(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)
-Bagian
Ketiga belas-
Perut
kenyang ngantuk menerjang....
Duduk dijok belakang bersebelahan dengan
isteri saya, Pak Nur Widodo langsung tepar.
Barangkali porsi nasi cah ayamnya tadi kelewat besar. Yang membikin saya heran,
kacamata baca Pak Nur tetap saja nempel seperti ada lem nya. Walaupun sudah
tidur sambil setengah mendengkur. Saya sendiri sekarang kebagian tugas nyopir. Maklum hanya saya satu-satunya
lansia yang matanya masih ‘genep’. Masih
awas dan tidak butuh bantuan kacamata untuk nyetir mobil malam hari. Pasti
karena asupan gizinya paling wuuokeee.
Meskipun Pakde Bagio sesungguhnya juga
tinggal 5 watt saja, tapi beliau terpaksa bertahan duduk disamping pak sopir
yang sedang bekerja. Mengendara mobil supaya baik jalannya. Thuk thik thak thik thuk.....eh, mana ada mobil suaranya begitu? Saya memang butuh kethek eits keliru, 'kenek' nding, maklum jalan
raya Bondowoso – Jember tidak terlalu lebar, dan rute ini masih barang baru
bagi saya. Apalagi sekarang saya nyopir dimalam
hari. Kalau tidak dipandu yang hapal jalannya bisa-bisa malah mendarat darurat
di Rumah Sakit.
Udara semakin dingin. Jalanan juga sudah
mulai berkurang ramainya. Saya berusaha untuk terus mengajak bicara co-pilot yang duduk disamping.
Masalahnya saya tidak yakin benar kalau Pakde masih sadar full. Dibalik kacamata bacanya, saya lihat mata Pakde semakin sipit
saja. Kalau sampai ketularan jurus sirepnya Pak Nur dikursi belakang yang asik ngelepus (tidur nyenyak) kan berbahaya. Yang saya khawatirkan, kalau sedang tidur Pakde justru ‘nyaring bunyinya’
dan banyak polah! Tentu saja saya
teringat drama satu babak di setapsiyun Pekalongan
tempo hari.
Kisah
Bandara untuk ‘mepe’ gabah.....
Oleh sebab itu saya harus pandai-pandai
memancing cerita. Maka Pakde Bagio pun berkisah tentang Jember yang seharusnya
(sudah) punya lapangan terbang. Nama yang dipilih adalah Bandara
Notohadinegoro. Direncanakan dibangun dengan memakai dana APBD Jember sejak
tahun anggaran 2003. Konon biaya yang dibutuhkan waktu itu “hanya” sekitar 50
milyar rupiah. Akhirnya Bandara tersebut dapat diresmikan pada tahun 2005 oleh
Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo. Katanya sudah sempat beroperasi beberapa
waktu. Presiden Gus Dur juga (katanya) pernah mendarat di Bandara itu. Bagaimana
nasibnya sekarang? Pakde Bagio malah tertawa sinis.
“Sekarang
dibuat untuk mepe (menjemur) gabah.
Paling meriah untuk ngulukke layangan (menerbangkan layang-layang)” Pakde
tergelak. Saya tersedak. Hadeeeh! Bandara untuk menjemur padi dan
main layang-layang? Ini baru kocak
beneran. Nyaris semua bangunan yang
ada berikut landas pacunya kini sudah mosak-masik
(rusak) tak terawat. Yang menyedihkan, nasib Bandara itu kedepan bahkan tak ada
kepastiannya sama sekali.
Sebuah kisah khas yang sering terjadi
dinegeri ini. Banyak ide, banyak akal, pintar membangun (walau tanpa
perencanaan matang) dan.... tidak pintar merawat! Saya menduga ide yang bagus
itu hanya ‘jual gengsi’ belaka. Tanpa studi kelayakan yang mendalam. Akhirnya bisa
diduga: muspra (hilang sia-sia).
Tidak
lebih setengah jam mobil sudah memasuki kota Jember lagi. Padahal saya hanya
melarikan mobil perlahan-lahan saja. Mungkin kecepatan rata-ratanya cuma 100 km/jam saja. Malam ini bukan malam hari
libur. Jember diwaktu malam toh tetap
lumayan ramai juga. Sejak di Garahan
tadi siang isteri saya sudah ngebet ingin
makan tahu campur. Pakde Bagio sudah mendapat ancer-ancer dari mas Didit, lokasi penjual tahu campur yang enak di
Jember. Jadi Kijang kencana langsung
saya arahkan kealamat dimaksud. Pak Nur yang ‘geragapan’ (tergopoh) baru sadar dari perjalanan dialam mimpi
mungkin heran. Tadi meninggalkan Bondowoso dari sebuah rumah makan, lha koq sekarang sampai di Jember sudah
mendarat lagi di warung tenda biru? Namanya juga wisata kuliner Pak Nur ..... jangan
gumunan aaah.
Terletak diemperan sebuah toko yang sudah
tutup, penjual “kupat tahu” yang hanya tertutup tenda kain itu penuh pembeli.
Ini sebuah tanda kalau masakannya pasti lumayan sedap. Setelah menunggu
beberapa saat, akhirnya kita berhasil pulang kehotel menenteng tiga bungkus kupat tahu. Pakde Bagio sendiri malah kipa-kipa (berkeras) menolak ikut
menikmati kupat tahu diteras kamar hotel. Katanya malam ini masih banyak
urusan. Setahu saya memang Pakde banyak sekali yang diurus. Dari lansia, cam-macam senam sampai...mbak Fitri penjual makanan gendongan!!
Mungkin Pakde Bagio belum sampai dirumah,
tapi tiga bungkus kupat tahu diteras hotel sudah amblas. Zonder (tanpa) berbunyi wes
ewes eweessss....
Malam itu isteri saya sibuk berbenah dan
berkemas. Saya sendiri dibiarkan tergolek lemas. Harap maklum, tiba-tiba dan sekonyong-konyong,
barang bawaan jadi membengkak seperti gajah tertimpa pohon sehabis disengat
tawon. Pusing tujuh keliling memasukkannya dalam koper agar selamat tiba sampai
tujuan. Apalagi kebanyakan berupa “potongan singkong yang di ragi in” (difermentasi) alias tape!
bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar