Sabtu, 04 Februari 2012

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" (13)

Tulisan bersambung: 

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

"KUDAPAN BERUJUNG PETAKA (?)"

Aneka "Jajan Pasar

Bagian Ketigabelas

Released by mastonie on Saturday, February 4, 2012 at 6:48am


"Jajan Pasar" murah meriah yang selalu memikat

     Bukan dengan maksud untuk menakut-nakuti, tapi fakta berbicara. Dijaman dimana persaingan dagang menjadi sangat sengit, tak terelakkan memunculkan kiat-kiat usaha yang terkadang tidak  fair. Bukan hanya tidak jujur, bahkan seringkali tidak etis dan tidak bertanggung jawab.

     Gejala menyedihkan ini sangat terasa dikalangan pedagang kecil yang berniaga dikaki lima, yang biasa disebut PKL. Termasuk mereka yang mengasong memakai pikulan atau gerobak dorong dan yang mangkal disekitar sekolah.
Margin keuntungan yang mereka dapat memang tidak terlalu besar. Apalagi sekarang banyak sekali saingan. Oleh sebab itu mereka lalu mencari cara untuk mengakali, agar keuntungan bisa terdongkrak naik. Walaupun untung yang didapat juga masih saja tidak terlalu besar. Namanya juga pedagang ekonomi lemah.

     Cara apapun yang ditempuh sebenarnya sah-sah saja. Namun kalau kemudian ternyata usaha ini dapat mengakibatkan kerugian bagi pembeli (konsumen), maka ini yang perlu diwaspadai. Yang sangat berpotensi membahayakan konsumen adalah para penjual makanan kecil (kue basah ataupun kering). Apalagi kalau yang berjualan makanan ini ngetem disekitar sekolah. Yang akan jadi korban adalah anak-anak, generasi penerus kita!

Makanan kecil yang laris manis dan disukai anak-anak sekolah ini antara lain adalah: gulali, cireng (aci digoreng), makanan gorengan, kudapan tradisional yang warna warni (klepon, kue lapis, kue ku, cenil, gethuk dll). Semuanya dijual rata-rata dengan harga sangat murah. Maklum, harus terjangkau kantong anak-anak sekolah. Kalau dijual dipasar tradisional, kue-kue itu disebut dengan nama “jajan pasar”. Kini bahkan toko kue modern juga menjual ‘jajan pasar’ tersebut yang disajikan secara manis didalam sebuah nyiru atau tampah. Harganya tentu sudah tidak murah lagi.

     Kerasnya persaingan dagang makanan kecil ini menimbulkan usaha untuk bisa tetap eksis. Caranya tentu dengan membuat dagangan tampak menarik, enak dan murah harganya. Faktor murah bisa menjadi sangat dominan, karena pangsa pasarnya adalah anak-anak usia sekolah.  Kecuali anak orang kaya dan konglomerat, anak sekolah biasanya “uang jajan” nya tidak banyak. Makanan kecil yang berwarna ‘menyala’ bisa menarik perhatian anak-anak. Inilah salah satu siasat yang akan dipergunakan oleh pedagang. Membuat makanan yang dijualnya dengan warna warni menyolok untuk menarik perhatian.

     Oleh sebab si penjual harus tetap mendapat untung walaupun harga makanannya murah, maka modalnya juga harus ditekan. Caranya dengan membeli bahan pewarna yang sangat murah harganya. Pewarna yang dipakai khusus untuk  makanan termasuk bahan yang harganya agak mahal. Maka dicarilah bahan pewarna lain yang murah meriah. Dan itu adalah wenter yang tidak lain adalah bahan pewarna pakaian! Bahan pewarna yang sesungguhnya sangat berbahaya bagi kesehatan manusia ini memang tidak menimbulkan dampak ‘seketika’. Akan tetapi kalau dikonsumsi secara rutin, akumulasinya bisa menimbulkan hal-hal yang serius bagi kesehatan si konsumen.

     Itu dari segi pewarnaan makanan. Ada faktor lain yang juga sangat menentukan, yaitu rasa dari makanan. Jaman sekarang semua orang sudah mengenal penyedap rasa makanan. Biasa disebut vetsin, mecin atau moto, yang tidak lain bahannya adalah MSG (Mono Sodium Glutamate). Bubuk kristal berwarna putih bening yang bisa menyedapkan rasa masakan ini ditemukan pada tahun 1908. Penemunya adalah seorang ahli kimia Jepang bernama Kikunae Ikeda.

Pada tahun 60an bahan kimia berumus C(COONa)(NH2)CH2CH2COOH ini disebutkan dapat menyebabkan “Gejala (sindrom) Restoran Cina” (Chinese Food Syndrome). Gejala berupa mulut kering, pusing, nyeri dada dan leher serta lengan terasa terbakar ini terjadi setelah makan makanan ber MSG. Penelitian para ahli pangan terhadap hewan juga menyatakan bahwa MSG berpotensi merusak otak bayi dan anak kecil.
Jelas bahwa MSG bisa menjadi racun yang berbahaya bagi tubuh, terutama apabila dikonsumsi secara terus menerus.

Ganja dan plastik dalam makanan

     Tetapi ada kabar yang lebih seram dan menakutkan lagi. Ini hanya karena si penjual menginginkan konsumennya menjadi langganan tetap. Langganan bisa membuat omset penjualan stabil, syukur-syukur malah meningkat.  Bagaimana akal? Konon ada penjual makanan kecil yang rela (atau nekat?) menambahkan sedikit daun ganja dalam pembuatan makanannya.

Daun ganja dalam jumlah sangat sedikit terbukti bisa meningkatkan rasa makanan dan tidak memabukkan. Hal ini (dulu, entah sekarang) biasa dilakukan para ibu didaerah Aceh untuk membuat masakan menjadi sangat lezat. Namun efek buruknya adalah membuat si konsumen menjadi ketagihan. Justru hal inilah yang diinginkan oleh sang penjual. Makin ketagihan makin baik, begitu barangkali semboyan mereka. Karena pasti sang pelangan akan merasa ketagihan dan akhirnya balik lagi, balik lagi. Seperti efek nyabu saja laiknya.

     Penyuka makanan gorengan yang dijual dikaki lima juga harus semakin waspada. Gorengan yang biasanya terdiri dari tempe, tahu isi, molen, pisang dan singkong goreng ini sangat banyak penggemarnya. Waktu masih bekerja dahulu, setiap pagi yang tersedia dimeja saya sebagai makanan kecil adalah ‘sekawanan’ gorengan itu. Pelayan dikantor sudah rutin menyiapkannya hangat-hangat disamping minuman teh panas manis kental kesukaan saya. Tentu tidak hanya saya. Semua pegawai yang berada dalam satu ruangan dengan saya mendapat jatah yang serupa.

     Makanan gorengan ini memang bukan jenis makanan yang menyehatkan. Terutama yang dijual dikaki lima pasti selalu menggunakan minyak goreng curah yang sudah dipakai berkali-kali. Minyak goreng yang dipakai berkali-kali menyebabkannya menjadi minyak jenuh yang dapat mendongkrak kadar kholesterol jahat dalam darah. Mengonsumsi makanan gorengan secara rutin bisa mengakibatkan pengerakan dan penyempitan pembuluh darah. Hasil akhirnya tentu adalah penyakit akibat penyempitan pembuluh darah. Diantaranya stroke dan hipertensi serta serangan jantung. Semuanya adalah penyakit yang berpotensi menghilangkan nyawa manusia!

Contoh yang 'sukses jadi korban’ makanan gorengan adalah diri saya sendiri. 
Akibat selalu mendapatkan snack gorengan sewaktu masih bekerja dulu,  ‘hasil’ nya baru saya petik setelah ‘pangsiyun’. Saya terkena hipertensi dan bahkan harus pasang sten (ring buatan) disalah satu arteri di jantung saya.

     Salah satu stasiun televisi swasta pernah menyiarkan sebuah laporan investigasi yang menyeramkan. Ternyata secara tidak sengaja (atau malah sengaja?) para penjual makanan gorengan kaki lima menemukan resep yang ‘ruaaar biasa’. Entah siapa yang memulainya, ada siasat untuk membuat makanan gorengan menjadi tetap renyah dan tahan lama. Caranya adalah mencampurkan dalam minyak goreng yang mendidih itu dengan kantong plastik transparan! Kantong yang biasa dipakai untuk membungkus makanan itu akan meleleh sehingga tak terlihat dengan mata telanjang. Minyak campur plastik itu jelas akan membuat makanan yang digoreng menjadi renyah dan tahan lama. Agaknya plastikpun kini berubah fungsi jadi bahan perenyah makanan.

     Ini jelas sangat membahayakan. Bahan plastik adalah polimer yang apabila mengandung bahan monomer bisa menjadi sangat beracun. Misalnya adalah bahan plastik (PVC, Poly Vinyl Chlorida) untuk wadah minuman dan makanan yang masih mengandung vinil klorida yang bisa larut dalam air. Bahan ini dinyatakan secara jelas bisa mengganggu kesehatan.
Plastik saat ini sudah dinyatakan pula sebagai bahan yang tidak aman untuk lingkungan. Karena plastik sangat susah hancur dan berpotensi merusak ekologi dan lingkungan. Diluar negeri sudah sangat jarang toko yang menggunakan bahan plastik sebagai alat pembungkus. Mereka lebih memilih bahan yang ramah lingkungan dan bisa didaur ulang.

Jadi bisa dibayangkan kalau manusia memakan plastik berbentuk tempe keripik atau singkong goreng! Atau lebih tepatnya tempe keripik atau singkong goreng berlapis plastik. Ini sama artinya kita makan makanan yang di laminating! Sungguh suatu perbuatan yang bisa dikategorikan melanggar hukum. Tidak jelas mengapa sipelaku yang ditayangkan dalam siaran laporan investigasi itu tidak ditangkap. Mungkin dia malah mendapatkan honor dari hasil wawancara dengan petugas investigasinya.


     Beberapa hal tersebut diatas menunjukkan sikap apatis dan semau gue para pedagang makanan kecil. Mungkin malah bisa dikategorikan sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab. Kiat yang mereka jalankan barangkali semata-mata dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Sebab persaingan dagang yang sangat keras bisa ‘merontokkan’ usaha mereka. Yang bisa berarti menghilangkan mata pencaharian dan terlantarnya beberapa anak manusia yang ada dibelakangnya. Namun pantaskah mereka melakukan hal-hal yang disadari atau tidak,  bisa pula membahayakan banyak nyawa manusia lainnya?
Ini pasti sebuah dilema bagi para pedagang kecil yang modalnya juga kecil, dalam usahanya untuk tetap bisa bertahan hidup.

     Kita semua maklum bahwa tampaknya agak susah membuat ‘payung hukum’ untuk menghadapi perilaku para pedagang itu. Apalagi dinegeri yang hukumnya seringkali takluk dibawah naungan duit. Namun sesuatu harus tetap dilakukan. Sesuatu yang bisa mencegah jatuhnya korban generasi penerus kita. Karena bila dibiarkan, secara pelan tapi pasti mereka akan terbiasa mengkonsumsi makanan kecil yang dijual disekitar sekolah mereka.

     Jalan yang teraman mungkin adalah tindakan nyata dari para orang tua. Jangan biarkan anak-anak anda makan jajanan ditempat sembarangan. Kalau perlu jangan beri mereka uang jajan, sebagai gantinya bawakan makanan sehat yang dimasak sendiri dari rumah. Ini sudah berarti melakukan upaya pencegahan dini. Walaupun masih saja ada kemungkinan anak-anak tetap bisa menikmati makanan jalanan karena ditraktir temannya.
     Oleh sebab itu berikan pengertian dan tanamkan disiplin kepada anak-anak untuk bertanggung jawab pada kesehatan mereka sendiri sejak dini.
Tak dimanapun tak kapanpun, upaya mencegah selalu lebih baik daripada memperbaiki atau mengobati.



bersambung ......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar