PAGILARAN RIWAYATMU KINI....
(KISAH TOUR ‘WISKUL’ PESBUKERS LANSIA)
Numpang nampang di Stasiun Pekalongan
-Bagian
Kedua-
Pindah
tempat duduk yang bikin sengsara
Tepat pukul 07.30 pagi rangkaian KA Argo
Muria mulai bergerak meninggalkan stasiun Gambir. Saya termangu sendirian
memandang Jakarta yang mulai diguyur hujan. Duduk dengan santai dikursi yang
‘benar’ (artinya sesuai dengan nomer yang ada di tiket) sembari senyum-senyum
sendiri mengingat ‘kecelakaan’ salah gerbong tadi. Kebetulan tempat duduk nomer
4 B disebelah saya kosong. Rencana ngobrol me-rame
bertiga dengan sohib anyar berantakan
gara-gara Pak Nur salah membaca tiket.
Sekarang baru terasa perut mulai lapar. Nasi
goreng yang ditawarkan petugas restorasi KA
langsung saya sambar. Belum habis separo ketika hape saya bergetar. Suara Pak
Nur nyaring terdengar:
”Ada
tempat disini Pak Tony, harap segera pindah ke gerbong 2, no 10 ABC kosong.
Kita bisa duduk ngobrol bertiga” begitu
instruksinya.
“Siap
bos, tunggu lima menit” jawab saya. Terpaksa nasgor saya kebut masuk perut.
Saya bersiap ‘rokade’ dari gerbong 5 ke gerbong 2, melewati gerbong 4 dimana Bu
Rum dan Pak Tur berada. Beliau berdua tidak tahu insiden gerbong tadi, jadi
pasti akan tanya kalau melihat saya boyongan.
Untung sekali beliau berdua sedang dibuai mimpi, duduknya mesra sekali.
Benar-benar pasangan harmonis. Saya lewat gerbong 4 dengan selamat. Digerbong 2
Pakde Bagio dan Pak Nur menyambut kedatangan saya bak pahlawan menang perang.
Gegap gempita. Trio lansia yang baru bertemu muka sekali ini langsung bercanda
dengan dahsyatnya.
Kereta berhenti di Stasiun Cirebon.
Rupanya ada penumpang yang naik dari sini. ”Sampeyan
nomor kursinya berapa?” Astagfirullah.
Saya ingat, kalimat itu adalah pertanyaan Pakde Bagio kepada pemuda digerbong 5
tadi pagi. Kini pertanyaan itu terlontar dari penumpang baru dan (konyolnya) ditujukan
kepada saya! Jelas saya kelimpungan,
karena merasa duduk bukan ditempat yang layak. Saya lirik Pakde Bagio langsung
cabut sambil cengengesan, kembali
ketempat duduknya yang benar. Asem tenan
ik, saya yang dikorbankan! Pak Nur berusaha menjelaskan duduk berdirinya
perkara. Tapi sang empunya kursi bergeming. Dia tetap menuntut hak menduduki
kursinya. Untung (orang Jawa selalu untung) masih ada dua kursi kosong didekat
situ. Jadi Pak Nur dan saya pindah kursi lagi ketempat kosong itu. Belum sampai
3 jam, tragedi buah apel, eh, salah kursi sudah berulang. Tapi sekarang beda
TKP dan beda korbannya.
Bertemu
dengan dokter “penggemar burung”
Matahari sudah sepenggalah lebih tingginya
ketika KA Argo Muria ‘mendarat’ di Stasiun Pekalongan. Saya tidak asing dengan
stasiun tua yang sudah berdiri sejak tahun 1919 ini. Berada di Jl. Gajah Mada
Pekalongan, gedung tua tapi antik ini awalnya adalah milik Semarang - Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Sampai kini masih
tampak kokoh dengan arsitektur jaman kolonial
yang tetap tak ketinggalan jaman. Sejuta kenangan manis dan buruk berkelebat.
Tahun 70-an saat masih jadi Taruna AUP dulu, saya sering sekali naik turun di
stasiun ini. Itu karena PKL Taruna AUP Semarang dilaksanakan disekitar laut Pekalongan.
Turun dari gerbong mata saya sibuk mencari
sopir penjemput yang dikirim oleh Bu Tuti. Rencana semula adalah, begitu turun
dari kereta, kita berlima akan segera pesan tempat untuk perjalanan berikutnya.
Bu Rum dan Pak Tur akan pesan tiket untuk kembali ke Jakarta, sedangkan Pakde
Bagio, Pak Nur dan saya akan pesan tiket ke Surabaya, lanjut ke Jember. Sambil
menuju keloket penjualan tiket, mata saya bersirobok dengan seorang wanita
berjilbab memakai seragam Pemda yang wajahnya nampak tidak asing. Ternyata Bu
Tuti malah meluangkan waktu untuk menjemput sendiri.
Sewaktu bersalaman, sorot mata Bu Tuti
menyiratkan sedikit keheranan. Mungkin pangling
dengan wajah saya yang pasti lebih jelek dibanding foto profile saya di pesbuk. Ini memang “kopi darat” saya untuk pertama kalinya dengan Bu Tuti. Kalau Pakde
Bagio dan Pak Nur sudah pernah bertemu dengan beliau sebelumnya. Disebelah Bu
Tuti ada seorang pria sepuh dan seorang wanita berseragam dokter. Saya langsung
menebak, ini pasti dokter Penny. Teman pesbuker
yang tinggal di Pekalongan. Inilah dokter wanita yang menurut info dari Bu Tuti
lewat pesan BBM adalah seorang “penggemar burung”. Ternyata yang dimaksudkan
(tentu sebagai gurauan) adalah karena bu dokter Penny adalah ahli vasektomi! Info berharga ini tentu juga saya sampaikan
pada Pakde Bagio dan Pak Nur sebagai sesama laki-laki. Oleh sebab itu ketika
hendak bersalaman dengan bu dokter, kita bertiga langsung mengambil sikap “ngapurancang” (menempatkan kedua telapak tangan diantara pangkal
kaki). Sikap hormat ‘wong Jowo” ini memang seolah melindungi ‘sesuatu’
dibaliknya. Tentu saja sikap itu segera meledakkan tawa kita bersama. Bu dokter
meski ikut tergelak tapi tampak tersipu-sipu malu. Baru bertemu sudah kena skak, walau tidak sampai mat. Adapun pria sepuh yang ikut menjemput adalah Pak Hadi, seniman lukis yang
pernah ngantor di Setneg. Setelah pangsiyun beliau memutuskan untuk
menetap dikota Batik yang jauh lebih tenang daripada hiruk pikuknya ibukota.
‘Soda
gumbira’ dan teh poci yang lambat datang....
Urusan tiket akhirnya beres. Bu Rum dan
Pak Tur akan kembali keesokan hari dengan kereta Argo Muria yang datang dari
Semarang. Sedangkan trio lansia yang lain terpaksa memilih KA Sembrani dari
Jakarta menuju Surabaya yang tiba di Pekalongan tengah malam. KA Sembrani yang
dipilih karena isteri saya akhirnya memutuskan untuk menemani saya pergi ke
Jember. Dia berangkat dari Jakarta juga dengan naik KA Sembrani itu. Nantinya kita
bertemu didalam kereta di Stasiun Pekalongan.
Sebelum beranjak meninggalkan setapsiyun (istilah khas buatan Pakde
Bagio) tidak lupa melakukan ritual wajib pesbukers:
berfoto dengan latar belakang stasiun! Kata Pak Tursilo, orang yang difoto tidak penting. Yang lebih
penting adalah latar belakang fotonya! Narsis ria me-rame terlaksana penuh gelak tawa. Selanjutnya rombongan tamu
lansia diangkut dengan dua mobil dan diajak keliling kota untuk....makan siang.
Ini memang saat yang ditunggu-tunggu. Terutama Pakde Bagio yang sudah gelisah.
Maklum badan ukuran ekstra besar pasti “isi”nya juga harus banyak. Terakhir ‘isi
bensin’ kan hanya sepiring nasgor di
Stasiun Gambir jam 6.30 pagi tadi.
Sempat salah jalan, rombongan pesbukers
lansia akhirnya sukses digiring masuk rumah makan. Yang dipilih gaya lesehan
dilantai dua RM “Selaras”. Menupun diedarkan. Semua sepakat mengambil menu ayam
kremes dan Gurame bakar, serta cah kangkung kecuali.....Pakde Bagio! Entah biar
tampak beda entah memang hobi, beliau memilih menu nasi goreng (lagi! Jabang bayiiik!!). Tapi yang ini nasgor jamur
dilengkapi pesanan minuman soda nan gembira. Saya membatin, sarapan nasgor, makan
siang nasgor....jangan-jangan nanti santap malam Pakde nuntut makan nasgor
juga.....bisa kelabakan tuuh panitia.
Tapi ternyata Pakde memang paling
beruntung. Sajian nasi goreng jamur keluar lebih dulu lengkap dengan soda
gembiranya! Menu lain masih harus menunggu. Termasuk pesanan minuman yang lain:
teh poci! Padahal bukan hanya perut yang meronta, kerongkongan juga sudah
sangat kering minta diguyur air. Sewaktu akhirnya menu pesanan semua keluar dan
bablaasss sampai bersih tandas, teh
poci belum keluar juga. Mungkin pocinya sedang dibeli di Tegal!
Seusai makan, dokter Penny pamit untuk
kembali bertugas. Rupanya beliau bergabung tadi hanya untuk mentraktir makan
siang! Terima kasih dokter. Maka rombongan kini hanya memakai satu mobil saja
menuju Pagilaran. Pak sopir memilih jalur alternatif menuju kebun teh dengan
melewati jalan berliku-liku. Hujan mulai turun rintik-rintik. Mobil yang
disesaki 8 orang (6 orang diantaranya lansia) penuh dengan gelak tawa sepanjang
jalan. Apalagi ketika Pakde Bagio minta turun dipasar untuk mencari
cadangan.....CD. Semua terbahak-bahak
membayangkan Pakde mencari : ’onderdil’ ukuran
XXL itu di toko pakaian anak-anak.
Pagilaran
nan menawan dengan...gethuk ’parutan klopo’.....
Dan inilah rupanya perkebunan teh PT.
Pagilaran yang beken itu. Warna kehijauan mendominasi pemandangan berupa kebun
teh yang ditanam dengan teknik terasering.
Udaranya sejuk segar dan (pastinya) menyehatkan. Tapi menurut perasaan saya,
kawasan Puncak lebih dingin hawanya. Bahkan malam hari di Pagilaran saya masih
sanggup tidur tanpa selimut. Setelah mendapatkan kamar masing-masing di Villa
Alamanda II, sore itu kami habiskan dengan mengobrol diruang tamu dengan aneka
canda ria. Semua tertawa gembira karena....dapat jatah kaos batik seragam dari
Bu Tuti. Rencananya kaos batik itu akan dipakai untuk senam pagi keesokan
harinya.
Malam harinya rombongan pesbukers lansia diajak menuju ruang
makan Gedung Pertemuan yang terletak
agak keatas, mendekati areal pabrik teh. Katanya akan digelar acara bebas
sambil menikmati santap malam. Diruangan itu memang tersedia meja makan
panjang, lengkap dengan menu makan malam, satu set organ dan layar OHP. Saya memang khusus diundang untuk
berbagi pengalaman dengan para peserta Bimtek yang rata-rata masih berusia
muda. Entah dengan alasan apa Bu Tuti memberikan tugas itu kepada saya. Padahal
banyak senior yang malam itu juga hadir. Tentu beliau-beliau juga punya
pengalaman segudang. Lebih malah.
Namanya juga acara bebas, sewaktu memasuki
ruangan, organ tunggal sudah mulai disetel. Jadi acara bebas menyanyi sudah
bisa dimulai. Pada dasarnya Bu Tuti memang hobi menyanyi. Bahkan sudah rekaman,
walau untuk konsumsi kalangan sendiri. Jadi beliau mulai menyanyi. Suasana
berubah seketika. Para lansia yang tampaknya juga punya bakat terpendam,
langsung ikut rengeng-rengeng
(menyanyi pelan-pelan). Pak Hadi tampil berikutnya. Dasar seniman, suaranya
dahsyat merdu menggelegar. Menghangatkan ruangan yang hawanya semula dingin.
Ketika ada tuntutan bahwa semua tamu harus
nyanyi, maka satu persatu (solo) atau satu perdua (duet) mulai maju. Bahkan ada
yang satu pertiga (trio)! Suaranya rata-rata bagus lhooo. Pak Nur duet dengan Pak Tur, lalu trio karena Bu Ruminah
akhirnya juga tampil. Tapi ada satu yang mbekengkeng
(bersikukuh) tidak mau maju menyanyi sendiri. Yang dipilih adalah maju
sebagai backing vocal. Memang pantes
sih, sebab sosoknya yang tinggi besar memang pas kalau berdiri dibelakang sang
penyanyi sebagai latar. Bwuahahahahaha....sori
kecap Pakde.....!!
Saya akhirnya jadi juga bicara untuk berbagi
pengalaman. Sebab tak akan mungkin bagi saya berbagi penghasilan. Lha wong untuk datang ke Pagilaran saja
menunggu rapelan uang pangsiyun keluar. Intinya saya mengingatkan generasi muda
sekarang bahwa yang penting dalam bekerja adalah rasa ikhlas, jujur, tekun dan ‘nrimo ing pandum’ (menerima ‘jatah’
dari Allah Swt). Sebuah falsafah
hidup yang kini nyaris terlupakan, karena generasi sekarang lebih suka yang
serba instan. Alias saknalika. Ini yang membuat orang lebih
mudah melanggar aturan karena ingin cepat berhasil. Tidak heran kalau sekarang
korupsi dilakukan secara berjama’ah.
Malam semakin larut, tapi ruangan semakin panas karena anak buah bu
Tuti mulai ‘turun’. Ternyata hampir seluruhnya pintar menyanyi, utamanya lagu
dang dut. Maka ruangan pun hiruk pikuk dengan suara lagu dang dut ditambah
mereka yang turun joged. Sekarang meja makan telah disulap menjadi meja aneka
kudapan. Antara lain makanan khas daerah Jawa Tengah dan pala kapendhem. Semua menarik selera. Para tamu asyik bercanda ria
karena kehadiran pesbukers dari ‘white
water’ alias Banyu Putih. Itulah Bu Endang Ningsih alias bu Bidan alias bu
Dokter. Lho koq bisa? Ya bisa, tanya
sendiri pada bu Endang, kenapa gelarnya bisa cam-macam begetooo....
Sebagai tuan rumah yang baik, Bu Tuti berusaha
memberikan pelayanan yang terbaik. Kalau perlu menyuguhkan kudapan langsung
dari tangannya sendiri.
“Mas
Koes dan Pak Nur. Ini ada gethuk lho,
monggo dipun kedhapi (ini ada gethuk, silakan dicicipi)” katanya sembari
menyorongkan dua piring kecil berisi kudapan yang disebutnya gethuk tadi. Gethuk adalah kudapan yang
terbuat dari singkong atau tela pohung
(seperti lirik dalam lagu ‘gethuk’ itu).
Biasanya disajikan dengan ditaburi parutan kelapa. Saya menerimanya
dengan penuh suka cita. Gethuk adalah kudapan favorit saya. Gethuk buatan
daerah pedalaman Jawa biasanya sangat mempur
dan lezat. Maka tanpa tanya ba atau bu lagi gethuk itu saya sikat. Semula
agak heran, koq rasanya tidak seperti gethuk biasa. Saya lihat Pak Nur juga
agak ragu. Pakde Bagio berusaha mencari sang gethuk diantara taburan parutan
kelapa dengan membolak balikkan isinya. Tapi tetap aneh saja rasanya. Saya
pikir gethuk Pagilaran memang dibuat sangat mempur seperti ini. Agar tidak
membuat tuan rumah kuciwa, kudapan istimewa itu amblas juga ditangan saya.
Setelah itu baru timbul kegaduhan. Gara-garanya
ada kudapan yang bernama lemet. Kudapan
yang rasanya manis ini terbungkus daun pisang dan dibuat dengan cara dikukus.
Didaerah lain, lemet disajikan begitu saja dan langsung bisa disantap. Tapi di
Pagilaran, lemet disajikan dengan ditambahi taburan parutan kelapa. Disinilah terbongkarnya kisah ‘gethuk’ yang disajikan oleh Bu Tuti
tadi. Rupanya yang saya makan tadi adalah kelapa parut itu. Tidak ada gethuknya
sama sekali. Lha wong memang yang
disajikan itu adalah benar-benar parutan kelapa, asli dan murni lhooo.
Saknalika
saya terbeliak sontak mendadak. Jadi yang saya
lahap sepiring kecil penuh tadi........Masya
Allah. Karena terbuai lagu dangdutan, saya memang melahap ‘gethuk’
jadi-jadian itu sampai tandas ludas. Pak Nur mungkin cuma habis separo saja,
itu karena curiga tidak menemukan secuilpun gethuk dipiringnya. Gelak tawa cekakakan meledak diruang makan itu. Bu
Tuti yang bertanggung jawab mengedarkan ‘gethuk’ tadi berusaha setengah hidup
untuk minta maaf.
Tapi tiada maaf bagimu bu, lha kalau besok pagi saya kreminen, siapa yang tanggung jawab? Hayoooo......!!!
bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar