-Bagian Keenambelas-
(Ditulis pada hari Minggu, 21 September 2013)
Hilton Hotel & Apartment Makkah
Dimata
saya Kota Mekah al-Mukaromah selalu tampak berubah. Sudah lebih dari empat kali
saya datang, dan saya dapati suasana yang terus berganti. Namun pesonanya tak
pernah pudar. Ada semacam magnet yang terus menerus menarik hati saya, atau
barangkali hati siapapun yang beriman kepada Nya, untuk terus datang dan datang
lagi.....
Subhanallaah,
Allahu Akbar....
Umroh tengah malam
Dikamar mandi mewah dilantai 21 kamar
nomer 24 tower ke 6, Hilton Tower Hotel & Apartment Mekah, saya tercenung.
Apa yang baru saja saya alami dalam perjalanan dari Madinah tadi sungguh
mengguncang jiwa dan batin saya. Sambil duduk dikloset, mata saya tak lekang
menatap dua lembar kain umroh yang saya bentangkan dimeja wastafel.
Dua-duanya tampak putih bersih. Tidak ada
NODA setitikpun. Padahal sepanjang perjalanan hari itu yang makan waktu selama
lebih dari 5 jam, pikiran buruk saya selalu menghantui. Maklum, kejadian yang menimpa dikamar kecil
Masjid Bier Ali telah meruntuhkan rasa percaya diri saya nyaris ketitik nadir.
Tapi saya pasrahkan semua yang telah saya
alami kembali kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Saya yakin tak ada sesuatu
apapun yang bisa terjadi, tanpa kehendakNya. Saya bertobat sepenuh hati dalam
sujud dimasjid Bier Ali yang baru pertama kali saya masuki.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh
malam lebih beberapa menit. Saya kuatkan kembali hati saya. Tetap dengan terus
membaca istigfar, saya pakai kembali
kain ihrom untuk bersiap melaksanakan ibadah Umroh malam hari ini. Sambil menunggu
lift untuk turun kelantai dasar, seraya istigfar saya juga terus berdoa untuk menguatkan hati.
Rombongan umroh dibagi menjadi dua. Satu
rombongan dipimpin oleh Ustad Syarif, rombongan lainnya dipimpin oleh Ustad Yaqub.
Isteri saya dan saya sendiri termasuk dalam rombongan yang dipimpin oleh Ustad
Yaqub. Ada sekitar 12 orang yang akan dipandu oleh Ustad Yaqub menjalankan
ibadah umroh.
“Jam Gadang” ditengah kota
Mekah
Sekitar pukul sepuluh malam rombongan
berangkat menuju Masjidil Haram. Sekarang ini (tahun 2013) tidak sulit
mengetahui waktu disekitar kota Mekah. Ada sebuah jam ‘gadang’ segede gaban
(apa sih gaban itu? Lebih besar dari gajah ya?), yang berdiri dengan gagah
perwira di gedung Zam-zam Tower. Jam sangat besar ini bisa terlihat sampai
jauuuuuuh sekaleeeeeee.....
"Jam Gadang" di Zam Zam Tower
Barangkali “Big Ben” yang berada dikota
London saja kalah tinggi. Piringan angkanya berwarna hijau, dan angkanya tampak
menyala keperakan. Sangat jelas, bahkan untuk ukuran mata seorang lansia tuwir seperti saya.
Ustad Yaqub ternyata lebih senang masuk Masjidil Haram lewat pintu 1.
Arahnya agak menyerong kekanan dari lokasi Hilton Tower. Saya pribadi lebih
suka melewati pintu 79 yang dikenal sebagai pintu Raja Fahd. Selain nyaris
lurus arahnya dari Hilton Tower, pintu ini juga sangat indah dipandang dengan
sepasang menaranya. Memang pintu 79 ini selalu ramai untuk keluar masuk jemaah.
Apalagi kalau hari Jum’at.
Setelah memimpin membaca doa memasuki
Masjidil Haram, Ustad Yaqubpun menuntun rombongannya menuju pelataran Ka’bah.
Saya merasa mata saya basah. Bangunan ber “kiswah”
hitam yang berdiri kokoh dan anggun dihadapan saya itu meluluh lantakkan rasa
keangkuhan, kesombongan dan egoisme seorang hamba Allah. Siapa atau mahluk
apakah yang tidak tergetar hatinya melihat salah satu bukti kebesaran Allah SWT
ini?
Bangunan persegi empat tidak sama sisi itu
tingginya sekitar 14 meter. Panjang tiap sisinya memang tidak sama. Ada yang
11, 53 meter (dinding arah Hajar Aswad), ada yang 12,84 meter (dinding depan
dimana terdapat pintu Ka’bah). Sedangkan dinding disisi Hijir Ismail panjangnya
sekitar 11,28 meter. Dinding disisi Rukun
Yamani adalah 13,16 meter.
Setiap tahun “kiswah” (kelambu penurup
Ka’bah) berwarna hitam itu selalu diganti. Dimusim haji kiswah akan digulung
keatas sampai nyaris seperempat tinggi Ka’bah (sekitar 3-4 meter). Hal tersebut
untuk menghindari tangan-tangan jahil yang suka memotong kiswah untuk cindera
mata. Bahkan ada orang yang meniatkannya sebagai jimat! Ini tentu kelakuan yang
cenderung syirik. Tidak ada dosa yang
lebih besar selain menyekutukan Tuhan alias syirik itu.
Naudzubillahi min dzaliik.......
Pelataran Ka’bah yang tak
pernah sepi
Malam semakin larut, tapi keadaan
disekeliling Ka’bah justru semakin ramai. Angin bertiup sepoi, menepis
sisa-sisa udara panas siang hari. Lantai pelataran Ka’bah yang terbuat dari
marmer terasa sangat dingin. Menyejukkan langkah dan mengurangi rasa lelah.
Semua orang barangkali punya pikiran sama: lebih baik melakukan ‘tawaf’ pada
waktu malam hari untuk menghindari sengatan mentari. Terutama para jemaah yang
sudah lanjut usia.
Baitullah atau Ka'bah yang tidak pernah sepi dari jemaah tawaf
Tahun 1992 doeloe, ketika untuk pertama kalinya saya melakukan tawaf, masih
tampak jemaah yang ditandu untuk melakukan tawaf. Para pemandu sewaan itu
biasanya berbadan kekar, tinggi besar dan berkulit hitam. Sekarang hal tersebut
sudah dilarang. Bahkan yang tawaf menggunakan kursi rodapun dipersilakan keluar
dari pelataran Ka’bah. Mereka akan diminta untuk melakukan tawaf ditempat
khusus yang berada dilantai dua Masjidil Haram.
Bagaimanapun, sepanjang yang pernah saya
alami, pelataran Ka’bah tak pernah sepi dari jemaah. Baik yang sedang melakukan
tawaf, yang berebutan mencium Hajar Aswad, maupun yang sibuk mencari tempat sholat
sunah didepan Multazam dan Maqom Ibrahim. Begitu pula mereka yang
berdesakan antri didekat Hijir Ismail
menunggu belas kasih Askar untuk memberikan ijin masuk. Siang malam sama saja
ramainya.
Hanya kalau suhu udara sangat panas
disiang hari, jemaah akan berkurang. Seperti yang saya alami pada suatu siang
dibulan Mei tahun 2006, ketika saya pergi umroh bersama isteri dan anak bungsu
saya. Waktu itu suhu udara siang hari mencapai lebih dari 40 derajat Celcius.
Sangat menyengat namun tidak membuat orang berkeringat. Ini bisa mengakibatkan
dehidrasi dan membuat orang terkena ‘heat
stroke’.
Namun dibalik panasnya suhu udara ternyata
ada hikmahnya juga. Jemaah yang melakukan tawaf sangat sedikit. Itu sebabnya
pada tahun 2006 saya bisa mencium Hajar Aswad dengan agak mudah. Termasuk anak
bungsu dan isteri saya.
Alhamdulillaah......
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar