TIGA LANSIA MENJARAH GARAHAN....
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
Tiga turis domestik nampang di Stasiun Kalibaru
-Bagian
Keempat-
Tape dan pisang bakar sudah nyaris habis
tadi malam. Dibabat ludes sambil berbincang seru dan saru ditambah tawa
cekakakan diteras kamar hotel. Beberapa kali isteri saya sampai mengingatkan
bahwa hotel ini bukan punya simbah
kita. Tapi siapa peduli? Sama-sama menginap, sama-sama membayar, begitu alasan
para pokrol bambu. Maka isteri
sayapun menyerah sambil geleng kepala tapi akhirnya ikut cekakakan juga. Malam itu juga saya langsung pesan ke front office agar disiapkan makan pagi
dikamar untuk empat orang sebelum jam enam pagi. Soalnya Pakde Bagio berjanji
akan menjemput pagi sekali.
Hari
Kamis, 10 Mei 2012
Sehabis sholat subuh saya sudah siap
menanti kedatangan ‘tour leader’.
Saya nongkrong diteras menikmati
semilirnya udara pagi sambil baca koran komplimen. Saya tidak berani mengganggu
kamar sebelah, karena tidak yakin apa Pak Nur biasa bangun pagi. Sebelum jam
enam sarapan pagi sudah diantar. Masing-masing kamar mendapat kiriman untuk dua
orang. Menunya lumayan menggugah selera, soto ayam ala nJember plus kerupuk udang Puger (barangkali).
Ternyata masih ada tambahan dua sisir roti tawar dan dua gelas teh manis
hangat.
Pak Nur akhirnya muncul diteras kamar.
Segar bugar seperti habis keluar dari sauna.
Rupanya Pak Nur malah sudah sempat jalan kaki sampai ke alun-alun kota. Asem tenan. Tidak ajak-ajak, karena katanya
tidak mau mengganggu saya yang sedang bulan madu. Bulan madu? Enak saja. Kan madunya sudah saya titipkan Bu
Ruminah untuk dibawa pulang duluan ke Jakarta?
Usai sarapan pagi Kijang Kencana melesat
kerumah mas Didit, putra pertama Pakde Bagio.
Ia jadi korban ‘komando’ sang kumendan,
karena harus mengantar kita ke setapsiyun
nJember. Dari situ kemudian harus ngebut keluar kota untuk stand
by menjemput di stasiun Kalibaru yang sudah masuk wilayah Kabupaten
Banyuwangi. Jaraknya sekitar 40-an kilometer! Benar-benar anak yang berbakti
kepada orang tua.
Naik
“sepur kluthuk”
Stasiun Jember dipagi hari masih tampak lengang.
Saya langsung teringat insiden diskon
kemarin sore ketika melewati loket penjualan tiket. Pakde buru-buru membeli
tiket KA ekonomi Probowangi yang
harganya konon hanya 7 rebu perak per
orang. Saya dan Pak Nur cuma mlongo. Mana ada tour leader yang mau mbayari seperti
Pakde Bagio ini. Pasti segera bangkrut
saknalika.
Naik 'sepur kluthuk' Probowangi
Sensasi menaiki kereta api klas ekonomi
jurusan Probolinggo-Banyuwangi seakan langsung melontarkan saya ke ‘time-tunnel’. Ingatan saya terlempar
jauh ketahun 60-an, ketika saya sering diajak simbah kakung naik ‘sepur
kluthuk’ dari Semarang ke Surakarta lewat Kedungjati dan Gundih. Gerbong
kereta masih terbuat dari kayu, begitupun tempat duduknya. Lokomotif yang
menarik rangkaian juga masih berwarna hitam pekat dengan uap yang
menyembur-nyembur. Sesekali dari dapur pacunya melenting bara api. Sering baju
saya yang terbuat dari tetoron
sintetis sampai berlubang-lubang terkena percikan apinya yang kabur kanginan kemana-mana. Suaranya
menderu tak terlupakan. Jeesss jeesss
jeessss...ojo jajan ojo jajan........ngooooooook.....!!!!
KA ekonomi jaman sekarang jauh dari
bayangan seperti itu. Semua bahan dari kayu sudah diganti dengan bahan lain. Loko nya juga sudah bertenaga diesel.
Namun atmosfer yang diciptakannya tak
berbeda jauh. Penumpangnya berasal dari strata
kebanyakan, bahkan mungkin banyak kaum marjinal.
Benar-benar kelas ekonomi. Walaupun tempat duduk juga bernomor, banyak penumpang
yang seolah tak mengerti arti nomor kursi itu. Mungkin karena masih ada yang tuna aksara.
Pakde Bagio sengaja mengajak tamunya naik
KA Probowangi karena dua hal. Pertama karena KA akan melewati dua buah
terowongan kereta api peninggalan penjajah Belanda. Terowongan berusia lebih
satu abad itu adalah terowongan Garahan, yang panjangnya kurang dari 100 meter
(dibuat pada sekitar tahun 1902). Satu lagi yang konon termasuk salah satu yang
terpanjang di Indonesia adalah terowongan Mrawan. Nyaris hampir 1 kilometer panjangnya
dan dibuat pada tahun 1910.
"Osama bin Laden" jualan kue di KA
"Osama bin Laden" jualan kue di KA
Yang
kedua, sudah lama Pakde Bagio ingin memamerkan ‘heboh’nya para mbok bakul Pecel pincuk Garahan. Mereka
dengan sigap melayani para penumpang KA yang berhenti di stasiun Garahan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. Konon pecelnya huenaaak dan murah harganya. Ini sudah beberapa kali diposting
dalam status pesbuk Pakde.
Begitulah, namanya saja KA kelas ekonomi,
maka hampir disetiap setapsiyun KA ini
akan menclok. Barangkali lebih dari
15 kali. Yang juga unik adalah banyaknya pedagang asongan yang berseliweran
dengan bebas merdeka didalam gerbong. Salah dua diantara pedagang yang saya
jumpai sangat mirip dengan Osama bin
Laden dan maestro keroncong kita
yang sudah almarhum, mbah Gesang.
Pecel
pincuk Garahan yang ‘mbledhos’ rasanya....
Mbok Bakul pecel Garahan in action.
Ketika kereta api berhenti distasiun
Garahan, terjadilah situasi menarik yang memang sengaja akan dipamerkan oleh
Pakde Bagio. Begitu kereta berhenti, sontak dari segala penjuru menyerbu para
pedagang nasi pecel. Kebanyakan tentu wanita. Mbok-mbok pecel ini tergolong gagah berani. Mereka berebut
penumpang, ada yang hanya menawarkan dari luar jendela, ada yang berani
menerobos kedalam gerbong. Hanya seharga 3.500 rupiah, sepincuk nasi pecel plus kerupuk akan bisa dinikmati. Pakde
Bagio langsung menyambar salah satunya. Saya hanya bengong menyaksikan betapa dahsyat warna sambal pecelnya. Pasti
rasanya vuueedaasss sekali. Ternyata
dugaan saya betul. Pecel pincuk garahan rata-rata ‘mbledhos’ rasanya. Pakde yang katanya jago lombok saja sampai merah padam wajahnya demi demo makan pecel
itu. Untung isteri saya membawa bekal gelas air minum mineral dari hotel. Juga
masih ada sisa tape bakar semalam untuk mengusir rasa lombok yang membakar bibir Pakde Bagio. “Korban demo pecel garahan” kata batin saya,
tapi tidak berani tertawa melihat wajah Pakde yang seperti udang bakar. Dan
untungnya lagi saya tidak terbius bujukan Pakde untuk ikut membeli.
Menginjak
tanah tarian ‘Gandrung’....
Sekitar pukul sepuluh pagi KA Probowangi
berhenti distasiun Kalibaru. Ini sudah masuk daerah Kabupaten Banyuwangi,
daerah paling timur dari Jawa Timur. Turun di stasiun Kalibaru, mas Didit
ternyata sudah menunggu. Kasiaaan deh
luuuuu....
Sepanjang jalan sang ‘tour leader’ mulai pidato lagi. Sebentar lagi para tamu akan
dibawa melintasi gerbang perbatasan kota antara dua Kabupaten Banyuwangi dan
Jember. Letaknya didaerah Gumitir. Ini adalah adalah nama sebuah bukit (ada
yang menyebutnya Kumitir), dimana sekarang dibangun semacam ‘rest area’. Tidak lama kemudian memang
sampailah para pesbukers lansia itu
disebuah gerbang.
Mantan penari 'Ledhek' beraksi
Terletak dipinggir sebelah kanan (dari arah Banyuwangi), bertepatan dengan sebuah tikungan jalan, ada semacam monumen artistik. Monumen atau gerbang perbatasan itu dihiasi dengan patung seorang wanita yang sedang gemulai menari. Itulah yang disebut sebagai penari Gandrung. Tarian tradisional daerah Banyuwangi yang sangat terkenal. Konon adalah perwujudan rasa syukur para petani sehabis panen (menuai padi). Barangkali bisa disamakan dengan tari Tayub dan Lengger di Jawa Tengah atau tari Ketuk Tilu di daerah Pasundan.
Mantan penari 'Ledhek' beraksi
Terletak dipinggir sebelah kanan (dari arah Banyuwangi), bertepatan dengan sebuah tikungan jalan, ada semacam monumen artistik. Monumen atau gerbang perbatasan itu dihiasi dengan patung seorang wanita yang sedang gemulai menari. Itulah yang disebut sebagai penari Gandrung. Tarian tradisional daerah Banyuwangi yang sangat terkenal. Konon adalah perwujudan rasa syukur para petani sehabis panen (menuai padi). Barangkali bisa disamakan dengan tari Tayub dan Lengger di Jawa Tengah atau tari Ketuk Tilu di daerah Pasundan.
Tentu saja para wisdom (wisatawan domestik) tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk narsis disini. Saya dan isteri (juga Pakde Bagio) berfoto
dengan gaya biasa saja. Akan tetapi Pak Nur Widodo berpose seolah sedang menari
Gandrung dengan luwesnya. Melihat gayanya, siapa sangka Pak Nur ternyata pernah
jadi penari ‘Ledhek’. Mudah-mudahan bukan mantan penari ‘ledhek
kethek’ (topeng monyet).
Hua hua hua hua.....mangaaap...sori kecap bos.
bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar