TIGA LANSIA MENCARI BAHAN BAKAR......
Tamu dari mBetawi didepan Kampus Universitas Negeri Jember
(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
-Bagian
Ketujuh-
Masuk
kota nJember.....
Terminal Tawang Alun terlewati, udara sedikit terasa panas, walau
tak sepanas Jakarta. Sepanjang jalan sang ‘tour
leader’ tak berhenti bicara. Semua diceritakan selengkapnya. Pakde Bagio
persis plek seperti kamus berjalannya
Jember. Kota Jember adalah ibukota Kabupaten Jember. Secara historis, Kabupaten
Jember dibentuk dengan Staatsbland
Nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928. Walaupun hari lahirnya baru ditentukan bertepatan
dengan tanggal 1 Januari 1929. Terletak diantara Gunung Bromo dan Dataran
Tinggi (Kawah) Ijen, daerah seluas sekitar 3.293, 24 km persegi itu hanya
berpenduduk tidak lebih dari 2,4 juta jiwa saja. Didominasi oleh suku Jawa dan
Madura, yang terakhir ini termasuk si “pemandu wisata”.
Kota
Jember terlihat resik. Maklum
slogannya berbunyi “Jember TERBINA”.
Maksudnya Jember yang Tertib, Bersih, Indah dan Aman. Terletak pada ketinggian sekitar
3.300 an meter dari permukaan laut, maka suhu udaranya termasuk sejuk. Paling
tinggi disiang hari hanya mencapai sekitar 32 derajat Celcius. Kalau malam suhu
bisa melorot sampai sekitar 20 an derajat Celcius. Kontur dataran kotanya juga tampak berbukit-bukit, sehingga jalanan didalam kota naik turun lumayan tinggi. Saya yakin kalau ada becak dikota ini, tukang becaknya akan sengsara sekali.
Mobil yang dikemudikan oleh mas Anto
dibawa memasuki wilayah Universitas Negeri Jember (UNEJ). Pakde Bagio kentara sekali sangat bangga pada alma
maternya. Hampir sepanjang masa aktifnya sebagai PNS, beliau berkarya disini.
Kalau tidak boleh disebut sebagai “sing
mbahurekso” (yang berkuasa) kampus.
Sejarah Universitas Negeri terfavorit
dikota itu bermula ketika ‘triumvirat’ (tiga
sekawan) yang merupakan “cikal bakal” Universitas Jember bermaksud mendirikan perguruan
tinggi. Mereka adalah dr. R. Achmad, R. Th. Soengedi dan R.M. Soerachman. Pada
tanggal 5 Oktober 1957 mereka membentuk yayasan bernama Yayasan Universitas
Tawang Alun. Yayasan ini kemudian mendirikan universitas swasta di Jember
dengan nama Universitas Tawang Alun (disingkat UNITA). Pada tanggal 9 November
1964, terbitlah SK Menteri PTIP No. 151 Tahun 1964, perihal pembentukan
Universitas Negeri Djember (Uned). Rektor pertamanya tentu saja salah seorang
‘cikal bakal’ nya, yakni dr. R. Achmad. Untuk mengenang jasa ‘triumvirat’, kini
patung ketiga orang itu berdiri dengan megah digerbang masuk Universitas Negeri
Jember. Walau awalnya hanya punya 5 fakultas saja (termasuk cabangnya di
Banyuwangi), kini Unej telah memiliki 13 Fakultas dengan 2 kelompok Program
Studi yang setara Fakultas (Program Diploma, S1, S2 dan S3).
Saya terhanyut membayangkan cerita itu.
Areal kampus universitas Jember cukup luas dan kini tampaknya berada ditengah
kota. Suasana hijau pepohonan hampir mendominasi kampus perkuliahan itu. Mirip
sebuah hutan kota. Kelihatan bahwa Unej telah ‘well-planned’ (dirancang dengan baik). Konon putra/putri Pakde
Bagio adalah juga alumni Unej. Mas Anto bahkan kini termasuk salah seorang staf
di PT negeri itu. Tapi siang ini kesetiaan seorang anak kepada bapaknya telah
membuatnya berani meninggalkan ‘pos’. Itu semua demi mentaati perintah sang “kumendan” yang kedatangan tamu dari
jauh. Siapa duluuuu, Pak Kumendan
Semeru jeeee......pantang dilawan.
Hari menjelang asar ketika pengembaraan
keliling kota jilid pertama berakhir, atau harus diakhiri. Soalnya waktu bolos mas Anto sudah habis. Jadi harus
kembali ke kampus untuk absen saat jam pulang tiba. Tamu dari Jakarta diantar
ke sebuah hotel yang tak terlalu besar tapi asri
dan cekli. Terletak diujung
pertigaan jalan Riau, hotel yang termasuk masih baru itu bernama “Seven Dreams”. Mungkin maksud Pakde
mengisyaratkan supaya nanti malam tamunya mimpi indah sampai langit ke tujuh.
Saya sangat mungkin mimpi indah. Soalnya saya menginap bersama istri. Lhaa kalau priyagung dari Larangan yang ‘sorangan
wae’, mau mimpi apaaaa? Sangat mungkin Pak Nur Widodo malah cuma kadhemen (kedinginan). Sori kecap bos.....
Pakde dan putranya pamit pulang untuk
datang lagi menjelang sore nanti. Pakde harus mengantar mas Anto balik
kekantornya. Setelah itu kembali ke hotel lagi. Persis seperti setrikaan.
Kamar saya dan kamar Pak Nur terletak
berdampingan. Walaupun hanya ‘standard
room’, kamar berukuran sekitar 5 x 5
meter itu tampak rapi. Sebuah ranjang ‘double’
terletak ditengah-tengah. Headboard nya
mepet kesalah satu dinding yang berwarna cerah. Sebuah TV LCD ukuran 24 inci
merk terkenal berada didinding depan ranjang. Sayangnya alat pendingin ruangan
dipasang tepat memancar kearah ranjang. Kamar mandi berada diujung ruangan.
Kecil saja, lengkap dengan kloset monoblok,
tapi tanpa shower. Dipojok terletak wastafel, bak mandi kecil lengkap dengan
gayungnya.
Wah,
bakalan mandi dengan cara ‘gebyar gebyur’
nih. Saya sudah jarang mandi ‘gaya gayung’, apalagi gaya ‘bebek adus kali’. Soalnya dirumah saya
semua kamar mandi sengaja hanya disediakan shower.
Bukannya sombong, ini justru kiat
pengiritan air tanah bung! Mandi setengah jam memakai shower, hanya menghabiskan air sekitar satu setengah ember saja.
Bandingkan kalau mandi memakai gayung. Setelah mandi saya meluruskan kaki
sejenak. Baru mulai terasa capainya.
Kisah lansia berjuang
mencari diskon
Jam 3 siang ini Pakde akan menjemput lagi.
Soalnya dua orang lansia mBetawi sudah
harus antri beli tiket kereta untuk kembali ke Jakarta. Sebelum berangkat
menuju setapsiyun nJember kita mampir kios fotocopy langganan Pakde Bagio.
Tidak tanggung-tanggung masing-masing lansia meng kopi KTP nya sampai sepuluh
lembar. Buat persediaan. Toh KTP sudah berlaku untuk seumur hidup.
Bagi para “railway frequent travellers” pasti sudah mafhum aturan baru PT
KAI. Harga tiket KA bersifat dinamis dan fluktuatif.
Artinya pada akhir pekan dan hari-hari libur tiket KA bisa mencapai harga maksimal
dibanding harga pada hari biasa. Selain itu ada kebijaksanaan untuk memberikan
diskon untuk para lansia yang berumur diatas 60 tahun. Mereka ini biasanya
sudah mendapatkan KTP untuk seumur hidup. Karena itu, untuk mendapatkan diskon tiket,
penumpang harus menunjukkan KTP asli plus kopinya.
Lain ladang lain belalang, lain stasiun
lain aturannya. Sore itu ketika antri diloket stasiun Jember, ternyata menemui
aturan baru. Bagi lansia yang butuh potongan (reduksi) harga tiket KA, harus menyiapkan 4 (empat) lembar kopi KTP.
Tidak tanggung tanggung saudara, EMPAT lembar! Padahal di stasiun Gambir dan
Pekalongan cukup SATU kopi saja. Petugas loket bergeming. Intinya pembeli harus
mentaati aturan yang ada. Tentu yang kalah yang beli tiket. Untung kita sudah
sedia payung sebelum dipentung. Urusan
kopi KTP beres. Sekarang tinggal membayar tiketnya.
Diruang pembelian tiket itu
jelas terpampang logo beberapa bank. Itu menandakan bahwa tiket KA bisa dibayar
kontan atau pakai kartu kredit maupun debit. Saat tiket diulurkan dan saya
acungkan kartu debit saya, petugas yang (sebetulnya) berwajah manis tapi mahal
senyum itu menolak. Ia berkata ketus:
“Wah, kalau bapak bayar
pakai kartu debit, harus bilang lebih dulu..!!”
“Kata siapa?” tak kalah
ketus saya menjawab.
“Aturannya memang begitu”
“Mana aturannya? Kalau
aturannya seperti itu seharusnya Saudara yang tanya dulu, saya bayar kontan apa
pakai kartu. Jangan mau menang sendiri” saya mulai naik darah.
“Dimana saja merchant yang pasang logo menerima kartu
kredit atau debit tak pernah pasang aturan kalau yang membayar pake kartu harus
ngomong dulu. Pernah belanja di
supermarket atau mal nggak? Kalau
disini ada aturan lain, saya minta lihat dimana itu aturan! Tempel aturan itu
dikaca sini, biar semua orang tahu!” Saya mulai bicara keras. Mangkel aku. Semua orang melongo,
memperhatikan debat kusir yang terjadi diloket.
“Saya minta bertemu atasan
saudara. Mana dia?” Saya tantang petugas loket itu. Wajahnya mulai memucat.
Saya pikir gak level kalau saya
berdebat dengan petugas yang hanya menjalankan perintah.
Mendengar keributan
itu, Pakde Bagio ikut mendekati loket. Wajah sangarnya menambah suasana semakin
tegang. Seorang laki-laki paruh baya berseragam PT KAI datang mendekat.
“Saudara pimpinan disini?”
langsung saya berondong dia.
“Memang benar ada aturan
siapa yang mau membayar pakai kartu debit harus memberi tahu sebelumnya? Mana
aturan itu, saya pengin tahu” saya terus nyerocos
saja.
Laki-laki itu diam saja,
tapi dia berbisik-bisik dengan si penjual tiket. Tampak si petugas mencorat
coret tiket yang sudah tercetak dan mulai mengetik lagi.
“Mohon tunggu sebentar pak,
sedang diproses. Silakan bapak nanti kedalam saja” akhirnya dia bicara juga.
Selama perdebatan itu,
kegiatan diloket pembelian tiket nyaris berhenti. Padahal sudah banyak orang
yang antri. Saya tak peduli. Birokrasi macam apa ini. Membuat aturan seenak
perut sendiri. Pakde Bagio komentar:
“Wong ayu ayu koq ora biso ngguyu...(orang cantik tidak bisa
tersenyum)”. Si petugas penjual tiket memang manis. Cuma wajahnya sangat tidak
ramah.
Akhirnya urusan tiket beres
juga. Saya masuk kedalam dikawal Pakde Bagio. Disitu saya harus memasukkan
nomor PIN kartu debit saya.
Sambil mengumpat panjang kali lebar, tiga
lansia meninggalkan setapsiyun
nJember. Bahkan Pakde Bagio yang terkenal di seantero Jember ikut kesal melihat
perlakuan seperti itu. Bahna jengkel, Pakde akhirnya hanya mengajak tamunya
keliling kota lagi. Sampai hari menjelang petang, rombongan kembali kehotel
lagi. Ada sedikit waktu untuk istirahat sebentar (lagi).
Keliling kota nJember
mencari bahan bakar dapatnya...... tape bakar
“Ku ‘kan
kembali saat usai magrib nanti...” begitu kata Pakde Bagio
berjanji. Kita bertiga hanya mengamini. Kalau Pakde tak kembali, pasti kita
yang kojur (susah). Sebab inilah pertama kalinya kita
masuk kota Jember. Bisa “hilang” kalau tak ada yang mengantar. Kan tidak lucu ada lansia Jakarta hilang
dikota nJember, terus besok paginya jadi ‘headline’
di Jember Pos. Hallaaah. Tapi saya
yakin Pakde pasti kembali. Pertama, karena beliau tak ada tongkrongan ‘tukang mbujuki’
(penipu). Kedua, karena Pakde sekarang hanya sendirian dirumah. Bude Bagio dan
mas Andi, putra bungsunya masih ‘terdampar’ di mBandung. Jadi pasti Pakde bosen
dirumah sendirian.
Sesuai janjinya, sehabis magrib Pakde
sudah menunggu diteras. Mentari telah hilang dari wajah kota Jember. Suhu udara
kini agak sejuk. Angin sepoi-sepoi tidak basah. Pakde masih bersikeras menyopir
sendiri. Padahal saya dan Pak Nur sebetulnya juga sudah siap menggantikan. Tapi
ada saja alasan untuk menolak, kuatir kalau kita salah jalan. Barangkali.
Tujuan pertama ternyata pompa bensin alias SPBU. Sang kijang butuh minum
rupanya. Baru saja mau masuk, sudah tertera tulisan: “BENSIN HABIS”. Saya
terkesiap. Bisa gawat nih, kalau
tidak dapat bensin. Pakde berusaha menghibur:
“Tenang sajaaaa, masih
banyak pom bensiiiin brooo....”
katanya sambil putar balik.
“Pom bensin sih banyaaak,
kalau bensinnya kosong?” jawab saya. Semua terbahak-bahak. Tapi ternyata benar.
Ada dua atau tiga SPBU yang kita datangi. Kondisinya semua sama. Bensin habis!
Diam-diam saya menggerutu. Rupanya begini permainan tengkulak. Semakin jauh
dari Ibukota, semakin runyam rakyat dipermainkan. Ini pasti ulah para spekulan.
Ditambah oleh sikap pemerintah yang tidak jelas. Bubrah semuanya.
Saya agak khawatir. Kalau malam ini kijang
tak diberi minum, bisa runyam keadaan. Kita masih harus keliling keliling kota jeee. Kalau sampai mogok, siapa yang mau mendorong? Walaupun
badan gede-gede begini tapi kan sudah ....uzur bin tuwir? Hanya Pakde yang berusaha stay cool, mungkin biar penumpangnya tidak tambah panik. Untuk
membunuh waktu, Pakde menyopir keliling kota Jember diwaktu malam. Sempat pula
berhenti di alun-alun kota Jember. Saya terpana. Tanah lapang ditengah kota ini
begitu bersih, terawat dan asri. Beberapa kelompok manusia tampak menghibur
diri disekeliling alun-alun. Tapi sangat tertib. Tak tampak ada pedagang kaki lima. Rupanya tenda kaki lima
dipusatkan hanya disatu bagian saja dari alun-alun. Sangat teratur. Seandainya
Jakarta bisa seperti ini.....saya berkhayal.
Makan malam di Jember
Kijang bergerak lagi, saya tetap was-was.
Hari sudah makin malam, jadi orangnya yang harus diisi ‘bensin’. Rupanya Pakde
punya langganan resto andalan. Gabungan antara resto Jawa dan Sunda. Soalnya
ada tempat untuk lesehannya. Ternyata menunya dominan Jawa. Malam itu yang
dipesan ayam bakar kremes, urab, sea food
bakar dan...tahu tempe goreng! Tidak butuh waktu lama untuk menghabis ludaskan semua yang terhidang. Gusis siiis. Itu sudah jelas. Jelas
semua menderita ‘honger oedem’, sakit
lapar maksudnya.
Sehabis makan keliling kota lagi. Santai
sekali ‘nJember diwaktu malam’. Tak ada kemacetan, sebagian daerah malah nyaris
lengang. Beberapa kali mata saya bersirobok menatap gerobak dipingir jalan.
Tulisannya “Tape Bakar”. Wah, ini
dia. Saya jadi ingin tahu. Tepatnya, saya jadi ingin beli. Yang saya tahu, tape
biasanya digoreng. Dapat nama kehormatan “Rondho
Royal”, entah apa maksudnya. Kalau tape bakar, jangan-jangan diberi nama “Rondho Pelit”.
“Pir, tolong minggir
sebentar kalau ada yang jual tape bakar. Saya mau beli..” Seisi kijang tertawa
ngakak mendengar 'komando' saya.
“Siap pak kumendan!” Pakde
menjawab sambil ngakak juga. Saya dicubit oleh isteri sambil bisik-bisik: “Karo priyayi sepuh ojo kurang ajar
(jangan kurang ajar kepada orang tua).... ”.
Saya tambah ngakak. Isteri saya tambah mbesengut
(cemberut).
Mampir membeli tape bakar
Sambil menunggu tape dan pisang dibakar,
kita terus bercanda. Siapa yang akan
menyangka, malam ini sebenarnya tujuan kita mencari BAHAN BAKAR, koq
dapatnya malah TAPE BAKAR........ untung tidak bertemu dengan wan ABU BAKAR.... Haiyaaaaa.....
Biar saja laaah, kalau kijangnya mogok ya ditinggal saja dipinggir jalan.
Siapa yang sudi mendorong, perut sudah kekenyangan begini. Paling-paling juga
kijangnya hilang......eh, tapi gak mungkin lah yaaauuuuu, kijangnya
Pakde Bagio, mana bisa ilang......
bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar