TIGA LANSIA HARUS SALING PAMITAN.......
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
"Tiga Lansia" berpose didepan Stasiun Jember
-Bagian
Keempat belas-
Jum’at
Kliwon, 11 Mei 2012 dinihari,
Ini adalah catatan yang paling tidak saya
sukai untuk menuliskannya. Memandangi tingkah isteri saya yang semalaman inpaken (menata pakaian) dan bebenah,
saya berusaha keras untuk tidur, walau
hati gelisah. Bahkan memicingkan mata sebelah saja amat sangat susah.
Bayangan hitam putih berkelebat laksana nonton pilem misbar dilapangan bola. Rangkaian peristiwa dari stasiun Gambir,
Pagilaran, Pekalongan, nJember, Garahan
dan terakhir di mBondowoso semalam
saling bersirobok. Ada rasa suka, gembira, anyel,
mangkel campur aduk bagai segelas es
doger. Manis dan segar tapi bisa
membikin selesma. Ternyata kenangan itu memang menimbulkan rasa sakit yang nyelekit entah dilubuk hati bagian mana.
Tapi saya tak biasa meneteskan air mata.
Semalam sebelum pulang kerumah, Pakde
Bagio hanya berpesan kalau besok pagi akan datang ke hotel agak terlambat. Katanya
ada tugas sangat penting yang harus diselesaikannya. Tawaran kita untuk santap
pagi bersama dihotelpun ditolaknya. Saya terkesiap. Terngiang kata-kata Pak
Nur, bahwa sebetulnya siang tadi Pakde harus menghadiri rapat penting. Entah di
PWRI, entah dikantor lain lagi. Saya
merasa sangat berdosa. Saya sesali Pak Nur baru bilang pada saat membeli kupat
tahu diemperan toko semalam. Suengiit
akuuu.....
Ide untuk pergi ke Bondowoso seratus
persen adalah inisiatif saya. Hanya karena saya iseng menanggapi pesan singkat dari
Bos Bond. Padahal sesungguhnya Pakde Bagio telah menyiapkan pantai Puger untuk
acara perjalanan kita. Mungkin kalau pergi ke Puger, sore sudah bisa pulang
lagi ke Jember. Dan Pakde masih bisa ikut rapat. Tapi semalam kita pulang sudah
sangat larut. Saya menyesal sekali. Merasa sangat egois sehingga mengorbankan
acara Pakde Bagio, padahal beliau sudah berkorban begitu banyak.
Lamat-lamat
terbayang wajah Pakde Bagio selama di Bondowoso sesorean. Tidak sumringah seperti biasanya. Saya pikir
hanya kuciwa, karena tidak berhasil
makan nasi goreng dan minum soda gumbira
kesukaannya. Alangkah naifnya saya. Terlalu banyak menurutkan kata hati
sendiri.
"Maafkan ulah saya Pakde.." Itu
saja yang bisa terucap dalam hati yang laksana tertusuk duri.
Adzan subuh berkumandang, saya terloncat
bangun. Thenger-thenger (terpaku
diam) dibibir kasur. Ini hari terakhir saya (bersama isteri dan juga Pak Nur)
berada dikota Jember. Terakhir pula bertemu Pakde Bagio. Begitu cepatnya waktu
berlalu.
Selama
ini kita bertiga, Pakde, Pak Nur dan saya (isteri saya kan cuma anggota ‘waskat’),
bergaul dalam pola ‘persohiban’ yang
bagi orang lain tampak membingungkan.
Apalagi orang lain. Lha wong
kita sendiri juga bingung koq. Mau
dibilang sohib, tapi sedikit-sedikit regejegan (bersilang pendapat), sedikit-sedikit regejegan (lagi). Regejegan koq cuma
sedikit? Untung tak pernah sampai ada yang mutung
kesarung. Orang Jawa kan memang banyak
untungnya. Sudah buntung saja masih bilang untung koq.
Ada beberapa hal kecil yang sepertinya
memang mentakdirkan kita bertiga harus bertemu. Begini ceritanya: Pakde Bagio
punya tiga orang anak lelaki
(ditambah seorang putri angkat yang sudah dianggap sebagai anak kandung, karena
memang keponakan sendiri). Pak Nur Widodo juga mempunyai tiga orang anak lelaki. Saya mempunyai tiga orang anak juga, tapi seorang lelaki dan dua orang perempuan.
Nama panggilan putra sulung Pakde Bagio
adalah Didit. Sama persis dengan nama panggilan anak sulung saya yang juga
Didit. Sedangkan nama panggilan anak bungsu Pakde Bagio adalah Andi. Salah satu
anak Pak Nur juga punya nama panggilan Andi! Horotokono!! Orang Jawa memang pintar dan suka sekali main ilmu “othak athik gathuk” ini. Kayaknya
memang tiga lansia ini sudah ‘berjodoh’.
Belum lagi hal-hal ‘aneh bin ajaib’ yang
lain. Antara lain, kita bertiga adalah maniak
pesbuk, alias pesbuker sejati. Tapi ketiga isteri kita (maksudnya isteri
kita masing-masing, bukan masing-masing kita punya isteri tiga!) sama-sama gaptek dan tidak gableg main komputer. Apalagi pesbukan.
Punya hape saja hanya dipakai untuk menelepon dan SMS an. Jadi percuma andaikata
dibelikan hape canggih yang mahal harganya. Sayang duit nya.
Tapi
ini “off the record” lho ya? Soalnya menyangkut “rahasia
perusahaan”.
Tanda
mata darimuuuuu......
Diruang makan hotel ‘Seven Dream’ saya sarapan tanpa gairah. Bukan karena menunya hanya
pecel dan tahu tempe. Pagi hari Jum’at Kliwon itu sekonyong mood saya lenyap dadakan. Pertama karena masih merasa menyesal membuyarkan acara
penting Pakde Bagio. Yang kedua karena
saya terpengaruh berita hilangnya pesawat Sukhoi
100 di Gunung Salak. Yang ketiga mungkin karena semalaman saya nyaris tidak
tidur. Apalagi isteri saya malah sibuk sendiri.
Pak Nur muncul diruang makan setelah nasi
dipiring saya ludes. Saya mencoba
menerawang ‘penampakan’ diwajahnya. Ada kesan tidak nyaman membayang diraut muka
berkaca mata itu. Entah karena sudah nyaris seminggu meninggalkan isteri
tercinta, atau ada hal lain. Itu dapat saya simpulkan setelah melihat betapa
‘sibuk pusing’ nya jari dan jempol Pak Nur main SMS atau BBM an lewat ‘blekberi’ nya.
Semoga
bukan karena ‘kecanthol’ seseorang di
Garahan sana. Amit-amit jabang
bayiiiik....
Persis
seperti yang dijanjikannya, Pakde Bagio baru muncul dihotel sekitar pukul
delapan pagi lebih. Kijang kencana diparkirnya dibagian dalam hotel. Tapi tidak
seperti kemarin, pagi ini wajah Pakde Bagio cerah sekali. Secerah mentari pagi
hari. Kita bertiga menyambutnya dengan gegap gempita. Isteri saya menawarkan
makan pagi. Aneh sekali, Pakde Bagio kali ini mau menerimanya! Selama ini saya
menengarai, kalau wajah Pakde cerah ceria, itu tandanya Pakde sudah dalam
kondisi perut pol teng (penuh terisi).
Dan pasti juga sudah meng upload
gambar sarapannya dipesbuk dengan komentar hingar
bingar.
Akan tetapi, siik siiik siiiik......lakone opo iki Pakde? Dikedua tangannya
Pakde menenteng dua tas kresek besar-besar.
Senyum khasnya mengembang.
“Ojok dilihat
harganya. Ini sekedar tanda mata dari
nJember...” katanya sembari tertawa
renyah.
Masya Allah. Saya kamitenggengen (diam
terpana) menyaksikan adegan itu. Mata saya terasa panas. Mungkin malah sudah
jadi merah merona. Tapi saya pantang menangis. Saya tidak suka lelaki yang “gembeng kreweng” alias cengeng. Apalagi kalau yang cengeng seorang pemimpin sebuah negeri!
Setidaknya saya agak lega sedikit. Jadi semalam
waktu Pakde bilang minta ijin datang agak siang, pasti bukan karena ada rapat penting. Yang
lebih masuk diakal, Pakde Bagio pasti pagi-pagi sudah keluar masuk pasar hanya
untuk mencari ‘tanda mata’ itu. Padahal statusnya saat itu adalah ‘DRS’, Duda Rada Sauntara (duda untuk
sementara). Tak bukan karena beliau sorangan
wae dirumah, Bude dan putra bungsunya
sedang tetirah di Bandung.
Saya merasa trenyuh dua kali. Pertama karena selama tamu-tamunya ada di nJember, Pakde telah rela mengerahkan
segenap daya upaya untuk menyenangkan tetamunya. Bahkan jika dirasa perlu, akan
mengerahkan “barisan terik tempe”
dibawah komandonya, yang tak lain adalah putra-putranya. Yang kedua, dengan
tidak mengurangi rasa hormat kepada Pakde, saya merasa tak sepantasnya sesama pangsiyunan memberikan ‘upeti’ apalagi ‘gratifikasi’. Berupa apapun juga. Saya
tahu pasti, Pakde bukan termasuk golongan pangsiyunan yang purna bhakti dalam
kondisi “basah kuyup” (bergelimang harta hasil korup).
Yang jelas, Pak Nur, saya dan isteri sempat kehilangan
kata-kata. Kalau menurut istilah Pak Nur "speechless". Saking terharu. Keliwat saking, malah. Pria gagah pideksa (tinggi besar) berperawakan bagai
‘Kumbokarno’ itu ternyata berhati selembut salju. Berjiwa besar dan sangat
tinggi solidaritasnya. Tidak semua orang yang lahir pada hari “Anggara Kasih” (Selasa Kliwon) memiliki
kelebihan itu. Semoga Allah Swt memberikan karunia kebahagiaan dan membalas
budi baik Pakde dengan pahala berlipat ganda. Aamiiin.
bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar