Nabawi yang sangat indah. Didalam tas
pinggang saya memang selalu tersedia sebuah handycam
kecil serta sebuah ponsel Android
berkamera 8 megapiksel.
Sejak pertama kali pergi ketanah
suci, saya memang selalu berusaha mengabadikan semua obyek yang menarik. Bukan
dengan maksud “riya”, namun lebih
banyak untuk menjadi dokumentasi pribadi. Saya bermaksud menggunakan
dokumentasi itu agar bisa disaksikan oleh anak cucu dan sanak saudara untuk menggugah minat mereka pergi ketanah suci. Syukur-syukur
bisa menggugah minat handai taulan yang ikut menyaksikannya.
Sampai akhir tahun 2007 ketika saya pergi
haji yang kedua, larangan memotret masih ketat diberlakukan. Walaupun begitu toh saya masih berhasil membuat
dokumentasi foto dan video yang sangat lengkap tentang perjalanan haji saya
itu, Banyak teman yang terheran-heran bagaimana saya bisa melakukan hal
terlarang didaerah “verboden” itu. Satu
hal yang saya yakini, kalau bukan karena ijin Allah SWT, tak akan mungkin saya
berbuat apapun. Sayapun selalu meyakini arti kalimat hauqolah: “Laa haula walaa quwwata illaa billaah” (Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali
dengan pertolongan Allah).
Barangkali menyadari kemajuan teknologi
komunikasi yang sangat canggih, mulai beberapa tahun belakangan ini pengelola
masjid-masjid ditanah suci sudah mencabut larangan untuk memotret. Termasuk
larangan membuat dokumentasi video. Sesuatu yang sangat wajar dan logis atau
masuk akal. Kenyataannya memang susah kalau harus mengawasi ribuan jemaah yang
hampir semuanya sekarang mempunyai ponsel berkamera yang sekaligus bisa merekam
video.
Dengan tidak adanya larangan
memotret itu membuat saya sekarang lebih leluasa lagi membuat dokumentasi video
dan foto obyek-obyek bersejarah ditanah suci. Alhamdulillah.
Ada satu hal yang sampai sekarang menjadi
“ganjalan” dalam hati saya. Kalau ditanah suci, fihak yang berwenang telah
mencabut larangan memotret obyek-obyek
yang disucikan oleh seluruh umat Islam sedunia. Termasuk dua masjid
paling suci yaitu Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Tetapi
apa yang terjadi ditanah air kita, saudara-saudara sebangsa dan setanah air?
Saya mengalami sendiri betapa naif dan masih sempitnya pola pikir pengurus
masjid (tidak semua) dibeberapa kota besar di Indonesia.
Para pengurus masjid “kolot” ini tanpa dasar
dan alasan jelas masih ngotot
melarang jemaah (yang notabene adalah sesama muslim) untuk mengambil gambar
atau memotret masjid yang berada dalam “kekuasaannya”nya. Masih lumayan kalau
masjidnya bersejarah ataupun di”keramat”kan (walau ini pasti tindakan kurang
benar). Tapi ada beberapa masjid yang tidak punya catatan sejarah apapun, (bahkan
ada sebuah masjid yang cuma milik sebuah instansi pemerintah dibidang intel)
yang pengurusnya berkeras melarang pengunjung untuk mengambil gambar.
Semoga beliau para pengurus masjid yang
merasa “punya kuasa” itu mendapat pencerahan dari Allah Swt dan segera
menyadarinya. Kalau istilah abege
jaman sekarang :” Hareeee geneeee
melarang jemaah memotret masjid?”
Yang “mboten-mboten” saja sampiyan
reeeek..........
Menu Indonesia yang selalu
habis diserbu
Sesudah usai sholat Dhuhur berjamaah, siang itu saya segera bergegas kembali
kehotel. Maklum panggilan perut yang sudah mulai membuat aransemen musik keroncong.
Tentu dengan satu tujuan: masuk ke restoran hotel.
Seperti sudah saya kisahkan dimuka, khusus
bagi jemaah yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya dari Indonesia dan
Malaysia disiapkan sebuah resoran khusus oleh Hotel Western al-Harithia. Namanyanya
restoran ‘Al-Rawdah’ yang terletak dilantai M1.
Jadwal buka restoran memang sengaja diseuaikan
dengan jadwal ibadah sholat wajib. Pagi hari dibuka sesudah sholat Subuh antara
pukul 06.30 sampai pukul 08.00. Siang dibuka sesudah sholat Dhuhur,sekitar
pukul 13.00. Demikian pula pada malam
hari dibuka setelah sholat Isya.
Suhu udara dikota Madinah diakhir bulan
April tidak terlalu menyengat. Mungkin paling tinggi hanya sekitar 35 derajat
Celcius saja. Apalagi pelataran Masjid Nabawi sekarang sudah terlindung dengan
puluhan payung raksasa yang terkadang menyemprotkan uap air. Tapi entah mengapa
rasa lapar masih mudah menerjang juga. Mungkin karena aktifitas yang sangat
intens.
Rupanya ‘wabah’ lapar itu juga menyerang
hampir semua jemaah yang bermalam dihotel Western. Oleh sebab itu kalau datang
ke restoran agak terlambat sebentar saja, ruangan sudah penuh sesak. Antrian
pun mengular dimeja prasmanan. Bagi mereka yang datang terlambat, terkadang
hanya bisa menyaksikan sisa-sisa hidangan yang sudah “menipis” dan tidak
lengkap lagi.
Salah satu menu makan siang di 'Al-Rawdah'
Menu hidangan Indonesian food di “Al-Rawdah” termasuk cukup bervariasi. Siang hari itu dihidangkan nasi putih, sup wortel kentang, ayam goreng mentega dan daging rendang ala resto “Saiyo Sakato”. Yang cukup membuat heran, selalu ada lalapan segar berupa irisan ketimun dan dedaunan mentah yang entah apa namanya. Tapi sumpiiiiiih deh iiih....rasanya segar sekali. Tidak ketinggalan sambal merah manyala bob dan kerupuk. Betul-betul “salero bagindo” ..eh, maksud saya selera Indonesia.
Dimeja makan selalu tersedia botol air
mineral besar untuk setiap empat orang. Namun minuman lain juga disediakan
berupa teh, kopi dan jus buah. Semuanya bebas mengambil sendiri sesuka hati.
Buah-buahan juga selalu ada. Biasanya pisang, jeruk, pir hijau atau buah plum.
Tapi saya perhatikan, persediaan buah ini selalu habis lebih dahulu. Kalau saya
pikir-pikir, karena persediaan buah pasti sudah diperhitungkan jumlahnya dengan
jemaah, tentu banyak yang mengambil lebih dari satu.
Namanya juga makan bebas
merdeka......prasmanan geeetuuuuu
lhoooooh......
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar