Selasa, 27 Mei 2014

CATATAN PERJALANAN "UMROH KOSASIH" (13)



-Bagian Ketigabelas-

Lampu robyong dilangit-langit Masjid Nabawi


(Sejak pertama kali menginjakkan kaki ditanah suci (tahun 1992), saya sudah tahu ada larangan dari fihak berwenang untuk tidak membuat foto, apalagi video masjid-masjid yang ada ditanah suci. Askar penjaga masjid sangat “rajin” mengadakan penggeledahan pada para jemaah yang ‘dicurigai’, untuk “mengamankan” kamera yang mereka bawa. Tapi saya tidak pernah melihat larangan tertulis tentang hal itu. Entah kalau ditulis memakai huruf Arab dan dalam bahasa Arab pula. Sampai awal tahun 2008 pun larangan untuk tidak memotret itu masih sangat ketat. Namun “believe it or not” entah bagaimana, saya selalu bisa mendapat peluang untuk mengabadikan obyek ataupun momen-momen penting. Terutama yang ada di kedua masjid suci di Mekah dan Madinah. Saya hanya bisa bersyukur seraya meyakini bahwa tak ada kekuatan dan daya upaya apapun bagi seorang manusia tanpa pertolongan Allah SWT).


Mengabadikan keindahan Masjid –masjid ditanah suci

     Kekecewaan tidak dapat berziarah ke Pemakaman Baqi’ terhibur dengan i’tikaf  (berdiam diri) didalam Masjid Nabawi yang suhunya selalu sejuk. Sambil menunggu tibanya waktu sholat Dhuhur, saya mendirikan beberapa raka’at sholat sunah. Setelah itu berdzikir sambil berdoa kepada Allah, Dzat yang Maha Agung, memohon keselamatan dunia akhirat bagi Baginda Rasulullah, para sahabat dan pengikutnya. Tak lupa seraya meminta ampun atas segala khilaf dan dosa, sayapun  takzim berdoa  untuk memohon  keselamatan dan karuniaNya bagi sanak saudara dan isteri serta anak cucu saya.

     Diantara dzikir itulah saya sempatkan untuk mengabadikan interior Masjid Nabawi yang sangat indah. Didalam tas pinggang saya memang selalu tersedia sebuah handycam kecil serta sebuah ponsel Android berkamera 8 megapiksel. 

          Sejak pertama kali pergi ketanah suci, saya memang selalu berusaha mengabadikan semua obyek yang menarik. Bukan dengan maksud “riya”, namun lebih banyak untuk menjadi dokumentasi pribadi. Saya bermaksud menggunakan dokumentasi itu agar bisa disaksikan oleh anak cucu dan sanak saudara untuk  menggugah minat mereka pergi ketanah suci. Syukur-syukur bisa menggugah minat handai taulan yang ikut menyaksikannya. 

     Sampai akhir tahun 2007 ketika saya pergi haji yang kedua, larangan memotret masih ketat diberlakukan. Walaupun begitu toh saya masih berhasil membuat dokumentasi foto dan video yang sangat lengkap tentang perjalanan haji saya itu, Banyak teman yang terheran-heran bagaimana saya bisa melakukan hal terlarang didaerah “verboden” itu. Satu hal yang saya yakini, kalau bukan karena ijin Allah SWT, tak akan mungkin saya berbuat apapun. Sayapun selalu meyakini arti kalimat hauqolah: “Laa haula walaa quwwata illaa billaah”  (Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).

Lampu robyong di "Raudah"

     Barangkali menyadari kemajuan teknologi komunikasi yang sangat canggih, mulai beberapa tahun belakangan ini pengelola masjid-masjid ditanah suci sudah mencabut larangan untuk memotret. Termasuk larangan membuat dokumentasi video. Sesuatu yang sangat wajar dan logis atau masuk akal. Kenyataannya memang susah kalau harus mengawasi ribuan jemaah yang hampir semuanya sekarang mempunyai ponsel berkamera yang sekaligus bisa merekam video.
Dengan tidak adanya larangan memotret itu membuat saya sekarang lebih leluasa lagi membuat dokumentasi video dan foto obyek-obyek bersejarah ditanah suci. Alhamdulillah.

     Ada satu hal yang sampai sekarang menjadi “ganjalan” dalam hati saya. Kalau ditanah suci, fihak yang berwenang telah mencabut larangan memotret obyek-obyek  yang disucikan oleh seluruh umat Islam sedunia. Termasuk dua masjid paling suci yaitu Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Tetapi apa yang terjadi ditanah air kita, saudara-saudara sebangsa dan setanah air? Saya mengalami sendiri betapa naif dan masih sempitnya pola pikir pengurus masjid (tidak semua) dibeberapa kota besar di Indonesia. 

     Para pengurus masjid “kolot” ini tanpa dasar dan alasan jelas masih ngotot melarang jemaah (yang notabene adalah sesama muslim) untuk mengambil gambar atau memotret masjid yang berada dalam “kekuasaannya”nya. Masih lumayan kalau masjidnya bersejarah ataupun di”keramat”kan (walau ini pasti tindakan kurang benar). Tapi ada beberapa masjid yang tidak punya catatan sejarah apapun, (bahkan ada sebuah masjid yang cuma milik sebuah instansi pemerintah dibidang intel) yang pengurusnya berkeras melarang pengunjung untuk mengambil gambar. 

     Semoga beliau para pengurus masjid yang merasa “punya kuasa” itu mendapat pencerahan dari Allah Swt dan segera menyadarinya. Kalau istilah abege jaman sekarang :” Hareeee geneeee melarang jemaah memotret masjid?”
Yang “mboten-mboten” saja sampiyan reeeek..........

Menu Indonesia yang selalu habis diserbu

     Sesudah usai sholat Dhuhur berjamaah,  siang itu saya segera bergegas kembali kehotel. Maklum panggilan perut yang sudah mulai membuat aransemen musik keroncong. Tentu dengan satu tujuan: masuk ke restoran hotel.

     Seperti sudah saya kisahkan dimuka, khusus bagi jemaah yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya dari Indonesia dan Malaysia disiapkan sebuah resoran khusus oleh Hotel Western al-Harithia. Namanyanya restoran ‘Al-Rawdah’ yang terletak dilantai M1. 

     Jadwal buka restoran memang sengaja diseuaikan dengan jadwal ibadah sholat wajib. Pagi hari dibuka sesudah sholat Subuh antara pukul 06.30 sampai pukul 08.00. Siang dibuka sesudah sholat Dhuhur,sekitar pukul 13.00.  Demikian pula pada malam hari dibuka setelah sholat Isya.

    Suhu udara dikota Madinah diakhir bulan April tidak terlalu menyengat. Mungkin paling tinggi hanya sekitar 35 derajat Celcius saja. Apalagi pelataran Masjid Nabawi sekarang sudah terlindung dengan puluhan payung raksasa yang terkadang menyemprotkan uap air. Tapi entah mengapa rasa lapar masih mudah menerjang juga. Mungkin karena aktifitas yang sangat intens.

    Rupanya ‘wabah’ lapar itu juga menyerang hampir semua jemaah yang bermalam dihotel Western. Oleh sebab itu kalau datang ke restoran agak terlambat sebentar saja, ruangan sudah penuh sesak. Antrian pun mengular dimeja prasmanan. Bagi mereka yang datang terlambat, terkadang hanya bisa menyaksikan sisa-sisa hidangan yang sudah “menipis” dan tidak lengkap lagi. 

Salah satu menu makan siang di 'Al-Rawdah'
   Menu hidangan Indonesian food  di “Al-Rawdah” termasuk cukup bervariasi. Siang hari itu dihidangkan nasi putih, sup wortel kentang, ayam goreng mentega dan daging rendang ala resto “Saiyo Sakato”. Yang cukup membuat heran, selalu ada lalapan segar berupa irisan ketimun dan dedaunan mentah yang entah apa namanya. Tapi sumpiiiiiih deh iiih....rasanya segar sekali. Tidak ketinggalan sambal merah manyala bob dan kerupuk. Betul-betul “salero bagindo” ..eh, maksud saya selera Indonesia.

    Dimeja makan selalu tersedia botol air mineral besar untuk setiap empat orang. Namun minuman lain juga disediakan berupa teh, kopi dan jus buah. Semuanya bebas mengambil sendiri sesuka hati. Buah-buahan juga selalu ada. Biasanya pisang, jeruk, pir hijau atau buah plum. Tapi saya perhatikan, persediaan buah ini selalu habis lebih dahulu. Kalau saya pikir-pikir, karena persediaan buah pasti sudah diperhitungkan jumlahnya dengan jemaah, tentu banyak yang mengambil lebih dari satu.
Namanya juga makan bebas merdeka......prasmanan geeetuuuuu lhoooooh......


Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar