TIGA LANSIA BINGUNG DI GUBENG...
Sarapan di Stasiun Gubeng
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
-Bagian
Keenam-
Hari
Rabu dinihari, 9 Mei 2012
Stasiun
Tawang yang penuh kenangan
KA Sembrani terlambat sekitar setengah jam
ketika meninggalkan stasiun Pekalongan. Hawa dingin dalam gerbong membuai angan
kealam ‘panglipuran’ alias mimpi. Saya terperangah bangun ketika kereta
berhenti di stasiun Tawang Semarang. Hampir pukul 3 pagi dan saya terloncat
bangun mengira sudah sampai di tujuan. Selama hampir 30 tahun kota Semarang
sudah saya tinggalkan. Kota yang meninggalkan kenangan masa bersekolah yang
penuh haru biru. Kota dimana anak-anak saya lahir. Kota dimana saya merintis
karir kepegawaian dari nol besar. Kota yang sekarang mungkin akan jarang lagi
saya singgahi, semenjak ibu berpulang. Ada rasa nyeri menusuki hati. Terkenang saat
berdiri bersama almarhumah ibu diperon stasiun ini. Waktu itu saya berhasil
membujuk beliau pindah sementara waktu ke Jakarta untuk berobat.
Meski
akhirnya dua hari sebelum Lebaran tahun 2011, Ibu ngotot (berkeras) minta kembali ke Semarang lagi. Hanya beberapa bulan setelah itu beliau wafat.
Stasiun Tawang yang kerap terlanda rob,
tapi menggoreskan kenangan tak terlupakan. Kini saya hanya bisa memandang lewat
jendela kereta. Entah kapan saya akan turun lagi di stasiun ini. Ketika
Sembrani kembali bergerak, meluncur digelap ujung pagi, anganpun pudar.
Meninggalkan rasa sentimentil yang tak bisa saya hindari. Saya melihat dua
sohib masih terlena dengan gaya sing-masing.
Yang dari nJember terlelap dengan gaya ‘kumbokarno-an’. Yang dari Tangerang
lelap masih dengan mencengkeram BB nya yang setia. Saya pikir yang dirumah
pasti akan iri, tidur saja yang dipegang malah hape.
Pertama
kali ‘mendarat’ di stasiun Gubeng
Seumur hidup saya selalu menginjak kota
Surabaya lewat stasiun Pasar Turi, kalau melalui jalan darat (kereta api). Atau
lewat Bandara Juanda kalau datang dengan pesawat terbang. Waktu menunjukkan
pukul 7.30 pagi saat Sembrani merapat di stasiun Pasar Turi. Tepat dengan
jadwal waktu yang tercantum di tiket. Itu berarti sang masinis sukses ‘ngebut’
menebus keterlambatan waktu tiba di Pekalongan.
Angin pagi berhembus segar. Udara seputar
stasiun sangat cerah. Sebagai ‘tour
leader’ merangkap tuan rumah, Pakde Bagio bertindak cepat. Langsung nego dengan sopir taksi gelap untuk ‘rokade’ (lukir kata orang Jawa) ke
stasiun Gubeng. Karena KA Mutiara Timur bertolak dari stasiun Gubeng, maka
calon penumpang jurusan nJember dan mBanyuwangi yang turun di Pasar Turi
harus segera menuju Gubeng. Jam keberangkatan KA masih pukul 09.00 pagi, jadi
masih ada sedikit waktu untuk pindah stasiun sekaligus mencari sesuatu untuk
mengganjal perut. Maklum semalam hanya sempat mengunyah sepotong roti (yang
didalamnya tak ada ‘cinta’, seperti judul film). Ini saat bersejarah bagi saya,
pertama kali menginjak stasiun Gubeng Surabaya yang ternyata ada dua, Gubeng
Lama dan Gubeng Baru. Stasiun nya sih
cuma satu, hanya letaknya saling bertolak belakang menghadap dua jalan yang
berbeda.
Pakde langsung menggiring tamunya kesemacam
ruko yang berderet disamping stasiun. Isinya adalah warung yang menjual cam-macam makanan. Begitu kondangnya
Pakde, belum sempat duduk dikursi sudah ketemu kenalan lama. Saya teringat
sewaktu di stasiun Gambir, Pakde juga ketemu sobat lamanya. Ruaaar biasa, terbukti Pakde Bagio
memang benar-benar bukan orang ‘biasa’. Kenalan dan relasinya ada dimana-mana.
Menu diwarung ini memang cem-macem. Sayangnya cuma satu, disini
tidak tersedia nasi goreng! Yang ada hanya aneka soto (babat, daging atau ayam)
dan beberapa menu Jawa Timuran (rawon dan konco-konco
nya). Anehnya menu soto Gubeng yang terkenal itu malah tidak ada. Konon
warung soto Gubeng bukan distasiun Gubeng tempatnya. Lucu. Saya terpana melihat
kedua sohib saya bingung membaca menu. Padahal dua-duanya sudah memakai
kacamata. Pakde jelas kuciwa karena
menu favoritnya tidak ada. Lha
priyayi yang satu itu cari menu apa lagi? Saya dan isteri sudah langsung
menentukan pilihan: soto ayam. Ini satu-satunya menu yang (saya anggap) paling
cocok dipagi hari. Mungkin rikuh
terlalu lama memilih dan melihat saya sudah menentukan pilihan, akhirnya Pak
Nur ikut pilihan kita. Kini tinggal Pakde yang masih bimbang dan ragu. Ma-lama pasti juga malu. Maka akhirnya
Pakde memilih menu nasi gudeg buat tombo
judeg (pengobat bingung). Sayangnya lagi soda gumbira juga tidak ada! Lha masa’ sih, pagi-pagi sudah mau minum
yang serba gumbira? Neh-aneh saja
sampiyan Pakde. Tapi tampaknya hari ini memang bukan hari baik kita. Yang
dipesan soto ayam yang keluar soto daging. Entah Pak Nur yang salah tulis atau
kokinya yang salah baca. Sampai sekarang tetap gelap, TIDAK JELAS. Berhubung
perut memang glondangan, walaupun
salah menu tetap saja sikat bleeeeh.....
Sehabis sarapan kita berempat masuk ke stasiun
Gubeng. Kesan pertama saya, stasiun Gubeng bersih dan terawat. Aturan PT KAI yang
melarang non penumpang masuk peron sangat membantu terjaganya kebersihan.
Antara Gubeng Lama dan Gubeng Baru ternyata hanya dipisahkan beberapa lajur rel
kereta saja. Karena waktu menunggu cukup lama, maka kita masuk keruang tunggu
eksekutif yang tidak terlalu luas. Disitu ada kamar kecil dan kafe didalam
(yang ternyata harganya selangit) serta full berpendingin udara. Cukup nyemoot (nyaman) pokoknya.
Melewati
daerah korban “Lumpur Lapindo”
KA Mutiara Timur adalah kereta api yang
rangkaiannya mengandung gerbong eksekutif dan gerbong ekonomi. Gerbong
eksekutif justru ada dibagian belakang rangkaian (arah ke nJember). Nanti sesampai di mBanyuwangi,
gerbong eksekutif akan jadi yang terdepan (arah ke Surabaya). Ini terjadi
karena rangkaian KA tidak bisa ‘diputar’ se-enaknya. Susah kan mutar rangkaian kereta yang seperti ular naga panjangnya?
Tepat pukul 09.00 pagi KA Mutiara Timur
bergerak meninggalkan stasiun Gubeng. Rombongan lansia mendapat tempat duduk
digerbong eksekutif nomer 3, kursi nomer 7 ABCD. PT KAI membuktikan dirinya
betul-betul sudah ‘on line’. Empat
tiket itu sudah kita beli sejak dari stasiun Pekalongan. Jadi tempat duduk
‘dobel’ memang seharusnya tidak akan terjadi lagi. Kecuali ada yang SALAH BACA
tiket!
Begitu kereta api bergerak Pakde sudah
mengumumkan, bahwa kereta akan melewati daerah yang terkena imbas lumpur
Lapindo disekitar Sidoarjo. Letaknya disebelah kiri dari gerbong. Saya dan
isteri beruntung mendapat kursi yang berada disebelah kiri. Ini juga akan jadi
momen bersejarah bagi saya, karena baru untuk pertama kali akan melihat
dahsyatnya lumpur Lapindo. Tentu juga korban yang diakibatkan oleh ‘amukan’
lumpurnya.
Rumah korban lumpur Lapindo
Jarak Surabaya – Sidoarjo ditempuh tidak sampai 20 menit. Pakde langsung
memberi aba-aba untuk mempersiapkan kamera. Karena mengambil gambar dari
jendela kurang leluasa, saya dan Pak Nur lari ke bordes (sambungan antara satu
gerbong ke gerbong lain). Disini agak sedikit longgar untuk beraksi. Saya agak kecewa karena yang dapat terlihat
hanya hamparan dinding tanggul yang membendung luapan lumpur saja. Namun agak
terhibur juga karena beberapa rumah dan bangunan yang menjadi korban masih ada
juga teronggok dipinggir-pinggir rel kereta. Hati saya tercekat pilu
membayangkan kini penghuni perkampungan
dan bangunan yang tergusur paksa itu hidup terlunta-lunta. Bahkan sampai kini
nasibnya tidak jelas. Gara-gara tak perbah ada ketegasan pemerintah dalam
melaksanakan sendiri keputusannya. Saya lebih muak lagi tatkala melihat
hamparan spanduk berwarna kuning milik
salah satu partai, yang tega-teganya berkampanye tentang kehebatan partainya!
Dasar muka badak. Mengurus korban lumpur Lapindo saja tidak becus, masih nekat
mau maju jadi pemimpin negara.
Makan
siang diwarung ‘bas-bebas’
Pakde sudah mengumumkan lagi, bahwa nanti
kita tidak akan turun distasiun nJember tapi di stasiun Rambipuji. Sebuah
stasiun kecil beberapa kilo sebelum masuk kota nJember. Saya masih belum begitu
jelas alasannya. Sekilas saya dengar alasannya karena kita akan makan disebuah
warung makan yang sangat istimewa. Entah apanya yang istimewa.
Jadwal masuk stasiun Jember sesuai tiket
adalah pukul 13.04 siang. Namun beberapa puluh menit sebelum pukul 13.00 kereta
sudah berhenti di stasiun Rambipuji. Berempat kita bergegas turun. Dipagar
ruang tunggu tampak seorang pemuda yang sudah menunggu. Rupanya itulah mas
Anto, putra kedua Pakde Bagio yang rupanya sampai harus membolos (beberapa jam)
dari kantor untuk menjemput ke stasiun. Ini semua demi menaati perintah sang
ayah yang setengah mati berusaha menyenangkan hati tetamunya. Alamaaak, sampai anak sendiri tega di ”korban”
kan.
Bukan Pakde Bagio kalau mau kehilangan momen bernarsis ria. Baru saja kereta
berlalu, Pakde sudah memerintahkan kita semua untuk berfoto dengan latar
belakang stasiun Rambipuji. Orangnya tidak penting. Yang penting adalah tulisan
nama stasiunnya! Mas Anto segera mendapat perintah untuk mengambil foto. Bahkan
PPKA yang baru saja ‘menyemprit’ KA
ikut diperintah Pakde Bagio untuk ikut berfoto ria. Siapa berani menolak
perintah orang segede Pakde? Coba? Sambil berwajah bingung, sang PPKA pun
akhirnya masuk ‘frame’, ikut kefoto
juga.
Rombongan segera menuju kendaraan yang
sudah siaga satu didepan stasiun. Sebuah “Kijang Kencana” (merk karoseri mobil Kijang
paling terkenal di masa jayanya) bernomor polisi B-2030-DZ. Waduh, Pakde sampai harus menyiapkan mobil jauh-jauh dari Jakarta, saya membatin ngungun (takjub dalam hati).
Ternyata itulah mobil pribadi Pakde yang memang sengaja tak pernah diganti plat
nomornya sejak dibeli. Tapi jangan heran, tak satu orangpun Polisi nJember yang
berani menangkap Kijang sakti ini.
Siapa
dulu yang punya. Mobil Pakde Bagio dilawaaaan......
Didepan "Warung Bebas" Jember
Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan
mas Anto berhenti disebuah warung makan dipinggir jalan besar Rambipuji - nJember.
Tidak usah tanya juga langsung maklum. Ada sebuah baliho besar (mana ada baliho
kecil sih?) bertulisan serba besar: WARUNG BEBAS. Sejak 1979. Sekali lagi
sebelum masuk warung WAJIB hukumnya untuk foto dulu. Pakde Bagio gitu lhooooo....
Memasuki warung saya tertegun melihat
pemandangan yang ada. Nyaris disemua meja terhidang barisan terik tempe lidong
dele bodong, eiitsss keliru, barisan
lauk dan pauk yang cem-macem ujudnya.
Ada iwak peyek udang, tahu tempe
goreng, telor ceplok, ayam goreng, sambal
dan aneka sayur versi beberapa
daerah. Pokoknya lengkap-kap, mirip
menu yang biasanya dihidangkan direstoran Padang. Tapi nanti dulu, ada
perbedaan sangat pokok. Diwarung bebas ini nasi dan lauk boleh bebas makan
seberapa saja sekuat perut anda. Nasinya ada dua macam, nasi jagung atau nasi
putih yang semuanya masih hangat. Fresh
from the Cosmos! Dan yang lebih
menghebohkan lagi adalah harganya. Satu orang cukup membayar sepuluh rebu perak saja, sudah lengkap
dengan teh manis berapa gelaspun anda mampu minum. Jika anda makan telor
ceplok, cukup tambah dua ribu. Kalau makan ayam goreng, tambah empat ribu.
Apabila makan dua-duanya ya hitung sendiri. Masak menghitung segitu saja minta
bantuan saya.
Aneka lauk pauk Warung Bebas
Isteri saya dan saya sendiri makan sangat
lahab tapi dengan terus tercengang. Masih tidak masuk dalam hitungan saya makan
sebanyak ini cukup dengan selembar ‘cebanan’
saja. Bagaimana si empunya warung bisa dapat untung? Kalau lihat yang datang
untuk makan pada siang hari itu memang luar biasa. Semuanya pasti tergolong
jago makan. Itu bisa dilihat dari penuh sesak nya piring masing-masing. Tidak
ada yang makan sedikit disini, sebab itu artinya rugi. Tapi koq ya masih mendatangkan untung buat
yang punya warung. Heran saya.
Saya lirik Pakde dan Pak Nur juga ikut ‘ngiwut’ makannya. Jatah gratisan sambel
plus tempe goreng satu lepek (masing-masing) sudah sampai bersih licin bak
dicuci sabun deterjen. Belum lagi lauk dan sayur lainnya. Didepan beliau masih
tersedia satu botol bir temulawak dan segelas es batu. Angaaaak hooooo.... Hanya mas Anto putra Pakde yang cuma minum
temulawak. Tampaknya dia lebih mementingkan jadi ahli hisap, daripada ikut makan. Barangkali juga sudah bosen, tiap
kali Pakde terima tamu mas Anto harus ikut mengantar kewarung ini. Kasihan deeeh looo...
Untuk menebus dan menyembuhkan penyakit heran-heran
saya, sehabis makan saya minta ijin untuk bertemu dengan pemilik warung.
Kebetulan siang itu sedang ada diwarung. Namanya Muhammad Nur Widodo, eh salah nding...Muhammad Baridi al Hajj. Isterinya juga ada, namanya bu
Hajjah Naniek. Sumpah tanpa pocong!, nama itu sama persis dengan panggilan
isteri saya yang nama lengkapnya Ratna Hernani.
Keduanya tampak sangat serasi, rukun,
ramah tamah, baik hati, tidak sombong dan gemar menabung (barangkali). Pak Haji
Baridi menjelaskan bahwa warung ini semula milik mertuanya. Berdiri sejak tahun
1979. Tidak pernah menjadi sangat besar tapi juga tidak pernah bangkrut. Ketika
saya tanya bagaimana mempraktekkan subdsidi silang akibat keseragaman harga
yang dipatok sangat murah itu, beliau hanya tersenyum.
“Niat
saya berdagang meneruskan milik mertua adalah dengan selalu bersyukur dan lillahi ta’ala. Semua saya serahkan kepada yang membuat hidup dan memberi
rejeki. Sekeras apapun saya berdagang, kalau bukan rejeki saya pasti tak akan
saya terima. Jadi saya niatkan dan saya
ikhlaskan membantu orang dengan makan sepuasnya disini, dengan harga yang wajar
saja. Insya Allah, saya akan mendapat ganti yang sepadan dariNya..”
Subhanallah.
Saya tertegun mendapat jawaban lugu dari pak Haji Baridi dan isteri. Tidak
perlu kiat dan teori cem-macem, tapi
hanya haqul yaqin akan pertolongan
Allah Swt. Tidak mengherankan, dari hasilnya membuka warung, beliau berdua bisa
menunaikan ibadah haji.
Sepanjang perjalanan menuju kota nJember
saya masih termenung, seandainya lebih banyak pengusaha (terutama) pribumi yang
mampu berpikir sederhana dan semudah itu...... Udara yang panas menjadi tak
begitu terasa. Mungkin juga karena jendela mobil terbuka semuanya....
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar