-Bagian Kedua-
(Ditulis pada hari Selasa, 28 Mei 2013)
Masjid "BIER ALI", Dzul Hulaifah, Madinah
“Wa azzin fin-naasi bil-hajji ya’tuuka
rijaalaw wa ‘alaa kulli daamiriy ya’tiina min kulli fajjin ‘amiiq” (QS
Al-Hajj 022 : 27)
Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, maka niscaya akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari
seluruh penjuru yang jauh....”
(Konon
pada saat Nabi Ibrahim AS -atas perintah Allah Swt- menyerukan ajakan haji
tersebut, maka sahut menyahutlah umat manusia -meski belum terlahir kedunia-.
Dan barangsiapa yang menyahut seruan itu, maka -dikelak kemudian hari- ialah yang akan mendapat ‘panggilan’ untuk
datang ketanah suci)
Masjid “Pohon” yang punya
banyak nama
Ada yang mengatakan jaraknya tepat persis
11 (sebelas) kilometer -tidak lebih tidak kurang- dari kota Madinah
al-Munawaroh. Terletak didaerah yang bernama Dzul Hulaifah, ada sebuah masjid yang sangat terkenal dan juga
bersejarah (selain Masjid Nabawi). Seluruh jamaah haji ataupun umroh pasti
mengenal masjid yang satu ini. Diluar musim haji jarak tersebut dapat ditempuh
hanya sekitar 10 – 15 menit saja dengan berkendaraan mobil dari kota Madinah.
Namun pada saat puncak musim haji, membutuhkan waktu sampai berjam-jam, karena
banyaknya kendaraan (terutama bus besar). Itulah masjid yang terkenal dengan
sebutan “Masjid Bier Ali” yang
bangunannya (kini) berdiri sangat megah.
Nama masjid ini memang bermacam-macam. Ada
yang menyebutnya dengan nama masjid “As-Syajaroh” (artinya pohon). Konon
sebelum didirikan sebuah masjid ditempat ini ada sebuah pohon yang selalu
disinggahi Rasulullah SAW sebelum berangkat umroh atau haji. Dari sinilah
beliau mulai memakai ihrom (pakaian yang terdiri dari dua lembar kain tak
berjahit) untuk melaksanakan umroh. Karena letaknya didaerah Dzul Hulaifah,
maka masjid ini disebut juga dengan nama masjid “Dzul Hulaifah”.
Namun yang tersohor dikalangan jamaah haji
atau umroh dari seluruh penjuru dunia adalah nama “Masjid Bier Ali”. Mengapa
sangat terkenal? Tidak lain karena seluruh jamaah haji atau umroh yang
berangkat dari (atau melewati) Kota Madinah menuju Kota Mekkah harus mulai
memakai ihrom dari masjid ini. Sehingga masjid Bier Ali ini disebut sebagai
MIQAT. Oleh sebab itu masjid ini juga dinamakan masjid “Al Miqat” atau “Al
Ihrom”.
Semula Masjid Bier Ali hanya kecil saja.
Namun menurut Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani dalam bukunya “Sejarah Madinah”
(cetakan pertama, 2005) dikisahkan bahwa pada masa pemerintahan Raja Fahd
diadakan renovasi besar-besaran yang memakan biaya sampai lebih dari 170 juta
Real Saudi. Raja Fahd ini pula yang merenovasi Masjid Nabawi selama hampir satu
dasawarsa dengan biaya yang sangat luar biasa besar pula. Saat ini Masjid Bier
Ali mempunyai areal seluas 90 ribu meter persegi. Adapun bangunan masjidnya
sendiri mencapai 26 ribu meter persegi. Subhanallah.
Bangunan masjid seluas itu kini dapat
menampung sekaligus sekitar 5000 jemaah Oleh sebab itu dibutuhkan pula toilet dan
kamar mandi yang cukup banyak. Konon jumlahnya mencapai 512 kamar kecil
(toilet) dan 566 kamar mandi. Keseluruhan bangunan kompleks Masjid berbentuk
empat persegi panjang. Arsitektur bangunan sekitarnya dibuat seperti benteng
yang mengelilingi masjid yang terletak pada salah satu ujung dindingnya.
Masjid Bier Ali mempunyai kubah bulat
setinggi 28 meter dan menara yang menjulang setinggi 64 meter. Ada banyak taman
di areal masjid yang ditata sangat indah. Juga banyak lorong yang (pada saat
saya berkunjung bulan April 2013) diisi oleh warung atau toko yang menjual
aneka cindera mata. Areal parkirnya juga sangat luas sehingga mampu menampung
ribuan kendaraan besar dan kecil.
Masuk Masjid Bier Ali untuk
yang pertama kali
Saya sudah beberapa kali pergi ketanah
suci untuk berhaji atau umroh. Tapi belum pernah sekalipun saya mengambil miqat
dari Masjid Bier Ali. Itu karena saya selalu datang dari arah Jeddah, sehingga
mengambil miqat dari daerah yang disebut Qarnul
Manazil. Sebenarnya ini adalah nama sebuah bukit yang terletak sekitar 95
kilometer disebelah timur kota Mekkah. Namun Jemaah haji atau umroh yang datang
dari arah Asia, termasuk Indonesia disepakati (oleh para ulama) untuk mengambil
miqat ini. Konsekwensinya, jemaah haji atau umroh harus mengenakan ihrom saat
masih berada diatas pesawat terbang. Yaitu pada saat diperkirakan berada
didaerah Qarnul Manazil ini. Biasanya Pilot pesawat akan mengumumkan kepada
penumpang saat akan melintasi daerah ini.
Selama ini beberapa kali saya hanya
melihat masjid Bier Ali sekilas pintas saja dari dalam bus yang melaju kencang
melewatinya. Belum pernah satu kalipun saya
memasukinya. Tahun 1992 ketika saya menjalankan ibadah umroh Romadhon, saya
bahkan belum sampai kota Madinah. Sehingga tidak sempat melihat Masjid Bier
Ali. Maklum saya ikut rombongan umroh tamu negara. Jadi rutenya sudah
ditetapkan oleh protokol negara.
Sewaktu naik haji pertama kali tahun 1992
itu juga, saya mengambil miqat dari Masjid Tan’im, karena sudah berdiam dikota
Mekkah beberapa lama. Meskipun saya juga pergi berziarah ke Masjid Nabawi
dikota Madinah, namun saya tidak sempat
mampir di Bier Ali. Kali ini karena saya bertugas sebagai anggota TPOH (Tim
Pemantau Operasional Haji) 1992 yang hanya bertugas didalam kota Madinah saja.
Baru pada saat saya melakukan umroh di
akhir bulan April tahun 2013 inilah, saya datang dari arah kota Madinah. Dengan
demikian saya harus mengambil miqat di Masjid Bier Ali. Inilah untuk pertama kali dalam hidup saya memasuki
areal Masjid Bier Ali. Tapi justru kedatangan saya yang pertama kali ke masjid
Bier Ali inilah saya mendapatkan cobaan
yang sangat berat dari
Allah Swt.
Galau dihantui bayangan “si
flamboyan”
Sebenarnya ini rahasia pribadi. Tapi
terpaksa harus saya ungkapkan, karena saya ingat lagu Koes Plus yang liriknya “mari
mari berterus terang” itu.. Sudah beberapa waktu lamanya saya menderita
sakit “flamboyan”, eh, maksud saya sakit wasir nding. Tapi memang tidak terlalu berat. Hanya kalau saya lengah
memakan masakan yang terlalu pedas saja, si “flamboyan” yang resek itu kambuh (biar agak sopan
sedikit saya sebut flamboyan, padahal maksud saya adalah ambeien). Inilah yang menjadi beban pikiran saya sejak sebelum
berangkat ke tanah suci dibulan April 2013.
Saya bayangkan ketika memakai pakaian
ihrom, tiba-tiba penyakit itu kambuh! Alangkah malunya apabila dikain ihrom
yang putih bersih itu ternoda dengan “darah flamboyan”. Mungkin saja
orang-orang yang melihat lalu mencibir:
“Eh itu koq ada laki-laki menstruasi?”. Betapa maluku eh malu saya dong deh.
Oleh sebab itu sejak dari
Jakarta saya persiapkan obat khusus ‘flamboyan’ yang biasa diselipkan dilubang
‘pelepasan’. Sebenarnya saya punya resep ampuh untuk mencegah wasir, yaitu daun
binahong. Sayang daun binahong tidak tahan dibawa pergi untuk waktu yang lama.
Jadi terpaksa memakai obat resep dokter. Tapi hati saya tetap tidak bisa
tenang. Belum pernah saya segelisah ini saat akan pergi ketanah suci. Padahal
inilah kepergian saya yang kelima kalinya ketanah yang didambakan nyaris oleh
seluruh umat muslim didunia.
Pikiran saya sangat kalut sejak pagi hari
pada saat mandi dihotel “Western Al
Harithia” Madinah. Ini adalah mandi
sebagai syarat memakai kain ihrom. Berkali-kali saya melihat kekloset
untuk meyakinkan diri tidak ada tetesan darah. Saya ndremimil (terus menerus) berdoa kepada Allah Sang Maha Kuasa agar
penyakit njelehi (menyebalkan) itu
tidak datang. Entah kenapa saya tidak bisa yakin. Saya juga heran. Akibat
pikiran galau itu, kemudian muncul rasa tidak enak (tapi bukan sakit) diperut
dan didaerah pelepasan. Pasti ini gejala ‘sakit’ psikosomatis.
Didalam bus saya sengaja mengambil tempat
duduk dikursi yang paling belakang. Ada rasa risih kalau-kalau ada orang memandangi
bagian belakang tubuh saya. Semacam rasa ge
er begitu. Tapi bukaaaan! Benar-benar senewen
saya! Saya duduk meringkuk sendirian. Bahkan saya suruh isteri saya agar duduk
agak jauh dari tempat duduk saya. Tentu saja dia protes keras. Tapi saya
beralasan mau istirahat menyelonjorkan kaki sembari tiduran.
Mendapat cobaan berat di
Masjid Bier Ali
Tiba di Masjid Bier Ali saya turun dari
bis seperti orang linglung. Masjid ini sangat indah, tapi saya sungguh-sungguh
baru pertama kali ini memasukinya. Ada rasa kagum bercampur
rasa galau dan sedikit bingung. Kebiasaan saya memotret apapun yang baru saya
lihat serentak lenyap pula. Apalagi mendadak saya merasa sakit perut. Tanpa
tanya kanan kiri saya langsung mencari tulisan “toilet”.
Terus terang saya lebih hafal seluk beluk
Masjid Nabawi dan Masjidil Haram yang jauh lebih luas dari Masjid Bier Ali. Itu
karena saya sudah sangat sering blusak-blusuk
memasuki kedua masjid suci itu. Tapi ketika pertama kali masuk Masjid Bier Ali
situasi kejiwaan saya lain sekali. Karena bingung saya jadi kehilangan
orientasi. Sesuatu yang sangat jarang sekali saya alami. Selama ini saya tidak
pernah tersesat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang pintunya sangat banyak.
Ustad Pembimbing hanya memberikan waktu paling
lama sekitar setengah jam untuk melakukan sholat sunah tahiyatul masjid dan
sholat sunah (memakai) ihrom. Jadi saya bergegas masuk kamar kecil. Hanya ada
lobang kakus sederhana saja (seperti kloset jongkok) dan sebuah shower (selang air). Saya nilai secara
umum toilet dimasjid ini termasuk cukup bersih.
Saya tuntaskan hajat besar dengan tergesa-gesa. Lega rasanya. Ketika
selesai, saya berniat membersihkan diri dengan shower yang ada. Seperti biasa
ditanah Arab, disiang hari (bahkan kadang sampai malam hari) air toilet dimana
saja rasanya hangat. Bahkan terkadang cukup panas. Mungkin tandon airnya dari
logam.
Diluar dugaan air shower ternyata panas
sekali. Saya agak kaget dan ketika itulah saya menyadari ada darah yang mengucur
deras! Saya terkesiap. Bingung campur panik. Sambil meminta ampun dan berdoa
kepada Allah SWT (padahal seharusnya tidak boleh berdoa dikamar kecil, kecuali
ketika mau masuk atau keluar) saya semprotkan air panas itu untuk mencoba
menghentikan perdarahan. Saya singkapkan keatas kain ihrom agar tidak terkena
darah yang mengucur deras.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar