-Bagian Kedelapan-
(Ditulis pada hari Sabtu, 8 Juni 2013)
(Ditulis pada hari Sabtu, 8 Juni 2013)
Menara Masjid NABAWI pada malam hari
Dari
Aisyah RA, ia berkata: ketika kami masuk kekota Madinah, Rasulullah SAW berdoa: “Ya Allah berikanlah
kecintaan kami kepada Madinah, sebagaimana Engkau berikan kecintaan kepada
Mekah, atau lebih dari itu. Dan bersihkanlah ia dan berkatilah kepada kami
dalam makanan dan bekalnya, dan gantilah wabah penyakitnya dengan juhfah”
(Hadits
Shahih Buchari dan Muslim)
Memasuki “kota yang
bercahaya” .....
Yatsrib adalah nama asli kota ini.
Ketika masuk kekota yang (dulunya)
kotor
dan kumuh serta penuh penyakit itu,
Rasulullah SAW langsung memberikan
nama baru, yaitu Madinah. Beliau masih menambahkan sebutan “al-Munawaroh” dibelakangnya. Arti harafiahnya adalah “yang
bercahaya”. Padahal pada saat itu (tahun pertama Hijriyah) listrik belum ditemukan. Bahkan Thomas Alfa
Edison yang
dianggap sebagai penemu listrikpun
belum lahir.
Lewat
tengah malam ustad Syarif membangunkan anggota rombongan yang terlelap tidur
kelelahan. Bis sudah mendekati masjid Bier Ali yang terletak dipinggir jalan
raya menuju kota Madinah. Artinya tak berapa lama lagi kita akan memasuki kota
dimana Masjid Nabi (Nabawi) berada. Kemudian semua dipimpin membaca doa
memasuki kota suci Madinah al-Munawaroh. Sesuai dengan nama yang diberikan oleh
Rasulullah SAW, kota Madinah diwaktu malam hari sekarang memang nampak
bercahaya gemerlapan oleh sinar lampu. Subhanallah.
Pukul 01.20 dinihari bis berhenti tepat
didepan Hotel Western
Al-Haritthia-AlMadina. Hotel bintang empat ini terletak hanya satu blok
dibelakang pertokoan Bin Dawood yang berhadapan langsung dengan
Masjid Nabawi. Dari depan Lobby hotel
sudah terlihat gerbang dan menara Masjid Nabi itu. Jaraknya mungkin sekitar 50
- 100an meter saja. Ditempuh dengan berjalan kaki tidak sampai tiga menit.
Diujung fajar itu suhu udara dikota
Madinah lumayan dingin. Angin bertiup cukup kencang. Saya merasa tubuh menjadi
segar kembali. Apalagi di Lobby hotel
disediakan welcome drink dan beberapa kudapan khas Arab.
Kurma tentu tak ketinggalan. Setelah itu baru Ibu Hajjah Dewi turun tangan
sendiri membagikan kunci hotel.
Terbukti bahwa saya mendapat fasilitas
tidur berdua dengan isteri (double room)
seperti yang tertera dalam buku petunjuk. Kalau saya tidak salah yang mendapat fasilitas
double room hanya tiga pasangan suami
isteri, ditambah dua orang bapak yang masing-masing pergi dengan seorang anak
perempuannya. Sedangkan dua orang gadis itu ternyata malah berada dalam satu
kamar bertiga (triple) dengan Ibu
Hajjah Dewi AN Baluki, yang notabene
adalah Pimpinan Rombongan PT Bina Travel. Ini sangat mengejutkan saya. Ibu
Hajjah Dewi Baluki ternyata orang yang sangat rendah hati, ramah tamah dan tidak sombong (barangkali juga gemar
menabung). Adapun anggota rombongan yang lain mendapat fasilitas triple-room atau quard-room (sekamar bertiga atau berempat).
Lobby Hotel Western Al-Harithia
Lobby Hotel Western Al-Harithia
Dihotel Western Al-Harithia itu saya
mendapat kamar yang terletak dilantai 9.
Nomor kamarnya 918, Alhamdulillah semua anggota rombongan
bisa mendapat kamar dilantai yang sama. Kamar no 918 berisi sebuah ranjang
dobel ukuran “raja” (King Size).
Didekat jendela kaca lebar terletak sebuah meja bulat dengan dua kursi
berlengan. Tepat dihadapan ranjang terletak sebuah meja rias panjang dengan
kaca besar. Diatas meja ada sebuah TV LCD ukuran 32 inci.
Kamar mandi yang cukup lengkap berada
disamping kanan tempat tidur. Berhadapan dengan sebuah lemari pakaian yang
berada persis disamping pintu masuk kekamar. Ada lemari es kecil dan safe deposit box yang tersembunyi dalam
lemari.
Ditengah malam yang sepi dan dingin itu,
didalam kamar hotel saya langsung menjalankan sholat Isya yang di jamak qosor dengan sholat Magrib. Hal tersebut terpaksa saya lakukan karena
saat berada di terminal kedatangan tidak ada waktu lagi untuk mendirikan
sholat. Demikian pula saya kira yang dilakukan oleh kebanyakan anggota
rombongan yang lain.
Mengapa pada malam hari itu saya sholat
didalam kamar hotel? Mungkin sudah banyak yang tahu. Berbeda dengan Masjidil
Haram dikota Mekah yang terbuka 24 jam sehari 7 hari seminggu alias tidak
pernah ditutup sepanjang tahun, Masjid Nabawi ditutup pintunya sesudah sholat
Isya berjamaah, atau kira-kira pukul 11.30 malam. Konon hanya satu pintu Masjid
Nabawi yang dibuka selama 24 jam, yaitu Babus Salam yang merupakan pintu masuk
menuju Raudah dan makam Rasulullah SAW.
Masjid Nabawi yang sangat
indah
Seingat saya, malam itu saya dan isteri
tidak sempat lagi tidur dikamar hotel. Sebab pada pukul 3 pagi sudah harus
bergegas menuju Masjid Nabawi untuk sholat sunah sambil menanti saat sholat Subuh berjamaah.
Sudah empat kali saya mengunjungi kota
Madinah. Setiap kali pula saya selalu terpesona dengan cahayanya dimalam hari
yang sangat memukau. Keluar dari Lobby hotel, mata saya langsung menatap salah
satu menara Masjid Nabawi yang berkilau tertimpa sinar. Indah sekali. Hotel
Western memang terletak tepat dimuka lorong menuju Masjid Nabawi. Dari lorong
itulah pemandangan sebagian masjid sudah bisa dilihat.
Diwaktu dinihari, lorong tersebut masih sangat
sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang jalan bergegas menuju masjid.
Laki-laki maupun perempuan. Ada yang jalan sendiri, banyak pula yang
berombongan. Jalan besar didepan hotel tampak masih lengang. Ada beberapa mobil
polisi diparkir dipinggir jalan. Suasana terasa sangat tenteram.
Kalau tidak saya tahan, air mata pasti
menitik keluar. Rasa haru, penuh syukur dan seribu satu rasa bergejolak dalam
dada. Terakhir saya datang kekota Nabi ini enam tahun lalu. Lingkungan sekitar
hotel masih tidak berubah. Namun begitu memasuki pelataran Masjid Nabawi, mata
saya terbeliak. Walaupun sudah sering
mendengar cerita dari kawan-kawan yang baru saja pergi ketanah suci, tetap saja
saya terpesona berat. Perubahan besar telah
terjadi di Masjid Nabi yang sangat mengagumkan itu.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar